"Cck, aku ini istrinya atau pembantu sih?" keluh Arandita membuat Bastian langsung menatap tajam mata sang istri.
"Iya-iya, aku akan lakukan," ucap Arandita lalu mengusap tengkuknya yang tiba-tiba terasa dingin sebelum akhirnya mengulurkan tangan untuk membuka sepatu Bastian. Wanita itu celingukan lalu menaruh sepatu tersebut ke tempatnya.Bastian sendiri membuka kancing bagian atas kemeja kemudian melepaskan dasi. Pria itu langsung menjatuhkan tubuh di atas kasur dan menghembuskan nafas panjang."Maaf, aku siapkan air panas dulu," ucap Arandita sebelum akhirnya meninggalkan Bastian seorang diri. Beberapa saat kemudian wanita itu langsung memberitahukan pada Bastian bahwa air panasnya sudah siap. Bastian hanya merespon dengan anggukan lalu masuk ke dalam kamar mandi.Di kamar Arandita tampak gelisah, ingin tidur takut Bastian masih membutuhkan dirinya."Apa yang harus aku lakukan sekarang? Nawarin dia makan malam atau tinggalkan saja dia tidur?" Wanita itu mondar-mandir tak karuan."Ah siapkan baju aja," putus Arandita lalu bergegas menuju walk in closet dan mencari baju tidur, dimana baju-baju Bastian tertata rapi di sana. Arandita langsung mengambil satu setel piyama dan meletakkan di atas ranjang. Setelahnya ia berbaring di atas ranjang untuk menunggu perintah selanjutnya.Tidak lama kemudian Bastian keluar dari kamar dengan bathrobe lalu mendekati sisi ranjang. Melihat sudah ada pakaian di samping Arandita, pria itu langsung meraih dan membawa ke ruang kerja dimana sudah merangkap menjadi kamar tidurnya saat ini."Tak tahu terima kasih," kesal Arandita melotot ke arah pintu ruang kerja yang ditutup dari dalam. Geram dengan sikap Bastian, akhirnya ia tinggal pria itu tidur. Baru sepuluh menit memejamkan mata Arandita langsung terlelap.Di ruang kerja, Bastian masih belum tidur. Dia duduk di kursi dengan termenung. Rasa-rasanya dia tidak akan bisa tidur semalaman ini. Pikirannya masih berkelana ke sana kemari."Ah, kenapa ujian seolah datang beruntun?" Bastian menutup wajah dengan kedua tangan sambil memejamkan mata.Dia merasa hidupnya kacau semenjak kepergian Friska dari kehidupannya. Wanita itu meninggalkan dirinya dengan cara yang tidak wajar. Orang-orang, bahkan polisi pun menyimpulkan gadis itu mati karena bunuh diri, tetapi Bastian merasa ada yang janggal dengan semua itu.Belum juga bisa memecahkan kasus kematian sang kekasih dia harus dihadapkan dengan tuduhan orang-orang bahwa dirinya adalah lelaki tidak normal hanya gara-gara tak sengaja berciuman dengan Rafi dan gambar itu secepat kilat langsung tersebar. Entah siapa pelakunya masih lolos dari penyelidikan Bastian dan orang-orang suruhannya.Bastian mengepalkan tangan, lalu memukul keras meja dengan tangannya hingga Arandita yang tertidur langsung terbangun akibat suara itu terasa seperti ada yang melempar batu besar."Apa itu?" Arandita langsung terduduk dengan lemas."Dan sekarang aku harus berpura-pura romantis dengan Arandita untuk meyakinkan semua orang? Tidak! Itu sangat berat, lebih berat daripada harus berjuang memenangkan tender," gumam Bastian lalu menggelengkan kepala."Huh!" Pria itu mendengus lalu bangkit dari duduknya, melangkah ke arah pintu dan mengabaikan Arandita yang masih duduk di pinggir ranjang. Pria itu lalu bergegas menuju ke dapur."Apa yang akan dia lakukan