Share

Pernikahan Paksa Tuan Muda
Pernikahan Paksa Tuan Muda
Penulis: Romeo_blue

1. Dipaksa Pulang

“Tuan muda, Anda harus kembali ke Indonesia hari ini juga. Maafkan kelancangan saya, tapi saya ditugaskan untuk segera mengantarkan Tuan Muda ke bandara sekarang.”

“Yang benar saja?! Baru kemarin saya di wisuda dan saya masih mau mencari banyak pengalaman  dulu di sini. Sampaikan pada Mama dan Papa kalau saya tidak bisa pulang untuk saat ini,” tolak Tian dengan tegas.

Tian yang baru saja menyelesaikan pendidikan S1nya di negeri paman sam, terhenyak kaget saat tiba-tiba ia disuruh pulang seperti ini. 

Padahal, masih banyak yang ingin ia lakukan di negara ini. Sungguh, ia begitu ingin mencoba bekerja dulu di beberapa perusahaan yang ada di negara tempatnya berkuliah saat ini. Barulah saat ia memiliki banyak pengalaman, ia akan pulang ke Indonesia dan siap membantu perusahaan Papanya.

Sebagai anak orang berada, sebenarnya Tian tak perlu bekerja dan bisa saja langsung mendapatkan jabatan di perusahaan Papanya. Tetapi, ia yang sudah 4 tahun ini hidup mandiri selama menempuh pendidikan di negara orang ini, ingin memantaskan diri ketika kembali ke Indonesia.

Tian ingin menunjukan kalaupun ia melanjutkan perusahaan Papanya, bukan hanya karena orang dalam dan adanya koneksi saja, tetapi juga karena ia memang memiliki kualifikasi yang pantas untuk menjabat posisi tinggi di perusahaan turun temurun milik keluarganya tersebut.

“Maaf, Tuan muda, tapi Anda benar-benar harus pulang sekarang juga. Penyakit ginjal Tuan Harrison kian memburuk dan kini harus menjalani perawatan penuh di rumah sakit. Oleh karena itu, Anda diminta pulang untuk membantu mengelola perusahaan selama Tuan Harrison mendapatkan perawatan di rumah sakit.

Mendengar kabar mengenai penyakit Papanya yang kian parah membuat Tian tampak bimbang sendiri. Disatu sisi ia masih ingin disini, tetapi di sisi lain ia memang harus pulang ke Indonesia.

Sebenarnya Tian ingin pulang pun bukan karena tahu Papanya sakit. Toh, hubungannya dengan Papanya tidak sedekat itu karena Papanya selalu saja bersikap dingin dan acuh tak acuh padanya sedari kecil.

Mungkin kalaupun ada alasannya untuk pulang yaitu untuk bertemu dengan Mamanya dan kekasihnya. Adapun alasan lainnya yaitu karena ia tak ingin warisannya disabotase kalau ia tidak ada di rumah kalau-kalau terjadi kemungkinan paling buruk kepada Papanya.

“Baiklah, kita ke bandara sekarang! Saya rasa tidak punya pilihan lain selain pulang, bukan? Tapi sebelum itu, tolong kau kemas semua barang-barangku. Setelah itu, baru saya bisa pergi ke bandara,” perintah Tian kepada ajudan bokapnya yang jauh-jauh datang ke Amerika hanya untuk menjemputnya.

“Siap, Tuan muda. Saya akan menyiapkan barang-barang muda secepat kilat,” sahut bodyguard dengan gerakan cepat memasukan pakaian dan beberapa barang lain milik Tuan mudanya ke dalam koper.

*****

“Meira, Bisa kamu temani Tante ke Bandara untuk menjemput Tian? Kamu sedang tidak sibuk, ‘kan?”  pinta Helena–Mama Tian– kepada Meira yang merupakan anak sahabatnya.

Wajah Meira tampak tersipu ketika Helena membicarakan tentang Tian. Dengan wajah yang merona dan suara lembutnya, Meira pun menjawab sambil mengangguk, “Kebetulan saya enggak ada kesibukan, Tante. Jadi, saya bisa menemani Tante.”

