Share

Ancaman

Bab 3 Ancaman

"Aku mau tanya sesuatu ke kamu," kata Mbak Mira dengan nada agak ketus.

Ku letakkan pisau yang berada di tanganku. Dengan terbata-bata aku lantas menjawab, "ta-tanya apa, Mbak?" 

"Soal Mas Fathan!" kata Mbak Mira yang menatapku serius.

Mendengar perkataan Mbak Mira barusan membuatku sedikit terkejut. Pertanyaan apa yang ingin ia ajukan perihal suami kami itu ? Atau jangan-jangan ia tahu akan keberadaan Mas Fathan tadi malam? Astagfirullah ... Bagaimana ini???

Ku tarik nafas sebentar, mencoba menenangkan diriku supaya Mbak Mira tidak mencurigaiku.

"Tanya apa, Mbak?" tanyaku lagi setelah sedikit merasa tenang.

Mbak Mira melipatkan kedua tangannya di atas dadanya lalu sedikit mencondongkan badannya ke arahku. "Sedekat apa kamu sama suamiku sampai dia mau menerima kamu di rumahnya? Apalagi aku lihat-lihat aku gak kerja, kan?" 

Aku tersenyum kecil mendengar pertanyaan Mbak Mira barusan. Sebelumnya aku sudah menduga jika ia pasti akan mengajukan pertanyaan seperti ini. Dan untungnya saat aku memikirkan hal itu aku juga sudah menemukan jawaban yang pas untuk diberikan padanya.

"Awalnya aku dan Mas Fathan memang gak dekat, tapi kakakku bisa dibilang sangat dekat sama dia. Karena itu lah kakakku berani menitipkan aku di rumah ini. Lagipula aku sama Mas Fathan kan masih sepupuan. Jadi wajar kan dia mau menolong aku?" jawabku dengan percaya diri.

"Terus ...."

"Pekerjaan? Aku baru nunggu panggilan."

"Ohh ...." Mbak Mira manggut-manggut mengerti.

Entah mengapa di titik ini tiba-tiba saja aku berani menatap wajah Mbak Mira yang memang aku akui cantik. 

"Jadi Mbak Mira tenang aja, kalau Mas Fathan emang cinta sama Mbak, pasti dia bakal setia, kok," kataku lagi lalu sedikit menjauh dari posisi Mbak Mira karena harus segera menyelesaikan pekerjaanku pagi ini.

Mbak Mira tak lagi menanggapi ucapanku yang terakhir. Entahlah, namun yang jelas dari raut wajahnya aku menilai kalau wanita yang umurnya dua tahun di atasku itu seperti tak percaya diri. Mungkin karena sikap Mas Fathan selama ini yang membiarkannya terus-terusan dalam kesendirian. Yang padahal dalam pernikahan seharusnya antara pasangan harus saling melengkapi dan membersamai.

***

Sore harinya sepulang Mas Fathan dari kantor aku berniat ingin menyampaikan sedikit saran padanya terkait hubungannya dengan Mbak Mira. Aku berharap dengan apa yang akan ku sampaikan nanti akan membuat Mbak Mira lebih dihargai sebagai istri. Karena bagaimanapun keadaannya aku tidak ingin Mas Fathan menanggung dosa karena mengabaikan istrinya. Yah, walaupun sebenarnya aku merasa belum siap jika harus menyaksikan laki-laki yang aku cintai memberikan perhatiannya kepada wanita lain. Ditambah pula ada nya sikap Mbak Mira yang kurang mengenakan untukku.

"Aruuuuumm!!!"

Ku hela nafasku lalu beristighfar sejenak sesaat setelah mendengar teriakan dari orang yang ... Ah, menyebalkan!

Aku yang baru saja selesai sholat ashar pun dengan santai membereskan perlengkapan ibadahku. Lalu keluar kamar dan berjalan menuju tempat dimana Bu Joko berada.

"Kenapa, sih, Bu? Teriak-teriak terus. Gak takut apa cepet tua!" ujarku ketika sampai di hadapan ibu mertua yang menyebalkan itu.

"Kamu tuh kalau ngomong disaring! Jangan asal jeplak, apalagi sama orang tua. Gak di ajarin sopan santun apa sama orang tua?!" kata Bu Joko dengan nada tingginya.

Mendengar Ibu mertuaku berkata demikian aku memilih tak begitu ambil pusing. Karena akan sama saja kalau aku terus menyanggah yang ada bakal panjang urusannya. Akhirnya langsung lah aku menanyakan alasan Bu Joko memanggilku.

