Share

Bab 3. Hadiah dari Bastian

Penulis: Imamah Nur
last update Terakhir Diperbarui: 2023-10-19 19:42:00

"Oke," ujar Arandita berusaha untuk cuek dengan apapun yang akan dilakukan oleh Bastian selama tidak merugikan dirinya, terutama cuek pada wanita yang membawakan minuman untuk Bastian sambil menatap dirinya dengan pandangan meremehkan. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Arandinta tahu bahwa wanita dengan penampilan seksi itu sama sekali tidak menyukai dirinya.

"Kalau dari penampilan kayaknya dia bukan OB di sini deh. Ah biarkan saja, bodoh amat dengan manusia-manusia yang tidak suka denganku. Yang penting aku tidak pernah berbuat jahat pada orang lain," lirih Arandita lalu mengalihkan perhatiannya pada pemandangan luar lewat dinding kaca di ruangan tersebut.

Pemandangan luar yang sangat menakjubkan dilihat dari atas membuat Arandita tidak mau berpaling. Dia juga tidak ingin tahu apa yang dibicarakan Bastian dengan bawahannya itu.

"Ayo ikut aku!" Tiba-tiba wanita yang melangkah ke arah Bastian tadi menarik tangan Arandita. Arandita melirik ke kursi kebesaran Bastian, tenyata pria itu sudah tidak ada di sana.

Arandita ikut saja karena wanita itu menjelaskan bahwa apa yang dilakukan adalah perintah dari Bastian yang tidak boleh dibantah. Wanita tadi membawa Arandita ke sebuah salon yang berada di seberang jalan dari kantor Bastian.

Di sana, Arandita mendapatkan pelayan terbaik, baik dari perawatan tubuh maupun rambut, walaupun awalnya Arandita keberatan karena rambutnya harus dipotong lebih pendek dari biasanya.

"Kau harus berpenampilan cantik, jangan mempermalukan suami dengan penampilan kucelmu itu. Sebenarnya kau tidak pantas mendampingi hidup Pak Bastian, merepotkan sekali!" ketus wanita tadi yang Arandita tengarai adalah sekretaris dari Bastian saat Arandita menolak untuk potong rambut. Wanita itu memerintah dengan keras termasuk saat meminta Arandita untuk memakai baju yang telah dipilihkan olehnya.

Saat kembali ke kantor semua karyawan sudah menyambut kedatangan dirinya karena saat itu juga Bastian langsung memperkenalkan dirinya sebagai Nyonya Bastian.

"Kemana lagi?" tanya Arandita saat pulang dari kantor bukannya diantar ke rumah malah dibawa ke tempat lain.

Bastian tidak menjawab, dia berpikir biarlah waktu yang akan menjawab pertanyaan Arandita

"Pembukaan kafe?" gumam Arandita, tidak berani bertanya karena pertanyaan sebelumnya tidak mendapatkan jawaban.

"Iya Nona, sekarang peresmian pembukaan kafe baru ini." Rafi yang menjawab karena Bastian enggan bersuara.

"Oh."

"Ayo silahkan digunting pitanya!" pinta seorang karyawan yang sudah menunggu Bastian dan Arandita sedari tadi.

"Nona, silahkan!" Rafi memberikan gunting pada Arandita.

"Saya? Saya yang akan melakukannya?" tanya Arandita bingung.

"Iya Nona, kafe ini juga Pak Bastian persembahkan untuk Anda."

Arandita terhenyak lalu menatap Bastian tidak percaya dan pria itu hanya mengangguk.

"Ini sebagai hadiah untuk Nona karena sudah patuh pada perintah Pak Bastian," lanjut Rafi lalu memberikan surat kepemilikan dari kafe tersebut ke tangan Arandita.

"Tunggu! Apa maksudnya ini?" batin Arandita.

Arandita nampak bingung, tetapi tetap saja menerima gunting dan memotong pita.

"Kelola dan jangan kembali ke pekerjaan lamamu!"

Sekali lagi Arandita hanya bisa mengangguk. Apapun itu, sepertinya ia harus mengikuti permainan Bastian. Selesai menikmati makanan gratis bersama para pengunjung Arandita langsung diantar pulang.

