Share

Bab 4. Hanya Pura-pura

Seperginya Bik Lin, Arandita langsung makan karena tubuhnya memang sudah sangat lapar. Dia butuh energi untuk melanjutkan hidup yang entah ke depannya akan seperti apa.

Belum selesai makan, tiba-tiba Bobby duduk di hadapan dan membalik piring. Ia ikut makan bersama Arandita dan wanita itu terlihat acuh tak acuh dengan keberadaan Bobby di dekatnya.

"Aran!" panggil Bobby di sela-sela makan mereka, tetapi Arandita tidak menjawab.

"Aran!" panggilnya dengan suara lebih keras.

"Orang makan tidak boleh bicara!" ketus Arandita lalu meneguk segelas air putih sebab langsung kehilangan selera makan. Ia kemudian bangkit dari duduknya.

Bobby segera menangkap tangan Arandita lalu menggenggam. "Aku mencintaimu Aran, berikan aku kesempatan," ucap Bobby dengan tatapan penuh harap.

"Kesempatan? Setelah kabur dan mempermalukanku di hadapan orang banyak? Lepaskan tanganmu Bob, status kita sudah berbeda. Aku harap kau menghargaiku sebagai kakak ipar!" Arandita mencoba melepaskan pegangan tangan Bobby dan pria itu semakin menggenggam erat.

"Apa! Kakak ipar?" Bobby terkekeh, tepatnya menertawakan Arandita.

"Abang tidak mencintaimu dan tidak akan pernah mencintaimu. Dia mau menjadi pengganti hanya karena kasihan pada papa dan kedua orang tuamu. Kau tahu? Hanya aku yang bisa dan tulus mencintaimu, dulu, sekarang, nanti, dan selamanya."

"Cih, omong kosong apa yang kau ucapkan Bob? Aku dan Abangmu sudah mengikat janji bahwa kita akan saling berusaha mencintai dan menjadi sepasang suami istri yang berbahagia. Jadi, kumohon mulai sekarang jangan ganggu aku lagi!" Arandita terpaksa berbohong agar Bobby tidak mengusik kehidupannya lagi.

"Yakin?" tanya Bobby seakan menyepelekan perkataan Arandita.

"Yakin," sahut Arandita mantap.

"Itu tidak akan pernah terjadi, kau akan tetap menjadi milikku," ujar Bobby lalu menarik tubuh Arandita dan memeluk erat.

."Tidak mungkin ... kau ... nikahilah ... Agresia!" Arandita mulai kesulitan bernafas.

"Lepaskan!" Suara bariton dari arah pintu langsung membuat mereka menoleh.

"Bang Bastian?"

"Lepaskan dia Bob!" Rahang Bastian terlihat mengeras lalu berjalan cepat ke arah mereka. Tangannya dengan sigap menarik pergelangan tangan Bobby.

"Jangan macam-macam sama dia! Mulai sekarang dia istriku dan kau tidak berhak atas apapun darinya, camkan itu!" Bastian menatap tajam mata Bobby seakan memancarkan aura permusuhan.

"Kalau tidak habis kamu!" Bastian memperingatkan sambil menuding wajah Bobby.

"Ayo Sayang kita ke kamar!" Bastian menggandeng tangan Arandita.

Arandita terbelalak mendengar Bastian memanggilnya sayang.

"Benar-benar pria yang aneh," batin Arandita.

Bastian langsung membawa Arandita masuk ke dalam kamar sementara Bobby hanya diam melihat hal tak terduga di depan mata. Bukankah Bastian tidak mencintai Arandita?

"Gawat! Jangan-jangan Bang Bastian benar-benar mulai tertarik dengan Arandita. Ini tidak bisa dibiarkan," gumam Bobby dengan ekspresi kesal.

Di dalam kamar Arandita hanya diam melihat gerak-gerik Bastian. Setelah pria itu membantunya duduk, Bastian meninggalkan dirinya ke ruang kerja dan dalam waktu lama pria itu tidak keluar dari ruangan tersebut.

"Apa yang dia lakukan?" gumam Arandita lalu mengintip ke arah pintu dengan rasa penasaran. Bastian terlihat sibuk dengan berkas-berkas di atas meja. Sesekali ia mengetik pada laptop yang menyala.

"Apa dia tidak cukup bekerja di kantor?"

Bastian hanya melirik ke arah Arandita tanpa kata lalu sibuk kembali dengan pekerjaannya.

Sudah satu jam Bastian berada dalam ruang kerja, berkutat dengan laptop dan berkas-berkas yang seakan tidak ada habisnya. Entah apa yang dia kerjakan hingga mengabaikan keadaan sekitar.

"Sepertinya Bobby sudah pergi, aku sudah bisa keluar," ujar Arandita lalu menghembuskan nafas panjang. Setelahnya wanita itu keluar kamar dan menuju dapur hendak membuatkan minuman untuk Bastian.

