“Kita nggak bisa bertemu dulu untuk sementara waktu. Jadi, tolong jangan hubungi aku, terutama di hari libur.”Rupanya, kata-kata Ayrin malam itu begitu membekas untuk Reygan. Terbukti, ketika ia bertemu dengan Veranda usai mereka meluapkan hasrat gila, pria itu mengangkat isu ini pada kekasihnya.“Apa maksud kamu?” tuntut Veranda dengan kesal sambil mendongakkan kepalanya ke arah Reygan yang berbaring di sampingnya. Reygan tahu Veranda akan kesal dan marah. Namun, ia juga harus memikirkan posisi Ayrin. Gadis polos tak bersalah itu tidak boleh lagi jadi korban keegoisannya.“Ayrin sudah mulai curiga. Dia sadar aku selalu menghindar,” balas Reygan dengan gemas. “Yang benar aja. Kita ini sudah jarang ketemu, Rey. Setiap hari kamu sibuk di kantor mertuamu. Kita cuma bisa bertemu saat kamu libur… dan sekarang—”“Aku harus gimana lagi, Ra? Sejak awal kan ini rencana kamu.” Reygan mengacak rambutnya dan mengusap wajahnya kasar. Ia memotong ucapan Veranda dengan cepat. Veranda mendengus k
“Malam ini kamu jangan pulang terlalu malam ya, Mas.”Reygan menoleh sambil memasang dasinya. “Ada acara apa memangnya?” Ayrin tersenyum. “Kita jarang sekali makan malam bersama. Aku mau sesekali masak makan malam untuk kamu. Masa kita ketemu waktu sarapan aja. Itu pun cuma sebentar.”“Saya usahakan, ya,” balas Reygan, membuat air muka Ayrin berubah murung. “Saya usahakan pulang cepat, Rin. Kalau sekitar pukul 9 bagaimana?” lanjut Reygan.Senyum Ayrin kembali merekah. “Aku akan menunggu, Mas.” Namun, senyum bahagia Ayrin pagi tadi terasa sia-sia. Ia menunggu pria itu pulang hingga matanya terasa berat dan akhirnya tertidur di sofa. Ternyata Reygan memang tidak kembali ke apartemennya. Ayrin menghela napas berat, kekecewaan memenuhi relung hatinya. Seolah-olah, segala upaya yang dia lakukannya tak berguna. Makan malam yang ia buat dengan sepenuh hati pun tak tersentuh sama sekali.Tangan Ayrin yang gemetar mencoba memegang ponsel, dan setiap panggilan yang tak dijawab hanya mena
“Sudah siap?” tanya Reygan, suara mesin mobilnya masih terdengar pelan di udara malam yang sejuk.“Apa kamu sudah lama menunggu di sini?” seru Ayrin, suaranya dingin seiring ia mengaitkan sabuk pengaman di tubuhnya. Ada ketidaknyamanan yang terasa di udara, Reygan merasakannya.Reygan menyadari satu hal tentang Ayrin, bahwa gadis itu seringkali menjawab pertanyaan dengan bertanya kembali. "Baru saja sampai," jawabnya sambil menatap tajam Ayrin. "Kamu sudah siap?"Ayrin mengernyitkan dahinya, bertanya dengan nada acuh tak acuh, “Siap apa?”“Loh, saya belum bilang sama kamu?”Ayrin menggeleng. “Bilang apa?”“Mama mau kita makan malam di rumah.”“Kita pulang dulu, kan?”Reygan menggeleng pasti. “Kita langsung ke sana. Kalau pulang dulu takut macet.” Ayrin menghela napas panjang. Sementara Reygan hanya tersenyum sambil melirik ke arah jam tangannya. “Tenang, kita bisa mandi dan ganti di rumah. Masih ada waktu sebelum makan malam. Daripada balik ke apartemen, lebih baik kita mandi di sana
Suasana di meja makan terasa sangat canggung bagi Ayrin. Apalagi dengan tatapan Rayden dan Veranda yang seolah tak pernah lepas darinya. “Makanmu kok cuma sedikit, Rin. Lagi diet atau makanannya nggak sesuai selera?” tanya Vina tanpa nada menyindir. “Nggak… nggak kok, Ma. Makanannya enak, Ayrin suka,” balas Ayrin dengan salah tingkah karena tiba-tiba menjadi pusat perhatian. Vina tersenyum lalu kembali bertanya dengan santai, “Gimana rencana bulan madu kalian? Sudah ada rencana mau pergi ke mana?” Ayrin hanya terdiam, ia melirik ke arah Reygan yang ada di sampingnya. Merasa diperhatikan, Reygan pun menoleh. “Belum ada rencana apa-apa, Ma. Masih nunggu Ayrin selesai koas,” sahut Reygan, berusaha meredakan kecanggungan. Vina mengangguk pelan. “Kalau soal baby gimana? Masih belum ada rencana juga? goda Vina. Wajah Ayrin memerah, ia melirik lagi ke arah suaminya. “Rey mau Ayrin fokus dulu menyelesaikan pendidikannya, Ma,” balas Reygan dengan sabar. Mamanya itu memang senan
“Apa yang kamu lakukan?” Ayrin hampir memekik ketika Rayden tiba-tiba muncul di belakangnya. Gelas di sebelah tangannya pun hampir meluncur ke lantai. “Mas sendiri ngapain sih di situ? Kenapa juga lampunya nggak dinyalain? Bikin orang kaget, tahu!” seru Ayrin sambil menebah dadanya. “Kebiasaanmu belum hilang juga, ya? Ditanya malah balik nanya.” “....” Ayrin memutar bola matanya malas. Ia melangkah untuk mengisi gelasnya dengan air. “Tidak bisa tidur?” tanya Rayden yang kini berdiri di samping Ayin. Gadis itu mengangguk lalu menoleh ke arah Rayden. “Mas juga?” Rayden mengangguk, matanya terus tertuju pada Ayrin. “Nggak bisa tidur… tapi malah minum kopi?” gumam Ayrin sambil memandang segelas kopi di tangan Rayden. Rayden tidak menjawabnya, ia lebih tertarik dengan topik lain. “Hmm… bagaimana pernikahanmu?” Ayrin mengangkat satu alisnya, merasa dejavu dengan pertanyaan itu. Kenapa Rayden dan Veranda tampak begitu penasaran. “Ya gitu,” balas Ayrin dengan singkat.
