"Boleh aku menciummu?" bisik Erland dengan suara serak."Eh?" Maureen mendongak kaget. Erland adalah tipe lelaki yang melakukan apa pun sesuka hatinya, tapi sekarang dia minta ijin untuk menciumnya."Boleh?" tanya Erland lagi, menarik tubuh Maureen lebih merapat hingga tubuh bagian depan mereka saling menempel."Eeerr.. Erland?" lirih Maureen, sedikit menjauhkan badan, tapi tidak bisa karena pelukan Erland terlalu kuat. Satu-satunya yang bisa dia lakukan hanyalah sedikit memalingkan wajah.Kepala Erland menunduk, menghirup aroma shampoo Maureen yang lembut. Tangannya merayap di punggung Maureen yang terbuka."Oh, Erland!" pekik Maureen. Dia menarik napas, berusaha meredakan jantungnya yang berdebar tak terkontrol. Gelenyar-gelenyar aneh merambati tubuhnya tanpa bisa dicegah."Kenapa? Tidak boleh?" bisik Erland didekat telinga Maureen. Tangan satunya mengarahkan wajah Maureen kepadanya dengan tangan yang lain menahan tubuh sang istri supaya tidak menjauh darinya.Selanjutnya, Erland mu
"Sayang, yuk shopping..." Erland menoleh sekilas, lalu mengedipkan sebelah mata. Tangannya terjulur seperti seorang pengawal menyambut seorang tuan puteri. Maureen kembali menoleh cepat, matanya tertuju pada tangan Erland yang terulur sementara perasaannya masih campur aduk saat mendengar sebutan sayang untuk kedua kalinya. Sebutan sayang itu tidak hanya canggung di telinga, tapi juga mendebarkan hati. Namun, diantara perasaan itu ada sebuah hati kecil yang terus mengomel, "Ingat, Maureen! Erland punya banyak wanita. Pasti dia terbiasa berbicara manis." "Ayo! Lambat banget sih?" Tidak sabar, Erland menarik tangan Maureen yang terbengong-bengong, lalu menggandeng gadis itu masuk ke dalam rumah mode. Seorang perempuan cantik menyambut mereka. "Selamat siang, Tuan dan Nyonya, silahkan," sapanya dengan keramahan yang luar biasa. Maureen mengangguk canggung, matanya melirik kearah tangannya yang digandeng oleh Erland. Dia memberi kode pada Erland untuk melepaskan tangannya, tapi Erlan
"Jahat sekali! Mereka menggunakan Nenek untuk menekan aku," geram Maureen dalam hati. Miris sekali, padahal Nenek Argantha adalah ibu mertua Paulin dan nenek kandung Jillian. "Apa mau kalian sebenarnya?" tanya Maureen pelan, kedua tangannya mengepal di pangkuan. "Tidak ada. Aku cuma ingin mendidikmu supaya tidak suka merebut milik orang," ucap Paulin dengan intonasi yang tenang namun menusuk. "Merebut apa? Kapan?" dengus Maureen. Selama ini Jillian yang selalu merebut semua miliknya, bahkan hadiah ulang tahun dari Kakek dan Nenek Argantha. "Pertama Reinner, sekarang Erland! Kamu masih mau menyangkal? Dasar penggoda!" sergah Jillian penuh kebencian. Maureen menghela napas panjang. Masalah Reinner sudah lama berlalu, tapi dendam Jillian berkepanjangan. "Aku mengenal Reinner lebih dulu darimu. Soal penolakan itu, aku tidak tahu menahu. Lalu, Erland..." Maureen berhenti sejenak dan menarik napas, lalu melontarkan jawaban ambigu, "aku bekerja di Argantha Group. Papa Erland adalah boss
"Dasar manja! Sekarang kamu tidak bisa tidur karena tidak ada yang menemani." Erland mengomeli dirinya sendiri di dalam hati. Hampir semalaman dia main gitar, tapi matanya tetap terbuka lebar. Turun ke dapur, ingin mencari minuman untuk teman tidur, tapi ternyata Maureen cerdik. Gadis itu mengunci lemari penyimpanan dan menyimpan kuncinya entah kemana. Entah jam berapa Erland baru bisa tidur semalam. Pagi ini dia berusaha sekuat tenaga menahan matanya untuk tidak menatap Maureen yang sedang menikmati sarapan di hadapannya. Istrinya itu sudah siap untuk pergi ke kampus. Dia baru menyadari kalau Maureen hari ini juga berdandan, otomatis pandangannya turun ke pakaian Maureen. Istrinya itu memakai blus dengan potongan mengikuti bentuk tubuh. Memang pakaian Maureen tetap sopan dan rapi, tapi dibanding outfit oversize yang biasa dia pakai, penampilannya hari ini cukup menonjolkan lekukan bagian depannya. Menyadari matanya mulai salah arah, Erland buru-buru mengalihkan pandangan. berdehe
"Jangan bilang kamu mulai tertarik padaku." Kalimat terakhir Maureen membuat Erland bagai disengat lebah. Tapi, hal itu tidak berlangsung lama. Benteng pertahanan diri Erland langsung terbangun tinggi. "Tertarik padamu? Tidak salah? Bukannya kamu yang lebih dahulu menggodaku? Kamu yang duluan memeluk, bahkan menciumku tanpa permisi." "Ah, itu sih kamunya saja yang tergoda. Aku memeluk dan menciummu sebagai sahabat. Peluk dan cium itu hal biasa dalam persahabatan." Maureen mengulum senyum. Ekspresi Erland langsung menggemaskan, seperti singa yang kehilangan taring. "Hm..., begitukah?" Erland menghembuskan napas. Setelah itu dengan gerakan mendadak menyambar tablet dengan satu tangan, sementara tangan satunya merangkul bahu Maureen dan menggiringnya keluar cafe."Hey, sahabatmu lapar. Kamu bisa masak untukku?" pinta Erland dengan lihai memanfaatkan kesempatan. Tangannya masih bertengger manis di bahu Maureen.Maureen berjalan sambil mencuri pandang ke tangan yang melingkar di bahunya
"YEEEEY!" sorak Maureen, langsung melompat ke arah Erland. Dengan gerakan yang sangat cepat, dia memeluk Erland dengan erat. "Eh, eh, Maureen?" gagap Erland, mendadak panik. Dia menelan ludah saat merasakan tubuh bagian depan Maureen menempel padanya. Hangat dan lembut. Tangannya bergerak ragu-ragu antara ingin membalas pelukan Maureen, tapi juga gengsi.Tapi, sungguh pelukan Maureen terasa berbeda dengan pelukan-pelukan yang biasa dilakukan oleh kekasih-kekasihnya.Harum rambut Maureen seakan membuainya, lembut dan khas. Ah, Erland merasa seperti melayang. "Thank you! Thank you!" ucap Maureen, refleks mencium pipi Erland kanan dan kiri seperti seorang anak yang baru mendapat hadiah impian dari papanya. "Sial!" umpat Erland dalam hati. Maureen tidak menyadari kalau lelaki yang baru saja dia peluk dan cium sedang berperang melawan dirinya sendiri. Erland berusaha mengatur napas supaya bisa bernapas dengan tenang, tapi sekarang yang terjadi malah jantungnya berdebar seperti genderan