Seperginya Bik Lin, Arandita langsung makan karena tubuhnya memang sudah sangat lapar. Dia butuh energi untuk melanjutkan hidup yang entah ke depannya akan seperti apa.
Belum selesai makan, tiba-tiba Bobby duduk di hadapan dan membalik piring. Ia ikut makan bersama Arandita dan wanita itu terlihat acuh tak acuh dengan keberadaan Bobby di dekatnya."Aran!" panggil Bobby di sela-sela makan mereka, tetapi Arandita tidak menjawab."Aran!" panggilnya dengan suara lebih keras."Orang makan tidak boleh bicara!" ketus Arandita lalu meneguk segelas air putih sebab langsung kehilangan selera makan. Ia kemudian bangkit dari duduknya.Bobby segera menangkap tangan Arandita lalu menggenggam. "Aku mencintaimu Aran, berikan aku kesempatan," ucap Bobby dengan tatapan penuh harap."Kesempatan? Setelah kabur dan mempermalukanku di hadapan orang banyak? Lepaskan tanganmu Bob, status kita sudah berbeda. Aku harap kau menghargaiku sebagai kakak ipar!" Arandita mencoba melepaskan pegangan tangan Bobby dan pria itu semakin menggenggam erat."Apa! Kakak ipar?" Bobby terkekeh, tepatnya menertawakan Arandita."Abang tidak mencintaimu dan tidak akan pernah mencintaimu. Dia mau menjadi pengganti hanya karena kasihan pada papa dan kedua orang tuamu. Kau tahu? Hanya aku yang bisa dan tulus mencintaimu, dulu, sekarang, nanti, dan selamanya.""Cih, omong kosong apa yang kau ucapkan Bob? Aku dan Abangmu sudah mengikat janji bahwa kita akan saling berusaha mencintai dan menjadi sepasang suami istri yang berbahagia. Jadi, kumohon mulai sekarang jangan ganggu aku lagi!" Arandita terpaksa berbohong agar Bobby tidak mengusik kehidupannya lagi."Yakin?" tanya Bobby seakan menyepelekan perkataan Arandita."Yakin," sahut Arandita mantap."Itu tidak akan pernah terjadi, kau akan tetap menjadi milikku," ujar Bobby lalu menarik tubuh Arandita dan memeluk erat.."Tidak mungkin ... kau ... nikahilah ... Agresia!" Arandita mulai kesulitan bernafas."Lepaskan!" Suara bariton dari arah pintu langsung membuat mereka menoleh."Bang Bastian?""Lepaskan dia Bob!" Rahang Bastian terlihat mengeras lalu berjalan cepat ke arah mereka. Tangannya dengan sigap menarik pergelangan tangan Bobby."Jangan macam-macam sama dia! Mulai sekarang dia istriku dan kau tidak berhak atas apapun darinya, camkan itu!" Bastian menatap tajam mata Bobby seakan memancarkan aura permusuhan."Kalau tidak habis kamu!" Bastian memperingatkan sambil menuding wajah Bobby."Ayo Sayang kita ke kamar!" Bastian menggandeng tangan Arandita.Arandita terbelalak mendengar Bastian memanggilnya sayang."Benar-benar pria yang aneh," batin Arandita.Bastian langsung membawa Arandita masuk ke dalam kamar sementara Bobby hanya diam melihat hal tak terduga di depan mata. Bukankah Bastian tidak mencintai Arandita?"Gawat! Jangan-jangan Bang Bastian benar-benar mulai tertarik dengan Arandita. Ini tidak bisa dibiarkan," gumam Bobby dengan ekspresi kesal.Di dalam kamar Arandita hanya diam melihat gerak-gerik Bastian. Setelah pria itu membantunya duduk, Bastian meninggalkan dirinya ke ruang kerja dan dalam waktu lama pria itu tidak keluar dari ruangan tersebut."Apa yang dia lakukan?" gumam Arandita lalu mengintip ke arah pintu dengan rasa penasaran. Bastian terlihat sibuk dengan berkas-berkas di atas meja. Sesekali ia mengetik pada laptop yang menyala."Apa dia tidak cukup bekerja di kantor?"Bastian hanya melirik ke arah Arandita tanpa kata lalu sibuk kembali dengan pekerjaannya.Sudah satu jam Bastian berada dalam ruang kerja, berkutat dengan laptop dan berkas-berkas yang seakan tidak ada habisnya. Entah apa yang dia kerjakan hingga mengabaikan keadaan sekitar."Sepertinya Bobby sudah pergi, aku sudah bisa keluar," ujar Arandita lalu menghembuskan nafas panjang. Setelahnya wanita itu keluar kamar dan menuju dapur hendak membuatkan minuman untuk Bastian.Setelah menuangkan jus ke dalam gelas, Arandita langsung membawa nampan tersebut menuju