Bulan masih tertidur lelap sambil duduk di sisi ranjang Alfan. Sementara Alfan sudah mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum manik matanya terbuka.
Matahari mulai terlihat menampakkan sinarnya walau belum meninggi.
Alfan merasakan pusing di kepala. Ia sama sekali tidak mengingat kejadian semalam di mana dirinya mengamuk dan berakhir tidak sadarkan diri setelah menghancurkan seisi lantai satu.
Matanya menunduk dan melihat Bulan tertidur dengan posisi yang jelas tidak nyaman. Sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk lengkungan senyum tipis yang sangat manis. Walau dalam kemarahan sekali pun, ternyata wanita itu masih peduli padanya. Perlahan tangan Alfan terulur untuk menyentuh kepala Bulan. Baru sekali usapan, Bulan terlihat terganggu dan bergerak tidak nyaman sebelum membuka mata.
Bulan langsung mengangkat kepalanya saat menyadari yang mengusap kepalanya adalah Alfan.
Malam itu ketika Bulan baru saja menunjukkan bukti tentang apa yang dituduhkan Zahra padanya sama sekali bukan kebenaran. Alfan menyeret Zahra pulang ke rumah. Amarahnya benar-benar sudah di ubun-ubun. Apa yang dipikirkan Zahra hingga memfitnah Bulan dengan tuduhan kejam seperti itu. Rasa-rasanya Alfan tidak mengenali sikap Zahra lagi. Dia telah berubah terlalu banyak semenjak kedatangannya ke Jakarta. Brak! Bantingan di pintu membuat Zahra yang mengikuti di belakang terlonjak kaget. “Mas Alfan, kenapa sekasar ini?!” pekik Zahra dengan mata yang semakin berkaca-kaca. Alfan menyentak tangan Zahra lumayan keras hingga membuat tangis wanita itu seketika pecah. “Kamu masih tanya kenapa. Astaga Zahra! Seharusnya kamu sadar kesalahan apa yang kamu lakukan. Kamu menuduh bahkan memfitnah Bulan dengan sesuatu yang sama sekali tidak dilaku
Rumah mewah milik mertuanya benar-benar membuat Bulan betah tinggal di sini. Suasananya begitu tenang dengan pemandangan hijau yang menyejukkan mata. Sudah dua malam mereka menginap di sini. Seharusnya hari ini adalah jadwal Alfan bertemu dengan Zahra namun lelaki itu sama sekali tidak berniat untuk pulang. Bulan mendekati Alfan yang saat ini sedang sibuk menandatangani beberapa berkas. Semenjak diangkat menjadi penerus HM Group, jadwal Alfan begitu padat. “Mau aku buatkan kopi, Mas?” tawar Bulan yang melihat beberapa kali Alfan menguap dengan mata yang sayu. Alfan menggeleng. Di kantor, ia telah menghabiskan beberapa cangkir kopi dan ia tidak mau tekanan darahnya naik karena kebanyakan minum kopi. “Mas Alfan kalau ngantuk, lebih baik dilanjutkan besok.” “Sebentar lagi. Aku harus melihat dokumen kerjasama penting ini. Kamu kenapa belum tidur? Ini sudah
“Mas Alfan, tadi Zahra menghubungiku. Menanyakan tentang Mas yang tidak mengabarinya sama sekali.” “Biarkan saja,” sahut Alfan terlihat malas. “Mas Alfan jangan begitu. Zahra juga istrimu. Kamu sudah berjanji untuk adil pada kami berdua.” “Aku hanya membiarkan dia intropeksi diri akan kesalahannya.” “Zahra sudah minta maaf, Mas.” “Sudahlah, aku tidak mau membahasnya.” Alfan menghindari Bulan dengan berjalan menuju balkon kamar. Bulan menghela napas pelan. Semenjak kapan Alfan menjadi keras kepala. Atau memang sebenarnya Alfan memang seperti ini? Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Bulan memilih turun ke lantai bawah, mungkin di sana masih ada Mama Silvi yang biasanya akan duduk di ruang keluarga. Tebakan Bulan tentu saja benar. Ada Mama Silvi dan Papa Andre
