"Oke," ujar Arandita berusaha untuk cuek dengan apapun yang akan dilakukan oleh Bastian selama tidak merugikan dirinya, terutama cuek pada wanita yang membawakan minuman untuk Bastian sambil menatap dirinya dengan pandangan meremehkan. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Arandinta tahu bahwa wanita dengan penampilan seksi itu sama sekali tidak menyukai dirinya.
"Kalau dari penampilan kayaknya dia bukan OB di sini deh. Ah biarkan saja, bodoh amat dengan manusia-manusia yang tidak suka denganku. Yang penting aku tidak pernah berbuat jahat pada orang lain," lirih Arandita lalu mengalihkan perhatiannya pada pemandangan luar lewat dinding kaca di ruangan tersebut.Pemandangan luar yang sangat menakjubkan dilihat dari atas membuat Arandita tidak mau berpaling. Dia juga tidak ingin tahu apa yang dibicarakan Bastian dengan bawahannya itu."Ayo ikut aku!" Tiba-tiba wanita yang melangkah ke arah Bastian tadi menarik tangan Arandita. Arandita melirik ke kursi kebesaran Bastian, tenyata pria itu sudah tidak ada di sana.Arandita ikut saja karena wanita itu menjelaskan bahwa apa yang dilakukan adalah perintah dari Bastian yang tidak boleh dibantah. Wanita tadi membawa Arandita ke sebuah salon yang berada di seberang jalan dari kantor Bastian.Di sana, Arandita mendapatkan pelayan terbaik, baik dari perawatan tubuh maupun rambut, walaupun awalnya Arandita keberatan karena rambutnya harus dipotong lebih pendek dari biasanya."Kau harus berpenampilan cantik, jangan mempermalukan suami dengan penampilan kucelmu itu. Sebenarnya kau tidak pantas mendampingi hidup Pak Bastian, merepotkan sekali!" ketus wanita tadi yang Arandita tengarai adalah sekretaris dari Bastian saat Arandita menolak untuk potong rambut. Wanita itu memerintah dengan keras termasuk saat meminta Arandita untuk memakai baju yang telah dipilihkan olehnya.Saat kembali ke kantor semua karyawan sudah menyambut kedatangan dirinya karena saat itu juga Bastian langsung memperkenalkan dirinya sebagai Nyonya Bastian."Kemana lagi?" tanya Arandita saat pulang dari kantor bukannya diantar ke rumah malah dibawa ke tempat lain.Bastian tidak menjawab, dia berpikir biarlah waktu yang akan menjawab pertanyaan Arandita"Pembukaan kafe?" gumam Arandita, tidak berani bertanya karena pertanyaan sebelumnya tidak mendapatkan jawaban."Iya Nona, sekarang peresmian pembukaan kafe baru ini." Rafi yang menjawab karena Bastian enggan bersuara."Oh.""Ayo silahkan digunting pitanya!" pinta seorang karyawan yang sudah menunggu Bastian dan Arandita sedari tadi."Nona, silahkan!" Rafi memberikan gunting pada Arandita."Saya? Saya yang akan melakukannya?" tanya Arandita bingung."Iya Nona, kafe ini juga Pak Bastian persembahkan untuk Anda."Arandita terhenyak lalu menatap Bastian tidak percaya dan pria itu hanya mengangguk."Ini sebagai hadiah untuk Nona karena sudah patuh pada perintah Pak Bastian," lanjut Rafi lalu memberikan surat kepemilikan dari kafe tersebut ke tangan Arandita."Tunggu! Apa maksudnya ini?" batin Arandita.Arandita nampak bingung, tetapi tetap saja menerima gunting dan memotong pita."Kelola dan jangan kembali ke pekerjaan lamamu!"Sekali lagi Arandita hanya bisa mengangguk. Apapun itu, sepertinya ia harus mengikuti permainan Bastian. Selesai menikmati makanan gratis bersama para pengunjung Arandita langsung diantar pulang.Sampai di rumah, setelah Bastian pergi, Arandita merenung seorang diri. Ia kemudian memikirkan nasib hidup kedepannya. Saat ini dia harus kehilangan rambut panjang kesayangan, entah di masa depan apalagi yang ingin Bastian ambil darinya. Hanya dengan sebuah gunting Bastian seolah mampu membolak-balikkan hati Arandita. Awalnya dia menciptakan kesedihan lalu kebahagiaan karena