Share

2. Menggantikan Papa

“Terima kasih sudah mengantar Meira pulang, Tante,” ucap Meira ketika mobil Helena berhenti di halaman rumahnya usai mereka menjemput Tian di bandara.

“Sama-sama, Sayang. Tante yang harusnya berterima kasih karena kamu mau menemani Tante menjemput anak bandel ini,” balas Helena tersenyum tulus ke arah Meira sebelum gadis itu turun dari mobilnya.

“Hati-hati di jalan, Tante.” Meira melambaikan tangannya ketika ia telah turun dan melihat mobil Tante Helena yang mulai berjalan meninggalkan halaman depan rumahnya.

Guratan senyum bahagia tidak bisa lepas juga dari wajah Meira ketika benaknya kembali mengalun tentang pertemuannya dengan Tian hari ini. Jantungnya terasa berdebar saat teringat kembali betapa bertambahnya ketampanan Tian setelah sekian lama ia tidak melihat wajah lelaki dambaan hatinya itu. 

Bagaimana mungkin wajah Tian tidak terbayang-bayang dalam angan Meira, kalau sepanjang perjalan tadi, ia diam-diam selalu mencuri pandang ke arah Tian? Dalam hatinya ia sungguh mengagumi pahatan karya Sang Maha Kuasa yang menciptakan pahatan wajah seelok Tian.

Lengkungan alisnya berbentuk tebal sempurna di atas mata cokelat yang dalam, rambut kecoklatannya yang selalu tertata rapi semenjak SMA  tampaknya tak banyak berubah, dan rahangnya pun terukir tegas bak tugu monas.

****

“Hari ini kamu beristirahat saja, Tian. Mama tahu kamu pasti lelah sekali sehabis mengarungi perjalan jauh dari Amerika. Nanti makananmu akan Mama suruh pelayan untuk mengantarkannya ke kamarmu,” tutur Helena saat ia dan Tian telah sampai di rumah mereka.

Tian hanya mengangguk saja sebagai jawaban bahwa ia akan menuruti apa yang dikatakan oleh Mamanya itu. Lagi pula ia memang benar-benar lelah dan membutuhkan waktu untuk meredakan lelahnya dengan beristirahat penuh.

Sekilas menatap sekeliling kamra yang sudah lama tak ia tinggali, Tian memutuskan untuk membersihkan diri dengan mandi. Selesai menyegarkan diri, Tian merasakan kantuk menyerang dirinya dan tanpa sadar ia pun sudah terbawa ke alam mimpi.

“Tuan muda, maaf saya ditugaskan oleh Nyonya untuk membangunkan Anda.” Seorang pelayan paruh baya mengatakan itu sambil menyingkap tirai yang menutupi kamar Tian.

Tian melenguh sebentar ketika matanya baru samar-samar terbuka. Untungnya ia sudah terbiasa terbangun mendengar suara alarm, jadi ketika ada sedikit saja suara yang mengusiknya di pagi hari, dengan mudahnya Tian bisa terbangun.

“Katakan pada Mama, dalam 15 menit saya akan ke bawah, Bi,” sahut Tian beranjak juga dari ranjangnya.

“Baik, Tuan muda. Akan saya sampaikan kepada Nyonya. Kalau begitu saya permisi, Tuan muda,” ujar sang pelayan. “Maaf, Nyonya juga tadi menyampaikan agar Tuan muda mengenakan setelan kantor yang rapi.”

Usai mengatakan itu, sang pelayan pun pergi dari kamar Tian. Sepeninggalan sang pelayan, Tian segera mengambil handuk dan lari ke kamar mandinya. Dengan secepat kilat Tian menyelesaikan acaranya mandinya dan juga bersiap-siap mengenakan setelan kantor serapi mungkin.

“Pagi, Ma,” sapa Tian setibanya ia di meja makan yang sudah lama sekali tidak pernah ia singgahi.

“Duduklah, Tian. Mama sudah menunggumu dari tadi karena ada hal penting yang ingin Mama bicarakan denganmu. Tapi, sebelum itu, kita makan saja dulu. Mama tahu semalam kamu ketiduran dan tidak sempat menyantap satu pun makanan di rumah ini,” tutur Helena sambil memasukan nasi goreng ke piring Tian.

Untuk beberapa saat hanya dentingan sendok dan garpu beradu dengan piring yang terdengar di meja makan kala Tian dan Helena sama-sama sibuk memakan sarapan mereka.

“Mama mau bicara apa sama saya?” tanya Tian ketika ia yang sudah terlebih dahulu menghabiskan makanannya, melihat Helena akhirnya selesai juga menyantap sarapan Mamanya tersebut.

