Umumnya, hasil tes bisa keluar satu hari setelah pengecekan. Namun, Morgan membayar mahal agar hasilnya bisa keluar dalam waktu dua jam.
Dia membaca berkas di tangannya dan seluruh tubuhnya seakan membeku. "Hasilnya 98% cocok, Tuan." Dokter itu memberitahu. Dada Morgan seakan tenggelam. Itu berarti Yuna tidak berbohong. Dia benar-benar hamil setelah hubungan intim mereka malam itu. "Sekarang apa yang akan kita lakukan, Tuan?" Calvin yang bekerja sebagai pelayan pribadi Morgan bertanya. Ia bisa memahami kecemasan sang majikan. Pikiran Morgan seolah berkecamuk. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ini semua di luar prediksinya. Hingga suara yang aneh tiba-tiba terdengar di ruangan itu. “Bunyi apa ini?” Morgan bertanya, mencari-cari sumber suara. “Ini suara detak jantung bayi Anda, Tuan,” ucap dokter itu. Jawaban itu membuat Morgan semakin kesulitan untuk bernapas. Ia bisa mendengar dengan jelas detaknya. Lemah, tetapi teratur, menunjukkan adanya kehidupan. Suara lain dari ponselnya merangsek masuk dan mengalihkan perhatian Morgan. Itu adalah pesan dari Gavriel. “Jadwal dan segala persiapan untuk operasi pengguguran sudah siap, Tuan.” Demikian pesan singkat yang mengingatkan Morgan pada rencana awal mereka. Seharusnya Yuna sudah berada di ruang operasi sekarang dan mengangkat janin itu dari rahimnya. “Apakah kau akan tetap menggugurkannya, Tuan?” Calvin bertanya setelah mereka keluar dari ruangan untuk berdiskusi. “Menggugurkan?” Satu suara terdengar dan asalnya dari seorang wanita. Morgan mengerutkan alis menatapnya. Ia paling tidak menyukai orang yang suka ikut campur, terutama wanita. “Siapa kau?” tukasnya dengan tak ramah.Hal itu membuat Nara menjadi semakin tersulut. Ya, dia sudah mendengar semua diagnosa dokter. Mulai dari Yuna yang kelelahan hingga gadis itu yang tengah hamil. Awalnya, Nara khawatir Sean adalah ayahnya, atau bahkan gigolo yang ia sewa malam itu. Nara sudah bersiap mendatanginya saat mendengar hasil tes DNA. Kini, pria yang diketahui sebagai ayahnya justru berniat menggugurkan kandungan itu. Mata Yuna memicing dengan tak senang.“Aku adalah sahabat Yuna dan aku sudah mendengar semuanya,” sergah gadis itu dengan marah, “Berani-beraninya kau berniat menggugurkan bayi itu, Berengsek!” umpat Nara tanpa ragu. Morgan mengembuskan napas panjang. Dalam hati menyesal karena masalahnya menjadi lebih rumit. “Bukan urusanmu,” jawab Morgan, singkat. “Sahabatku diminta untuk menggugurkan kandungannya, tentu saja ini adalah urusanku!” ucap Nara dengan suara tegas. “Ini tidak seperti yang kau pikirkan,” jawab Morgan. Matanya memicing saat ia mendongak untuk menatap Nara. “Bayi itu hadir karena kesalahan. Kesalahan hanya akan melahirkan kesalahan lainnya,” tutur pria itu dengan serius. “Cih.” Nara mendecih dengan kesal. “Aku tidak mengerti cara berpikir orang kaya sepertimu, tapi menggugurkan kandungan sama saja membunuhnya dan aku akan menjadi orang pertama yang membunuhmu jika kau melakukannya!” ancam Nara dengan serius. ******Hal terakhir yang Yuna ingat adalah pandangannya menjadi gelap sebelum dia hilang kesadaran. Kini, samar-samar dia bisa mendengar pembicaraan dua orang. “Baiklah, Dokter. Berikan saja itu padanya.” … dokter? Yuna langsung membelalakkan mata dan terlonjak bangkit. Wajahnya terlihat tambah pucat melihat ia berada