Share

Bab 5. Khawatir

Tak perduli hari sudah menjelang malam. Bastian kembali ke kantor. Sampai di sana Bastian menghempaskan tubuhnya di atas kursi kebesaran.

Menghela nafas panjang sebelum akhirnya bersandar dan memutar-mutar kursi tersebut. Sesekali ia memejamkan mata, mencoba menghalau rasa tidak nyaman dalam dirinya.

"Seharusnya aku tidak begini, mereka berdua saling mencintai. Ah tidak, Bobby terlalu pengecut untuk disandingkan dengan Arandita. Bagaimanapun dia istriku, apa kata orang-orang jika melihat mereka akrab kembali sedangkan mereka adalah pasangan yang gagal menikah? Bukan hanya nama mereka, namaku juga akan tercoreng di hati orang-orang," batin Bastian.

"Rafli bagaimana perkembangan berita itu?"

Sang asisten yang bersiap untuk pulang akhirnya berjalan pelan ke arahnya.

"Sedikit mulai meredup Pak, tapi orang-orang masih banyak yang curiga bahwa pernikahan Pak Bastian dengan Nona Arandita hanya sebagai kedok saja. Mungkin kalau kalian sudah punya anak, orang-orang baru akan percaya bahwa Bapak adalah laki-laki yang normal."

"Argggh! Ini semua gara-gara kamu!" teriak Bastian sambil mendorong berkas-berkas yang ada di meja hingga berceceran di lantai.

"Maafkan saya, Pak"

Jam dua belas malam Bastian belum pulang dari tempat kerja sedangkan Bobby terus saja merayu agar Arandita mau kembali padanya dan hal itu membuat Arandita jengah. Ia ingin pulang ke rumah dan mengadukan pada kedua orang tua bahwa keputusan yang mereka ambil adalah keputusan yang salah dan lebih menyiksa dirinya dibandingkan menerima kegagalan pernikahan.

"Tapi apakah aman jika ayah tahu sementara ia tidak boleh terkejut akibat penyakit jantungnya?" Arandita menjadi gusar. Niatnya untuk memberitahukan perihal surat perjanjian dari Bastian jadi menciut seketika.

"Tapi kenapa dia belum pulang sementara papa sudah pulang beberapa jam yang lalu?" Arandita mondar-mandir di dalam kamar. Rasa khawatir menyergap dirinya.

"Jangan-jangan ada sesuatu yang buruk menimpa Mas Bastian?" Ia segera berlari keluar kamar dan mencari keberadaan sang suami yang mungkin saja sudah tiba, tetapi tidak naik ke lantai atas. Bukankah Bastian memang suka bertindak sesuka hati? Begitulah pernyataan yang ada dalam hati Arandita.

"Bik Lin, apakah Bibi tahu kenapa Mas Bastian belum pulang sampai selarut ini?" Arandita mendekati Bik Lin yang baru saja akan masuk kamar. Wajah tua itu sudah terlihat lelah setelah bekerja seharian.

"Apa dia tidak menghubungi Nona?"

"Tidak, Bik."

"Kalau begitu kenapa tidak Nona saja yang menghubungi Den Bastian?"

Arandita menggeleng lemah. "Aku tidak tahu nomor teleponnya."

"Waw benar-benar pasangan yang romantis, sampai nomor telepon saja tidak tahu," sindir Bobby akan Arandita. Entah sampai kapan dia akan menganggu Arandita seolah wanita itu yang bersalah atas kegagalan pernikahan mereka, padahal jelas-jelas kesalahan berada pada dirinya sendiri. Sungguh pria yang benar-benar tidak tahu malu. Kalau orang lain yang berada di pihak Bobby, pasti sudah tidak tampak batang hidungnya di rumah besar itu.

"Sebentar, biar bibi yang telpon." Bik Lin masuk ke dalam kamar dan mengambil ponselnya.

"Bagaimana Bik, diangkat tidak?" Arandita terllihat gelisah.

"Belum Non. Nomornya tidak aktif."

"Aduh bagaimana ini Bik? Siapa kira-kira ya, yang bisa dihubungi untuk menanyakan kabar Mas Bastian?"

"Asistennya Non, tapi sayang Bibi tidak punya nomor teleponnya. Mungkin Den Bobby punya?"

"Alah, ngapain sih kalian pada repot-repot khawatirin dia? Paling Abang sekarang lagi enak-enak dengan para cewek di klub. Biasa, butuh hiburan untuk menghilangkan stres karena sepanjang hari bekerja keras," cibir Bobby.

"Den Bastian tidak sepertimu Den Bobby," ujar Bik Lin tidak suka.

"Dia itu munafik Bik, di depan kita semua kelihatan pria baik-baik, tapi di belakang kita? Mana ada yang tahu."

Arandita langsung teringat akan foto-foto di kamar Bastian. Pikirannya semakin buruk terhadap pria itu. Namun, Arandita menggeleng untuk menepis pikiran kotornya itu.

Bik Lin menggeleng mendengar perkataan Bobby.

"Papa Bik, mungkin papa tahu Mas Bastian sekarang dimana dan atau punya nomor orang yang bisa dihubungi."

"Bentar Non," Bik Lin langsung berjalan ke kamar Pramoedya dan dengan pelan mengetuk pintu kamar majikannya.

"Bastian belum pulang?" tanya Pramoedya sambil melangkahkan kaki turun ke lantai bawah dengan setengah berlari.

"Belum Tuan dan Nona Arandita dari tadi terlihat gelisah karena Den Bastian tidak memberikan kabar."

"Mungkin dia sibuk Bik."

"Bagaimana, apakah Bastian sudah menghubungimu Nak Aran?" tanya Pramoedya saat kakinya menginjak lantai satu rumahnya.

