“Terima kasih sudah mengantar Meira pulang, Tante,” ucap Meira ketika mobil Helena berhenti di halaman rumahnya usai mereka menjemput Tian di bandara.
“Sama-sama, Sayang. Tante yang harusnya berterima kasih karena kamu mau menemani Tante menjemput anak bandel ini,” balas Helena tersenyum tulus ke arah Meira sebelum gadis itu turun dari mobilnya.
“Hati-hati di jalan, Tante.” Meira melambaikan tangannya ketika ia telah turun dan melihat mobil Tante Helena yang mulai berjalan meninggalkan halaman depan rumahnya.
Guratan senyum bahagia tidak bisa lepas juga dari wajah Meira ketika benaknya kembali mengalun tentang pertemuannya dengan Tian hari ini. Jantungnya terasa berdebar saat teringat kembali betapa bertambahnya ketampanan Tian setelah sekian lama ia tidak melihat wajah lelaki dambaan hatinya itu.
Bagaimana mungkin wajah Tian tidak terbayang-bayang dalam angan Meira, kalau sepanjang perjalan tadi, ia diam-diam selalu mencuri pandang ke arah Tian? Dalam hatinya ia sungguh mengagumi pahatan karya Sang Maha Kuasa yang menciptakan pahatan wajah seelok Tian.
Lengkungan alisnya berbentuk tebal sempurna di atas mata cokelat yang dalam, rambut kecoklatannya yang selalu tertata rapi semenjak SMA tampaknya tak banyak berubah, dan rahangnya pun terukir tegas bak tugu monas.
****
“Hari ini kamu beristirahat saja, Tian. Mama tahu kamu pasti lelah sekali sehabis mengarungi perjalan jauh dari Amerika. Nanti makananmu akan Mama suruh pelayan untuk mengantarkannya ke kamarmu,” tutur Helena saat ia dan Tian telah sampai di rumah mereka.
Tian hanya mengangguk saja sebagai jawaban bahwa ia akan menuruti apa yang dikatakan oleh Mamanya itu. Lagi pula ia memang benar-benar lelah dan membutuhkan waktu untuk meredakan lelahnya dengan beristirahat penuh.
Sekilas menatap sekeliling kamra yang sudah lama tak ia tinggali, Tian memutuskan untuk membersihkan diri dengan mandi. Selesai menyegarkan diri, Tian merasakan kantuk menyerang dirinya dan tanpa sadar ia pun sudah terbawa ke alam mimpi.
“Tuan muda, maaf saya ditugaskan oleh Nyonya untuk membangunkan Anda.” Seorang pelayan paruh baya mengatakan itu sambil menyingkap tirai yang menutupi kamar Tian.
Tian melenguh sebentar ketika matanya baru samar-samar terbuka. Untungnya ia sudah terbiasa terbangun mendengar suara alarm, jadi ketika ada sedikit saja suara yang mengusiknya di pagi hari, dengan mudahnya Tian bisa terbangun.
“Katakan pada Mama, dalam 15 menit saya akan ke bawah, Bi,” sahut Tian beranjak juga dari ranjangnya.
“Baik, Tuan muda. Akan saya sampaikan kepada Nyonya. Kalau begitu saya permisi, Tuan muda,” ujar sang pelayan. “Maaf, Nyonya juga tadi menyampaikan agar Tuan muda mengenakan setelan kantor yang rapi.”
Usai mengatakan itu, sang pelayan pun pergi dari kamar Tian. Sepeninggalan sang pelayan, Tian segera mengambil handuk dan lari ke kamar mandinya. Dengan secepat kilat Tian menyelesaikan acaranya mandinya dan juga bersiap-siap mengenakan setelan kantor serapi mungkin.
“Pagi, Ma,” sapa Tian setibanya ia di meja makan yang sudah lama sekali tidak pernah ia singgahi.
“Duduklah, Tian. Mama sudah menunggumu dari tadi karena ada hal penting yang ingin Mama bicarakan denganmu. Tapi, sebelum itu, kita makan saja dulu. Mama tahu semalam kamu ketiduran dan tidak sempat menyantap satu pun makanan di rumah ini,” tutur Helena sambil memasukan nasi goreng ke piring Tian.
