Bab 4 Sebuah Permintaan
Sampai lah beberapa saat setelah diriku lebih tenang, aku memutuskan untuk berjalan kembali masuk ke dalam kamar. Di ruang pribadiku itu barulah air mataku terjatuh membasahi kedua pipiku.
Meski aku merasa yakin Mas Fathan akan tetap mencintaiku, tapi di sisi lain aku juga tahu betul kalau suamiku itu begitu menyayangi ibunya. Bahkan saking sayangnya sampai permintaan gil* untuk menikahi wanita lain yang sudah hamil pun ia lakukan. Kalau pun tidak sayang pastilah aku dan Mas Fathan bisa menikah dengan baik dan tidak akan ada surat perjanjian itu.
***Karena masih merasa syok dengan ucapan Bu Joko tadi sampai-sampai membuatku tak kuasa untuk menyampaikan pesan yang sudah ku niatkan untuk Mas Fathan sebelumnya. Alhasil waktu pun berlalu begitu saja.
Sampai akhirnya waktu malam pun tiba. Seperti biasa Mas Fathan tiba-tiba saja mendapatkan sebuah panggilan telepon disaat kami tengah melakukan makan malam. Dan sudah bisa ditebak, sesaat setelah Mas Fathan kembali dari teleponnya tadi ia pun mengatakan hal yang sama seperti malam-malam sebelumnya.
"Aku pergi lagi, ya, maaf," kata Mas Fathan dengan nada yang terdengar tidak enak hati.
Mendengar perkataan tersebut aku hanya bisa beristighfar dalam hati.
"Mas!" panggilku pada Mas Fathan.
Mas Fathan yang kala itu hendak beranjak dari bangkunya seketika kembali duduk karena panggilan barusan. Kedua netranya memandang ke arah Mbak Mira dan bergantian ke arah ibunya. Lalu dengan raut wajah keheranan ia pun menatapku yang duduk berseberangan dengannya.
"Kenapa, Dek?" tanya Mas Fathan padaku.
Mendengar Mas Fathan memanggilku dengan sebutan "Dek" seketika itu membuat Mbak Mira dan Bu Joko menatapku dan Mas Fathan secara bergantian. Di situ lah aku merasa kalau Mbak Mira akan berpikir yang tidak-tidak.
"Dek? Kok, kamu panggil Arum pakau sebutan 'Dek'?" tanya Mbak Mira pada Mas Fathan.
Mas Fathan pun terdiam sejenak dan kemudian menjawab pertanyaan istri pertamanya itu. Dimana ia memberikan alasan dimana sebuah hal wajar jika Mas Fathan memanggilku dengan sebutan demikian karena saat itu statusku adalah adik sepupunya. Untungnya alasan yang memang masuk di akal itu pun diterima oleh Mbak Mira. Perasaanku yang tadinya takut pun kini berubah menjadi lega.
"Ada yang mau aku sampain," balasku seraya sekilas melihat ke arah Bu Joko.
"Berdua," tambahku yang membuat Mas Fathan mengerutkan dahinya.
Tanpa menunggu jawaban dari Mas Fathan, aku pun beranjak pergi meninggalkan meja makan dan berjalan menuju teras belakang rumah. Entah mengapa saat itu aku merasa semakin jauh dari Mbak Mira dan Bu Joko, semakin akan lebih leluasa menyampaikan pesanku terhadap suamiku itu. Termasuk permintaan atau ancaman dari ibunya tadi sore.
Setelah beberapa langkah pergi, Mas Fathan dengan sedikit tergesa-gesa pun ikut menyusul kemana aku berjalan. Sekilas pula saat itu aku melihat ekspresi berbeda dari dua wanita ular yang masih berada di meja makan itu. Dimana Bu Watik yang tampak senang karena mungkin apa yang ia ancamkan padaku tadi sore akan ku lakukan. Sedangkan Mbak Mira terlihat keheranan sambil terus menatap kepergian suaminya itu.
"Ibu ngomong kayak gitu ke kamu?" tanya Mas Fathan setelah aku sampaikan semua apa yang telah dikatakan ibunya tadi padaku.
Aku mengangguk dan mengiyakan pertanyaan dari Mas Fathan.
Tak hanya sebuah permintaan tersebut, Bu Joko juga mengancamku jika aku tidak menuruti keinginannya itu ia akan memberitahukan pernikahanku ini pada Mbak Mira. Sehingga dengan terbongkarnya pernikahan rahasia ini akan membuat aku dan Mas Fathan menanggung konsekuensi yang telah disepakati.
"Terus apa yang mau kamu katakan?" tanya Mas Fathan lagi.
Aku diam sejenak dan menghela nafasku. Beberapa saat setelahnya dengan suara pelan dan wajah yang tak berani menatap suamiku, aku mulai menyampaikan pesanku pada Mas Fathan.
"Aku mau kamu turuti permintaan ibumu."
"Apa?!" terkejutlah Mas Fathan usai mendengar perkataanku barusan.
"Aku gak salah denger, kan, kamu ngomong kayak gitu?" ucap Mas Fathan dengan nada sedikit meninggi.