“Masih nggak bisa tidur? Kepalanya masih pusing?” Ayrin menoleh dan menemukan Reygan sudah berada di sampingnya.Ia terdiam. Rasanya masih belum mau untuk berbicara dengan suaminya. Karena setiap kali melihat wajah Reygan, ia kembali memikirkan perkataan Rayden. Gadis itu merasa dilema. Di satu sisi, rasa penasarannya sudah membuncah. Namun, di sisi lain Ayrin tidak berani menanyakannya atau mungkin belum berani menghadapi kenyataan yang sebenarnya. “Ada sesuatu yang terjadi di rumah yang saya tidak tahu? Atau mungkin mama bilang sesuatu ke kamu?” tuntut Reygan dengan cemas. “Atau kamu nggak nyaman dengan pembicaraan mama di meja makan?” Ayrin menggeleng sambil menghela napas dalam. “Kepalaku pusing, Mas. Aku mau istirahat,” balas gadis itu kemudian dengan sabar. “Kita ke dokter, ya? Atau mau saya ambilkan obat?” gumam Reygan, wajahnya begitu dekat dengan wajah Ayrin. “Nggak perlu, Mas. Aku cuma butuh istirahat aja,” ujar Ayrin dengan tenang, ia mencoba memaksakan senyumnya. Ay
“Ini Ayrin. Dia istriku.” Melihat cara wanita di hadapannya menatap Ayrin, Reygan pun langsung memperkenalkan sang istri pada wanita itu.“Dia istrimu?” gumam perempuan itu seperti sedang memastikan pendengarannya masih berfungsi dengan baik.“Ya, kami baru saja menikah,” balas Reygan dengan canggung. “Jadi, ini wanita yang dijodohkan sama kamu?” tanya Eliza lagi, masih tak percaya.Reygan menggeleng. “Bukan, dia wanita pilihanku.”Perempuan cantik itu tampak tertegun, memandang ke arah Reygan dengan sorot mata tak percaya seolah bertanya-tanya apakah pria itu tidak salah memperkenalkan Ayrin sebagai istrinya.“Eliza.” Perempuan itu mengulurkan tangannya lebih dulu. “Aku salah satu mantannya.”Ketika mereka berkenalan, Eliza menatap Ayrin penuh penilaian. Seperti mesin pemindai, Eliza memperhatikan penampilan gadis di hadapannya dari atas sampai ke bawah dengan seksama. “Sudah berapa lama di Jakarta?” tanya Reygan dengan cepat, mencoba meredakan suasana canggung di antara mereka.
“Bagaimana kamu tahu saya ada di sana? Apa Eliza juga yang memberitahu?”Ayrin memang merasakan perubahan sikap Reygan, tentunya ke arah yang lebih baik. Namun, kemudian ia merasa ketakutan kembali menyergapnya. Ia takut membuka hati dan berakhir kembali dikecewakan.Perasaan itu semakin menguat ketika ia memergoki suaminya dan Eliza sedang berciuman di sebuah kelab malam. Melihat kehadirannya, Reygan buru-buru mendekat. Dengan raut wajah cemas, pria itu mencoba menjelaskan.“Saya nggak ada hubungan apa-apa dengan dia, Rin. Semua yang terjadi nggak seperti yang kamu lihat.”Ayrin mencium bau alkohol yang cukup kuat. Ia melirik sekilas ke arah Eliza yang menyeringai tajam ke arahnya. “Sebaiknya kita pulang, Mas,” kata Ayrin lalu melangkah keluar. Sejak malam itu, Ayrin tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia tidak menunjukkan kemarahan atau kekesalannya. Gadis itu tetap melayani Reygan dengan baik. “Malam itu Eliza yang menghubungi saya, Rin. Dia mengajak bertemu karena itu hari terakhirn