Share

Bab 3. Hadiah dari Bastian

"Oke," ujar Arandita berusaha untuk cuek dengan apapun yang akan dilakukan oleh Bastian selama tidak merugikan dirinya, terutama cuek pada wanita yang membawakan minuman untuk Bastian sambil menatap dirinya dengan pandangan meremehkan. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Arandinta tahu bahwa wanita dengan penampilan seksi itu sama sekali tidak menyukai dirinya.

"Kalau dari penampilan kayaknya dia bukan OB di sini deh. Ah biarkan saja, bodoh amat dengan manusia-manusia yang tidak suka denganku. Yang penting aku tidak pernah berbuat jahat pada orang lain," lirih Arandita lalu mengalihkan perhatiannya pada pemandangan luar lewat dinding kaca di ruangan tersebut.

Pemandangan luar yang sangat menakjubkan dilihat dari atas membuat Arandita tidak mau berpaling. Dia juga tidak ingin tahu apa yang dibicarakan Bastian dengan bawahannya itu.

"Ayo ikut aku!" Tiba-tiba wanita yang melangkah ke arah Bastian tadi menarik tangan Arandita. Arandita melirik ke kursi kebesaran Bastian, tenyata pria itu sudah tidak ada di sana.

Arandita ikut saja karena wanita itu menjelaskan bahwa apa yang dilakukan adalah perintah dari Bastian yang tidak boleh dibantah. Wanita tadi membawa Arandita ke sebuah salon yang berada di seberang jalan dari kantor Bastian.

Di sana, Arandita mendapatkan pelayan terbaik, baik dari perawatan tubuh maupun rambut, walaupun awalnya Arandita keberatan karena rambutnya harus dipotong lebih pendek dari biasanya.

"Kau harus berpenampilan cantik, jangan mempermalukan suami dengan penampilan kucelmu itu. Sebenarnya kau tidak pantas mendampingi hidup Pak Bastian, merepotkan sekali!" ketus wanita tadi yang Arandita tengarai adalah sekretaris dari Bastian saat Arandita menolak untuk potong rambut. Wanita itu memerintah dengan keras termasuk saat meminta Arandita untuk memakai baju yang telah dipilihkan olehnya.

Saat kembali ke kantor semua karyawan sudah menyambut kedatangan dirinya karena saat itu juga Bastian langsung memperkenalkan dirinya sebagai Nyonya Bastian.

"Kemana lagi?" tanya Arandita saat pulang dari kantor bukannya diantar ke rumah malah dibawa ke tempat lain.

Bastian tidak menjawab, dia berpikir biarlah waktu yang akan menjawab pertanyaan Arandita

"Pembukaan kafe?" gumam Arandita, tidak berani bertanya karena pertanyaan sebelumnya tidak mendapatkan jawaban.

"Iya Nona, sekarang peresmian pembukaan kafe baru ini." Rafi yang menjawab karena Bastian enggan bersuara.

"Oh."

"Ayo silahkan digunting pitanya!" pinta seorang karyawan yang sudah menunggu Bastian dan Arandita sedari tadi.

"Nona, silahkan!" Rafi memberikan gunting pada Arandita.

"Saya? Saya yang akan melakukannya?" tanya Arandita bingung.

"Iya Nona, kafe ini juga Pak Bastian persembahkan untuk Anda."

Arandita terhenyak lalu menatap Bastian tidak percaya dan pria itu hanya mengangguk.

"Ini sebagai hadiah untuk Nona karena sudah patuh pada perintah Pak Bastian," lanjut Rafi lalu memberikan surat kepemilikan dari kafe tersebut ke tangan Arandita.

"Tunggu! Apa maksudnya ini?" batin Arandita.

Arandita nampak bingung, tetapi tetap saja menerima gunting dan memotong pita.

"Kelola dan jangan kembali ke pekerjaan lamamu!"

Sekali lagi Arandita hanya bisa mengangguk. Apapun itu, sepertinya ia harus mengikuti permainan Bastian. Selesai menikmati makanan gratis bersama para pengunjung Arandita langsung diantar pulang.