Untuk beberapa saat hanya dentingan sendok dan garpu beradu dengan piring yang terdengar di meja makan kala Tian dan Helena sama-sama sibuk memakan sarapan mereka.
“Mama mau bicara apa sama saya?” tanya Tian ketika ia yang sudah terlebih dahulu menghabiskan makanannya, melihat Helena akhirnya selesai juga menyantap sarapan Mamanya tersebut.
“Begini, hari ini Mamam akan mengajakmu ke perusahaan, Tian. Mama sudah berbicara dengan dewan direksi kalau selama Papamu dirawat di rumah sakit, kamu yang akan menggantikannya mengawasi dan mengelola perusahaan,” papar Helena to the point.
“Tapi saya baru lulus kuliah, Ma. Memangnya para dewan direksi tidak keberatan dipimpin oleh fresh graduate seperti saya?”
“Kamu tenang saja, Tian. Mama sudah meyakinkan para dewan direksi bahwa anak secerdas kamu yang lulus dengan predikat summa cumlaude seperti kamu pasti mampu memimpin perusahaan lebih baik. Lagi pula, Kamu tidak perlu khawatir karena asisten kepercayaan Papa akan membantu dan membimbingmu, Tian.”
Helena memberikan tatapan lembut dan penuh binar kepercayaan bahwa Tian pasti bisa melakukan yang terbaik untuk memimpin perusahaan menggantikan suaminya sementara waktu memimpin perusahaan.
“Padahal, tadinya saya mau mencari pengalaman bekerja dulu di Amerika. Baru saya akan kembali ke Indonesia ketika saya merasa punya banyak pengalaman yang bisa saya gunakan untuk membantu mengembangkan perusahaan.”
“Tanpa perlu melakukannya pun, Mama yakin kalau kamu mampu megembangkan perusahan. Dengan kapasitas kecerdasanmu yang mumpuni, kamu pasti bisa memajukan perusahaan hanya dengan berbekal jam terbangmu selama bekerja di perusahaan Papamu, Tian.”
“Saya mengerti akan hal itu, Ma. Hanya saja, saya tidak ingin dihormati dan dipandang oleh orang lain karena pengaruh orang tua saya. Tapi, saya juga mau orang menghormati saya karena kompetensi yang saya punya, Ma.”
“Kita cukupkan saja pembicaraan sampai disini, Tian. Kepala Mama rasanya mau pecah kalau terus-terusan beradu kata denganmu. Lebih baik kita berangkat sekarang saja ke perusahaan, agar Mama bisa segera memperkenalkan kamu ke seluruh dewan direksi dan karyawan di perusahaan,” pungkas Helena yang beranjak dari meja makan mendahului Tian yang masih duduk.
*****
“Mari, biar saya tunjukan ruangan kerja Tuan muda mulai hari ini,” ucap Ferdino –asisten Papanya– setelah mereka keluar dari ruang rapat usai Mamanya memperkenalkan dirinya kepada para dewan direksi.
“Bukankah ini ruangan Papa? Tidak masalah kah saya memakai ruangan beliau?”
Sebelum berangkat kuliah keluar negeri dulu, beberapa kali Tian pernah di ajak oleh Mamanya ke ruang kerja Papanya di perusahaan ini. Oleh karena itu, ia masih bisa mengingat bahwa ruangan kerja yang saat ini Ferdinan tunjukan kepadanya adalah ruangan kantor pribadi milik Papanya.
“Saya ditugaskan Bu Helena untuk mengizinkan Tuan muda bekerja di sini selama Tuan Harrison di rawat di rumah sakit. Setelah Tuan Harrison sembuh nanti, saya akan menyuruh orang untuk menyiapkan ruangan kerja khusus untuk Tuan muda,” jelas Ferdino membungkuk hormat di hadapan Tian.
“Baiklah, kalau begitu Bapak boleh kembali ke ruangan Bapak,” kata Tian mengambil posisi duduk di singgasana milik Papanya. “Terima kasih sudah mengantarkan saya kemari.”
“Tuan muda tidak perlu berterima kasih karena memang ini sudah tugas saya. Permisi, Tuan muda.” Sesudah mengatakan itu, Ferdino pun langsung tunggang langgang dari ruangan kerja bosnya.
