Dengan wajah terkejut, Ana mematung sejenak, matanya membulat, dan tiba-tiba ...
"Domeng ngejar tikus lagi ma, kami mengejarnya sampai ke garasi ini." Aldi tiba-tiba datang dengan membawa kucing bercorak belang-belang di tangan kanannya. "Aa Domeng mami sini." Nias melebarkan tangannya dan langsung menyambut kucing tersebut dalam pelukan. "Ga boleh makan tikus ya, nanti mulutnya bau, anak mami pulang ya, ayo." Seolah lupa dengan niat mencari sang putra, Nias malah fokus memperhatikan kucing kesayangan. "Jangan keluar sembarangan ya, mending sama mami nonton TV yu," ajak Nias pada sang kucing sambil mengusapnya perlahan lalu berjalan menuju ruang tengah. Setelah Nias pergi, Aldi masih setia berdiri dibelakang gadis itu. Plak! Satu pukulan mendarat dikepala gadis berkacamata itu. "Apasih kak!" Ketus Ana sambil melirik dengan tatapan tajam. "Bodoh, kau seharusnya lihat-lihat dulu sebelum keluar." "Tck, kalau ketahuan pun memangnya bakal kenapa si?" Balas Ana sambil mengusap bekas pukulan di kepalanya. Aldi yang mendengar balasan itu hanya bisa menghembuskan nafas lelah. Dia lihat wajah bocah licik dihadapannya dengan penuh rasa lapang dan sabar. Set! Tanpa aba-aba Aldi langsung menarik kerah baju gadis itu lalu menyeretnya lagi kedalam rumah. "Aih, lepaskan, aku bisa jalan sendiri kak!" Tolak Ana meronta. Namun bagai boneka, gadis kecil itu hanya bisa terseret terombang ambil tanpa bisa melawan. ... Beberapa jam kemudian... Diruang tengah, setelah selesai menonton TV, Nias dan sang kucing sedang tertidur lelap dengan TV masih menyala. Di samping itu Ana baru saja terbangun setelah terlelap untuk waktu yang singkat. Tak tak Terasa hening, suara langkah kaki menjadi sangat jelas terdengar. Dia lihat TV masih menyala namun sang tante sudah terlelap memeluk kucingnya yang meringkuk bulat. "Aku matiin saja kali ya." Ana meraih remote lalu menekan tombol merah dengan pelan. Hening semakin nyata terasa, lantas dengan langkah kecil, Ana bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan wajah. Ditengah langkah menuju kamar mandi, tiba-tiba gadis itu terhenti saat kedua bola matanya tak sengaja menangkap sosok pria yang fokus pada layar dari celah pintu yang terbuka. "Kakak?" Cklek... "Kak?" Tanpa berpikir terlebih dahulu, Ana langsung menyerobot masuk. "Kak, kakak sedang apa?" Begitu mendadak, kini Ana sudah berada di atas ranjang sambil memeluk bantal milik sepupunya. Aldi yang mendengar tanda-tanda kehadiran orang asing dikamar pribadinya, sejenak menyimpan stylus pen lalu menghadap tamu tidak sopan tersebut. Begitu Aldi melihat penampilan sosok gadis di hadapannya yang sedang memeluk bantal, beribu kata mutiara yang hendak diutarakan seketika hilang dalam kepala. "Kau meniru gaya singa siang-siang begini?" sindir Aldi disertai senyum tipis. Dengan wajah berantakan serta kacamata diujung hidung, Ana menodongkan tangan tepat di depan Aldi. "Emmm, minta uang." Alis Aldi sontak menaik bingung. "Uang apa? Baru saja aku memberimu tadi, sekarang uang apa lagi?" "Uang tutup mulut lah, ini kan sudah awal bulan Oktober," balas Ana dengan mata yang terus tertutup akibat kantuk. Mendengar jawaban tersebut, pria berkepala tiga itu mengusap keningnya tak menyangka. "Dia ingin merampokku lagi?" batin Aldi tak habis pikir. Dia lihat kembali bocah yang sesekali menguap itu lalu... Ctak! Satu sentilan mendarat tepat di kening gadis itu. "Aw, sakit." Ringisan pelan keluar dari bibir merah muda itu. Tangan kecilnya juga ikut mengusap kening yang kini terasa sakit. "Ini masih bulan agustus bocah." Ana mengejapkan mata beberapa kali tampak tidak percaya, lalu membenarkan kacamatanya yang melorot. "Masa sih." "Kau baru saja bangun, makanya