Ya, walaupun Arandita tahu pernikahan mereka ada karena keterpaksaan, paling tidak Bastian tidak harus memperjelas status mereka dengan cara demikian. Arandita merasa terhina dengan adanya surat itu karena merasa Bastian seolah menganggap dirinya pengemis cinta.
"Ya, anggap saja pernikahan kita hanyalah pernikahan kontrak. Setelah setahun, kontrak itu akan berakhir dan kita bercerai."Mendengar itu semua jantung Arandita meletup-letup. Ia merasa dipermainkan oleh keluarga Pramoedya."Kalau ujung-ujungnya pernikahan kita akan berakhir juga, kenapa harus ada tenggat waktu yang ditentukan? Kenapa tidak sekarang juga?" tanya Arandita. Bastian harus tahu, Arandinta lebih tidak menginginkan pernikahan ini dibandingkan dirinya."Semua ada alasannya, dan suatu saat kau akan mengerti.""Ternyata adik dan kakak sama saja, suka mempermainkan wanita," geram Arandita sambil mengepalkan tangan. Entah kenapa dia tidak suka dengan jalan pikiran Bastian, meskipun dia masih belum bisa mencintai pria itu dan melepaskan Bobby di hatinya, tetapi Arandita kecewa dengan sikap Bastian. Entah kenapa hati Arandita mulai berharap pada Bastian."Kau keberatan?" tanya Bastian dengan tatapan dingin dan senyum yang seakan menusuk ke dalam hati Arandita."Tidak ... dengan suka hati," ujar Arandita sambil meraih pulpen dan membubuhkan tanda tangan. Dia tidak ingin Bastian menganggap dirinya berharap lebih pada pernikahan kontrak tersebut."Ini!" Arandita mengembalikan map di tangan setelah selesai menandatangani."Ini ada satu lagi," ucap Bastian lalu mengeluarkan kertas dari dalam map."Tapi tak usah kau tanda-tangani, cukup kau simpan sebagai pengingat bahwa ada aturan yang harus kamu lakukan selama menjadi istriku."Bastian memberikan kertas tersebut kemudian menandatangani surat perjanjian yang ada di tangannya sendiri. Setelahnya ia melenggang begitu saja keluar dari kamar dan membiarkan Arandita diam terpaku. Menatap kepergian Bastian dengan pikiran kosong.Sepeninggal Bastian, ada satu benda yang mencuri perhatian Arandita. Dengan langkah pelan gadis itu menghampiri lukisan yang tergantung di dinding kamar dan meraihnya."Sepertinya aku pernah melihat wajah Wanita ini." Arandita menatap lukisan itu dengan seksama sedangkan otaknya bekerja keras mengingat wanita cantik nan seksi yang ada dalam bingkai."Bukankah wanita ini adalah model yang pernah ditemukan tewas di sungai? Apa jangan-jangan–" Arandita segera menutup mulut kala pikiran buruk menyergap otaknya. Di saat yang sama pula ia melihat foto beberapa wanita tergantung di dinding, dimana pada wajah mereka diberi tanda silang merah dan anehnya foto dirinya ada diantara foto para wanita itu.Dalam kegelisahan, bunyi ponsel Arandita memecah kesunyian kamar."Ya, Halo!""Kau boleh menempati kamarku, tapi perlu diingat jangan pernah menyentuh barang-barang tanpa izin dariku!"Ponsel langsung dimatikan secara sepihak tanpa memberikan waktu untuk Arandita menjawab.Arandita terbelalak."Bagaimana mungkin dia tahu nomorku dan saat ini aku juga sedang menyentuh lukisannya?" Arandita menghela nafas berat."Oh Tuhan! Kalau tahu akan begini mending aku kabur saja dari acara pernikahan kemarin. Ah kabur sekarang juga nggak apa-apa, 'kan?"