Share

Pernikahan Kontrak dengan Presdir Tampan
Pernikahan Kontrak dengan Presdir Tampan
Author: Imamah Nur

Bab 1. Bukan Pernikahan Biasa

"Menikah dengan dia?" Arandita menunjuk ke arah Bastian yang tengah fokus bicara dengan Pramoedya dengan tangan kanan yang gemetar sedangkan salah satu tangan memegangi ujung belakang gaunnya. Wajah gadis itu sudah tampak basah dengan air mata.

30 menit yang lalu saat pengantin pria hendak mengucapkan kalimat qabul, seorang wanita dengan bayi merah dalam pangkuan menghentikan acara tersebut dan mengaku bahwa ayah biologis dari putrinya adalah pengantin pria.

"Iya Aran, semoga saja dia tidak keberatan," ujar sang ibu sambil mengelus pundak putrinya.

"Iya Bas, adikmu bermasalah hingga tidak mungkin meneruskan pernikahan ini, sementara para tamu penting sudah mulai berdatangan. Sepertinya ini jalan satu-satunya untuk menyelamatkan reputasi keluarga kita, Papa harap kamu setuju. Dengan begini, kamu juga bisa membuktikan pada semua orang bahwa kabar yang beredar itu tidak benar," ucap Pramoedya dan Bastian menghembuskan nafas berat lalu mengusap gusar wajahnya.

Bastian melirik ke segala arah dimana orang-orang menatap Arandita dengan iba. Dari belakang dirinya berdiri, beberapa wartawan sudah mulai berdatangan. Sepertinya keluarga mereka harus bersyukur atas keterlambatan awak media.

"Baiklah, Pa."

Persetujuan Bastian membuat keluarga Pramoedya dan Furqan seperti menemukan oase di tengah padang pasir. Rasa panik yang sedari tadi melanda sedikit demi sedikit mulai berkurang.

"Baiklah, kalau begitu kita mulai," ujar Pramoedya mengajak putranya ke meja ijab karena tidak ingin semua tamu menunggu lebih lama lagi.

Pria dewasa dengan celana kain berwarna merah maroon, dan jas berwarna senada dengan ujung jas berwarna kehitaman, disertai kemeja hitam tersembul dari balik dasi yang juga berwarna hitam berjalan tegap ke arah meja ijab. Wajah tampan dengan hidung bangir serta mata hazel dan rahang yang tegas itu langsung mengalihkan pandangan semua orang.

"Ingat namanya Arandita Al Furqan binti Furqan Ubaidillah," bisik Pramoedya di telinga putranya dan Bastian hanya menjawab dengan anggukan.

"Sudah tahu kan, mas kawinnya apa?"

"Tahu, Pa."

Di sisi lain Arandita pun menurut saat dituntun oleh sang ibu dan disuruh duduk kembali di tempatnya semula.

Semua orang yang berada di sekitar meja ijab terlihat tegang. Arandita sendiri diam bagai patung dengan posisi wajah yang masih menunduk. Angin bertiup, dingin membelai pipi, membuat ia terlarut dalam kesunyian yang diciptakan sendiri meskipun dalam keadaan sekitar yang ramai. Saat ini, Arandita merasa berada di tempat lain, bukan lagi di acara pernikahan dirinya.

Sampai Bastian selesai mengucapkan kalimat qabul dan kata sah terdengar dari setiap sudut ruangan, gadis itu masih setia menunduk, tidak sadar bahwa dirinya sudah resmi menjadi seorang istri.

Devina menyenggol bahu Arandita sehingga gadis itu kaget dan mendongak.

"Iya, Bu?"

"Salami tangan suamimu!" perintah sang ibu dengan suara lembut.

Arandita mengangguk lalu menatap sekilas wajah Bastian yang ekspresinya begitu datar. Dengan gugup ia meraih tangan pria yang baru saja menjadi suaminya itu dan mencium.