Sampai di rumah, setelah Bastian pergi, Arandita merenung seorang diri. Ia kemudian memikirkan nasib hidup kedepannya. Saat ini dia harus kehilangan rambut panjang kesayangan, entah di masa depan apalagi yang ingin Bastian ambil darinya. Hanya dengan sebuah gunting Bastian seolah mampu membolak-balikkan hati Arandita. Awalnya dia menciptakan kesedihan lalu kebahagiaan karena telah memberikan kepercayaan untuk mengelola kafe miliknya sendiri.

"Ah, seandainya Bobby yang seperti ini," gumam Arandita lalu menangis tatkala mengingat Bobby telah berselingkuh dengan sahabat karibnya.

Lama menangis akhirnya ia terlelap, hingga pintu diketuk dari luar barulah ia terbangun dari tidurnya.

"Nona Aran, sekarang waktunya makan malam Non!" seru bibi sambil terus mengetuk pintu dari luar.

"Aran tidak mau makan Bik Lin!" Beberapa kali datang ke rumah itu membuat Arandita tahu suara siapa yang di luar sekarang.

"Tapi Den Bastian tadi menelpon dan menyuruh supaya bibi memastikannya Non Aran tidak telat makan."

"Mas, Bastian?"

"Iya, Non."

"Ternyata perhatian juga tuh orang, tapi apa mau dia yang sebenarnya?" gumam Arandita yang memang dibuat bingung dengan sikap Bastian seharian ini. Sehari saja Arandita merasa stres memikirkan sikap Bastian, bagaimana kalau sampai setahun? Wanita itu hanya berharap Tuhan akan selalu melindungi dirinya apapun yang terjadi ke depannya.

Arandita langsung mengingat akan perjanjian yang baru ia tandatangani pagi tadi. Di sana jelas tertulis kalau Bastian akan memastikan keadaan Arandita sehat-sehat saja sampai pria itu mengembalikan Arandita pada kedua orangtuanya, dan Arandita sendiri harus mengikuti perintah Bastian selama tinggal di sana. Sepertinya ia memang harus mengikuti perintah Bastian agar bisa kembali ke orang tua dalam keadaan selamat.

"Baiklah," sahut Arandita lalu dengan malas turun dari ranjang dan melangkah keluar kamar. Bik Lin tersenyum melihat wanita itu akhirnya keluar juga.

"Nona menangis?" tanya Bik Lin saat melihat mata Arandita terlihat bengkak.

Arandita memilih tidak menjawab agar pertanyaan Bik Lin tidak semakin melebar.

"Percayalah Non, Den Bastian lebih baik daripada Den Bobby," ucap Bik Lin seakan memberikan pendapat bahwa pilihan menikahkan Arandita dengan Bastian adalah hal yang paling benar.

"Bibi tidak tahu apapun," ucap Arandita seraya terus mengikuti langkah Bik Lin menuju meja makan.

"Bibi tahu Non karena tinggal bersama mereka sedari mereka kecil."

"Andai bibi tahu bahwa Mas Bastian menyepelekan yang namanya pernikahan, apakah tanggapan bibi tentang pria itu masih akan sama? Ah sudahlah, tak penting juga. Lagipula aku tidak mencintai dan tidak akan pernah mencintainya. Seharusnya, sekarang aku senang dengan surat perjanjian itu. Satu tahun waktu yang cukup demi membuat ayah dan ibu tidak terlalu kaget dan membungkam mulut-mulut tetangga yang suka nyiyir," batin Arandita.

"Silahkan makan Non, Bibi tinggal dulu!"

Setelah melihat anggukan dari Arandita, Bibi Lin langsung meninggalkan wanita itu.

"Eh Bik, tunggu!"

Sontak Bik Lin langsung menghentikan langkah.

"Ya Non, ada apa?"

"Emm ... lukisan yang ada di kamar Mas Bastian ... Bibi tahu siapa dia?"

Bik Lin tampak termenung sebelum akhirnya menjawab.