bisa berpikiran begitu." "Pergi sana ke kamar mandi, jangan ganggu aku disini." Aldi berbalik dengan cepat untuk menghindari perampokan mendadak. Namun entah bisikan darimana, suara ghaib terasa terus menggodanya untuk melihat ke arah sang sepupu berada. Aldi menghentikan kegiatan menggambarnya, dia mainkan stylus pen di sela-sela jari berusaha untuk fokus kembali. "Akh...dasar, aku harus memastikan dia pergi dulu," batin Aldi tak tenang. Aldi dengan cepat menyimpan stylus pen lalu segera menoleh. Begitu Aldi melihat tempat terakhir Ana duduk, sontak kedua bola mata Aldi langsung membulat. "ANA!" Aldi sangat terkejut saat mendapati Ana yang tertidur pulas di ranjang pribadinya. "Bangun, hey." Aldi menarik paksa sang sepupu untuk berdiri lalu menampar pelan kedua pipinya beberapa kali. "Hmm... Sebentar lagi kak, uangnya di transfer aja." Ana tampak tak sadarkan diri, pikirannya masih bercampur dengan mimpi. "Bangun, kau merusak ranjangku." "Umm, masa..." jawab Ana dengan wajah mirip seperti singa yang baru terbangun. "Tck, ranjangku yang rapi," kesal Aldi begitu melihat seprai miliknya yang telah berantakan lagi. "Kau ya, merepotkan saja." "Kakak sebentar lagi saja, aku masih..." Brugh Ana langsung ambruk di pelukan sang sepupu. Kacamatanya hampir terjatuh, namun dapat langsung tertangkap oleh tangan Aldi dan membuat Pria itu begitu sibuk dan kerepotan sendiri. "Akh sial merepotkan saja." ..."Kak? Kak Aldi lihat kak Alif tadi?" tanya laki-laki itu kembali, saat Aldi terhenti dengan jawabannya. Dan disaat itu pula pria yang diduga adik Alif itu tak sengaja bertemu mata dengan gadis yang dirasa diketahuinya. "Eh Ana, kau disini juga," sapa Rayyan terheran melihat kehadiran teman barunya yang dia temui kemarin saat masa orientasi di universitas yang sama. "Umm, apa kalian sedang berkencan?" "ENGGAK!" Jawab Ana spontan dengan suara keras. Kedua pria itu tampak diam, terkejut dengan jawaban Ana "umm itu... Dia saudaraku," lanjut Ana malu-malu sembari meremas sepuluh jarinya. "Oh kalau begitu bolehkah aku ikut bergabung sebentar? Aku gak bertemu orang yang bisa ku ajak bicara dari tadi, kakakku benar-benar membuatku kelelahan setengah mati," kata Rayyan terlihat begitu lelah. "Boleh boleh, sini," dengan cepat Ana mendekatkan salah satu kursi kosong untuk sang teman. Sikap Ana yang malu-malu itu membuat Aldi melipat kedua tangannya di depan dada. "Dih, bisa malu-malu jug
Pertanyaan mendadak itu lantas membuat Ana mematung. Dia tatap pelan-pelan wajah Aldi dengan pandangan yang sulit diartikan. "Itu emm...," Ana menyimpan sendok dengan bola mata yang sesekali menghindari tatapan intens dari sang sepupu. "Kau punya pacar ya?" tebak Aldi. "Enggak kok, itu cuma...," "Cuma apa?" Ana lantas melirik pelan pelan mata Aldi yang tampak menusuk dengan getar nada suara yang menunjukan dia tidak bisa menerima jawaban menggantung lagi. "Kakak gak perlu tahu, ini rahasiaku." Telinga yang sudah siap mendengarkan itu kembali dibuat kecewa saat Ana membalas demikian. "Tck rahasia lagi," pekik Aldi sembari membuang muka, namun sialnya Ana seolah tak peduli dan tetap melanjutkan memakan eskrim. Tidak bisa dielakkan, Aldi sepertinya mengenal jaket pria di ponsel gadis itu, rasanya seperti jaket Aldi yang dulu, namun jika memang benar itu adalah dirinya, tak ada kemungkinan gadis itu bisa memotret Aldi secara diam-diam, bahkan jika itu terjadi 10 tahun yang lalu,