lagi?" Arandita mulai suka berprasangka buruk setelah melihat gambar-gambar wanita di kamar Bastian. Rasa curiga yang mendera membuat wanita itu memutuskan untuk membuntuti Bastian. Dengan langkah pelan dan penuh kehati-hatian Arandita menyusul Bastian ke dapur. Sampai di pintu dapur, Arandita hanya mengintip dari luar apa yang dilakukan oleh Bastian."Oh, dia hanya ingin membuat minuman," lirih Arandita lalu menepuk jidat karena sebelumnya berpikir ada yang disembunyikan Bastian dalam rumah besar itu."Ternyata dia cekatan juga," gumam Arandita melihat gerakan tangan Bastian yang begitu lihai mengupas jahe lalu menggeprek sebelum akhirnya menaruh ke dalam gelas dan menuangkan air panas. Pria itu tampak fokus mengaduk-aduk minuman yang sudah ditambahi gula pasir itu tanpa mengalihkan pandangan."Kayak ayah saja suka wedang jahe malam-malam, apa dia kedinginan di tengah cuaca malam yang panas seperti ini? Kenapa tidak matikan AC saja?" gumam Arandita dan tidak sengaja tangannya menyenggol lukisan di sisi pintu hingga terjatuh. Hal itu langsung membuat Bastian menoleh ke belakang dan mengerutkan kening.Seperti maling yang terciduk, wajah Arandita terlihat pias. Wanita itu langsung mengambil lukisan dan menaruh ke tempat semula. Demi untuk menutupi rasa malunya yang ketahuan mengintip, Arandita terus melanjutkan langkah masuk ke dalam dapur sambil memegang leher."Tenggorokanku sakit sekali," gumam wanita itu lalu mengambil air hangat untuk diminum sedangkan Bastian sendiri sama sekali tidak mengindahkan keberadaan Arandita di sana. Pria itu langsung keluar dari dapur sambil membawa minuman yang sudah berhasil dia buat tanpa sepatah katapun.Esok hari semua keluarga sudah berkumpul di meja makan. Arandita merasa canggung karena di meja makan didominasi laki-laki dan hanya dia seorang yang perempuan. Mama dari Bastian sudah tiada sehingga hanya Arandita seorang diri yang kelilingi tiga lelaki.Suasana semakin canggung tatkala sejak dari Arandita menarik kursi sampai duduk di samping Bastian, Bobby terus saja menatap dirinya begitu intens, tak mau berpaling sedikitpun hingga Arandita menjadi gugup."Kapan kau akan menikahi Agresia? Apa kau tidak ingin segera berkumpul dengan putrimu?" Pramoedya tidak sadar bahwa pertanyaannya pada Bobby membuat Arandita terhanyut kembali dengan kesedihan yang baru saja ingin ia kubur dalam-dalam. Wanita itu langsung menunduk dan dengan gerakan pelan tangannya mengambil nasi lalu menaruh di piring Bastian."Pa! Jangan ngomongin tentang hal itu sekarang!" Bobby memperingatkan sambil menunjuk ke arah Arandita dengan ekor matanya. Namun, sepertinya Pramoedya tidak paham."Mau aku ambilkan ikan yang mana Mas?" tanya Arandita agar dirinya tidak mendengar percakapan antara Bobby dan ayah mertuanya. Tak sanggup ia jika harus mendengar bahasan tentang hubungan keduanya."Biar aku ambil sendiri!" tegas Bastian lalu mengambil ikan gurame goreng tepung
