Mag-log in**** Jam dinding di ruang tamu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Detiknya berdetak pelan, seolah ikut menemani kegelisahanku. Arka telah tertidur sejak satu jam lalu, tubuh kecilnya meringkuk nyaman di tempat tidur. Setelah memastikan ia benar-benar lelap, aku kembali ke ruang tamu dan duduk di sofa, menunggu Bara pulang. Rumah terasa terlalu sunyi malam ini. Lampu-lampu menyala redup, dan suara kipas angin menjadi satu-satunya teman. Berkali-kali aku melirik ke arah pintu, berharap suara mobilnya segera terdengar. Tak lama kemudian, suara kendaraan memasuki halaman memecah keheningan. Jantungku berdegup lebih cepat. Pintu terbuka, dan Bara masuk bersama Bela. “Mas,” sapaku lirih. Bara menoleh ke arahku, tatapan kami bertemu sesaat. Namun ia tak mengatakan apa pun. Ia melangkah masuk bersama Bela, berjalan menuju kamar mereka. Aku berdiri, tanpa sadar mengikuti langkah mereka dengan pandangan mata. Ada perasaan perih yang menjalar di dada saat melihat mereka berjalan berdam
**** Sore mulai merambat pelan. Cahaya matahari menembus jendela ruang tengah, jatuh tepat di wajah Arka yang kini mulai lelah bermain. Suaranya tak lagi seceria tadi. Ia merebahkan tubuh kecilnya di pangkuanku, masih menggenggam mainan kesayangannya. Aku mengelus rambutnya dengan lembut, mencoba menenangkan. Di sela-sela itu, ponselku kembali bergetar. Aku mengira pesan dari pelanggan, namun detik berikutnya jantungku berdegup tak wajar. Nama Bara tertera di layar. Namun belum sempat kubuka, notifikasi lain menyusul. Bukan pesan. Sebuah foto. Tanganku gemetar saat membukanya. Di foto itu, Bara terlihat berdiri di sebuah lobi gedung. Wajahnya serius. Di sampingnya… seorang perempuan berdiri sangat dekat. Terlalu dekat untuk disebut rekan kerja. Perempuan itu tersenyum tipis, tangannya hampir menyentuh lengan Bara. Aku mengenalnya. Bela. Istri kedua Bara. Dadaku terasa sesak. Napasku tercekat. Mataku kembali ke arah Arka yang sudah terlelap di pangkuanku, wajahnya b
**** Setelah kepergian Bara, rumah kembali terasa sunyi. Suara pintu yang tertutup tadi masih terngiang di telingaku, meninggalkan ruang kosong yang entah bagaimana terasa lebih besar dari biasanya. Aku menarik napas pelan, lalu kembali memusatkan perhatianku pada Arka. Anakku itu masih duduk di lantai ruang tengah, dikelilingi mainan-mainan kecilnya. Bibirnya bergerak pelan, berbicara sendiri seolah-olah ada seseorang yang duduk tepat di hadapannya. Sesekali dia tertawa kecil, matanya berbinar, seakan benar-benar sedang bercakap dengan teman yang hanya bisa dia lihat. Aku menatapnya lama, perasaanku campur aduk antara haru dan perih. Arka memang jarang keluar rumah. Selain pergi ke posyandu, hampir seluruh waktunya dihabiskan di rumah. Dunia kecilnya hanya sebatas dinding-dinding ini, aku, dan mungkin teman imajiner yang selalu setia menemaninya. “Arka, kamu nggak capek, Nak?” tanyaku lembut, berusaha tersenyum meski hatiku terasa berat. Arka menoleh sekilas, lalu tersenyum
Di tengah perbincangan kami yang mulai terasa hangat, tiba-tiba ponsel Bara berbunyi. Suara deringnya memecah suasana ruang keluarga yang sebelumnya diisi tawa kecil Arka dan obrolan ringan kami. Bara melirik layar ponselnya sekilas, lalu mengangkatnya tanpa beranjak dari tempat duduk. “Iya, halo. Apa?” ucapnya singkat. Nada suaranya terdengar biasa saja di awal, namun beberapa detik kemudian ekspresi wajahnya berubah. Alisnya mengernyit, rahangnya mengeras. Ia tampak syok, bahkan matanya sedikit membelalak, seolah mendengar sesuatu yang tidak ia duga. Aku memperhatikannya diam-diam, jantungku mulai berdebar tidak karuan. Aku tidak bisa mendengar dengan jelas percakapan di seberang sana, hanya potongan-potongan kata yang keluar dari mulut Bara dengan suara rendah dan tergesa. Tangannya mencengkeram ponsel lebih erat dari biasanya. Ada kegelisahan yang jelas terpancar dari raut wajahnya. Setelah menutup panggilan, Bara menghela napas panjang. Ia menoleh ke arahku, tatapannya terlih
Aku duduk santai di ruang tamu bersama Bara dan Arka. Suasana sore itu terasa hangat, meski di dalam hatiku ada kegelisahan yang tak bisa sepenuhnya kusembunyikan. Arka terlihat begitu ceria, duduk bersila di atas karpet sambil memainkan kereta-keretaannya. Sesekali ia tertawa kecil, memperlihatkan wajah polos yang selalu berhasil melembutkan suasana apa pun. Aku melirik Bara yang duduk di samping Arka. Wajahnya terlihat tenang, seolah tak ada beban yang mengganggu pikirannya. Padahal aku tahu, ada satu hal besar yang belum ia selesaikan. Bela. Sudah hampir dua hari Bela tidak pulang ke rumah, dan Bara memilih diam, membiarkan jarak itu semakin panjang tanpa usaha untuk memperbaiki. “Mas, kamu bicara dengan Bela,” ucapku akhirnya, memecah keheningan. Suaraku kubuat selembut mungkin agar tidak terdengar menghakimi. “Jangan biarkan masalah kalian sampai berlarut-larut.” Bara tidak langsung menoleh. Ia masih fokus memperhatikan Arka yang tengah menyusun rel kereta dengan serius. Beber
Aku melangkah masuk ke dalam rumah dengan langkah cepat dan penuh emosi.Sudah hampir dua hari aku tidak pulang ke rumah Bara.Tapi hari ini aku pulang,pulang ke apartemenku sendiri.Sepatu hak tinggiku kulepas sembarangan di depan pintu, suaranya menggema keras di ruang tamu yang sunyi. Rumah ini selalu terasa luas dan dingin, tetapi selama ini aku menikmati kesepian itu. Sepi memberiku kendali, memberiku ruang untuk merasa menang. Namun malam ini, kesepian itu berubah menjadi sesuatu yang lain amarah yang mendidih, bercampur rasa gelisah yang tak mampu kutepis. Tas mahal yang masih menggantung di lenganku kulempar begitu saja ke atas sofa. Aku menghempaskan tubuhku, napasku memburu, dadaku naik turun tidak teratur. Tanganku masih menggenggam ponsel erat-erat. Di layarnya terpampang sebuah foto foto Bara. Foto yang kuambil sendiri, diam-diam, dari sudut tersembunyi. Foto yang seharusnya memberiku kepuasan, tetapi kini justru terasa seperti tamparan. “Dasar bodoh,” gumamku kesal, ent