"Belum Pa, nomornya juga tidak aktif."

"Sebentar aku telpon Rafi dulu," ucap Pramoedya sambil menekan nomor kontak asisten putranya.

"Bagaimana, Pa?"

"Kata Rafi, Bastian sudah pulang dari tadi."

Jawaban dari Pramoedya membuat Arandita semakin khawatir. Wajah perempuan itu langsung berubah pucat.

"Mungkin masih dalam perjalanan," lanjut Pramoedya sambil memijit kening. Dibangunkan pada saat baru terlelap dalam tidur membuat kepalanya mendadak sakit.

"Sekhawatir itu ya kau dengan Abang? Aneh," ucap Bobby dan memicu protes dari Arandita.

"Kau yang aneh, apa kau anak pungut hingga tidak khawatir dengan saudaramu sendiri?" balas Arandita.

"Enak saja!" Bobby tidak terima dikatakan anak pungut.

"Ya mau dikatakan apalagi kalau–"

Ucapan Arandita terhenti saat melihat Bastian berjalan ke arah mereka dan melewati mereka yang masih berdiri tanpa rasa bersalah.

"Bastian, kau darimana saja?" tanya Pramoedya melihat putra sulungnya sudah pulang.

"Biasa Pa, kalau Bastian tidak pulang sampai larut malam berarti ada pekerjaan yang belum kelar," jawab pria itu dengan santai.

"Kenapa tidak memberi kabar? Kau tahu tidak? Kau sudah membuat seisi rumah gempar akibat kau tidak memberi kabar atas keterlambatanmu pulang."

"Biasanya tidak ada yang perduli juga, Bastian mau pulang atau tidak," sahut Bastian tanpa menghentikan langkah. Kakinya menapaki satu demi satu anak tangga menuju lantai tiga dimana kamarnya berada.

"Sekarang beda, kau sudah punya istri. Biasakan memberi kabar kalau pulang telat atau mau tidak pulang sekalipun!"

"Maaf Pa saya lupa," ujar Bastian.

"Lupa apa?" tanya Pramoedya bingung.

"Lupa kalau sudah ada istri!" seru Bastian sambil terus melangkah dan Pramoedya hanya bisa menggeleng mendengar jawaban putranya.

"Sudahlah kalian masuk kamar masing-masing dan beristirahat. Ini sudah malam!" perintah Pramoedya lalu meninggalkan ketiga orang yang tengah berdiri mematung.

Beberapa saat kemudian tawa Bobby pecah kala menyadari wajah Arandita lebih pucat dari sebelumnya.

"Bagaimana Aran? Apakah kamu akan tetap berusaha menjadi istri yang setia sedangkan suamimu itu malah melupakan keberadaanmu di sini?" tanya Bobby dengan senyum smirk-nya.

Arandita berdecak kesal sebelum akhirnya pergi meninggalkan Bobby dan menyusul Bastian ke kamar mereka.

"Bobby, kita harus bicara besok!" seru Pramoedya.

Sampai di kamar, Arandita langsung menghempaskan tubuhnya ke atas kasur.

"Menyebalkan," ucapnya kesal.

"Kenapa kamu?" tanya Bastian dengan ekspresi datar. Pria itu sedang menaruh tas kerja pada tempatnya lalu menunduk untuk membuka sepatu.

"Nggak apa-apa hanya sedang ingin marah aja," jawab Arandita tanpa melihat ke arah Bastian.

Pria itu menghentikan aktivitasnya lalu mengerutkan kening.

"Marah pada siapa? Padaku?" Suaranya masih terdengar datar.

"Siapa lagi? Memang harus marah pada jam yang berdetak atau ayam yang berkokok gitu?!"

"Emang aku kenapa?" tanya Bastian pura-pura tidak paham padahal dalam hati tersenyum geli.

"Nggak nyadar ya bikin orang nggak bisa tidur. Bisa nggak, tidak membuat orang lain khawatir. Seharusnya kalau telat pulang ngasih kabar. Nggak kayak gini, seenaknya saja."

"Cih Belum jadi istri beneran sudah belagu, pengen ngatur-ngatur. Gimana kalau jadi istri beneran? Bisa-bisanya aku jadi suami takut istri kalau istrinya protektif macam kamu," gumam Bastian seperti bicara pada diri sendiri.

Arandita tidak menggubris perkataan Bastian yang tidak jelas itu, tetapi malah merebahkan tubuhnya di atas kasur dan memejamkan mata.

"Arandita!" panggil Bastian, tetapi sang istri pura-pura tidak mendengar.

"Aran!" panggilnya lagi. Tetap saja Arandita masih cuek.

"Arandita Al Furqan!" panggil Bastian dan kali ini suaranya membuat Arandita langsung tergelak.

"Ingat perjanjiannya, selama menjadi istri kontrakku, kau akan menuruti perintahku!" tegas Bastian membuat Arandita langsung bangkit.

"Atas dasar apa aku tanda tangani surat itu ya? Nggak ada untungnya juga buatku," ucap Arandita sambil menggaruk kepala. Bingung dengan dirinya sendiri, bahkan ia tidak sempat mencerna penjelasan dalam surat perjanjian tersebut karena saat itu dalam keadaan yang sedang tidak konsentrasi.

"Ingat dalam perjanjian dijelaskan kalau kau tidak menurut kau harus bayar denda," ujar Bastian lagi.

Arandita mendesah kasar lalu berjalan ke arah Bastian.

"Apa yang harus aku lakukan sekarang?"

"Buka sepatuku!" perintah Bastian membuat Arandita terbelalak tak percaya. Dia semakin bingung melihat sikap Bastian yang berubah-ubah.

"Dan siapkan air panas untuk mandi!" lanjut Bastian.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status