telah memberikan kepercayaan untuk mengelola kafe miliknya sendiri."Ah, seandainya Bobby yang seperti ini," gumam Arandita lalu menangis tatkala mengingat Bobby telah berselingkuh dengan sahabat karibnya.Lama menangis akhirnya ia terlelap, hingga pintu diketuk dari luar barulah ia terbangun dari tidurnya."Nona Aran, sekarang waktunya makan malam Non!" seru bibi sambil terus mengetuk pintu dari luar."Aran tidak mau makan Bik Lin!" Beberapa kali datang ke rumah itu membuat Arandita tahu suara siapa yang di luar sekarang."Tapi Den Bastian tadi menelpon dan menyuruh supaya bibi memastikannya Non Aran tidak telat makan.""Mas, Bastian?""Iya, Non.""Ternyata perhatian juga tuh orang, tapi apa mau dia yang sebenarnya?" gumam Arandita yang memang dibuat bingung dengan sikap Bastian seharian ini. Sehari saja Arandita merasa stres memikirkan sikap Bastian, bagaimana kalau sampai setahun? Wanita itu hanya berharap Tuhan akan selalu melindungi dirinya apapun yang terjadi ke depannya.Arandita langsung mengingat akan perjanjian yang baru ia tandatangani pagi tadi. Di sana jelas tertulis kalau Bastian akan memastikan keadaan Arandita sehat-sehat saja sampai pria itu mengembalikan Arandita pada kedua orangtuanya, dan Arandita sendiri harus mengikuti perintah Bastian selama tinggal di sana. Sepertinya ia memang harus mengikuti perintah Bastian agar bisa kembali ke orang tua dalam keadaan selamat."Baiklah," sahut Arandita lalu dengan malas turun dari ranjang dan melangkah keluar kamar. Bik Lin tersenyum melihat wanita itu akhirnya keluar juga."Nona menangis?" tanya Bik Lin saat melihat mata Arandita terlihat bengkak.Arandita memilih tidak menjawab agar pertanyaan Bik Lin tidak semakin melebar."Percayalah Non, Den Bastian lebih baik daripada Den Bobby," ucap Bik Lin seakan memberikan pendapat bahwa pilihan menikahkan Arandita dengan Bastian adalah hal yang paling benar."Bibi tidak tahu apapun," ucap Arandita seraya terus mengikuti langkah Bik Lin menuju meja makan."Bibi tahu Non karena tinggal bersama mereka sedari mereka kecil.""Andai bibi tahu bahwa Mas Bastian menyepelekan yang namanya pernikahan, apakah tanggapan bibi tentang pria itu masih akan sama? Ah sudahlah, tak penting juga. Lagipula aku tidak mencintai dan tidak akan pernah mencintainya. Seharusnya, sekarang aku senang dengan surat perjanjian itu. Satu tahun waktu yang cukup demi membuat ayah dan ibu tidak terlalu kaget dan membungkam mulut-mulut tetangga yang suka nyiyir," batin Arandita."Silahkan makan Non, Bibi tinggal dulu!"Setelah melihat anggukan dari Arandita, Bibi Lin langsung meninggalkan wanita itu."Eh Bik, tunggu!"Sontak Bik Lin langsung menghentikan langkah."Ya Non, ada apa?""Emm ... lukisan yang ada di kamar Mas Bastian ... Bibi tahu siapa dia?"Bik Lin tampak termenung sebelum akhirnya menjawab."Kekasih Den Bastian, tapi tenanglah, mereka sudah putus. Kalau tidak ada yang mau ditanyakan lagi bibi permisi." Tanpa menunggu respon dari Arandita, wanita setengah baya itu langsung beranjak pergi."Aneh, apakah Bik Lin tidak tahu kalau wanita itu sudah tiada dan fotoku juga ada di sana? Pembantu sama majikan benar-benar mencurigakan."Seperginya Bik Lin, Arandita langsung makan karena tubuhnya memang sudah sangat lapar. Dia butuh energi untuk melanjutkan hidup yang entah ke depannya akan seperti apa.Belum selesai makan, tiba-tiba Bobby duduk di hadapan dan membalik piring. Ia ikut makan bersama Arandita dan wanita itu terlihat acuh tak acuh dengan keberadaan Bobby di dekatnya."Aran!" panggil Bobby di sela-sela makan mereka, tetapi Arandita tidak menjawab."Aran!" panggilnya dengan suara lebih keras."Orang makan tidak boleh bicara!" ketus Arandita lalu meneguk segelas air putih sebab langsung kehilangan selera makan. Ia kemudian bangkit dari duduknya.Bobby segera menangkap tangan Arandita lalu menggenggam. "Aku mencintaimu Aran, berikan aku kesempatan," ucap Bobby dengan tatapan penuh harap."Kesempatan? Setelah kabur dan mempermalukanku di hadapan orang banyak? Lepaskan tanganmu Bob, status kita sudah berbeda. Aku harap kau menghargaiku sebagai kakak ipar!" Arandita mencoba melepaskan pegangan tangan Bobby dan p