"Kekasih Den Bastian, tapi tenanglah, mereka sudah putus. Kalau tidak ada yang mau ditanyakan lagi bibi permisi." Tanpa menunggu respon dari Arandita, wanita setengah baya itu langsung beranjak pergi.

"Aneh, apakah Bik Lin tidak tahu kalau wanita itu sudah tiada dan fotoku juga ada di sana? Pembantu sama majikan benar-benar mencurigakan."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Destri Yanti
hah jangan jangan :o
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Pernikahan Kontrak dengan Presdir Tampan    Bab 144. Ending

    Apa iya air susunya tidak enak? Kalau iya kenapa baru sekarang hal ini terjadi? Kenapa tidak sebelumnya Brian menolak ASI-nya? "Sabar Non, Nyonya besar hanya salah bicara, beliau tidak bermaksud membuat Non Aran sedih." "Iya Bik." Arandita mencoba tersenyum meskipun wajahnya masih terlihat pias. Bagaimanapun dia tidak bisa menyembunyikan raut kekecewaannya. "Kalau masih menyusui jangan makan sembarangan, itu ngaruh pada kesehatan anak," ucap nenek lagi dan Arandita hanya manggut-manggut tanpa mau protes sedikitpun. "Atau kamu masuk angin? Bik tolong ambil kerokan dan minyak kayu putih! Biasanya kalau Bastian memuntahkan air susu waktu kecil Amira meminta tolong untuk dikerokin dan akhirnya Bastian mau menyusu lagi." "Oh jadi Mas Bastian juga pernah begini Nek?" Anggukan nenek membuat Arandita dapat menghembuskan nafas lega. Baginya mungkin Brian menurun dari papanya. Bik Lin datang dengan tergesa-gesa dengan benda yang diminta oleh nenek. "Ayo dibuka bajunya biar Brian di

  • Pernikahan Kontrak dengan Presdir Tampan    Bab 143. Penolakan.

    Agresia tidak menggubris seruan Arandita dan malah bergerak cepat menuju pagar rumah yang terbuka lebar. "Cegah dia jangan sampai kabur!" perintah Bastian pada beberapa anak buahnya. Tidak menunggu lama pintu pagar sudah ditutup dan Agresia kebingungan untuk keluar dari pekarangan rumah tersebut. "Gres tunggu!" Akhirnya Arandita bisa menangkap tangan Agresia. "Apa kabar kamu?" "Seperti yang kamu lihat Aran, maaf kalau aku ikut numpang makan di tempat ini. Aku tidak tahu kalau ini adalah rumahmu. Aku pikir kamu masih tinggal di rumah papa." Agresia menunduk dan meremas kedua tangannya. "Tidak masalah siapapun bebas makan di tempat ini karena ini adalah acara syukuran anak pertama kami. makanya pintu pagar kami dibiarkan terbuka lebar biar siapa saja boleh masuk." "Oh ya, selamat ya!" "Makasih." "Jangan pergi, bergabunglah dengan kami semua." "Maafkan atas semua kesalahanku di masa lalu Aran, Aku menyesal sekarang." Arandita menatap Agresia dengan pandangan iba kemudia

  • Pernikahan Kontrak dengan Presdir Tampan    Bab 142. Bertemu Kembali

    "Bastian!" Leo menatap wajah Bastian dengan tatapan sendu. "Maaf aku baru bisa kemari. Istriku melahirkan dan baru saja sadar dari pingsannya." "Arandita pingsan?" Bastian mengangguk. "Tapi sudah enakan." "Lebih baik kamu nggak usah kemari, jangan tinggalkan Arandita sendirian, nanti kalau ada apa-apa bagaimana?" "Ada Bik Lin dan juga papa." Leo menatap Bastian kemudian pada Bobby yang mengangguk kecil. "Paman Pramoedya ... tolong sampaikan maafku pada beliau atas kesalahan Mommy. Semasa hidup Mommy mengatakan ingin meminta maaf langsung pada Paman Pram, sayangnya beliau tidak mau datang menemui Mommy. Saat kami mencoba menemui, beliau selalu menghindar. Aku mengerti beliau masih marah sama perbuatan mommy. Selama tinggal bersamaku mommy mengatakan menyesal melakukan itu semua. Tolong ya Bas bujuk paman Pram agar mau memaafkan mommy biar jenasahnya bisa tenang." Bastian menepuk bahu Leo. "Nanti aku sampaikan. Kamu tidak perlu memikirkan yang lain urus saja pemakaman mom

