Viona merasakan tubuhnya merinding, seolah seluruh udara di ruangan itu tertarik keluar, meninggalkannya berhadapan dengan sosok yang lebih menyerupai bayangan gelap daripada manusia. Tanpa sadar, ia mundur beberapa langkah, jiwanya terhimpit di bawah intensitas lelaki yang berdiri di hadapannya.
Padma tampak seperti seseorang yang tak pernah ia kenal, jauh dari sosok kakak ipar yang selama ini ia anggap sebagai keluarga. "Siapa sebenarnya yang berdiri di hadapanku?" pikir Viona dalam hati.
Apakah kehilangan seseorang yang dicintai bisa mengubah orang menjadi begitu dingin, kejam, dan tanpa hati? Apakah Padma adalah iblis yang menyaru sebagai pria yang selama enam tahun terakhir menjadi saudara iparnya?
"Tapi... Tirta tidak bersalah," suara Viona terdengar lemah dan getir, nyaris patah.
Kengerian dan keputusasaan tercermin dari suaranya, matanya tak mampu menghindari tatapan pria itu yang dingin seperti malam yang tak berbulan.
Padma mengangkat bahu, bibirnya terangkat dalam seringai. "Nyawa dibalas nyawa, Viona. Bukankah aku sudah memperingatkanmu untuk memutuskan hubungan dengan Tirta? Tapi sepertinya, kamu menganggap aku hanya menggertak."
Viona menggigit bibirnya kuat-kuat, mencoba menahan desakan air mata yang kini menggenang di pelupuk matanya. Tidak! Pantang baginya untuk menunjukkan kelemahan di depan Padma.
Dengan nafas teratur, ia mengumpulkan setiap serpihan keberanian yang masih tersisa. "Tapi ini urusan kita berdua, Mas. Kenapa harus membawa Tirta di dalamnya?"
Padma tersenyum miring, melangkah mendekati Viona yang secara naluriah terus menjauh, mundur tanpa ia sadari. Lalu tiba-tiba, tangisan melengking terdengar dari arah kamar dekat ruang tengah.
Baik Padma maupun Viona menolehkan kepala ke arah suara itu. Pengasuh bayi Sabda, putra Padma yang masih berusia empat puluh satu hari, berjalan tergopoh-gopoh menghampiri mereka sambil menimang-nimang bayi yang tampak resah.
"Maaf, Tuan, Sabda rewel dan tidak mau tidur," ucapnya panik sambil mencoba menenangkan bayi yang menangis keras dalam gendongannya.
Tangis Sabda yang meraung-raung membuat Viona terpaku. Setelah empat puluh satu hari, ini adalah pertama kalinya ia melihat Sabda dari dekat. Namun Padma, sejak kepergian Yuanita, tak pernah mengizinkan Viona mendekati bayi itu.
Kerinduan yang mendalam menyeruak di hati Viona, menembus semua benteng emosional yang coba ia pertahankan.
Ia tanpa sadar mendekati pengasuh Sabda, lalu mengulurkan tangan dengan suara yang penuh harapan, “Boleh saya gendong?” pintanya dengan nada memohon.
Pengasuh Sabda melirik Padma, takut-takut meminta izin darinya. Semua orang tahu betul betapa Padma menjaga Sabda dengan keras, tak membiarkan siapa pun menyentuh anaknya.
Padma, yang tampak berpikir sejenak, akhirnya mengangguk, membuat hati Viona berdegup kencang. Dengan hati-hati, pengasuh bayi itu menyerahkan Sabda pada Viona.
Mata Viona berembun, tetapi kali ini bukan karena ketakutan, melainkan karena keharuan yang begitu besar.
Ia mencium Sabda, membisikkan kata-kata penuh kasih yang dulu sering ia ucapkan pada Yuanita semasa hidupnya. Tangis Sabda perlahan mereda, kelopak matanya mengerjap beberapa kali, lalu akhirnya tertutup pelan dalam tidur yang tenang.
Padma mengamati dengan ekspresi datar, tetapi sorot matanya menunjukkan kejutan. Dalam diamnya, ia menyaksikan bagaimana Viona begitu mudah menenangkan bayinya, sesuatu yang bahkan sulit dilakukan oleh pengasuh Sabda.
Senyuman tipis terbit di sudut bibir Padma, dan di balik matanya yang gelap, ada rencana baru yang perlahan terbentuk.
“Kalau Sabda tahu yang menggendongnya adalah orang yang membunuh ibunya, aku yakin dia tidak akan setenang itu,” ucap Padma penuh provokasi.