di rumah sakit dengan Morgan di sisinya. “Bayiku …,” ucapnya, “Di mana bayiku? Jangan mengambilnya. Jangan ambil bayiku.” Yuna berkata seraya meraba perutnya seakan ingin memastikan dia masih berada di sana.Morgan tak mengatakan apa-apa. Dengan tatapan dingin, dia memberikan secarik foto ke arah gadis itu. “Itu adalah bayimu,” ucap Morgan dengan suara baritone dingin. Yuna mengambil dan memandangi foto itu. Ia bisa melihatnya janinnya, tampak kecil, rapuh, dan hidup. Tanpa sadar, air mata mulai berkumpul di matanya. “Syukurlah …” Yuna memeluk foto itu dalam dekapannya. “Syukurlah kau baik-baik saja. Aku hampir saja membunuhmu. Maafkan aku,” isaknya. Calvin memalingkan pandangan ke arah lain. Entah mengapa, dadanya ikut terasa sesak melihatnya. Sementara itu, Morgan memandangnya dengan dingin, tetapi tenggorokannya seakan tersumbat batu kerikil. “Dokter bilang kau hanya kelelahan dan bisa pulang setelah sadar. Aku akan mengantarmu,” ucap Morgan. Mengutip perkataan dokter. Yuna menarik napas untuk mengatur isakannya, kemudian menggeleng. Dia ingin menggeleng, tetapi Morgan menatapnya dengan sorot mengerikan hingga Yuna tak memiliki pilihan lain. Akan tetapi, keadaan di dalam mobil itu menjadi hening. Tak ada yang bersuara. Baik Morgan ataupun Yuna seakan merasa segan untuk memulai pembicaraan. “Aku … aku berubah pikiran,” tutur Yuna tiba-tiba. Morgan memejamkan mata. Inilah alasan ia ingin menyelesaikan masalah ini dengan cepat. Jika sudah seperti ini, keadaan akan menjadi tambah sulit. Dia mengembuskan napas panjang dan menatap dalam ke arah Yuna. “Mengapa kau berubah pikiran?” tanyanya. Pandangan Yuna otomatis turun pada foto di tangannya. “Aku ingin mempertahankan bayi ini. Walaupun dia ada karena kesalahan, dia tetap anakku dan aku akan berjuang untuknya,” tutur gadis itu seraya tersenyum memandangi potret janin itu. “Aku akan menyesal jika membiarkannya pergi.” Tangan Morgan mengepal dengan geram. Entah mengapa, jantungnya bertalu-talu mendengar keputusan gadis itu. “Aku—”“Jika kau tidak ingin mempertahankannya, tidak masalah,” Yuna menyela, “Aku akan merawat bayi ini sendirian. Aku bisa mencari pekerjaan dan merawatnya seorang diri. Karena itu, aku tidak akan meminta pertanggungan jawabmu,” ucap Yuna. Suaranya terdengar lembut, tetapi mengandung ketegasan yang mampu membungkam Morgan. “Di sini saja,” ucap Yuna saat mobil itu melintas di dekat rumahnya. “Kalau begitu, aku pamit.” Dia mengangguk satu kali dan beranjak pergi. Pintu ditutup dan seketika Morgan merasa hampa. Seakan ada hal besar yang menghilang dari dirinya dan tidak bisa Morgan dapatkan kembali. Tuk tuk tukTerdengar ketukan samar di kaca jendela. Morgan melihat wajah Yuna dan menurunkan kaca itu. “Ada apa?” “Kita mungkin tidak akan bertemu lagi, jadi aku ucapkan terima kasih sudah mengantarku,” ucap Yuna, “Dan, aku tidak menyesali malam itu sedikit pun.” Yuna kembali mengangguk dan bersiap pergi, tetapi satu suara ikut menyahut.