“Begini, hari ini Mamam akan mengajakmu ke perusahaan, Tian. Mama sudah berbicara dengan dewan direksi kalau selama Papamu dirawat di rumah sakit, kamu yang akan menggantikannya mengawasi dan mengelola perusahaan,” papar Helena to the point.

“Tapi saya baru lulus kuliah, Ma. Memangnya para dewan direksi tidak keberatan dipimpin oleh fresh graduate seperti saya?”

“Kamu tenang saja, Tian. Mama sudah meyakinkan para dewan direksi bahwa anak secerdas kamu yang lulus dengan predikat summa cumlaude seperti kamu pasti mampu memimpin perusahaan lebih baik. Lagi pula, Kamu tidak perlu khawatir karena asisten kepercayaan Papa akan membantu dan membimbingmu, Tian.”

Helena memberikan tatapan lembut dan penuh binar kepercayaan bahwa Tian pasti bisa melakukan yang terbaik untuk memimpin perusahaan menggantikan suaminya sementara waktu memimpin perusahaan.

“Padahal, tadinya saya mau mencari pengalaman bekerja dulu di Amerika. Baru saya akan kembali ke Indonesia ketika saya merasa punya banyak pengalaman yang bisa saya gunakan untuk membantu mengembangkan perusahaan.”

“Tanpa perlu melakukannya pun, Mama yakin kalau kamu mampu megembangkan perusahan. Dengan kapasitas kecerdasanmu yang mumpuni, kamu pasti bisa memajukan perusahaan hanya dengan berbekal jam terbangmu selama bekerja di perusahaan Papamu, Tian.”

“Saya mengerti akan hal itu, Ma. Hanya saja, saya tidak ingin dihormati dan dipandang oleh orang lain karena pengaruh orang tua saya. Tapi, saya juga mau orang menghormati saya karena kompetensi yang saya punya, Ma.”

“Kita cukupkan saja pembicaraan sampai disini, Tian. Kepala Mama rasanya mau pecah kalau terus-terusan beradu kata denganmu. Lebih baik kita berangkat sekarang saja ke perusahaan, agar Mama bisa segera memperkenalkan kamu ke seluruh dewan direksi dan karyawan di perusahaan,” pungkas Helena yang beranjak dari meja makan mendahului Tian yang masih duduk.

*****

“Mari, biar saya tunjukan ruangan kerja Tuan muda mulai hari ini,” ucap Ferdino –asisten Papanya– setelah mereka keluar dari ruang rapat usai Mamanya memperkenalkan dirinya kepada para dewan direksi.

“Bukankah ini ruangan Papa? Tidak masalah kah saya memakai ruangan beliau?” 

Sebelum berangkat kuliah keluar negeri dulu, beberapa kali Tian pernah di ajak oleh Mamanya ke ruang kerja Papanya di perusahaan ini. Oleh karena itu, ia masih bisa mengingat bahwa ruangan kerja yang saat ini Ferdinan tunjukan kepadanya adalah ruangan kantor pribadi milik Papanya.

“Saya ditugaskan Bu Helena untuk mengizinkan Tuan muda bekerja di sini selama Tuan Harrison di rawat di rumah sakit. Setelah Tuan Harrison sembuh nanti, saya akan menyuruh orang untuk menyiapkan ruangan kerja khusus untuk Tuan muda,” jelas Ferdino membungkuk hormat di hadapan Tian.

“Baiklah, kalau begitu Bapak boleh kembali ke ruangan Bapak,” kata Tian mengambil posisi duduk di singgasana milik Papanya. “Terima kasih sudah mengantarkan saya kemari.”

“Tuan muda tidak perlu berterima kasih karena memang ini sudah tugas saya. Permisi, Tuan muda.” Sesudah mengatakan itu, Ferdino pun langsung tunggang langgang dari ruangan kerja bosnya.

“Fyuh!” Tian memgembusakn npas lelh. Ia sungguh berpikir bisakah ia bekerja dan menjadi pemimpin yang baik dan bisa diandalkan untuk menggantikan Papanya yang sedang sakit sementara waktu ini.

Meskipun, saat ini ia dipenuhi pemirkan yang merugikan dirinya sendiri, tetapi kalau mengingat perkataan Mamanya yang sangat mengandalkan dirinya, ia pun harus bisa mengenyahkan pikiran itu dan menjadi penuh percaya diri.

“Mama lega sekali karena kamu sudah pulang dan bisa menggantikan Mama yang selama beberapa bulan ini selalu bolak-balik rumah sakit, kantor, dan rumah. Sekarang karena ada kamu disini, Mama bisa lebih fokus mendamping Papa di rumah sakit dan tidak perlu memikirkan masalah perusahan lagi. Mama yakin sekali kalau kamu mampu menghandle urusan kantor dengan baik, Tian”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status