Share

Pernikahan Pura-Pura dengan Tuan CEO yang Sempurna
Pernikahan Pura-Pura dengan Tuan CEO yang Sempurna
Penulis: Shint28

Bab1. Menemukannya

“Kami sudah atur pernikahan kalian. Jadi kamu tidak bisa mundur lagi.“

Liana Parker menyemburkan air minum yang belum sempat ditelannya ke arah sang Papah yang berada di depannya, matanya membelalak, menampilkan keterkejutan dan ketidakpercayaan. Dia tau orang tuanya ingin ia segera menikah, tapi tidak menyangka kalau orang tuanya akan seserius ini. Dia kira mereka hanya ingin memberinya gertakan semata.

“Liana, pelan-pelan minumnya. Ini wajah Papahmu jadi basah semua,” ucap Mamahnya, yang kemudian meraih tisu untuk membersihkan wajah sang suami.

“Ya maaf, Mah, Pah. Tapi ini bukan masalah pelan-pelan, aku terkejut karena ucapan Papah. Bagaimana Papah dan Mamah bisa mengatur pernikahanku tanpa memberitahuku sebelumnya?“

“Kalau kami memberitahumu dulu, memangnya kamu akan setuju?“ sindir sang Papah, sudah tau jawaban apa yang akan diberikan putrinya.

“Tentu saja tidak. Siapa juga yang ingin menikah, Pah, Mah? Liana tidak ingin menikah.“ Saat ini dia belum memiliki keinginan untuk menikah. Liana sudah cukup merasa tenang dan bahagia dengan kehidupan yang dimilikinya sekarang.

“Itulah salah satu alasan yang membuat kami ingin menikahkanmu, karena sampai sekarang kamu belum juga mau menikah. Membawa pacarmu ke rumah saja tidak pernah,” timpal sang Mamah, dengan mengerutkan dahinya. Dia hanya menginginkan kebahagiaan dan masa depan yang baik bagi putrinya. Namun, dia menjadi khawatir karena selama ini sang putri belum pernah mengenalkan pacar ataupun pria yang disukai.

“Tidak pernah membawa pacar ke rumah bukan berarti aku tidak punya 'kan, Mah.“

“Jadi, kamu punya?“ tanya Papahnya , begitu penasaran untuk menunggu jawaban Liana.

“Punya!“ Liana menjawab tanpa berpikir panjang, walau ketidaknyamanan mulai merayapinya.

Kedua orang tua Liana saling pandang, tampak terkejut dengan ucapan putri mereka. “Siapa?“ tanya mereka berbarengan.

Liana terdiam sejenak, lalu dengan cepat mencoba mencari jawaban yang tepat. “Ya ada. Dan yang pasti dia seorang pria.“

“Ya tau kalau dia pria, tapi siapa? Pria itu punya nama, kan? Setidaknya beritahu Papah siapa namanya.“ Sang Papah mendelik curiga.

“Namanya … Pavel. Ya, Pavel.“

“Pavel?“ Orang tua Liana lagi-lagi dibuat terkejut ketika mendengar nama yang disebut putrinya. Mereka kembali saling pandang dan bertukar isyarat mata.

“Kalau begitu, bawa Pavelmu ke rumah besok,” tegas sang Papah.

Dalam kepanikan, Liana mengangguk tanpa sadar. Entah apa yang membuatnya begitu nekad, padahal dia tidak punya pacar, pria yang disuka pun tidak ada. Dan nama Pavel yang disebutkannya, hanya sebuah nama yang terlintas begitu saja dikepala. Mungkin karena pagi tadi dia tidak sengaja membaca nama itu di sebuah sampul majalah bisnis yang akan dibaca sang Papah.

“Bagus! Mamah akan menyiapkan makan malam yang enak untuk kita semua." sang Mamah sudah sangat antusias untuk menyambut hari esok dan bertemu dengan kekasih dari putrinya.

“Ingat Liana! Walau kamu sudah membawanya kehadapan kami, bukan berarti Papah akan langsung setuju. Papah akan lihat dulu, apa dia benar cocok untukmu atau tidak. Mengerti?“

Liana kembali mengangguk. “Papah atur sajalah, Liana mau pamit pergi dulu.“

Liana merasa sedikit pengap di rumah, dia butuh udara luar yang segar untuk melancarkan pernafasannya.

“Kemana?“ tanya sang Mamah, memicingkan mata.

“Mau ketemu Aluna sama Mix,” jawab Liana, berbohong pada orang tuanya.

***

Di dalam klub yang penuh gemerlap, Liana menemukan sudut yang lebih tenang dan memesan minuman di meja bar. Dia duduk di sana, mencoba meredakan ketegangan yang masih memenuhi dirinya.

"Minuman apa yang ingin Anda pesan, Nona?" tanya seorang bartender dengan ramah.