Setelah menuangkan jus ke dalam gelas, Arandita langsung membawa nampan tersebut menuju kamarnya. Namun, sebelum sampai Bobby langsung mengambil satu gelas jus dan meneguknya tanpa izin.

"Kau–!" Arandita terlihat kesal.

"Bagaimana kau lupa membuatkanku jus alpukat, apakah kau lupa dengan minuman favorit kekasihmu ini?"

Arandita tidak menjawab. Malas menanggapi perkataan Bobby.

"Aran! Kumohon kau jangan terperdaya dengan sikap manis Abang terhadapmu. Itu hanya kepalsuan semata, dia hanya pura-pura saja."

Arandita melanjutkan langkah, lalu dengan sigap Bobby menggenggam tangan Arandita.

"Percayalah, hanya aku yang tulus mencintaimu. Kumohon jagalah hatimu tetap untukku karena setelah aku menikah dengan Agresia aku akan segera menceraikannya."

Arandita berdiri mematung. Saat itu Bastian berada tepat di pintu kamar dan menatap mereka dengan perasaan tidak suka. Pria itu kembali masuk ke dalam dan duduk di meja kerjanya.

"Kau tahu Bob? Sejak aku tahu kalian berkhianat di belakangku, cintaku padamu menguap begitu saja. Tak ada lagi cinta untukmu yang tersisa di hati ini." Arandita menyentuh dadanya sendiri.

"Dan satu hal yang harus kamu pahami! Aku benci dengan seorang pria yang mempermainkan sebuah pernikahan." Arandita memejamkan mata. Merasakan sakit yang sangat menyengat ulu hati. Permainan takdir sungguh membuat dirinya tak berdaya.

"Tak perduli Abangmu cinta atau tidak ... aku akan tetap berusaha mencintai dan menjadi istri yang setia." Arandita berkata dengan mata yang tampak berbinar seolah apa yang dikatakan selaras dengan isi hati padahal sangat bertentangan. Tak dapat dipungkiri perasaannya pada Bobby masih besar dan dia sangat tersiksa saat pria itu selalu mendekatkan diri.

"Belajar bertanggung jawablah dengan apa yang sudah kau perbuat. Bagaimanapun anak yang ada pada Agresia itu adalah darah dagingmu yang membutuhkan kasih sayang dari ayahnya." Setelah mengatakan itu Arandita langsung pergi.

"Saya lihat Mas Bastian sangat sibuk, minum dulu Mas biar segar," ucap Arandita sambil menaruh gelas berisi jus buah naga di meja kerja Bastian.

Bastian tidak menjawab, melirik pun tidak ke arah Arandita.

Arandita menghela nafas panjang. Dalam hati sangat kesal karena Bastian menganggap dirinya seperti arwah yang tidak terlihat. Dia tidak perlu dianggap sebagai istri oleh Bastian, paling tidak dianggap teman sudah membuat dirinya nyaman.

"Apa sebaiknya perjanjian tadi kita batalkan saja? Aku juga tidak butuh dengan uang bulanan yang kamu berikan toh orang tuaku tidak miskin-miskin amat dan kafe yang kau berikan aku akan kembalikan," cicit Arandita.

Bastian masih saja sibuk dan seolah-olah tidak mendengar perkataan Arandita.

"Lebih baik kita bercerai sekarang, aku pikir orang tuaku juga tidak akan terlalu terkejut dan pasti paham dengan semuanya jika aku menjelaskan." Hal yang paling ditakutkan Arandita adalah menjadi janda apalagi dalam waktu pernikahan yang sangat singkat karena hal itu pasti akan menjadi perbincangan seru di kalangan warga kampung.

Namun, itu lebih baik daripada dia hidup dalam satu rumah dengan dua pria yang sangat membuatnya kebingungan. Toh cepat atau lambat status janda akan tersemat juga pada dirinya.

Mendengar ocehan Arandita, bukannya menanggapi, Bastian malah bangkit dari duduknya dan keluar begitu saja dari ruangan.

"Astaghfirullah, kalau tahu begini, mending aku kabur kemarin di hari pernikahan." Arandita mengusap kasar wajah dengan tangan kanannya.

"Mas tunggu!" teriak Arandita lalu mengejar Bastian dan mencekal tangannya.

"Sudah pacarannya?" tanya Bastian dengan tatapan tajam.

"Pacaran?" Arandita kebingungan.

"Kalau kau menghargaiku sebagai suami seharusnya kau jauhi Bobby!" Setelah mengatakan itu Bastian langsung pergi.

"Tunggu! Apa itu tandanya dia mulai cemburu?" Arandita tertegun seorang diri.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Destri Yanti
ketar ketir loh bas
goodnovel comment avatar
Sandy Fahmi Habibi
bagus ka? lanjut suka dengan pernikahan yang di awali kontrak benci tapi kemudian berubh cinta
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status