  • Pernikahan Kontrak dengan Presdir Tampan    Bab 141. Kita Akan Selalu Bersama

    Saat dokter sedang memeriksa Arandita tangis bayinya mereda. Hal itu membuat suster langsung menaruh bayinya ke dalam box bayi. Namun hal itu tidak membuat otot-otot Bastian yang tegang kembali rileks. Dia masih belum bisa bernafas dengan tenang selama kondisi istrinya belum dinyatakan membaik. "Bagaimana Dokter?" tanya Bastian masih dengan wajah pucat karena rasa khawatir yang berlebihan. "Tuan tenang saja sebentar lagi Nyonya Arandita akan sadar." "Saya tidak bisa tenang jika Istri saya belum siuman," ucap Bastian kesal. Bagaimana mungkin dokter menyuruh dirinya tenang sementara Arandita masih belum sadar dari pingsannya. "Sebentar lagi, tidak ada yang serius pada diri pasien mungkin hanya kelelahan saja." Bastian tidak menunjukkan ekspresi apa-apa. Dia hanya menelpon Bik Lin dan memintanya untuk datang ke rumah sakit. Dia perlu teman untuk menunggui Arandita dan bayinya. Saat Bik Lin meminta sopir untuk mengantarkan dirinya ke rumah sakit Pramoedya mendengarnya lalu me

  • Pernikahan Kontrak dengan Presdir Tampan    Bab 140. Hari Kelahiran dan Kematian

    "Sudah apanya?" tanya Bastian tidak sadar. "Sudah dijahit," jawab dokter seraya tersenyum ramah. "Oh." Bastian manggut-manggut. "Ini Tuan putranya, silahkan diadzani," ucap suster menyerahkan bayi yang baru lahir itu ke tangan Bastian. Ternyata bayinya sudah selesai dibersihkan. Bastian menerima bayi tersebut dan mengadzaninya. Selama melantunkan kalimat adzan Arandita terdiam menghayati kalimat tersebut. Ia terharu sampai menitikkan air mata karena telah dipercayakan oleh Tuan untuk merawat seorang anak yang lahir dari rahimnya sendiri. Sungguh itu adalah rezeki yang tidak terkira. Ditambah lantunan suara adzan dari bibir Bastian mengalun merdu dan syahdu. Arandita tidak menyangka suara Bastian begitu indah dan lembut menyentuh pendengaran. Suaminya itu seolah muadzin yang kerapkali mengumandangkan adzan di masjid-masjid. Setelah selesai Bastian mengecup kening putranya. "Selama datang jagoan Ayah! Selamat bergabung di keluarga kecil kita." "Sekarang dia harus di IMD Tuan,"

  • Pernikahan Kontrak dengan Presdir Tampan    Bab 139. Melahirkan

    "Pasti, kami akan berusaha semaksimal mungkin Tuan. Tuan tenang saja saya lihat keadaan istri Anda tidak ada masalah dengan kesehatan maupun kandungannya. Jadi insyaallah proses persalinannya akan berjalan lancar." "Aaamiin ya Allah. Saya boleh menemani istri saya Dok?" "Oh tentu saja boleh, ini bisa menjadi semangat juga untuk istri Anda." Bastian mengangguk dan dokter mempersilahkan Bastian untuk ikut masuk sebelum akhirnya menutup pintu. Kini Bastian dan Arandita berada dalam ruang persalinan dibantu oleh seorang dokter dan seorang perawat. Arandita meringis kesakitan kala perutnya mengalami kontraksi kembali. "Aduh sakit Mas," rintihnya lalu kembali turun dari tempat tidur dan berjalan ke sana kemari sambil menahan rasa sakit. "Rasanya aku nggak tahan dengan sakitnya," keluh Arandita, bahkan perempuan itu duduk berdiri duduk berdiri untuk meminimalisir rasa sakit. "Kalau sakit itu tandanya normal karena ada pergerakan dari bayinya. Justru kalau tidak sakit itu yang perlu