[Jangan coba-coba kabur dariku!]Arandita melotot melihat chat yang dikirimkan oleh Bastian."Bagaimana dia bisa tahu isi pikiranku? Dia bukan psikopat yang bisa membaca pikiran mangsanya, 'kan?" batin Arandita.Arandita melangkah ke arah pintu dan menguncinya dari dalam. Setelah itu terduduk lemas di pinggir ranjang lalu memikirkan nasib hidup kedepannya. Ia meraih kertas yang diabaikan sedari tadi dan membaca dengan seksama agar ia tidak lupa dengan aturan yang dibuat Bastian dalam surat perjanjian tersebut, walaupun kenyataannya dia tidak bisa fokus akibat foto dirinya juga ada dalam deretan foto tadi.Selesai ia langsung berjalan ke arah koper dan membuka kemudian menaruh pakaian miliknya ke dalam lemari yang sudah kosong. Sepertinya Bastian sudah menyuruh orang lain untuk melakukan hal itu.Saat mengeluarkan pakaian, gerakan tangan Arandita terhenti pada sebuah kotak di dalam koper dan membuka, kalung berlian dengan liontin berwarna zamrud menyala di depan wajah. Arandita menatap dengan sendu benda yang menjadi mas kawin dalam pernikahannya dengan Bastian. Mas kawin yang seharusnya diserahkan oleh Bobby padanya."Kau begitu indah, tapi sayang tak seindah kisah cintaku," gumam Arandita lalu meletakkan kembali perhiasan itu ke dalam kotak dan menutupnya. Saat itu pula Arandita sadar ada cincin yang tengah melingkar di jarinya."Arrrgh! Kenapa aku tidak sadar?"Bersamaan dengan itu pintu kamar tampak diketuk dari luar.Arandita mendesah kasar sebelum akhirnya bangkit berdiri dan melangkah ke arah pintu. Dengan pelan tangannya menyentuh handle dan membuka pintu."Mas Bastian?" Arandita tampak kaget sedangkan Bastian langsung nyelonong masuk ke dalam kamar."Bersiap-siaplah kau harus ikut ke kantor denganku!""Ada acara apa?""Nanti kau juga akan tahu."Arandita mengangguk pasrah lalu melangkah ke arah lemari untuk mengambil pakaian ganti. Sebelumnya ia mengambil kotak perhiasan tadi dan menaruhnya ke dalam lemari, di tengah-tengah lipatan baju-bajunya."Kenapa tidak dipakai?""Tidak, aku tidak ingin teringat pada–""Bobby?"Arandita mengangguk pelan."Sebenarnya semua yang menyiapkan kebutuhan pernikahan Bobby adalah aku, termasuk mas kawin dan cincin kawinnya," jelas Bastian dengan suara datar.Arandita terhenyak, tetapi sesaat kemudian paham karena Bobby memang pria yang manja dimana dia hanya perlu memerintah dan semua yang diminta harus ada di depan mata. Kadang Arandita bingung mengapa dirinya bisa mencintai pria seperti Bobby."Terserah kamu mau pakai atau tidak, tetapi untuk cincin kawin kamu harus tetap memakainya sampai pernikahan kita benar-benar berakhir!""Aku paham."Bastian mengangguk."Bersiap-siaplah, aku tunggu di luar!" Tanpa menunggu jawaban Arandita, pria itu kembali keluar dari kamar dan memilih menunggu di ruang tamu.Arandita yang tidak ingin Bastian menunggu lama langsung bergegas berganti pakaikan dan mengoleskan make up tipis-tipis. Setelahnya ia langsung menemui Bastian."Sudah siap?" tanya Bastian saat Arandita mendekat ke arahnya tanpa mau menatap wajah sang istri."Siap," jawab Arandita disertai anggukan.Bastian pun mengangguk kemudian mendahului Arandita keluar dari rumah dan masuk ke dalam mobil. Di sana sudah ada sopir yang langsung siaga mengendarai mobil Bastian menuju kantor.Sampai di depan kantor, Bastian turun terlebih dulu dari mobil dan membukakan pintu mobil untuk Arandita. Para karyawan yang menatap kedatangan mereka hanya terhenyak melihat Bastian datang dengan seorang wanita."Maaf," ucap Bastian sebelum menggenggam tangan Arandita dan menggandengnya masuk ke dalam kantor."Pagi, Pak!"Bastian menatap mereka lalu menjawab sapaan para karyawannya hanya dengan anggukan.Bisik-bisik para karyawan mulai terdengar, asumsi yang