Suasana canggung langsung terasa, ternyata tidak hanya Arandita yang khawatir, hampir semua orang yang hadir pun khawatir dengan rumah tangga mereka ke depannya. Akankah rumah tangga sakinah mawadah dan warahmah mewarnai kehidupan sepasang suami istri yang sama-sama menerima pernikahan dengan keterpaksaan itu?

Bastian menatap wajah Arandita sekilas, lalu dengan lembut dia mengecup kening gadis tersebut.

"Maaf, saya harus melakukan ini, demi terlihat ini seperti pernikahan normal," bisiknya.

Arandita mengangguk, ia cukup tahu diri dan tidak pernah berharap banyak pada pernikahannya dengan Bastian.

Setelah menyalami semua anggota keluarga kedua mempelai dituntun ke dalam kamar dan pakaiannya diganti dengan warna yang senada , barulah mereka berdiri di depan pelaminan untuk menyambut para tamu undangan yang akan memberikan ucapan selamat.

Acara terus berlangsung dan para tamu undangan disuguhkan dengan hiburan musik. Tentu saja langsung membuat suasana menjadi heboh setelah drama pernikahan sedari pagi. Keduanya menyambut para tamu dengan senyum yang dipaksakan.

Malam menjelang dan tamu undangan sudah pergi, menyisakan hanya keluarga dan beberapa kerabat dekat saja. Bastian memutuskan untuk pergi ke kamar dan Arandita mau tidak mau juga membuntuti sang suami masuk ke dalam kamar hotel yang kini menjadi kamar pengantin mereka.

Sunyi, tak ada suara dari kedua pasangan suami istri baru yang ternyata memilih menghabiskan waktu dengan duduk termenung di pinggir ranjang. Hingga akhirnya Arandita memutuskan untuk mandi terlebih dahulu kemudian membaringkan tubuhnya di atas ranjang.

Kelopak bunga mawar berjatuhan ke lantai, aromanya membuat sesak di dada Arandita karena langsung teringat pada Bobby, pria yang seharusnya menjadi teman sekamarnya sekarang.

Tak jauh berbeda, Bastian mengikuti jejak Arandita. Membersihkan diri lalu ikut merebahkan tubuh. Mereka berdua tidur dengan punggung yang berlawanan arah. Melewati malam pertama dengan mengarungi mimpi masing-masing

Esok hari mereka pamit untuk tinggal di rumah Bastian. Kedua orang tua Arandita bahagia melihat anak dan menantunya terlihat akur meskipun tidak banyak bicara, bahkan rambut keduanya terlihat sama-sama basah.

"Ini kamarku, tapi mulai hari ini akan menjadi kamarmu. Semoga kau betah." Bastian berjalan masuk ke dalam kamar. Sengaja tidak memberikan kamar yang lain agar Pramoedya tidak lagi menganggapnya lelaki yang tidak normal.

Arandita tersenyum sebab Bastian sudah mulai bicara banyak padanya.

"Dan tenang saja nanti aku tidur di ruang kerja." Pria itu membuka ruang kerja yang berada di dalam kamar itu juga. Walaupun hanya ruang kerja, tetapi cukup luas dan nyaman jika ditempati untuk tidur, bahkan di ruangan itu juga ada kasur, tempat Bastian bermalas-malasan setelah menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Bisa dikatakan kamar Bastian memiliki ruangan kamar yang double.

Arandita langsung terdiam karena ternyata pikirannya salah.

"Oh ya, karena pernikahan ini sama-sama tidak kita inginkan, aku membuat surat ini. Aku pikir ini akan menguntungkan untuk kita berdua."

Arandita meraih map yang disodorkan Bastian.

"Kontrak perjanjian?" tanya Arandita dengan bibir bergetar. Ia masih tidak percaya manusia seserius Bastian bisa mempermainkan pernikahan.

,

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Safarman Sapar
itulah hidup
goodnovel comment avatar
Pipih Permatasari
menikah karena terpaksa pasti nyesek🥲sabar Arandita
goodnovel comment avatar
Jen Jeje
lanjut terus walaupun agak nyesek ini. aku hadir kak berilzaa
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status