Tak perduli hari sudah menjelang malam. Bastian kembali ke kantor. Sampai di sana Bastian menghempaskan tubuhnya di atas kursi kebesaran.Menghela nafas panjang sebelum akhirnya bersandar dan memutar-mutar kursi tersebut. Sesekali ia memejamkan mata, mencoba menghalau rasa tidak nyaman dalam dirinya."Seharusnya aku tidak begini, mereka berdua saling mencintai. Ah tidak, Bobby terlalu pengecut untuk disandingkan dengan Arandita. Bagaimanapun dia istriku, apa kata orang-orang jika melihat mereka akrab kembali sedangkan mereka adalah pasangan yang gagal menikah? Bukan hanya nama mereka, namaku juga akan tercoreng di hati orang-orang," batin Bastian."Rafli bagaimana perkembangan berita itu?" Sang asisten yang bersiap untuk pulang akhirnya berjalan pelan ke arahnya."Sedikit mulai meredup Pak, tapi orang-orang masih banyak yang curiga bahwa pernikahan Pak Bastian dengan Nona Arandita hanya sebagai kedok saja. Mungkin kalau kalian sudah punya anak, orang-orang baru akan percaya bahwa Bapa
"Cck, aku ini istrinya atau pembantu sih?" keluh Arandita membuat Bastian langsung menatap tajam mata sang istri."Iya-iya, aku akan lakukan," ucap Arandita lalu mengusap tengkuknya yang tiba-tiba terasa dingin sebelum akhirnya mengulurkan tangan untuk membuka sepatu Bastian. Wanita itu celingukan lalu menaruh sepatu tersebut ke tempatnya.Bastian sendiri membuka kancing bagian atas kemeja kemudian melepaskan dasi. Pria itu langsung menjatuhkan tubuh di atas kasur dan menghembuskan nafas panjang."Maaf, aku siapkan air panas dulu," ucap Arandita sebelum akhirnya meninggalkan Bastian seorang diri. Beberapa saat kemudian wanita itu langsung memberitahukan pada Bastian bahwa air panasnya sudah siap. Bastian hanya merespon dengan anggukan lalu masuk ke dalam kamar mandi.Di kamar Arandita tampak gelisah, ingin tidur takut Bastian masih membutuhkan dirinya."Apa yang harus aku lakukan sekarang? Nawarin dia makan malam atau tinggalkan saja dia tidur?" Wanita itu mondar-mandir tak karuan."Ah
Suasana semakin canggung tatkala sejak dari Arandita menarik kursi sampai duduk di samping Bastian, Bobby terus saja menatap dirinya begitu intens, tak mau berpaling sedikitpun hingga Arandita menjadi gugup."Kapan kau akan menikahi Agresia? Apa kau tidak ingin segera berkumpul dengan putrimu?" Pramoedya tidak sadar bahwa pertanyaannya pada Bobby membuat Arandita terhanyut kembali dengan kesedihan yang baru saja ingin ia kubur dalam-dalam. Wanita itu langsung menunduk dan dengan gerakan pelan tangannya mengambil nasi lalu menaruh di piring Bastian."Pa! Jangan ngomongin tentang hal itu sekarang!" Bobby memperingatkan sambil menunjuk ke arah Arandita dengan ekor matanya. Namun, sepertinya Pramoedya tidak paham."Mau aku ambilkan ikan yang mana Mas?" tanya Arandita agar dirinya tidak mendengar percakapan antara Bobby dan ayah mertuanya. Tak sanggup ia jika harus mendengar bahasan tentang hubungan keduanya."Biar aku ambil sendiri!" tegas Bastian lalu mengambil ikan gurame goreng tepung