Liana mengedipkan mata, mencoba menghilangkan rasa tegang. "Aku butuh yang bisa membuatku melupakan sesuatu sejenak.“

Bartender itu mengangguk dan mulai mencampurkan minuman khusus untuk Liana. Sambil menunggu, Liana merenung tentang situasinya yang rumit. Kebohongannya dan pernikahan yang diatur orang tuanya, membuat dia merasa terjebak.

Akan tetapi, dia sadar kalau yang paling penting sekarang adalah menemukan langkah selanjutnya. Setidaknya dia tidak harus menikah dengan pria yang orang tuanya pilihkan.

“Silahkan, minuman Anda, Nona.“ Bartender menyajikan sebuah minuman yang tampak menarik dengan warna mencolok.

“Terima kasih.“ Liana mengangkat gelasnya dan meminumnya perlahan, mencoba mencari ketenangan dalam setiap tegukan. Namun, tetap saja pikirannya tidak bisa tenang. “Sial! Kenapa aku harus mengatakan kalau aku sudah punya pacar. Kalau sudah begini mau cari pacar kemana coba? Mana waktunya besok."

Liana mengacak rambutnya frustasi, lalu kembali meneguk minumanya. Merasa tidak puas, ia pun menatap gelas yang sudah kosong dan membalikan gelasnya di atas mulut, berharap masih ada setetes minuman yang tersisa.. Namun, tidak ada satu tetes pun yang terjatuh.

“Hi!“ Liana, melambaikan tangannya untuk memanggil bartender yang tadi membuatkan minuman. “Aku mau pesan satu minuman lagi. Kalau bisa yang efeknya lebih terasa, yang ini tidak terasa apapun.“

“Apa benar tidak terasa apapun? Anda kelihatannya sudah cukup mabuk Nona." Si bartender memperhatikan Liana yang memang terlihat sedikit mabuk.

Liana terkekeh kecil. “Aku tidak mabuk. Berikan saja minuman terbaikmu! Aku butuh sesuatu yang lebih terasa."

“Baiklah.“

Bartender itu kemudian menyajikan minuman spesial kedua dengan campuran yang lebih kuat. Liana mengangkat gelasnya dan meneguknya. Efek minuman kali ini langsung terasa memberi kehangatan yang membuatnya sedikit lebih bersemangat, padahal dia baru meminumnya sedikit.

Sambil menikmati minumannya, Liana melihat sekeliling bar. Di tengah keramaian, matanya tertuju pada sosok pria yang duduk sendirian di sudut. Pria itu terlihat memperhatikannya dengan tatapan tajam yang misterius.

"Kenapa aku merasa seperti sedang diperhatikan oleh pria itu, ya?" Liana menyipitkan mata, sedikit tertarik untuk mengamati si pria dengan lebih jelas.

Pria itu memiliki pesona yang cukup berbeda dari pria lain yang pernah Liana temui, rambutnya yang hitam tersisir dengan rapi, dagunya terlihat begitu tegas dan tatapannya terasa begitu misterius dan mendalam.

Liana yang semakin penasaran memutuskan untuk mendekati pria misterius itu. Dengan langkah yang agak ragu dan terhuyung, dia menyusuri ruang bar, membawa gelas minuman yang belum dihabiskannya. Namun, tanpa sengaja dia menabrak seorang pria yang tengah berdiri di tengah jalan. Minuman yang ada di gelasnya tumpah berserakan ke lantai, menciptakan kekacauan kecil di sekitar.

“Apa kamu buta!“ bentak pria yang ditabrak Liana.

"Maafkan aku." Liana segera menundukan kepala, walau masih dengan mencoba menahan keseimbangannya.

Pria itu memandangi Liana dari ujung rambut sampai ujung kaki dan tersenyum licik. “Apa kamu sendirian, Cantik?“ Tangan pria itu terulur menyentuh dagu Liana, seolah dia tengah menggoda si wanita.

Liana menyelipkan diri dari sentuhan pria tersebut, mencoba untuk menjaga jarak. "Memangnya kenapa kalau sendirian? Aku baik-baik saja walau sendiri," jawabnya tegas.

Senyum licik pria itu semakin lebar. "Terserah padamu. Tapi malam ini akan lebih seru jika kamu bersama seseorang seperti aku."

Liana menggelengkan kepala dengan cepat, yang membuatnya kembali sedikit terhuyung. "Aku tidak tertarik. Aku sedang mencari calon pacar, bukan masalah yang seru."

Pria itu mengangkat alisnya dengan ekspresi mengejek. "Calon pacar, huh? Bagaimana jika aku menjadi calon pacarmu untuk malam ini?"