Sampai di rumah, setelah Bastian pergi, Arandita merenung seorang diri. Ia kemudian memikirkan nasib hidup kedepannya. Saat ini dia harus kehilangan rambut panjang kesayangan, entah di masa depan apalagi yang ingin Bastian ambil darinya. Hanya dengan sebuah gunting Bastian seolah mampu membolak-balikkan hati Arandita. Awalnya dia menciptakan kesedihan lalu kebahagiaan karena telah memberikan kepercayaan untuk mengelola kafe miliknya sendiri.

"Ah, seandainya Bobby yang seperti ini," gumam Arandita lalu menangis tatkala mengingat Bobby telah berselingkuh dengan sahabat karibnya.

Lama menangis akhirnya ia terlelap, hingga pintu diketuk dari luar barulah ia terbangun dari tidurnya.

"Nona Aran, sekarang waktunya makan malam Non!" seru bibi sambil terus mengetuk pintu dari luar.

"Aran tidak mau makan Bik Lin!" Beberapa kali datang ke rumah itu membuat Arandita tahu suara siapa yang di luar sekarang.

"Tapi Den Bastian tadi menelpon dan menyuruh supaya bibi memastikannya Non Aran tidak telat makan."

"Mas, Bastian?"

"Iya, Non."

"Ternyata perhatian juga tuh orang, tapi apa mau dia yang sebenarnya?" gumam Arandita yang memang dibuat bingung dengan sikap Bastian seharian ini. Sehari saja Arandita merasa stres memikirkan sikap Bastian, bagaimana kalau sampai setahun? Wanita itu hanya berharap Tuhan akan selalu melindungi dirinya apapun yang terjadi ke depannya.

Arandita langsung mengingat akan perjanjian yang baru ia tandatangani pagi tadi. Di sana jelas tertulis kalau Bastian akan memastikan keadaan Arandita sehat-sehat saja sampai pria itu mengembalikan Arandita pada kedua orangtuanya, dan Arandita sendiri harus mengikuti perintah Bastian selama tinggal di sana. Sepertinya ia memang harus mengikuti perintah Bastian agar bisa kembali ke orang tua dalam keadaan selamat.

"Baiklah," sahut Arandita lalu dengan malas turun dari ranjang dan melangkah keluar kamar. Bik Lin tersenyum melihat wanita itu akhirnya keluar juga.

"Nona menangis?" tanya Bik Lin saat melihat mata Arandita terlihat bengkak.

Arandita memilih tidak menjawab agar pertanyaan Bik Lin tidak semakin melebar.

"Percayalah Non, Den Bastian lebih baik daripada Den Bobby," ucap Bik Lin seakan memberikan pendapat bahwa pilihan menikahkan Arandita dengan Bastian adalah hal yang paling benar.

"Bibi tidak tahu apapun," ucap Arandita seraya terus mengikuti langkah Bik Lin menuju meja makan.

"Bibi tahu Non karena tinggal bersama mereka sedari mereka kecil."

"Andai bibi tahu bahwa Mas Bastian menyepelekan yang namanya pernikahan, apakah tanggapan bibi tentang pria itu masih akan sama? Ah sudahlah, tak penting juga. Lagipula aku tidak mencintai dan tidak akan pernah mencintainya. Seharusnya, sekarang aku senang dengan surat perjanjian itu. Satu tahun waktu yang cukup demi membuat ayah dan ibu tidak terlalu kaget dan membungkam mulut-mulut tetangga yang suka nyiyir," batin Arandita.

"Silahkan makan Non, Bibi tinggal dulu!"

Setelah melihat anggukan dari Arandita, Bibi Lin langsung meninggalkan wanita itu.

"Eh Bik, tunggu!"

Sontak Bik Lin langsung menghentikan langkah.

"Ya Non, ada apa?"

"Emm ... lukisan yang ada di kamar Mas Bastian ... Bibi tahu siapa dia?"

Bik Lin tampak termenung sebelum akhirnya menjawab.

"Kekasih Den Bastian, tapi tenanglah, mereka sudah putus. Kalau tidak ada yang mau ditanyakan lagi bibi permisi." Tanpa menunggu respon dari Arandita, wanita setengah baya itu langsung beranjak pergi.

"Aneh, apakah Bik Lin tidak tahu kalau wanita itu sudah tiada dan fotoku juga ada di sana? Pembantu sama majikan benar-benar mencurigakan."

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Destri Yanti
hah jangan jangan :o
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status