“Fyuh!” Tian memgembusakn npas lelh. Ia sungguh berpikir bisakah ia bekerja dan menjadi pemimpin yang baik dan bisa diandalkan untuk menggantikan Papanya yang sedang sakit sementara waktu ini.
Meskipun, saat ini ia dipenuhi pemirkan yang merugikan dirinya sendiri, tetapi kalau mengingat perkataan Mamanya yang sangat mengandalkan dirinya, ia pun harus bisa mengenyahkan pikiran itu dan menjadi penuh percaya diri.
“Mama lega sekali karena kamu sudah pulang dan bisa menggantikan Mama yang selama beberapa bulan ini selalu bolak-balik rumah sakit, kantor, dan rumah. Sekarang karena ada kamu disini, Mama bisa lebih fokus mendamping Papa di rumah sakit dan tidak perlu memikirkan masalah perusahan lagi. Mama yakin sekali kalau kamu mampu menghandle urusan kantor dengan baik, Tian”
“Aku perhatikan hampir tiap hari mukamu pucat dan matamu sembab. Kamu enggak mau berhenti kerja atau mengajukan cuti dulu, Ra? Aku yakin Pak Rama pasti kasih izin. Bukan apa, aku cuma khawatir saja sama kamu dan kandungan kamu,” ucap Rea.Kerutan di beberapa bagian wajah Rea seolah mencerminkan betapa tingginya kecemasan yang ia miliki kepada sahabatnya.Sebagai seorang sahabat, bagaimana mungkin ia tak buncah kalau hampir setiap hari disuguhi pemandangan wajah lesu dari sahabatnya yang ia ketahui sedang hamil.Meira tersenyum sebelum merespon ucapan sahabatnya. “Terima kasih kamu sudah mengkhawatirkan aku, Re. Tapi, aku masih kuat untuk bekerja. Lagian kehamilan aku masih kecil. Nanti saja kalau sudah membesar, baru aku akan mengajukan izin cuti.”Memang benar apa yang dikatakan oleh Rea, tetapi Meira tak bisa berhenti karena kalau hanya diam saja di rumah, ia takut akan perasaannya sendiri.Menghabiskan setengah waktunya di rumah dan juga secara penuh di rumah saja saat hari libur,
“Sialan!” Tian melemparkan tinjuan sekonyong-konyongnya ke samsak yang ada di depannya.Amarah Tian seperti sudah di ubun-ubun, saat mengetahui kalau Meira benar-benar hamil sesuai dugaannya dan wanita itu sama sekali tetap kekeh tak mau mengkonsumsi peluruh kandungan yang ia berikan.Semua ini bermula karena ulah Mamanya. Seandainya saja Mamanya tak memberikan seafood padanya. Juga Tak mencampurkan apapun di makanan dan minuman yang diberikan padanya dan Meira, ia dan Meira tak mungkin tidur bersama, lalu wanita itu tak akan hamil seperti sekarang.Oleh karena itu, meski dua bulan telah berlalu, Tian kian menunjukkan sikap dingin dan makin acuh tak acuh pada Meira.Salahnya sendiri menolak permintaannya untuk mengkonsumsi pil yang ia belikan. Jadi, wajar saja Tian makin mudah kesal pada Meira karena kesalahan wanita itu yang tak mau menuruti kehendaknya untuk meminum pil peluruh kandungan, sehingga positif hamil begini.Di tengah kondisinya yang sedang berbadan dua, Meira tampak kewa
“Minum lah pil ini! Saya belikan untukmu supaya bisa langsung meluruhkan yang ada di perutmu, seandainya yang tidak sengaja kita lakukan 3 hari lalu membuahkan hasil.” Alis Meira berkerut. Apa kah yang Tian maksud yaitu kejadian saat mereka tidak sengaja tidur bersama sewaktu bulan madu yang berakhir sehari lalu? Ah … kenapa otaknya lemot sekali. Tentu saja yang Tian maksud memang kejadian malam itu. Lagi pula kapan lagi mereka pernah berhubungan selain malam itu? Dalam keadaan sadar, mana sudi Tian menyentuhnya, meski mereka telah sah sebagai suami istri. Bulan madu mereka pun rasanya hambar. Tian memilih tidur di sofa setelah kejadian malam itu. Hari terakhir bulan madu mereka pun hanya dihabiskan dengan Tian yang sibuk bekerja dan Meira yang hanya bisa menyibukan diri dengan deretan ebook di kindle-nya. Kendati demikian, kenapa pula Tian sampai terpikirkan membelikan pil ini untuknya? Tidak mau kah Tian punya anak dari wanita biasa seperti Meira? Bukan kah di luaran sana, rat