Kata-kata itu menghantam hati Viona, membuatnya terpaku. Namun ia menegakkan tubuhnya, menatap Padma dengan tatapan tajam penuh keberanian. "Aku adalah tante Sabda, kalau Mas Padma lupa."
Padma tertawa kecil, tatapan matanya yang penuh kejam menusuk, lalu menggumamkan kata-kata dingin, "Dan juga pembunuh ibunya."
Kata-kata itu mencengkeram jiwanya, membuat tenggorokannya serasa tercekik. Namun, ia menahan diri, meski nyeri itu begitu dalam menghujam. Ia tidak akan kalah. Tidak di depan lelaki ini.
Padma sedikit menunduk hingga wajahnya sejajar dengan Viona, suaranya rendah dan penuh ancaman, “Kamu bilang ingin menebus kesalahanmu, bukan?”
Viona mengangguk dengan jantung berdebar, tahu bahwa Padma tak membutuhkan jawaban verbal untuk pertanyaan retoris itu. Ia sudah mengatakan hal itu berkali-kali sejak kematian Yuanita, tetapi Padma terlalu marah untuk mendengarkan.
“Well,” Padma melanjutkan dengan nada yang mengejutkan, “sekarang aku memikirkan satu cara yang bisa membuatmu menebus dosamu, walaupun hanya setitik.”
Tubuh Viona menegang, tubuhnya mendekap Sabda lebih erat, mencoba menenangkan bayi itu yang tertidur dengan damai di pelukannya.
Apa yang diinginkan Padma? Lelaki ini tak mungkin memintanya melakukan sesuatu yang terlalu gila, bukan?
Padma tersenyum, mata kelamnya menatapnya dengan sorot tajam, lalu ia berkata, “Menikah denganku dan jadilah ibu sambung untuk Sabda.”
Viona terkekeh pelan mendengar jawaban Alfie yang begitu egois, namun juga penuh cinta. Tangannya mengelus pelan pipi pria itu, menatap mata hitam yang dulu tampak dingin dan menusuk, kini lebih bersinar dan hidup. Ada harapan, ada kehangatan… ada cinta yang utuh.“Padahal aku sudah membayangkan punya anak perempuan yang mirip kamu,” gumam Viona manja, seolah menggodanya.Alfie terkesiap, lalu mengangkat alis. “Kalau anak perempuan itu mirip aku, mungkin dia akan membantah semua omonganmu, dan menyeret pacarnya pulang jam dua pagi.”Viona tertawa. “Kamu kan sudah berubah. Siapa tahu anak kita nanti juga lembut dan pintar masak seperti Padma, tapi kuat dan bisa bela diri kayak kamu. Kombinasi yang sempurna.”Alfie menatap wajah perempuan yang dicintainya itu, penuh rasa. “Apa pun yang terjadi, Vi... aku akan selalu ada di sisimu. Aku mungkin sedang berproses menjadi satu pribadi yang utuh, tapi hatiku tetap satu—untukmu.”Viona terdiam, matanya berkaca-kaca. “Aku juga akan selalu di si
"Kemarin aku mencari terapis baru yang memiliki pengalaman menyembuhkan penyandang DID. Aku sudah menemukannya. Dan beberapa hari lalu aku mengirim email untuk meminta konfirmasi."Baru saja terapis itu mengatakan bisa bertemu denganku besok lusa. Sayangnya, dia tidak tinggal di Jakarta, tapi di Singapura. Dan kamu harus ikut karena kamu pasanganku sekarang."Viona meneguk ludah dengan susah payah. Dia sama sekali tidak tahu Alfie melakukan pencarian untuk mencari terapis baru. Bahkan selama di Paris pun, Alfie sama sekali tidak pernah menyinggung masalah ini.Dan mengetahui Alfie sudah menemukan terapis baru, tak urung menimbulkan kekhawatiran dalam hatinya."Al, kamu... tidak berniat untuk 'pergi", kan?" tanyanya ragu. Tolong katakan tidak atau dia akan patah hati lagi."Kenapa kamu bertanya seperti itu?" Alfie mengerutkan kening."Yang aku tahu, host kamu adalah Mas lan. Kalau kalian sembuh, itu artinya kamu akan 'hilang', kan?"Dari kasus penyandang DID yang pernah Viona baca, jik