kamarnya. Namun, sebelum sampai Bobby langsung mengambil satu gelas jus dan meneguknya tanpa izin."Kau–!" Arandita terlihat kesal."Bagaimana kau lupa membuatkanku jus alpukat, apakah kau lupa dengan minuman favorit kekasihmu ini?"Arandita tidak menjawab. Malas menanggapi perkataan Bobby."Aran! Kumohon kau jangan terperdaya dengan sikap manis Abang terhadapmu. Itu hanya kepalsuan semata, dia hanya pura-pura saja."Arandita melanjutkan langkah, lalu dengan sigap Bobby menggenggam tangan Arandita."Percayalah, hanya aku yang tulus mencintaimu. Kumohon jagalah hatimu tetap untukku karena setelah aku menikah dengan Agresia aku akan segera menceraikannya."Arandita berdiri mematung. Saat itu Bastian berada tepat di pintu kamar dan menatap mereka dengan perasaan tidak suka. Pria itu kembali masuk ke dalam dan duduk di meja kerjanya."Kau tahu Bob? Sejak aku tahu kalian berkhianat di belakangku, cintaku padamu menguap begitu saja. Tak ada lagi cinta untukmu yang tersisa di hati ini." Arandita menyentuh dadanya sendiri."Dan satu hal yang harus kamu pahami! Aku benci dengan seorang pria yang mempermainkan sebuah pernikahan." Arandita memejamkan mata. Merasakan sakit yang sangat menyengat ulu hati. Permainan takdir sungguh membuat dirinya tak berdaya."Tak perduli Abangmu cinta atau tidak ... aku akan tetap berusaha mencintai dan menjadi istri yang setia." Arandita berkata dengan mata yang tampak berbinar seolah apa yang dikatakan selaras dengan isi hati padahal sangat bertentangan. Tak dapat dipungkiri perasaannya pada Bobby masih besar dan dia sangat tersiksa saat pria itu selalu mendekatkan diri."Belajar bertanggung jawablah dengan apa yang sudah kau perbuat. Bagaimanapun anak yang ada pada Agresia itu adalah darah dagingmu yang membutuhkan kasih sayang dari ayahnya." Setelah mengatakan itu Arandita langsung pergi."Saya lihat Mas Bastian sangat sibuk, minum dulu Mas biar segar," ucap Arandita sambil menaruh gelas berisi jus buah naga di meja kerja Bastian.Bastian tidak menjawab, melirik pun tidak ke arah Arandita.Arandita menghela nafas panjang. Dalam hati sangat kesal karena Bastian menganggap dirinya seperti arwah yang tidak terlihat. Dia tidak perlu dianggap sebagai istri oleh Bastian, paling tidak dianggap teman sudah membuat dirinya nyaman."Apa sebaiknya perjanjian tadi kita batalkan saja? Aku juga tidak butuh dengan uang bulanan yang kamu berikan toh orang tuaku tidak miskin-miskin amat dan kafe yang kau berikan aku akan kembalikan," cicit Arandita.Bastian masih saja sibuk dan seolah-olah tidak mendengar perkataan Arandita."Lebih baik kita bercerai sekarang, aku pikir orang tuaku juga tidak akan terlalu terkejut dan pasti paham dengan semuanya jika aku menjelaskan." Hal yang paling ditakutkan Arandita adalah menjadi janda apalagi dalam waktu pernikahan yang sangat singkat karena hal itu pasti akan menjadi perbincangan seru di kalangan warga kampung.Namun, itu lebih baik daripada dia hidup dalam satu rumah dengan dua pria yang sangat membuatnya kebingungan. Toh cepat atau lambat status janda akan tersemat juga pada dirinya.Mendengar ocehan Arandita, bukannya menanggapi, Bastian malah bangkit dari duduknya dan keluar begitu saja dari ruangan."Astaghfirullah, kalau tahu begini, mending aku kabur kemarin di hari pernikahan." Arandita mengusap kasar wajah dengan tangan kanannya."Mas tunggu!" teriak Arandita lalu mengejar Bastian dan mencekal tangannya."Sudah pacarannya?" tanya Bastian dengan tatapan tajam."Pacaran?" Arandita kebingungan."Kalau kau menghargaiku sebagai suami seharusnya kau jauhi Bobby!" Setelah mengatakan itu Bastian langsung pergi."Tunggu! Apa itu tandanya dia mulai cemburu?" Arandita tertegun seorang diri.Tak perduli hari sudah menjelang malam. Bastian kembali ke kantor. Sampai di sana Bastian menghempaskan tubuhnya di atas kursi kebesaran.Menghela nafas panjang sebelum akhirnya bersandar dan memutar-mutar