"Nona Aran Anda di jemput pak sopir!" seru Bik Lin sambil mengetuk pintu kamar Arandita."Sopir?" Arandita langsung mengelap air mata sebelum akhirnya berjalan ke arah pintu dan menguaknya."Pintunya tidak dikunci Bik," terang Anandita saat menyadari pintunya tidak ditutup rapat oleh Bastian saat keluar tadi."Iya Non, bibi hanya tidak ingin lancang kalau masuk tanpa izin," jelas Bik Lin dan Arandita hanya menjawab dengan anggukan."Oh ya Non, pak sopir sudah menunggu.""Aku tidak akan kemana-mana Bik, memang mau kemana?""Kata pak sopir Non Aran akan pergi ke kafe. Den Bastian meminta agar Nona yang menjadi managernya agar tidak melibatkan banyak karyawan sebab kafe itu kan masih kafe baru.""Oke Bik Aran paham, maaf jika harus diingatkan karena Aran benar-benar lupa akan rumah makan tersebut.""Tidak apa Non, manusia memang tempatnya lupa. Kalau begitu Bibik permisi ya! Masih ada pekerjaan yang belum kelar.""Silahkan, Bik."Bik Lin menunduk sebelum akhirnya meninggalkan Arandita se
Arandita langsung menghempaskan tubuh dengan kasar di atas kursi ruangan manager. Ia memijit pelipis yang terasa begitu pening, disengaja atau tidak, orang-orang di sampingnya beberapa hari ini membuat Arandita naik darah meskipun sekuat mungkin ia tahan agar tidak meledak. Dari sikap Bastian yang begitu cuek, suka memerintah serta memutuskan sesuatu tanpa meminta persetujuan darinya, Bobby yang seakan memaksakan untuk bertahan dengan cinta yang sudah tidak bisa diselamatkan lagi, ditambah sikap Agresia yang menuduh dirinya macam-macam. Rasanya kepala Arandita ingin meledak."Minum dulu Bu," ucap Juna sambil mengulurkan segelas air putih setelah Arandita sampai di meja lalu menarik nafas beberapa kali."Makasih," ucap Arandita lalu menarik gelas dari tangan Juna dan meminum isinya sampai tandas."Boleh tinggalkan aku sendiri?!""Baik Bu, permisi!" Juna segera keluar dari ruangan Arandita.Sepeninggal Juna, Arandita mencoba menetralisir detak jantungnya yang berpacu lebih cepat dari bi
Di dalam sana Bastian dan sekretarisnya sama-sama berdiri dengan wajah yang saling berdekatan, bahkan dari posisi Arandita berdiri saat ini mereka terlihat seperti sepasang kekasih yang sedang berciuman. Sania sang sekretaris melirik Arandita yang terpaku di depan pintu kemudian dengan liciknya ia mendorong tubuh Bastian hingga pria itu terdorong ke belakang dan tubuhnya Bastian jatuh bertumpu pada kursi, sedangkan tubuh Sania jatuh tepat di atas tubuh Bastian.Arandita langsung berputar arah membelakangi mereka sementara Sania tersenyum licik. Wanita itu berharap dan yakin, setelah ini hubungan keduanya akan renggang, lebih-lebih Arandita akan meminta cerai dari Bastian."Sania! Kau apa-apaan sih?" protes Bastian sambil mendorong tubuh sang sekretaris dari atas tubuhnya. Mata pria itu menatap tajam dengan perasaan tidak suka. Sania segera berdiri dan membenahi pakaian."Maaf Pak, saya tiba-tiba pusing, mungkin karena semalam lembur menyelesaikan tugas yang Bapak berikan ditambah lag
Di belakang mereka berdua berdiri Bobby dengan ekspresi terkejut mendengar pembicaraan antara Arandita dan Bik Lin."Jangan-jangan Abang ingin meminta hak suami pada Arandita, ini tidak bisa dibiarkan," ucap Bobby lalu berjalan cepat menuju kamar Bastian. Saat berpapasan dengan Arandita keduanya sempat saling berpandangan, tetapi Arandita langsung memalingkan wajah.Dari luar kamar yang pintunya terbuka, tampak Bastian sedang berjalan dengan tubuh yang hanya terlilit handuk."Bang aku mau ngomong!" seru Bobby, tetapi Bastian langsung menutup pintu tanpa menanggapi perkataan adiknya."Okelah tunggu aja dulu. Abang pasti masih mau ganti pakaian," ujar Bobby mencoba memahami situasi walaupun sebenarnya dirinya sudah tidak tahan ingin bicara dengan Bastian. Pria itu melangkah menuju tangga dan menunggu di sana sambil melihat ke lantai bawah dimana Arandita sudah berjalan ke dapur bersama Bik Lin sambil tertawa-tawa."Lama amat sih," keluh Bobby karena Bastian belum keluar juga. Ia melihat