"Done!" seru Viona dengan riang.Tatapannya tertuju pada gembok yang baru saja dia pasang di pagar jembatan Pont des Arts atau Jembatan Gembok Cinta, yang menghubungkan antara Louvre Museum dan Insititute de France.Gembok bertuliskan inisial D & A itu terpajang berdesakan dengan ribuan gembok lainnya yang memenuhi sepanjang pagar jembatan."Sekarang giliran kamu yang buang kuncinya." Viona menyerahkan kunci gembok yang sudah dia pasang pada Alfie.Alfie menatap kunci di tangannya lalu mengembuskan napas panjang. Sulit dipercaya dia melakukan hal sekonyol ini. "Apa aku harus melakukannya? Itu hanya mitos konyol, Viona.""Just-do-it!" Viona berkacak pinggang. "Apa susahnya, sih, lempar kunci ke sungai di depan kamu?""Astaga!" desah Alfie sambil melakukan apa yang Viona perintahkan. Kunci itu melayang dari tangannya lalu mendarat di sungai dengan bunyi kecipak cukup keras."Happy?" ejeknya pada Viona yang tersenyum senang."Happy! Thanks, Al." Viona berjinjit lalu mengecup pipi Alfie p
Viona kembali menoleh pada Savannah yang melanjutkan ucapannya. "Maksudku, dulu kamu melihatnya sebagai kakak ipar, tapi sekarang dia suamimu. Apa kamu tidak merasa canggung?"Sepertinya Savannah tidak tahu Padma adalah penyandang kepribadian ganda dan Viona lebih sering berhubungan alter egonya hingga rasa canggung itu sama sekali tidak ada.Namun demi menyingkat waktu, Viona memilih jawaban diplomatis. "Awalnya pasti seperti itu, tapi seiring waktu semuanya berjalan secara natural."Savannah tampak termangu. Tatapannya beralih pada Mandala yang berdiri di samping Alfie dengan raut serius. Melihatnya seperti itu, Viona jadi ikut menatap Mandala.Mendadak dia bertanya-tanya, apa ada sesuatu di antara paman dan keponakan itu? Karena di matanya, tatapan Savannah sering kali terlihat berbeda saat berhadapan dengan Mandala.Bahkan saat dia melihat pagelaran busana Savannah tiga hari yang lalu, gadis itu terlihat begitu bahagia saat Mandala mampir dengan sebuket bunga. Hanya sepuluhTatapa
"Dadah, Sayang. Tunggu Bunda pulang, ya. Nanti Bunda bawakan oleh-olah yang banyak." Viona melambai pada Sabda lewat layar ponselnya.Bayi itu membalas dengan satu tabokan kencang di layar, seolah menunjukkan rasa kesalnya karena ditinggal Viona selama berhari-hari.Viona tertawa lalu mengakhiri panggilan video setelah melempar goodbye kiss pada bayi gendut itu. Saat menaruh ponselnya kembali ke dalam tas, Alfie tampak berjalan menghampirinya.Viona sontak melempar senyum pada lelaki tampan yang hari ini hanya memakai sweater dan celana jeans itu."Kamu tidak bosan?" tanya Alfie setelah duduk di samping Viona."Nope. Aku baru saja menelepon Sabda, dan dia sudah bisa memanggil 'Papa' dengan sangat jelas."Mata Alfie melebar sempurna. "Oya? Tapi kenapa setiap aku menelepon dia tidak pernah mengatakan itu?" gerutunya. "Di depanmu dia sangat cerewet, tetapi di depanku dia mendadak diam."Viona mengurai tawa sambil meremas tangan Alfie yang bertengger di atas pahanya. "Kamu harus lebih ser
Pesan-pesan itu belum Viona balas sampai sekarang karena dia tidak tahu bagaimana harus menghadapi mantan kekasihnya itu.Menyadari lelaki itu sudah mengetahui semuanya karena ibunya sudah bercerita, makin membuat Viona gamang.Dia tidak sanggup membayangkan bagaimana reaksi Tirta saat mendengar dirinya sudah menikah dengan orang yang sudah merenggut kehormatannya di masa lalu, bahkan mengandung anaknya-meski sekarang anak itu sudah tiada.Seharusnya Viona membalas pesan itu dan mengatakan maaf karena tidak bisa bertemu. Tetapi ternyata jarinya tak sanggup mengetikkan pesan semacam itu.Maka dia membiarkann pesan Tirta menggantung sampai sekarang. Mungkin setelah mereka kembali ke Jakarta, dia punya keberanian untuk membalas pesan mantan kekasihnya itu."Kalau kamu merasa bersalah karena sudah menghabiskan uang sebanyak itu, bukankah seharusnya kamu melakukan sesuatu untuk menebusnya? Minimal jangan punggungi aku. Suara parau Alfie membuyarkan lamunan Viona.Perlahan Viona membalikkan