kursi tersebut. Sesekali ia memejamkan mata, mencoba menghalau rasa tidak nyaman dalam dirinya."Seharusnya aku tidak begini, mereka berdua saling mencintai. Ah tidak, Bobby terlalu pengecut untuk disandingkan dengan Arandita. Bagaimanapun dia istriku, apa kata orang-orang jika melihat mereka akrab kembali sedangkan mereka adalah pasangan yang gagal menikah? Bukan hanya nama mereka, namaku juga akan tercoreng di hati orang-orang," batin Bastian."Rafli bagaimana perkembangan berita itu?" Sang asisten yang bersiap untuk pulang akhirnya berjalan pelan ke arahnya."Sedikit mulai meredup Pak, tapi orang-orang masih banyak yang curiga bahwa pernikahan Pak Bastian dengan Nona Arandita hanya sebagai kedok saja. Mungkin kalau kalian sudah punya anak, orang-orang baru akan percaya bahwa Bapa
"Cck, aku ini istrinya atau pembantu sih?" keluh Arandita membuat Bastian langsung menatap tajam mata sang istri."Iya-iya, aku akan lakukan," ucap Arandita lalu mengusap tengkuknya yang tiba-tiba terasa dingin sebelum akhirnya mengulurkan tangan untuk membuka sepatu Bastian. Wanita itu celingukan lalu menaruh sepatu tersebut ke tempatnya.Bastian sendiri membuka kancing bagian atas kemeja kemudian melepaskan dasi. Pria itu langsung menjatuhkan tubuh di atas kasur dan menghembuskan nafas panjang."Maaf, aku siapkan air panas dulu," ucap Arandita sebelum akhirnya meninggalkan Bastian seorang diri. Beberapa saat kemudian wanita itu langsung memberitahukan pada Bastian bahwa air panasnya sudah siap. Bastian hanya merespon dengan anggukan lalu masuk ke dalam kamar mandi.Di kamar Arandita tampak gelisah, ingin tidur takut Bastian masih membutuhkan dirinya."Apa yang harus aku lakukan sekarang? Nawarin dia makan malam atau tinggalkan saja dia tidur?" Wanita itu mondar-mandir tak karuan."Ah
Suasana semakin canggung tatkala sejak dari Arandita menarik kursi sampai duduk di samping Bastian, Bobby terus saja menatap dirinya begitu intens, tak mau berpaling sedikitpun hingga Arandita menjadi gugup."Kapan kau akan menikahi Agresia? Apa kau tidak ingin segera berkumpul dengan putrimu?" Pramoedya tidak sadar bahwa pertanyaannya pada Bobby membuat Arandita terhanyut kembali dengan kesedihan yang baru saja ingin ia kubur dalam-dalam. Wanita itu langsung menunduk dan dengan gerakan pelan tangannya mengambil nasi lalu menaruh di piring Bastian."Pa! Jangan ngomongin tentang hal itu sekarang!" Bobby memperingatkan sambil menunjuk ke arah Arandita dengan ekor matanya. Namun, sepertinya Pramoedya tidak paham."Mau aku ambilkan ikan yang mana Mas?" tanya Arandita agar dirinya tidak mendengar percakapan antara Bobby dan ayah mertuanya. Tak sanggup ia jika harus mendengar bahasan tentang hubungan keduanya."Biar aku ambil sendiri!" tegas Bastian lalu mengambil ikan gurame goreng tepung
"Nona Aran Anda di jemput pak sopir!" seru Bik Lin sambil mengetuk pintu kamar Arandita."Sopir?" Arandita langsung mengelap air mata sebelum akhirnya berjalan ke arah pintu dan menguaknya."Pintunya tidak dikunci Bik," terang Anandita saat menyadari pintunya tidak ditutup rapat oleh Bastian saat keluar tadi."Iya Non, bibi hanya tidak ingin lancang kalau masuk tanpa izin," jelas Bik Lin dan Arandita hanya menjawab dengan anggukan."Oh ya Non, pak sopir sudah menunggu.""Aku tidak akan kemana-mana Bik, memang mau kemana?""Kata pak sopir Non Aran akan pergi ke kafe. Den Bastian meminta agar Nona yang menjadi managernya agar tidak melibatkan banyak karyawan sebab kafe itu kan masih kafe baru.""Oke Bik Aran paham, maaf jika harus diingatkan karena Aran benar-benar lupa akan rumah makan tersebut.""Tidak apa Non, manusia memang tempatnya lupa. Kalau begitu Bibik permisi ya! Masih ada pekerjaan yang belum kelar.""Silahkan, Bik."Bik Lin menunduk sebelum akhirnya meninggalkan Arandita se