"Sama-sama, ikannya mau yang mana Pa?" Daripada meladeni kedua pria bersaudara yang aneh itu lebih baik Arandita melayani makan ayah mertuanya ."Bastian, apa kau tidak ada rencana untuk berbulan madu?" tanya Pramoedya membuat Bastian tersedak makanannya sendiri."Hati-hati kalau makan Mas," ucap Arandita sambil mengulurkan segelas air pada sang suami dan Bastian menerimanya tanpa melihat wajah Arandita. Bobby melirik ke arah Bastian dan mengerutkan kening. Berharap sang kakak akan mengatakan tidak. Dipandangi dengan begitu intens, Bastian paham Bobby sedang menunggu jawaban darinya."Tentu saja Pa," ucap Bastian membuat Arandita terbelalak tidak percaya.Bobby langsung bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan meja makan."Bob! Bobby!" teriak Pramoedya. Namun, seperti biasa, jika Bobby ada yang tidak dia sukai pasti dia tidak akan mendengarkan perkataan sang Papa."Oh ya kapan rencananya kalian berangkat?""Belum saya rencanakan Pa. Saya permisi ke kamar duluan," ujar Bastian ser
Arandita pun mengekor masuk ke dalam kamar mereka. Bastian duduk di pinggir ranjang membuat Arandita canggung untuk duduk di tempat yang sama. Bastian sendiri tidak perduli lagi dengan keberadaan Arandita yang tampak mondar-mandir di depan ranjang seperti setrikaan yang belum kelar merapikan pakaian.Arandita melirik Bastian, pria itu tampak asyik berbalas chat dengan seseorang yang entah siapa. Melihat itu semua Arandita tahu Bastian akan lama berada di kasurnya padahal ia berharap agar Bastian segera menyingkir dari kamar itu walaupun hanya sejenak. Ingin menyuruh Bastian pergi tidak enak karena kamar tersebut sebenarnya adalah kamar milik Bastian sedangkan dirinya hanya menumpang. Akhirnya wanita itu memutuskan ikut duduk di ranjang karena sudah pegal banyak berdiri semenjak dari kafe.Arandita menatap ke arah ponsel, penasaran dengan siapa Bastian berbalas pesan hingga mengabaikannya dirinya yang ada di sana."Ah bukannya sudah biasa kalau dia mengabaikan keberadaanku?" batin Ara
Sungguh sulit untuk mengubur perasaan yang telah terpupuk selama lima tahun terakhir ini. Perasaan Arandita pada Bobby masih sangat besar meski kini perasaan itu juga bersanding dengan kebencian yang tidak bisa dicegah akibat pengkhianatan yang Bobby gubah dalam kisah asmara mereka.Tanpa disadari ada air mata yang menetes di pipi, menghanyutkan asa yang pernah terangkai indah. Perlahan tapi pasti isak tangis pun mengiringi hingga lelap membawanya merajut mimpi dalam balutan malam yang tak lagi hangat seperti saat ia menjadi kekasih Bobby.Bastian yang mendengar isak tangis Arandita dari balik dinding menajamkan pendengaran kala suara itu hilang ditelan kesunyian. Pria itu bangkit berdiri dan melangkah menuju ranjang king size yang kini menjadi tempat tidur Arandita.Pria itu terpaku melihat mata Arandita yang bengkak akibat banyak menangis."Apa ada ucapanku yang menyakitinya tadi?" Pria itu menggaruk kepala saat mengingat dirinya tak berbuat apapun yang menyinggung perasaan Arandita.