“Jadi, dia adalah pria itu?” Yuna masih menghadap ke arah Morgan dan membelalakkan mata saat mengenali suara itu, suara sang ibu yang terdengar tegas. Dewi bergegas mendekati Yuna dengan langkah marah. “Apakah dia pria yang sudah menghamilimu, Yuna? Dia orangnya, ‘kan?!” sergah wanita itu dengan nada tegas. Yuna menggelengkan kepala. Dia cepat-cepat merangkul tubuh sang ibu dan mengajaknya pergi dengan setengah memaksa. “Bukan, Bu, bukan dia orangnya,” ucap Yuna, masih bisa didengar oleh Morgan yang berada di dalam mobil. Yuna ingin membawa Dewi menjauh dari Morgan, tetapi Dewi menghempas tangannya dan menatap nyalang ke arah sang putri. “Lalu siapa?” tegas wanita itu, “Aku memintamu untuk pergi mendatangi pria berengsek itu, tapi apa yang kau lakukan dengan pakaian seperti ini?! Katakan, di mana pria itu! Jika kau tidak bisa mengatakannya, biar Ibu yang mendatanginya dan memberi pelajaran!” ucap Dewi dengan menggebu-gebu khas wanita berwatak keras. “Dia … dia sudah bertunangan, Bu,” ucap Yuna, “Aku tidak bisa mengganggunya, jadi aku akan merawat bayi ini sendiri.” Wajah Dewi menjadi pucat pasi mendengarnya. Jantungnya seakan tenggelam ke dasar samudra. “Dasar gadis bodoh!” bentak Dewi dengan kesal, kemudian mulai memukuli lengan Yuna. “Mengapa kamu mengalah dan membiarkan pria itu bersama wanita lain! Kau pikir mudah mengurus anak seorang diri!” bentaknya. “A—aku akan bekerja, Bu!” Yuna menjawab, setengah berteriak agar mengalahkan suara lantang ibunya, “Aku akan bekerja untuk merawat bayi ini. Jawaban Yuna berhasil menghentikan pukulan Dewi. Wanita paruh baya itu memejamkan mata dengan frustrasi. Hatinya seakan tersayat mendengar tekad Yuna. Ia telah merasakan sendiri betapa sulitnya menjadi orang tua tunggal dan kini putrinya justru rela melakukannya demi kebahagiaan orang lain. “Dasar gadis bodoh,” umpatnya dengan mata berair, “Mengapa kau harus bekerja keras sementara ayahnya hidup bahagia bersama wanita lain?! Lihat saja, aku akan—” Dewi kembali mengangkat tangannya bersiap memukul Yuna, tetapi satu tangan mencegahnya. “Aku akan bertanggung jawab,” jawab Morgan. Pria itu sudah keluar dari mobilnya dan duduk di kursi roda. Dewi menarik kasar tangan yang dicekal Morgan, kemudian mendelik garang ke arah pria itu. “Apa katamu?” “Aku akan bertanggung jawab,” Morgan mengulangi, “Aku akan menikahi putri Anda. Yuna.”Evelyn. Memanggil ….Morgan duduk di kursi roda dan memandangi layar ponselnya. Sejak tadi, benda itu mencoba menghubungi seseorang yang tak kunjung menjawab. Pria itu tampak sudah rapi dan siap dalam pakaian formalnya. Untuk hari penting ini, Morgan memilih mengenakan kemeja putih dengan tuksedo hitam yang terlihat berkelas. Dari ujung kepala hingga ujung kaki, pria itu terlihat sudah siap untuk menghadapi hari ini. Namun, pikirannya tertuju pada hal lain.Hanya tinggal menghitung jam hingga pernikahannya berlangsung, dan Morgan justru memikirkan orang lain. Seorang wanita yang mungkin tidak akan pernah kembali padanya.“Tuan, kita harus berangkat sekarang,” ucap Benny, sekretaris sekaligus pendamping Morgan hari ini. Sekali lagi, Morgan melirik pada ponselnya yang gagal menghubungi wanita itu. Dia mengembuskan napas panjang, kemudian mengangguk. “Ayo berangkat,” ucapnya dengan suara berat. ******“Apa-apaan ini?” Dewi memprotes saat berada di kamar Yuna. Kamar itu dipenuhi ole