Arandita langsung menghempaskan tubuh dengan kasar di atas kursi ruangan manager. Ia memijit pelipis yang terasa begitu pening, disengaja atau tidak, orang-orang di sampingnya beberapa hari ini membuat Arandita naik darah meskipun sekuat mungkin ia tahan agar tidak meledak. Dari sikap Bastian yang begitu cuek, suka memerintah serta memutuskan sesuatu tanpa meminta persetujuan darinya, Bobby yang seakan memaksakan untuk bertahan dengan cinta yang sudah tidak bisa diselamatkan lagi, ditambah sikap Agresia yang menuduh dirinya macam-macam. Rasanya kepala Arandita ingin meledak."Minum dulu Bu," ucap Juna sambil mengulurkan segelas air putih setelah Arandita sampai di meja lalu menarik nafas beberapa kali."Makasih," ucap Arandita lalu menarik gelas dari tangan Juna dan meminum isinya sampai tandas."Boleh tinggalkan aku sendiri?!""Baik Bu, permisi!" Juna segera keluar dari ruangan Arandita.Sepeninggal Juna, Arandita mencoba menetralisir detak jantungnya yang berpacu lebih cepat dari bi
Di dalam sana Bastian dan sekretarisnya sama-sama berdiri dengan wajah yang saling berdekatan, bahkan dari posisi Arandita berdiri saat ini mereka terlihat seperti sepasang kekasih yang sedang berciuman. Sania sang sekretaris melirik Arandita yang terpaku di depan pintu kemudian dengan liciknya ia mendorong tubuh Bastian hingga pria itu terdorong ke belakang dan tubuhnya Bastian jatuh bertumpu pada kursi, sedangkan tubuh Sania jatuh tepat di atas tubuh Bastian.Arandita langsung berputar arah membelakangi mereka sementara Sania tersenyum licik. Wanita itu berharap dan yakin, setelah ini hubungan keduanya akan renggang, lebih-lebih Arandita akan meminta cerai dari Bastian."Sania! Kau apa-apaan sih?" protes Bastian sambil mendorong tubuh sang sekretaris dari atas tubuhnya. Mata pria itu menatap tajam dengan perasaan tidak suka. Sania segera berdiri dan membenahi pakaian."Maaf Pak, saya tiba-tiba pusing, mungkin karena semalam lembur menyelesaikan tugas yang Bapak berikan ditambah lag
Di belakang mereka berdua berdiri Bobby dengan ekspresi terkejut mendengar pembicaraan antara Arandita dan Bik Lin."Jangan-jangan Abang ingin meminta hak suami pada Arandita, ini tidak bisa dibiarkan," ucap Bobby lalu berjalan cepat menuju kamar Bastian. Saat berpapasan dengan Arandita keduanya sempat saling berpandangan, tetapi Arandita langsung memalingkan wajah.Dari luar kamar yang pintunya terbuka, tampak Bastian sedang berjalan dengan tubuh yang hanya terlilit handuk."Bang aku mau ngomong!" seru Bobby, tetapi Bastian langsung menutup pintu tanpa menanggapi perkataan adiknya."Okelah tunggu aja dulu. Abang pasti masih mau ganti pakaian," ujar Bobby mencoba memahami situasi walaupun sebenarnya dirinya sudah tidak tahan ingin bicara dengan Bastian. Pria itu melangkah menuju tangga dan menunggu di sana sambil melihat ke lantai bawah dimana Arandita sudah berjalan ke dapur bersama Bik Lin sambil tertawa-tawa."Lama amat sih," keluh Bobby karena Bastian belum keluar juga. Ia melihat
"Sama-sama, ikannya mau yang mana Pa?" Daripada meladeni kedua pria bersaudara yang aneh itu lebih baik Arandita melayani makan ayah mertuanya ."Bastian, apa kau tidak ada rencana untuk berbulan madu?" tanya Pramoedya membuat Bastian tersedak makanannya sendiri."Hati-hati kalau makan Mas," ucap Arandita sambil mengulurkan segelas air pada sang suami dan Bastian menerimanya tanpa melihat wajah Arandita. Bobby melirik ke arah Bastian dan mengerutkan kening. Berharap sang kakak akan mengatakan tidak. Dipandangi dengan begitu intens, Bastian paham Bobby sedang menunggu jawaban darinya."Tentu saja Pa," ucap Bastian membuat Arandita terbelalak tidak percaya.Bobby langsung bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan meja makan."Bob! Bobby!" teriak Pramoedya. Namun, seperti biasa, jika Bobby ada yang tidak dia sukai pasti dia tidak akan mendengarkan perkataan sang Papa."Oh ya kapan rencananya kalian berangkat?""Belum saya rencanakan Pa. Saya permisi ke kamar duluan," ujar Bastian ser