Aku menggeleng. "Kamu gak salah denger, Mas," balasku yang masih tidak berani menatap wajah suamiku itu.
Mas Fathan menjauhkan wajahnya dariku seraya menggelengkan kepalanya dengan pelan. Seolah ia tak bisa menerima apa yang barusan aku katakan. Dan bagiku itu adalah hal wajar karena aku sendiri sebenarnya juga tidak bisa menerima akan permintaan Bu Joko.
Tetapi mengingat adanya surat perjanjian dan konsekuensi yang harus aku juga Mas Fathan terima membuatku tak bisa berbuat lain selain mengikuti keinginan ibu mertuaku itu.
"Aku mana mung—"
"Mas!" potongku sembari menatap dalam cinta pertamaku itu.
"Mbak Mira juga istrimu. Istri sahmu!
Gak seharusnya kamu abaikan dia, Mas ...," kataku dengan suara bergetar."Apalagi sekarang ini dia sedang hamil," tambahku dengan suara lirih.
"Dia hamil bukan anakku!" sahut Mas Fathan lalu memalingkan wajahnya dariku.
Suasana mendadak hening. Aku dan Mas Fathan tenggelam dalam pikiran kami masing-masing. Hingga tak lama setelah itu aku kembali berkata yang mana kali ini membuatku tak kuasa menahan air mataku.
"Aku gak mau kamu jadi dzolim sama istrimu sendiri, Mas."
"Pernikahan kalian memang berawal dari saling keterpaksaan, tapi sekarang ini aku merasa kalau Mbak Mira memang sudah menaruh hati padamu, Mas. Jadi tolong ... Jangan abaikan dia karena bagaimanapun dia juga istrimu. Istrimu." Kuusap air mataku yang telah membasahi pipiku.
Sebelum pergi aku kembali mengingatkan suamiku itu perihal surat perjanjian yang ia buat dengan ibunya sendiri. Serta konsekuensi apa yang bakal kami terima jika sampai Mbak Mira tahu akan pernikahan rahasia ini.
Aku pun berjalan meninggalkan Mas Fathan begitu saja. Ku biarkan ia untuk berfikir dan mempertimbangkan apa yang sudah aku sampaikan barusan. Meski hati ini sakit jika harus melihat Mas Fathan satu ranjang dengan wanita lain, tapi ... di sisi lain aku juga tak bisa membiarkan suamiku terus-menerus berbuat dzolim pada orang yang notabene juga istrinya sendiri.
Setelah meninggalkan Mas Fathan aku tak lagi berselera untuk makan. Alhasil aku lebih memilih untuk pergi menuju kamar tidur ku saja dan menenangkan hati serta pikiranku.
***
Bab 32 TAMAT"Sudah, Mas. Mau berangkat sekarang?" cetus seorang pria yang diminta Mas Fathan membantunya mengangkut barang-barang kami.Mas Fathan menoleh ke arah pria tersebut dan berkata," iya. Saya nyusul di belakang, ya.""Baik, Mas," balas pria tersebut lalu masuk ke dalam mobil.Aku dan Mas Fathan pun kembali berpamitan pada Bu Joko dan Budhe Sri. Mencium takzim tangan kanan mereka lalu mulai mengendarai sepeda motor kami dan mengikuti mobil yang memang sudah melaju beberapa menit yang lalu.***Beberapa hari berlalu...Wajah kebahagian menyelimutiku juga suamiku hari ini. Karena aku dan Mas Fathan telah diberikan amanah yang akan menjadikan kami orang tua sebentar lagi. Benar, aku hamil.Kehamilan yang dinanti-nanti ini sangatlah membuatku dan Mas Fathan tak henti-hentinya bersyukur. Bahkan, wajah berseri terus saja ditampakkan oleh suamiku itu sejak kami keluar dari ruang pemeriksaan tadi. Sungguh, rezeki yang sangat luar biasa telah kami terima hari ini."Alhamdulillah, ya,
Bab 31 Pergi"Aku tidak akan membencimu karena perbuatanmu terhadap ibuku. Simpan rahasia ini dan biarkan orang-orang menganggapku yang bersalah," kata Mas Fathan.Aku pun hanya bisa menangis di dalam pelukan suamiku itu. Aku sungguh beruntung telah menjadi bagian dari hidupnya. Walaupun aku tahu, tak seharusnya aku bersembunyi di balik punggungnya di saat aku lah yang seharusnya menerima sanksi tersebut.***Tepat ketika matahari mulai meninggi, di saat itu lah semua barang bawaan yang sudah aku dan suamiku bereskan tadi malam siap untuk diangkut. Benar, meski mendapatkan tawaran dari Bu Joko untuk kembali ke rumahnya, namun Mas Fathan lebih memilih untuk tetap tinggal di rumah kontrakan yang sudah kami sewa sebelumnya."Kita tetep ngontrak dulu, ya. Lagian sayang aja udah terlanjur dibayar," kata Mas Fathan manakala aku menanyakan jawaban perihal tawaran yang diberikan Bu Joko pada kami tadi pagi.Aku hanya bisa mengangguk dan mengiyakan keputusan suamiku itu. Toh, jika diberikan pi