"Terima kasih untuk kerja sama Anda hari ini," ucap Benny, mewakili suara Morgan yang berada di sisinya, "Kalau begitu, kami pamit pulang terlebih dahulu—""Pulang?" Dewi menyela dengan logat kampungnya. "Tidak perlu terburu-buru. Sudah menjadi tradisi kalau pengantin pria dan wanita harus menghabiskan malam bersama," ucap Dewi dengan bersemangat. Yuna membelalakkan mata dengan terkejut, begitu pula Benny dan Morgan yang bertukar pandang dengan canggung. "Soal itu, kami—""Jangan khawatir," Dewi kembali menyela, "Walaupun rumah kami kecil, aku sudah menyiapkan kamar khusus untuk kalian berdua," tambahnya. Kontras dengan sikap Yuna yang lebih banyak diam, karakter Dewi sangat keras, persis seorang ibu tunggal. Wajah Morgan menjadi semakin pucat mendengarnya. Ia tak pernah menyangka jika harus melakukan ritual itu juga. Senna tersenyum licik, sementara Yuna cepat-cepat mendekati sang ibu. "Apa yang Ibu katakan?" ucap Yuna, memberi isyarat agar sang ibu berhenti. Ia tahu Morgan mera
"Akan ada sopir yang menjemputmu siang ini. Segera bereskan barang-barangmu." Demikian pesan yang ditinggalkan Morgan sebelum pria itu pergi. Saat Yuna terbangun di atas tikar, ia melihat Morgan sudah bersiap pergi dan pria itu menyampaikan pesan tersebut. Yuna tak sempat mencegah kepergiannya. "Apakah Morgan sudah pergi?" Dewi bertanya. Wanita itu kembali ke rumah untuk memasak sarapan dan kini Yuna tengah berada di dapur, membantunya. Dewi bukannya wanita yang buta dan tak peka. Ia bisa langsung menyadari kejanggalan pada hubungan keduanya. Oleh sebab itu, ia sengaja mengurung mereka semalaman, dengan harapan sesuatu yang berbeda akan tercipta di antara keduanya. Yuna mengangguk. "Katanya, ada rapat pagi-pagi yang harus didatangi," ucapnya, setengah berbohong demi menutupi reputasi baik suaminya. Seakan bisa menyadari kebohongan dalam suara sang putri, Dewi berhenti memotong sayuran dan mengamati tubuh putri sulungnya dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Kalian benar melaku
"Anda yakin akan ikut, Nyonya? Saya bisa mengambilnya sendiri," ucap sopir itu. Dia sedikit terkejut karena tahu-tahu Yuna berkata akan ikut. Wanita itu menggelengkan kepala dan tersenyum. "Tidak apa-apa. Morgan bilang dia sangat membutuhkannya," ucap Yuna. Ia senang jika bisa melakukan sesuatu untuk suaminya itu. Ini kali pertama Morgan meminta sesuatu darinya, jelas Yuna akan berusaha memenuhinya. Sesuai dengan tekad yang telah ia buat sebelum pindah kemari. Akhirnya, Yuna benar-benar iktu dan sedikit takjub sebab firma hukum Redlion bukanlah firma hukum sembarangan. "Ini dokumen untuk Tuan Morgan Lewis Spencer," ujar seorang pengacara yang telah Morgan sewa. Yuna menerima map cokelat itu dan tersenyum ramah. "Terima kasih," ucapnya, kemudian beranjak pergi. "Maaf," Pengacara itu bersuara lagi, "Apakah … Anda adalah istri dari Tuan Morgan?" Dia bertanya. Bukan raut penasaran yang terlihat di wajahnya, melainkan sorot iba dan gelisah. Yuna menganggukkan kepala membenarkan. "
Yuna bisa mendengar perintah Morgan dengan jelas. Namun, gadis itu tak langsung mengerti. Wajahnya masih bingung saat ia menerima dokumen itu, kemudian membukanya. Surat Pengajuan Perceraian. Mata Yuna membelalak seketika. “Ini—”“Baca sampai habis,” titah Morgan dengan dingin. Napas Yuna menjadi lebih berat saat ia melanjutkan. Gadis itu terus membaca poin demi poin. Kata-kata baku khas pengadilan bagaikan tusukan jarum dingin yang menembus jantungnya. Hingga tanpa sadar mata Yuna mulai berkaca-kaca membacanya.Di akhir, ada ruang untuk tanda tangan dan sudah ada tanda tangan Morgan di sana. Tanda pria itu menyetujui semua poin di atas. “Aku akan menceraikanmu, dengan beberapa persyaratan,” ucap Morgan, “Pertama, kita akan berpisah setelah sembilan bulan, setelah bayi itu lahir. Kemudian, anak itu akan menjadi milikku. Dia akan menjadi pewarisku. Sebagai gantinya, aku akan memberimu satu milyar sebagai bayaran atas segala usahamu.” Pernikahan Kontrak Satu Milyar. Yuna terseny