berbeda pun mulai keluar dari mulut-mulut mereka, bahkan mereka seolah menatap Arandita penuh selidik. Namun, Arandinta sendiri sama sekali tidak menggubris dengan lebih memilih melihat keadaan kantor yang begitu luas dan mewah itu."Rafi sudah kau siapkan semua?" tanya Bastian saat sang asisten menghampiri dirinya."Sudah Pak, Pak Pram juga sudah membantu dalam hal ini," ujar Rafi lalu mengekor di belakang Bastian sedangkan Arandita tampak berpikir apakah gerangan yang membuat Bastian harus mengajak dirinya ke kantor.Bastian baru melepaskan tangan Arandita saat mereka sampai di dalam ruangannya."Akan ada acara apa di sini?" Arandita tidak lagi bisa menahan rasa penasarannya."Acara untuk mengenalkanmu sebagai istriku."Arandita terbelalak."Apakah ini penting? Bukankah pernikahan kita hanya sebatas pernikahan kontrak?""Penting bagiku dan jangan pernah katakan status itu di tempat yang tidak hanya ada kita berdua!" tegas Bastian membuat Arandita berpikir apa maunya pria itu.Apa iya air susunya tidak enak? Kalau iya kenapa baru sekarang hal ini terjadi? Kenapa tidak sebelumnya Brian menolak ASI-nya? "Sabar Non, Nyonya besar hanya salah bicara, beliau tidak bermaksud membuat Non Aran sedih." "Iya Bik." Arandita mencoba tersenyum meskipun wajahnya masih terlihat pias. Bagaimanapun dia tidak bisa menyembunyikan raut kekecewaannya. "Kalau masih menyusui jangan makan sembarangan, itu ngaruh pada kesehatan anak," ucap nenek lagi dan Arandita hanya manggut-manggut tanpa mau protes sedikitpun. "Atau kamu masuk angin? Bik tolong ambil kerokan dan minyak kayu putih! Biasanya kalau Bastian memuntahkan air susu waktu kecil Amira meminta tolong untuk dikerokin dan akhirnya Bastian mau menyusu lagi." "Oh jadi Mas Bastian juga pernah begini Nek?" Anggukan nenek membuat Arandita dapat menghembuskan nafas lega. Baginya mungkin Brian menurun dari papanya. Bik Lin datang dengan tergesa-gesa dengan benda yang diminta oleh nenek. "Ayo dibuka bajunya biar Brian di
Agresia tidak menggubris seruan Arandita dan malah bergerak cepat menuju pagar rumah yang terbuka lebar. "Cegah dia jangan sampai kabur!" perintah Bastian pada beberapa anak buahnya. Tidak menunggu lama pintu pagar sudah ditutup dan Agresia kebingungan untuk keluar dari pekarangan rumah tersebut. "Gres tunggu!" Akhirnya Arandita bisa menangkap tangan Agresia. "Apa kabar kamu?" "Seperti yang kamu lihat Aran, maaf kalau aku ikut numpang makan di tempat ini. Aku tidak tahu kalau ini adalah rumahmu. Aku pikir kamu masih tinggal di rumah papa." Agresia menunduk dan meremas kedua tangannya. "Tidak masalah siapapun bebas makan di tempat ini karena ini adalah acara syukuran anak pertama kami. makanya pintu pagar kami dibiarkan terbuka lebar biar siapa saja boleh masuk." "Oh ya, selamat ya!" "Makasih." "Jangan pergi, bergabunglah dengan kami semua." "Maafkan atas semua kesalahanku di masa lalu Aran, Aku menyesal sekarang." Arandita menatap Agresia dengan pandangan iba kemudia
"Bastian!" Leo menatap wajah Bastian dengan tatapan sendu. "Maaf aku baru bisa kemari. Istriku melahirkan dan baru saja sadar dari pingsannya." "Arandita pingsan?" Bastian mengangguk. "Tapi sudah enakan." "Lebih baik kamu nggak usah kemari, jangan tinggalkan Arandita sendirian, nanti kalau ada apa-apa bagaimana?" "Ada Bik Lin dan juga papa." Leo menatap Bastian kemudian pada Bobby yang mengangguk kecil. "Paman Pramoedya ... tolong sampaikan maafku pada beliau atas kesalahan Mommy. Semasa hidup Mommy mengatakan ingin meminta maaf langsung pada Paman Pram, sayangnya beliau tidak mau datang menemui Mommy. Saat kami mencoba menemui, beliau selalu menghindar. Aku mengerti beliau masih marah sama perbuatan mommy. Selama tinggal bersamaku mommy mengatakan menyesal melakukan itu semua. Tolong ya Bas bujuk paman Pram agar mau memaafkan mommy biar jenasahnya bisa tenang." Bastian menepuk bahu Leo. "Nanti aku sampaikan. Kamu tidak perlu memikirkan yang lain urus saja pemakaman mom