“Sebenarnya ka—” “Sebenarnya kami bersahabat sejak SMP dulu,” potong Bulan menghentikan ucapan Marvin. Bulan menatap tajam ke arah Marvin yang malah menyeringai ke arahnya. Kemudian mengedipkan mata dengan menggoda. “Wah, tidak menyangka. Ternyata Tuan Marvin ini sahabat istri saya,” ujar Alfan sembari ikut duduk di samping Marvin. “Saya juga tidak menyangka ternyata istri yang menjadi buah bibir para pengusaha itu ternyata Bulan. Dia memang sangat cerdas,” cetus Marvin membuat Alfan mengerutkan kening. “Ada apa memangnya?” “Anda ini pura-pura tidak tahu atau bagaimana. Semua rekan bisnis kita memuji kecerdasan Nyonya Muda Herlambang. Maaf saya tidak bisa hadir di acara Anda.” Akhirnya Bulan paham arah pembicaraan Marvin. “Mas Alfan mau minum? Pekerjaanku belum selesai,” tawar Bulan yang la
Bulan dan Alfan langsung bergegas menuju ke rumah Zahra setelah mendapatkan panggilan mendadak tersebut. Adik ipar Alfan mengatakan bahwa Zahra jatuh tidak sadarkan diri di toilet. Setelah sampai di sana, mereka langsung melarikan Zahra ke salah satu rumah sakit yang tidak jauh dari tempat tinggal mereka. Zahra langsung dibawa masuk ke dalam IGD dan mereka menunggu di ruang tunggu. “Kok bisa Mbak Zahra tidak sadarkan diri di toilet?” tanya Alfan. “Mbak Zahra sepertinya masuk angin, Mas. Beberapa hari mual-mual dan tidak mau makan,” sahut Zea—adik perempuan Zahra. Di telinga Bulan maksud kata mual-mual terdengar lain. Dia pasti hamil, batin Bulan dengan hati yang kembali patah. Bulan mengepalkan tangan untuk menahan segala hal yang ingin dikatakan. Tak berapa lama dokter keluar da
Bulan memilih pergi dari area taman dan kembali masuk ke dalam rumah sakit ketika hawa dingin menyerang tubuhnya bahkan sampai membuatnya menggigil.Marvin sempat menawarkan jasnya untuk dikenakan Bulan, tapi wanita itu menolak dengan halus. Diketahui Bulan, Marvin berada di sana karena omanya mengalami gagal jantung dan sudah beberapa hari dirawat. Sebelum pergi, Bulan menyampaikan rasa terima kasih karena Marvin sedikit menghiburnya juga mengucapkan agar keluarganya cepat diberikan kesehatan.“Lain kali jika berkenan, kunjungi beliau. Mereka pasti senang melihatmu.” Begitu ucapan Marvin terakhir kalinya.Waktu sudah menunjukkan pukul tiga dini hari. Seharusnya ia masih bergulung di bawah selimut yang hangat sambil bermimpi indah.Kakinya berjalan dengan pelan kembali ke ruang rawat Zahra. Tubuhnya seolah tidak memiliki tenaga untuk sekadar menopang dirinya.Semakin
Dua hari Alfan telah absen datang ke kantor. Tentunya perilaku itu membuat Maya—asisten sekaligus sekretaris kepercayaan Papa Andre melaporkannya kepada sang bos besar.Alfan juga tidak mengatakan apa pun kepada Bulan hingga saat Papa Andre menghubunginya dan bertanya, sudah pasti Bulan menjawab bahwa Alfan selalu berangkat kerja.Bulan pikir, Alfan hanya menemani Zahra setelah pulang kantor. Tidak tahunya ternyata lelaki itu mengabaikan pekerjaannya.Terakhir kali Alfan menghubunginya saat memberikan kabar bahwa Zahra sudah diperbolehkan pulang. Alfan juga mengatakan akan tinggal di sana sesuai kesepakatan awal. Tentu setelah mendengar penjelasan itu, ia tidak banyak bertanya lagi.Setelah dua hari lalu, Bulan begitu terlihat rapuh karena mendapati kenyataan yang membuatnya tertekan. Kini ia telah kembali berdiri tegak dengan kakinya sendiri. Senyumnya yang manis telah terlihat walau hanya sek
“Selamat pagi, Den Alfan.”Alfan mengangguk dengan senyum hangat.“Bulan masih di kamar, Mbak?”“Iya, Den. Sepertinya Non Bulan belum bangun. Apa mau dibangunin?”“Tidak usah, biar aku saja yang ke kamar,” sahut Alfan setelahnya pergi menuju lantai dua.Waktu sudah menunjukkan pukul setengah delapan. Tidak biasanya Bulan masih di kamar. Biasanya pukul enam wanita itu akan turun dan duduk di taman ditemani kopi atau teh hangat sembari menghirup udara yang masih sejuk dengan tetesan embun yang masih basah.Perlahan Alfan membuka pintu kamar yang tidak terkunci. Langkah kakinya begitu pelan karena suasana dalam kamar tersebut benar-benar gelap tanpa cahaya lampu.Alfan berjalan ke arah pintu balkon dan membuka tirai yang menutupi kaca hingga sinar mentari bisa masuk dan menyinari kamar yang tad