  • Pernikahan Kontrak dengan Presdir Tampan    Bab 138. Kontraksi

    Beberapa bulan kemudian Bastian baru pulang ke rumah setelah malam sudah semakin larut. "Kemana aja sih Mas, baru pulang. Dari tadi perutku sakit terus ini," protes Arandita sambil menyalami tangan Bastian lalu membantu membuka jas suaminya. "Biar aku yang naruh tasnya. Sekarang masih sakit?" "Nggak, mungkin karena sudah melihat papanya datang anak kita kembali anteng." "Ternyata kangen juga dia sama papanya ini. Sorry ya Sayang tadi lupa ngabarin, tadi aku sibuk banget. Abis nganterin Rafi ke panti asuhan terus ke rumah sakit," jelas Bastian lalu mencium perut istrinya yang buncit. "Papa kangen sama kamu. Jangan nakal sama mama, kasihan dia sudah gendong kamu selama 8 bulan lebih." Bastian lalu mengusap perut Arandita dengan lembut. "Waduh dia nendang Sayang, mungkin kesal dan mau ikutan protes karena papanya pulang telat," ucap Bastian lalu terkekeh. "Mas ke panti asuhan jenguk putranya Friska?" Bastian mengangguk. "Rafi mau menjemput dia kembali setelah dititipkan pada

  • Pernikahan Kontrak dengan Presdir Tampan    Bab 137. Suami Siaga

    Akibat janjinya pada Arandita akhirnya Bastian mengalah dan memilih tinggal di rumah Pramoedya untuk beberapa hari ke depan sebab di sana banyak orang yang bisa dimintai tolong untuk mengawasi istrinya yang hamil selama dia pergi ke kantor. Jangan lupakan bahwa Arandita menginginkan makan masakan Bobby setiap hari dan Bastian sudah menyetujuinya dalam waktu 7 hari saja. Oleh karena itu agar lebih mudah dalam mengabulkan permintaan Arandita Bastian memilih tinggal di rumah lamanya ini. "Abang yang punya istri kok saya yang dipaksa masak terus?" Kadang Bobby juga protes saat Bastian meminta Bobby menyiapkan makanan untuk Arandita di pagi-pagi buta padahal pria itu masih mengantuk. "Ya mau gimana lagi orang itu ponakan kamu yang menginginkan, mau punya ponakan ileran?!" Begitulah selalu jawaban Bastian yang membuat Bobby mendesah kasar lalu melakukan apa yang diminta oleh Bastian. Selama Bobby memasak Bastian menemani di dapur bahkan terkadang keduanya bekerjasama jika dirasa Bobby sa

  • Pernikahan Kontrak dengan Presdir Tampan    Bab 136. Badmood

    "Ya Allah Sayang, aku jadi bingung harus bahagia atau sedih ini?" Bastian benar-benar bingung, di satu sisi dia senang akan segera mendapatkan momongan Namun, di sisi lainnya dia juga sedih karena dengan kehamilan Arandita membuat dirinya harus menjauh dari sang istri. Sepertinya bayi dalam kandungan Arandita tidak menyukai ayahnya sendiri karena selalu merasa bau saat berdekatan dengannya. "Pokoknya Mas tunggu di situ aja, nggak usah masuk kamar mandi!" Arandita menunjuk ke sisi Bastian. Bastian langsung tidak bergerak. Arandita masuk ke dalam kamar mandi dan muntah-muntah di sana. Bastian menatap punggung Arandita dengan rasa iba. Ia ingin berbuat seperti suami yang lainnya yang siap siaga dan memijit belakang leher istrinya yang sedang muntah, tetapi apa daya Arandita malah melarangnya dan Bastian sendiri tidak mau Arandita semakin muntah jika dirinya mendekat. Saat selesai muntah Arandita mengibaskan tangan agar Bastian menyingkir dari tempatnya berdiri saat ini. "Ngenes ama

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status