Mendengar bisikan tak mengenakan itu lantas membuat Aldi seketika terbakar emosi. Tangannya spontan mencubit pinggang Alif sekencang mungkin. "Aaaa!" Alif segera mengusap pinggangnya yang terasa sakit sekaligus panas akibat cubitan tanpa perasaan hadiah dari sang teman. "Lain kali, hati-hati kalau bicara, ku dengar kau mengoceh tak jelas lagi, giliran mulutmu yang ku habisi," bisik Aldi namun masih dapat terdengar oleh sang sepupu dari depan sana. "Iya deh, sensitif amat, kau seperti tidak tahu kelakuanku saja," balas Alif dengan tetap mengusap bekas cubitan yang masih terasa panas. Tanpa membalas, Aldi melayangkan tatapan tajam pada sang teman, pria itu hanya diam sembari melipat kedua tangannya, namun karena diamnya itu, Alif semakin tak ingin bertingkah lagi, seolah ada ancaman keras yang terus dikatakan oleh kedua sorot bola mata pria berkepala tiga tersebut. "Hehe, dia benar-benar marah, aku harus segera kabur sekarang," batin Alif takut. "Aduh, aku lupa beli sabun, kalau b
Dalam sekejap, raut Ben mengerucut, dia tatap wajah Ana lekat-lekat seolah ada rahasia yang sengaja gadis itu sembunyikan darinya. "Tak biasanya kau menjawab cepat begitu, ada yang disembunyikan ya?" tanya Ben dengan mata menyipit curiga. "Haha, mana ada aku berbohong, itu mustahil." Gadis itu tiba-tiba tertawa paksa sembari memukul Ben beberapa kali. "Beneran gak perlu ditunggu nih?" Ben memastikan lagi. "Tentu saja, jangan khawatirkan aku, kau pergi saja duluan, cepat pergi gih," usir Ana dengan bumbu canda. "Yasudah, aku duluan ya, dan kalau tantemu tidak datang, telepon saja aku." Ben memasang helm lalu memutar kunci berniat pergi. "Iya, nanti kalau tanteku tidak datang aku pasti menghubungimu," ucap Ana meyakinkan. "Baiklah aku duluan ya." "Ya, hati-hati." Pada akhirnya Ben pergi tanpa penumpang lagi, ada rasa penasaran yang tak bisa dia sembunyikan, namun apalah daya Ana sepertinya tak mau orang lain tahu tentang rahasianya. Sementara itu dibelahan tempat lain
Keesokan hari, setelah mengantar Ana pergi menuju kampus. Di ruang kamar pribadi, Aldi tengah mencoret coret tablet, membuat ukiran gambar kartun unik nan lucu disana. "Huh, akhirnya selesai." Begitu hasil desain yang dirancang menggunakan ilusi gambar hidup, Aldi lalu menyalakan laptopnya kembali untuk mengirimkan hasil pada sang klien. Sambil menunggu balasan, tiba-tiba ponselnya berbunyi menandakan sebuah pesan baru saja masuk. Dibukanya pesan tersebut dan terlihat salah satu temannya mengirim pesan berisi tawaran pekerjaan. 'Aldi, aku punya tawaran pekerjaan nih, lagi sibuk ga?' tulis Alif, teman satu pekerjaannya. 'Ga, pekerjaan apa?' balas Aldi sembari sesekali memainkan kursor pada laptopnya. 'Ada kenalan ku, dia butuh bantuan untuk membuat video penjelasan tentang anatomi tubuh manusia untuk pembelajaran. Kau kan pernah belajar yang seperti itu, jadi kau pasti lebih faham, aku sedang sibuk mengerjakan projek lain.' 'Baiklah, tapi tenggat waktu selesainya kapan?' 'Sep
Dalam dekapan yang menakutkan, Ana terus melantunkan ayat kursi dalam hati, tangannya bahkan telah berubah begitu dingin saking ketakutannya dia saat ini. Sementara itu Aldi masih menelaah. Apa itu perasaan jernih? Dia sama sekali tidak merasakan perasaan itu sama sekali. "Perasaan jernih apa, wanita itu pasti berbohong," batin Aldi. Sebelum sadar sepenuhnya akan tindakan gegabah tersebut, Aldi perlahan meraih tangan sang sepupu, dan di saat itu pula dia baru sadar akan sesuatu. Brugh... Ana didorong secara spontan dan langsung tersungkur ke lantai. "Ugh," rintih gadis itu. Aldi yang hendak meraih sang sepupu yang mungkin kesakitan akibat ulahnya tiba-tiba terhenti dan langsung memegang kening akibat denyutan yang tiba-tiba datang. "Ugh... Kepalaku ini kenapa lagi?" Terlihat di depan sana Ana terjatuh ke lantai. Dan di sana Aldi samar-samar dapat melihat, dibalik kacamata khasnya, genangan air mata menggenang hampir terjatuh dari ujung pelupuk. "Akh Ana maaf, kau tidak apa-a