Saat dokter sedang memeriksa Arandita tangis bayinya mereda. Hal itu membuat suster langsung menaruh bayinya ke dalam box bayi. Namun hal itu tidak membuat otot-otot Bastian yang tegang kembali rileks. Dia masih belum bisa bernafas dengan tenang selama kondisi istrinya belum dinyatakan membaik. "Bagaimana Dokter?" tanya Bastian masih dengan wajah pucat karena rasa khawatir yang berlebihan. "Tuan tenang saja sebentar lagi Nyonya Arandita akan sadar." "Saya tidak bisa tenang jika Istri saya belum siuman," ucap Bastian kesal. Bagaimana mungkin dokter menyuruh dirinya tenang sementara Arandita masih belum sadar dari pingsannya. "Sebentar lagi, tidak ada yang serius pada diri pasien mungkin hanya kelelahan saja." Bastian tidak menunjukkan ekspresi apa-apa. Dia hanya menelpon Bik Lin dan memintanya untuk datang ke rumah sakit. Dia perlu teman untuk menunggui Arandita dan bayinya. Saat Bik Lin meminta sopir untuk mengantarkan dirinya ke rumah sakit Pramoedya mendengarnya lalu me
"Sudah apanya?" tanya Bastian tidak sadar. "Sudah dijahit," jawab dokter seraya tersenyum ramah. "Oh." Bastian manggut-manggut. "Ini Tuan putranya, silahkan diadzani," ucap suster menyerahkan bayi yang baru lahir itu ke tangan Bastian. Ternyata bayinya sudah selesai dibersihkan. Bastian menerima bayi tersebut dan mengadzaninya. Selama melantunkan kalimat adzan Arandita terdiam menghayati kalimat tersebut. Ia terharu sampai menitikkan air mata karena telah dipercayakan oleh Tuan untuk merawat seorang anak yang lahir dari rahimnya sendiri. Sungguh itu adalah rezeki yang tidak terkira. Ditambah lantunan suara adzan dari bibir Bastian mengalun merdu dan syahdu. Arandita tidak menyangka suara Bastian begitu indah dan lembut menyentuh pendengaran. Suaminya itu seolah muadzin yang kerapkali mengumandangkan adzan di masjid-masjid. Setelah selesai Bastian mengecup kening putranya. "Selama datang jagoan Ayah! Selamat bergabung di keluarga kecil kita." "Sekarang dia harus di IMD Tuan,"
"Pasti, kami akan berusaha semaksimal mungkin Tuan. Tuan tenang saja saya lihat keadaan istri Anda tidak ada masalah dengan kesehatan maupun kandungannya. Jadi insyaallah proses persalinannya akan berjalan lancar." "Aaamiin ya Allah. Saya boleh menemani istri saya Dok?" "Oh tentu saja boleh, ini bisa menjadi semangat juga untuk istri Anda." Bastian mengangguk dan dokter mempersilahkan Bastian untuk ikut masuk sebelum akhirnya menutup pintu. Kini Bastian dan Arandita berada dalam ruang persalinan dibantu oleh seorang dokter dan seorang perawat. Arandita meringis kesakitan kala perutnya mengalami kontraksi kembali. "Aduh sakit Mas," rintihnya lalu kembali turun dari tempat tidur dan berjalan ke sana kemari sambil menahan rasa sakit. "Rasanya aku nggak tahan dengan sakitnya," keluh Arandita, bahkan perempuan itu duduk berdiri duduk berdiri untuk meminimalisir rasa sakit. "Kalau sakit itu tandanya normal karena ada pergerakan dari bayinya. Justru kalau tidak sakit itu yang perlu