Yuna menunggu dengan resah di meja makan. Sejak tadi, ia bolak-balik mengecek ponselnya, melihat apakah ada pesan masuk dari pria itu. Saat pertama bertukar nomor ponsel dengan Delvin, Yuna tak tahu ia benar-benar akan membutuhkan pria itu. Seperti sekarang. Namun, Delvin tak kunjung membalas pesannya. Kediaman Morgan menjadi sunyi seperti rumah hantu kala siang. Awalnya, Yuna ingin ikut Lastri berbelanja, tetapi Lastri melarang karena takut ditegur oleh Morgan. Kini, Yuna terjebak di rumah itu, menunggu Lastri ataupun Morgan pulang. Perhatian Yuna teralihkan saat ia mendengar deru mesin mobil di halaman. "Apakah Morgan pulang cepat?" Gadis itu bertanya-tanya. Namun, alih-alih mobil hitam mewah milik Morgan, ia justru menemukan mobil merah sudah terparkir di pelataran parkir dekat air mancur. Seorang wanita keluar dari mobil. Dia mengenakan kacamata hitam dan Yuna menerka usianya tiga puluhan. Gadis itu bertanya-tanya apakah dia Evelyn, tetapi dugaan itu langsung terbantahkan
Suasana menjadi hening setelah Lina pergi. Yuna masih terhenyak. Tak hanya kepada dirinya, Morgan pun tak segan menunjukkan sikap kejam pada keluarganya. "Bukankah aku sudah memintamu untuk merahasiakan pernikahan ini?" Morgan bertanya. Yuna terlalu larut dalam lamunan hingga tak sadar jika Morgan sudah menatap tajam ke arahnya. "Ma—maafkan aku," ucap Yuna, "Aku tidak tahu jika dia adalah keluargamu." Sejak awal, Yuna berniat merahasiakannya hingga Pak Yono datang dan membocorkan semuanya. Namun, Yuna tak ingin menyebut nama pria itu, khawatir Morgan akan langsung memecatnya. "Keluarga, teman, atau kolega bisnisku sekalipun tak perlu mengetahui pernikahan ini, toh pada akhirnya kita akan bercerai," tutur Morgan, terdengar tidak senang dengan Yuna. Kata-kata itu menyayat hati Yuna dengan menyakitkan. Namun, setengah bagian dirinya sedikit mengerti setelah menyaksikan perdebatan mereka. Di dunia Morgan, sangat aneh menikahi gadis miskin sepertinya. Bagaikan singa yang menikah de
Hari masih senja saat Yuna dan Delvin bertemu. Jelas sekali Delvin terlihat seperti orang yang amat sibuk. Wajah tampannya terlihat lelah dan pakaian formalnya seakan menyesakkan tubuh Delvin. "Maaf, apakah aku mengganggu jadwalmu?" Yuna bertanya dengan segan. Padahal, mereka bukan siapa-siapa. Hanya dua orang yang tak sengaja bertemu. Namun, Delvin sudah banyak membantunya. Mulai dari menghibur Yuna, meminjamkan baju, dan kali ini Yuna membutuhkan jasanya. Delvin menggelengkan kepala. Dia melirik arlojinya. "Kamu gadis beruntung," ucap Delvin, "Aku baru akan bertemu klien lagi malam ini." Yuna tersenyum mendengar kata gadis beruntung. Selama ini, dia sering diejek sebagai gadis malang. "Syukurlah," ucap Yuna seraya mengembuskan napas panjang. Dia menyodorkan paper bag ke arah Delvin. "Ini adalah sapu tangan dan baju yang kemarin," tutur Yuna, "Sekarang, aku membutuhkan sedikit bantuanmu," lanjutnya dengan segan. Delvin mengangguk. Dia memperhatikan gadis itu mengeluarkan map