“Terima kasih mau menemani Tante, Meira. Kamu ganti pakaianmu dulu saja sana. Tante akan menunggu di ruang tamu sambil mengobrol dengan Mamamu. Jangan lupa bersolek yang cantik,” ujar Halena sambil mengusap lembut rambut Meira sebelum ia melangkah keluar dari kamar gadis berlesung pipi yang berparas ayu itu.

Lengkungan senyum tiada hentinya pudar dari waja cantik Meira. Bagaimana bisa ia berhenti tersenyum kalau ia sendiri sudah tak sabar untuk bertemu dengan Tian? 

Meskipun ia bukan pacar atau sekedar teman dekat Tian, tetapi ia memiliki perasaan cinta yang terpendam kepada lelaki itu. 

Meira memang sudah mengenal Tian sedari kecil karena tante Helena yang selalu mengajaknya ke rumah wanita paruh baya itu setiap kali hari libur. Selain itu, ia juga selalu saja satu sekolah dengan Tian dari sekolah dasar hingga mereka memasuki sekolah menengah akhir. 

Namun, perasaannya kepada Tian timbul justru saat mereka SMA. Saat itu, Tian pernah menolongnya dari cowok yang terobsesi padanya dan selalu mengejar-ngejar dirinya. Tian menghajar cowok itu hingga babak belur dan tak berani lagi muncul dan memaksa Meira untuk menjadi pacar cowok itu.

Semenjak itu, Meira merasakan gelenyar aneh merambati dirinya kala berpapasan dan tak sengaja bertemu pandang dengan Tian. Tanpa sadar ia pun mulai mengagumi segala hal tentang Tian. Setiap kegiatan yang dilakukan oleh lelaki itu tampak begitu memukau di matanya.

Namun, sayangnya ia tidak berani untuk sekedar mendekati Tian karena sekalipun sikap lelaki itu sering menunjukan sikap dingin dan tak banyak bicara, tetapi Tian merupakan siswa yang populer di sekolah.  Kepopuleran Tian tentu saja tidak lepas dari ketampanan, kekayaan, dan segudang talenta yang lelaki itu punya dari mulai bidang akademik hingga non akademik. 

Sampai suatu saat Tian harus pergi keluar negeri untuk kuliah, Meira tetap tak jua bisa mengugkpakan perasaan terpendamnya kepada Tian. Akhirnya ia pun hanya bisa memilih untuk menyukai Tian dalam diam. Bahkan, hingga kini mereka sama-sama telah lulus kuliah pun, perasaan sukanya untuk Tian tetap tidak hilang dan berkurang.

****

Setelah 18 jam melalui perjalan udara, akhirnya tiba juga Tian di negara kelahirannya. Sekalipun menaiki pesawat pribadi, tetapi tetap saja perjalanan Amerika-Indonesia bukanlah jarak yang mudah untuk di tempuh dengan secepat kilat.

Dilangkahkan kaki jenjangnya dengan mantap dan tanpa beban. Bagaimana mau ada beban, jika ia hanya turun dengan membawa ponsel di tangannya saja, sedangkan koper miliknya sudah dibawakan oleh ajudan Papanya.

Kaca mata hitam yang Tian pakai ia turunkan sedikit ketika ia telah menginjakkan kaki di aula kedatangan. Seorang gadis dengan setelan kaos putih panjang yang dipadukan dengan bawahan celana kulot berwarna krem tampak memegang papan nama atas dirinya.

Meskipun awalnya bingung siapa gadis yang membawa papan atas namanya, tetapi ketika melihat senyum yang dihiasi dengan dua buah lesung pipi,  ia bisa langsung mengenali gadis itu. 

Pasti gadis itu tidak lain dan tidak bukan merupakan Meira. Walaupun ia tidak berteman dekat dengan Meira, tetapi ia cukup sering melihat wajah gadis yang selalu satu sekolah dengannya dan senantiasa  ibunya bawa ke rumah tiap kali libur sekolah.

“Akhirnya kamu pulang juga, Tian. Mama sangat merindukanmu, Nak. Bagaimana kabarmu selama di Amerika? Maafkan Mama yang tidak bisa datang ke wisudamu.”