Liana tidak suka dengan nada sugestifnya. "Tidak, terima kasih.“

Namun, pria itu tidak menyerah begitu saja. Dia terus mencoba mendekati Liana dengan rayuan dan godaan. Meskipun merasa semakin tidak nyaman, Liana berusaha untuk tetap tenang dan bersikap tegas."Sudahlah, jangan ganggu aku," pintanya.

Pria itu tersenyum cabul. "Kau terlalu keras pada dirimu sendiri, Cantik. Kenapa tidak mencoba sesuatu yang berbeda?"

Liana merasa semakin terjepit dalam situasi yang tidak diinginkannya. Dia berusaha mencari cara untuk keluar dari situasi tersebut tanpa menciptakan keributan yang lebih besar.

Sementara itu, tatapan tajam dari sudut klub masih begitu menyilaukan. Liana merasa pria misterius yang tadi duduk sendirian masih memperhatikannya. Dalam hati, Liana berharap ada bantuan tak terduga yang muncul untuk menyelamatkannya dari godaan pria yang semakin menjijikan di depannya.

“Ayolah, ikut denganku saja.“ Pria itu mulai meletakan tangannya di pinggang Liana, membuat wanita itu terjatuh karena kaget dan mencoba menghindar.

Di tengah keadaan yang semakin genting, Liana memperhatikan dengan harap-harap cemas. Tiba-tiba, seorang pria dengan pakaian yang rapi dan tegas muncul di sampingnya, menarik perhatian pria bejat tersebut.

“Apakah ada masalah di sini?" tanya pria tersebut dengan suara berat yang lantang, memperlihatkan ketegasan dalam tatapannya.

Pria bejat itu melepaskan sentuhannya pada Liana dan memandang pria yang baru datang dengan acuh tak acuh. "Tidak ada masalah. Kami hanya sedang berbincang-bincang santai."

Si pria misterius terlihat jengah. "Saya rasa wanita ini ingin dibiarkan sendirian dan merasa terganggu dengan Anda. Apakah Anda tidak mengerti?"

Liana mendongakan kepalanya, bermaksud untuk mengatakan sesuatu. Namun, bibirnya kembali terkatup saat melihat pria tegas yang tengah membelanya. Pria tegas itu adalah pria di ujung bar yang dia rasa terus memperhatikannya sedari tadi.

Pria bejat itu mengepalkan tangannya, tampak kesal. “Sudahlah, kamu tidak perlu ikut campur!“

“Dia itu calon istriku, bagaimana bisa aku tidak ikut campur? Kalau sampai dia kenapa-napa maka aku juga yang akan rugi. Apa Anda mengerti sekarang?“

Pria bejat itu tampak tergopoh-gopoh mengucapkan permintaan maaf dan tanpa berkata banyak lagi, dia segera meninggalkan tempat tersebut dengan ekspresi yang tidak puas.

Liana, yang masih terkejut, memandang pria yang telah membantunya itu dengan tatapan bingung.

“Tidak perlu menatapku begitu. Aku mengatakannya hanya untuk membatumu saja.“ Pria itu berucap dingin, tampak tau kalau si wanita ingin mempertanyakan tentang pernyataanya.

Liana membulatkan mulutnya dan mengangguk mengerti. “Sebelumnya terima kasih banyak. Aku tidak tau apa yang akan terjadi jika kamu tidak datang membantuku,” ucapnya dengan perasaan lega.

“Tidak perlu berterima kasih, lain kali hati-hati saja. Jangan membuat repot orang lain.“ Pria itu berkata sembari merapikan kemeja yang dikenakannya, lalu berbalik membelakangi Liana untuk melangkah pergi.

Akan tetapi, Liana yang melihatnya segera berdiri dan meraih tangan si pria untuk menghentikannya. “Tunggu! Aku belum tau namamu. Siapa namamu? Aku Liana.“

Pria itu menoleh, menatap Liana dengan dingin. “Pavel.“

Tangan Liana sontak melepaskan tangan si pria, matanya membelalak karena kaget. Bagaimana bisa dia bertemu dengan pria bernama Pavel di sini? Ini tidak mungkin kebetulan, bukan? Atau ini takdir dari Tuhan agar dia terlepas dari pernikahan yang telah di atur orang tuanya?

Apapun itu, yang terpenting sekarang adalah dia telah menemukan pria yang cocok untuk dia jadikan pacar. Bukan pacar sungguhan, melainkan pacar pura-pura saja. Dia tau kalau ingin pacar sungguhan tidak mungkin bisa cepat.

“P–Pavel? Apa namamu benar-benar Pavel?“

Pria itu mengangguk dengan acuh tak acuh, lalu berniat untuk kembali melangkah pergi, sebelum akhirnya dia mendengar permintaan Liana berikutnya yang membuat langkahnya kembali terhenti.

“Kalau begitu, maukah kamu menjadi pacarku?“

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status