“Jangan mendekat!” larang Tian pada Meira yang ia lirik dari sudut matanya akan mendekat ke arahnya sambil menenteng kotak P3K.“Tapi luka kamu harus segera diobati. Nanti bisa infeksi kalau dibiarkan terlalu lama, Tian.”Meira tak memperdulikan larangan Tian dan terus melanjutkan langkahnya menuju tempat Tian sedang berdiri.Masa bodo kalau lelaki itu akan memarahi dan mengomelinya karena tak menuruti perintahnya. Intinya, Meira sudah sangat khawatir setengah mati karena memperhatikan kian derasnya darah yang mengalir dari tangan Tian. Seolah darah itu adalah air terjun yang tak mau berhenti berambai-ambai.“Saya bisa mengobati tangan saya sendiri! Lebih baik kamu menjauh saja. Saya enggak nyaman ada orang lain saat saya tidak mengenakan pakaian!” hardik Tian menarik dengan kasar tangannya yang akan diobati oleh Meira. “Apa sih masalahnya? Aku istri kamu, jadi wajar saja kalau aku melihat kamu dalam kondisi kayak gini. Lagian aku cuma mau mengobati luka kamu supaya enggak infeksi!”
Sensasi pusing tidak kepalang terasa menyergapi kepala Meira begitu ia membuka mata. Dikerjapkan matanya berkali-kali, sebelum ia menyadari bahwa kepalanya menempel di permukaan yang terasa keras, bidang, dan lapang. Siapa yang menyangka ternyata kepala Meira menempel di dada telanjang Tian. Menyadari hal itu, ia langsung menjauh kan kepalanya karena tak ingin Tian marah-marah kalau tahu kepalanya menempel di dada lelaki itu.Untuk sesaat, Meira belum menyadari apa yang terjadi antara ia dan Tian. Tetapi, sewaktu melihat area sekitar pundak dan atas dadanya terbuka, Meira tak bisa menahan tangannya untuk tak menyingkap selimut yang membungkus tubuhnya dan Tian.“Jangan-jangan semalam aku sama Tian sudah melakukan itu!” batin Meira merapatkan selimut yang membungkus tubuh polosnya ini sampai menutupi dagunya.Seketika pikirannya berkelana pada ingatan semalam. Adegan demi adegan semalam samar-samar mulai menerobos dalam kepalanya.Dimulai dari kepalanya yang terasa pusing dan tubuhny
“Bisa mati bosan kalau saya kebanyakan makan seafood ini, Ma! Saya mau pesan menu lain juga!” lontar Rafka mengangkat tangannya untuk memanggil pelayan dan memesan makanan lain.Namun, belum sepenuhnya terangkat, tangannya sudah diturunkan paksa oleh Mamanya dengan menepuk kencang tangannya.“Jangan mengada-ada, Tian! Kalau kamu memesan menu lain, lantas siapa yang menghabiskan seafood sebanyak ini? Kamu mau kolesterol Mama dan Papa naik? Tega kah kamu kalau sampai perut Meira kembung kalau menyantap sendiri semua makanan ini?” Helaan nafas pasrah terdengar jelas dari bibir Tian. Ingin mengeluarkan bantahan, tetapi ia tidak ingin menjadi pusat perhatian karena Mamanya pasti bertambah garang kalau ia kembali menyanggah.Akhirnya disingkirkannya tiram di hadapannya dan diganti dengan ikan saja. Sepertinya kandungan ikan untuk menambah gairah seksual tak seganas tiram segar kegemarannya itu.Ah … Kalau saja ia berbulan madu dengan wanita yang ia cintai. Ia tidak perlu tersiksa seperti i