"Nona Aran Anda di jemput pak sopir!" seru Bik Lin sambil mengetuk pintu kamar Arandita."Sopir?" Arandita langsung mengelap air mata sebelum akhirnya berjalan ke arah pintu dan menguaknya."Pintunya tidak dikunci Bik," terang Anandita saat menyadari pintunya tidak ditutup rapat oleh Bastian saat keluar tadi."Iya Non, bibi hanya tidak ingin lancang kalau masuk tanpa izin," jelas Bik Lin dan Arandita hanya menjawab dengan anggukan."Oh ya Non, pak sopir sudah menunggu.""Aku tidak akan kemana-mana Bik, memang mau kemana?""Kata pak sopir Non Aran akan pergi ke kafe. Den Bastian meminta agar Nona yang menjadi managernya agar tidak melibatkan banyak karyawan sebab kafe itu kan masih kafe baru.""Oke Bik Aran paham, maaf jika harus diingatkan karena Aran benar-benar lupa akan rumah makan tersebut.""Tidak apa Non, manusia memang tempatnya lupa. Kalau begitu Bibik permisi ya! Masih ada pekerjaan yang belum kelar.""Silahkan, Bik."Bik Lin menunduk sebelum akhirnya meninggalkan Arandita se
Arandita langsung menghempaskan tubuh dengan kasar di atas kursi ruangan manager. Ia memijit pelipis yang terasa begitu pening, disengaja atau tidak, orang-orang di sampingnya beberapa hari ini membuat Arandita naik darah meskipun sekuat mungkin ia tahan agar tidak meledak. Dari sikap Bastian yang begitu cuek, suka memerintah serta memutuskan sesuatu tanpa meminta persetujuan darinya, Bobby yang seakan memaksakan untuk bertahan dengan cinta yang sudah tidak bisa diselamatkan lagi, ditambah sikap Agresia yang menuduh dirinya macam-macam. Rasanya kepala Arandita ingin meledak."Minum dulu Bu," ucap Juna sambil mengulurkan segelas air putih setelah Arandita sampai di meja lalu menarik nafas beberapa kali."Makasih," ucap Arandita lalu menarik gelas dari tangan Juna dan meminum isinya sampai tandas."Boleh tinggalkan aku sendiri?!""Baik Bu, permisi!" Juna segera keluar dari ruangan Arandita.Sepeninggal Juna, Arandita mencoba menetralisir detak jantungnya yang berpacu lebih cepat dari bi
Di dalam sana Bastian dan sekretarisnya sama-sama berdiri dengan wajah yang saling berdekatan, bahkan dari posisi Arandita berdiri saat ini mereka terlihat seperti sepasang kekasih yang sedang berciuman. Sania sang sekretaris melirik Arandita yang terpaku di depan pintu kemudian dengan liciknya ia mendorong tubuh Bastian hingga pria itu terdorong ke belakang dan tubuhnya Bastian jatuh bertumpu pada kursi, sedangkan tubuh Sania jatuh tepat di atas tubuh Bastian.Arandita langsung berputar arah membelakangi mereka sementara Sania tersenyum licik. Wanita itu berharap dan yakin, setelah ini hubungan keduanya akan renggang, lebih-lebih Arandita akan meminta cerai dari Bastian."Sania! Kau apa-apaan sih?" protes Bastian sambil mendorong tubuh sang sekretaris dari atas tubuhnya. Mata pria itu menatap tajam dengan perasaan tidak suka. Sania segera berdiri dan membenahi pakaian."Maaf Pak, saya tiba-tiba pusing, mungkin karena semalam lembur menyelesaikan tugas yang Bapak berikan ditambah lag
Di belakang mereka berdua berdiri Bobby dengan ekspresi terkejut mendengar pembicaraan antara Arandita dan Bik Lin."Jangan-jangan Abang ingin meminta hak suami pada Arandita, ini tidak bisa dibiarkan," ucap Bobby lalu berjalan cepat menuju kamar Bastian. Saat berpapasan dengan Arandita keduanya sempat saling berpandangan, tetapi Arandita langsung memalingkan wajah.Dari luar kamar yang pintunya terbuka, tampak Bastian sedang berjalan dengan tubuh yang hanya terlilit handuk."Bang aku mau ngomong!" seru Bobby, tetapi Bastian langsung menutup pintu tanpa menanggapi perkataan adiknya."Okelah tunggu aja dulu. Abang pasti masih mau ganti pakaian," ujar Bobby mencoba memahami situasi walaupun sebenarnya dirinya sudah tidak tahan ingin bicara dengan Bastian. Pria itu melangkah menuju tangga dan menunggu di sana sambil melihat ke lantai bawah dimana Arandita sudah berjalan ke dapur bersama Bik Lin sambil tertawa-tawa."Lama amat sih," keluh Bobby karena Bastian belum keluar juga. Ia melihat