Serentetan pertanyaan dari Mamanya langsung menerobos masuk ke dalam gendang telinga Tian, begitu ia sudah sampai di depan Meira dan juga Mamanya yang berdiri di samping gadis itu. 

“Tidak masalah, Ma. Saya mengerti pasti sulit untuk Mama merawat Papa yang sedang sakit,” jawab Tian tidak mempermasalahkan kalau Mamanya tidak dapat menghadiri wisudanya.

Tian memang tahu Papanya telah mengidap ginjal selama satu tahun ini. Sehingga, wajar saja dan ia bisa memaklumi kalau Mamanya tidak bisa datang ke Amerika karena harus merawat Papanya yang sedang sakit-sakitan itu. 

“Ah, anak Mama yang dulu pembangkang ini, ternyata sudah tumbuh menjadi anak yang baik dan pengertian. Kalau melihatmu tumbuh baik seperti ini, tidak sia-sia Mama menyekolahkanmu sampai Amerika,” ujar Helena menepuk lembut Pipi putranya.

“Dari dulu saya sudah baik, Ma. Hanya Mama saja yang dulu terlalu melihat saya seperti kuda liar yang tidak terkendali,” gurau Tian dengan pura-pura memasang wajah kesal di hadapan Mamanya. 

“Mama rasa satu-satunya yang tak berubah darimu yaitu kelakarmu yang di luar nalar itu, Tian. Kamu pasti lelah, ‘kan? Mari kita pulang sekarang. Mama sudah memasakan makanan kesukaanmu.”

Tian mengangguk, tetapi dahinya tampak berkerut. “Tapi bagaimana dengan Papa? Bukankah katanya Mama sedang sibuk merawat Papa? Tidak masalah kalau Mama menjemput saya seperti ini?” 

“Tenang saja, Sewaktu Mama datang ke rumah Meira untuk memintanya menemani Mama menjempumu, Mama sudah minta tolong Tante Maya untuk menjaga Papamu di rumah sakit. Lagi pula Mama sudah cukup merasa bersalah ketika tidak bisa menghadiri wisudamu, Mama tidak ingin tambah merasa bersalah karena tidak bisa menyambut kepulanganmu,” papar Helena dengan alis dan mata yang tertekuk ke bawah.

Mendapati raut wajah sedih penuh penyesalan di wajah Mamanya, Tian pun langsung memberikan rangkulan di pundak Mamanya. 

“Sudahlah, Ma. Mama jadi terlihat tambah tua kalau memasang ekspresi sedih begini. Lagi pula Mama tidak bisa datang bukan karena Mama melupakan saya, tetapi karena keadaan yang memaksa,” tutur Tian mencoba menenangkan Mamanya dengan sedikit berkelakar.

Helena tak bisa tidak tersenyum ketika mendengar perkataan Tian. “Enak saja kamu mengatakan Mama tua, Tian. Tante belum kelihatan tua, ‘kan, Meira? Maaf karena terlalu merindukan Tian, Tante jadi mengabaikanmu, Sayang.”

Meira tersenyum hangat hingga matanya menyipit. “Tante enggak perlu merasa begitu. Meira bisa mengerti kerinduan Tante kepada Tian.”

“Aduh, baiknya kamu, Sayang. Sepertinya kamu ini cocok sekali dengan Tian karena sama-sama pengertian,” goda Helena sambil menggandeng tangan Meira di tangan kanannya dan Tian di tangan kirinya.

Pipi Meira terasa memanas dan memerah ketika mendengar kata-kata Helena. Walaupun perkatan Tante Helena dimaksudkan untuk menggodanya saja, tetapi tetap saja mampu menimbulkan getaran di hatinya. Sebuah getaran yang sudah lama tak Meira rasakan semenjak tiadanya kehadiran Tian di dekatnya.

Berbeda halnya dengan Meira yang salah tingkah dan berdebar-debar, Tian justru merasa biasa saja mendengar perkataan Mamanya yang ditujukan untuk menggoda Meira dan dirinya.

Untuk apa pula Tian merasa salah tingkah dan sebagai macamnya, kalau ia sendiri tak punya perasaan apa pun kepada Meira. Toh, ia sudah mempunyai gadis lain yang ia cintai dengan sepenuh hatinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status