"Udah, ada apa manggil aku? Cepetan, aku mau mandi, keburu Mas Fathan pulang," balasku dengan sedikit cuek.

Sengaja memang aku berkata dengan nada demikian, karena aku yang sudah terlalu lelah menghadapi sikap ibu mertuaku itu. Lagipula aku juga tidak ingin jika terlalu lemah malah akan membuat Bu Joko semakin besar kepala. Toh, Mas Fathan sendiri juga belum mempermasalahkan sikapku yang terkadang agak kasar terhadap ibunya itu, selama masih dalam batas wajar.

"Malam ini biarkan Fathan tidur dengan Mira," kata Bu Joko yang membuat kedua alisku bertaut.

Sampai beberapa detik kemudian aku tertawa kecil sambil memalingkan wajahku. Lalu menatap Bu Joko dengan sedikit tajam. "Aku gak bisa memaksa apa yang menjadi keputusan Mas Fathan. Terserah dia mau tidur di mana," jawabku.

Seketika raut wajah Bu Joko terlihat berubah kesal setelah mendengar jawabanku barusan. Lalu masih dengan posisi yang sama ia berkata kembali. 

"Aku gak peduli! Tapi yang jelas kalau Fathan pergi ke kamarmu lagi, larang dia! Biarkan dia tidur bersama istri sahnya!" ucap Bu Joko dengan menekankan kalimat paling akhir.

Ku tajamkan lagi tatapanku terhadap ibu mertuaku yang duduk tak jauh dariku. Karena sejujurnya aku cukup tersinggung dengan kalimat terakhirnya itu. Memamg statusku hanya istri siri, tetapi saat ini aku dan Mas Fathan sedang mengurus surat-surat pernikahan kami agar sah dimata negara. Dan itu artinya aku bakal menjadi istri sah nya juga nantinya.

Di waktu itu aku juga merasa kalau ibu mertuaku itu tahu akan kejadian tadi malam. Makanya ia mencoba mencegah Mas Fathan untuk tidur bersamaku dengan alasan karena Mbak Mira. Persis lah seperti yang sudah-sudah.

Tak lama setelah berkata yang menggatalkan telinga itu, disaat aku masih dalam posisi terdiam tiba-tiba Bu Joko beranjak dari tempat duduknya. Ia berjalan mendekatiku lalu berucap yang mana ucapannya itu membenarkan apa yang ada di pikiranku tadi. Sontak hal itu membuatku bertanya-tanya darimana ia tahu akan hal tersebut. Mungkin kah Mas Fathan sendiri yang memberitahunya? Atau karena lain.

Tak hanya itu, wanita paruh baya yang berdiri di depanku itu pun kembali bersuara dengan nada yang cukup serius. Bu Joko mengatakan hal yang kali ini aku betul-betul tercengang dibuatnya. Saking tercengangnya aku sampai mematung tak percaya diri dengan apa yang dikatakan ibu mertuaku itu.

Dimana Bu Joko berkata, "asal kamu tahu, biarpun Fathan menikahi Mira karena terpaksa, tapi akan ku buat anakku satu-satunya itu betul-betul mencintai Mira dan menceraikan kamu." 

Mendengar kata-kata yang menusuk hati itu, lantas membuatku semakin naik pitam. Sayangnya, saking syoknya aku dengan ucapan ibu mertuaku itu membuatku tidak bisa berbuat lebih untuk menyanggahnya.

Dan sebelum pergi Bu Joko juga mengatakan hal yang lagi-lagi membuat emsoiku tersulut. Aku betul-betul merasa terancam dengan perkataannya itu sehingga membuatku tak bisa berkutik. 

Sampai akhirnya ibu mertuaku itu pun pergi begitu saja. Aku yang tadinya percaya diri bisa menghadapi tabiat Bu Joko, seketika dibuat lemas tak berdaya. Bahkan hampir saja aku ambruk di tempat saking tak kuatnya kakiku menopang tubuhku.

Sampai lah beberapa saat setelah diriku lebih tenang, aku memutuskan untuk berjalan kembali masuk ke dalam kamar. Di ruang pribadiku itu barulah air mataku terjatuh membasahi kedua pipiku.

Meski aku merasa yakin Mas Fathan akan tetap mencintaiku, tapi di sisi lain aku juga tahu betul kalau suamiku itu begitu menyayangi ibunya. Bahkan saking sayangnya sampai permintaan gil* untuk menikahi wanita lain yang sudah hamil pun ia lakukan. Kalau pun tidak sayang pastilah aku dan Mas Fathan bisa menikah dengan baik dan tidak akan ada surat perjanjian itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status