Bab 30 Akhir dari Permintaan MaafWalaupun Bu Joko sudah memberikan keputusan tidak akan memperpajang masalah ini, namun, sanksi sosial kemungkinan besar tak akan bisa aku hindari. Terlebih, baru sekarang ini Bu Joko menyatakan permintaan maafnya padaku atas sikapnya selama ini. Dan jika ia tahu kalau aku lah pelakunya, pasti hal ini akan membuatnya kembali membenciku. Bahkan lebih dari sebelumnya. Namun, apa yang dilakukan Mas Fathan kali ini malah membuat hatiku semakin tak kuasa. Karena sekarang aku percaya dan yakin, kalau suamiku itu sudah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Dan setelah ini selesai, selanjutnya hubungan rumah tanggaku lah yang akan dipertaruhkan. "Ibu maafkan kamu, Fat. Ibu maaafkan kamu sekalipun kamu membun*h Ibu," ucap Bu Joko. Reflek Mas Fathan menoleh ke arah ibu angkatnya itu saking terkejutnya.Mas Fathan masih terdiam menatap Bu Joko. Entah apa yang ada di pikiran suamiku itu, namun terlepas dari itu, sepenglihatanku aku mengira kalau Mas Fathan
Bab 29 Pelakunya Adalah Aku! "Aaarrghh!!!" kesal Mas Fathan. Terlihat di waktu yang bersamaan Bu Joko yang masih terdiam itu kembali meneteskan air matanya. Di momen itu situasi betul-betul kembali menegang. Dan aku juga yakin, saat ini suamiku itu lagi-lagi merasa kecewa dan marah pada dirinya sendiri maupun pada Bu Joko. Yang padahal baru beberapa menit yang lalu, Mas Fathan sudah terlihat akan menerima permintaan maaf dari ibu angkatnya itu. Tapi ternyata .... Entahlah. Di tengah-tengah kondisi yang menegangkan itu tiba-tiba Mas Fathan menoleh ke arah Bu Joko. Dengan amarah yang masih tertahan, suamiku itu lantas bertanya pada ibu angkatnya. "Ibu yakin nggak akan memperpanjang masalah ini? Sekalipun Ibu tahu siapa pelakunya."Bu Joko mengangkat kepalanya dan menatap anak lelakinya yang sangat ia sayangi itu seraya menghapus air matanya. Dengan penuh keyakinan Bu Joko lantas menjawab bahwa ia tidak akan memperpanjang masalah ini. Sekalipun ia mengetahui siapa pelaku yang menyera
Bab 28 Mas Fathan Sebenarnya Anak ...Dari respon yang ditunjukkan Budhe Sri yang terlihat sangat marah kepada Bu Joko lantaran memberitahukan perihal status Mas Fathan? Lalu, pesan apa yang dimaksud oleh Budhe Sri dari suami Bu Joko yang memang merupakan kakak kandungnya. Mungkinkah ini semua ada hubungannya dengan status pengangkatan Mas Fathan dalam keluarga Bu Joko? Jika benar demikian ... Aiish, sungguh jelimet!! "Tunggu tunggu Ini maksudnya apa sih?" sela ku yang semakin bingung dengan keadaan.Budhe Sri mengalihkan pandangannya ke arahku. Kemudian beliau menarik napas beratnya dan mulai berbicara. Dimana beliau menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dengan masa lalu keponakannya itu. Yang mana selama ini Mas Fathan memang anak diadopsi dari Bu Joko dan mendiang suaminya.Namun sebetulnya Mas Fathan bukan hanya sekedar anak adopsi begitu saja. sebab waktu itu kondisinya Bu Joko baru saja melahirkan seorang bayi laki-laki yang mana tak selang beberapa hari kemudian bayi terseb
Bab 27 Penyesalan? "Kita lapor polisi aja, ya, Dek?" Tentu saja usulan dari Budhe Sri itu semakin membuatku panik juga ketakutan. Tapi di lain sisi aku juga tak mungkin mencegah Bu Joko kalau ia ingin mengiyakan usulan tersebut. Dan kalau sampai Bu Joko benar-benar mengiyakan usulan dari kakak iparnya itu... ah, mati lah aku! Mendapati usulan dari kakak iparnya tersebut, saat itu Bu Joko tidak langsung menanggapinya. Ia malah terdiam untuk beberapa saat seolah sedang memikirkan sesuatu. Yang mana sikapnya itu malah membuat terheran-heran. "Dek!"Bu Joko terkesiap mendengar panggilan dari Budhe Sri. "Aduuh, gimana, ya, Mbak?" Bu Joko memperlihatkan sikap kebingungan yang membuatku semakin merasa aneh. Aku bertanya-tanya dalam hati, ada apa sebenarnya? Apa yang sedang dipikirkan ibu mertuaku itu? Yang padahal kalau ia benar-benar merasa ketakutan dengan apa yang sudah menimpanya, seharusnya tanpa banyal berpikir pasti ia sudah mengiyakan usulan dari kakak iparnya itu. "Fathan m