Share

2. Kau Mengutukku?

"Katakan kau hanya bercanda. Kau tidak serius akan melakukan ini, kan? Kau... aku tahu kau sangat putus asa oleh ucapan Tuan Mark, tapi kau tak mungkin mendaftakan diri pada situs gila ini!"

Sarah, sahabatnya terus mengoceh di sisi Jovanka yang fokus dengan layar laptop di pangkuannya. Dia mengabaikan pertanyaan random dari gadis itu.

"Jova, hentikan ini. Masa depanmu masih panjang, jangan membuat dirimu dalam kesulitan."

"Bahkan aku sudah kesulitan sejak terlahir ke dunia ini, Sarah... jangan terlalu dramatis." sahut Jovanka tanpa melihat sahabatnya.

"Tapi kau akan lebih kesulitan, jika seseorang benar-benar menginginkan jasamu! Hentikan, kataku hentikan itu!"

Jovanka menghentikan ketikannya sejenak. Yang diucapkan Sarah ada benarnya, dia sendiri bahkan tidak siap dengan apa yang sedang dia lakukan. Jika data dirinya benar-benar terdaftar ke link itu dan seseorang menginginkan jasanya, entah bagaimana dia akan menghadapi. Dia bahkan tak berpengalaman dengan laki-laki, bagaimana dia akan meyewakan rahimnya pada orang kaya? Akan tetapi, biaya semester tak lagi bisa menunggu. Jovanka akan dikeluarkan dari universitas jika dalam dua bulan ini tak segera melunasinya.

"Oke, Sayang... bagus. Hentikan niat gilamu itu dan mari kita cari solusinya." Sarah akan mengambil alih laptopnya dari pangkuan Jovanka tapi dihentikan oleh Jova.

"Mencari solusi? Apa yang bisa dilakukan gadis seusiaku? Biaya semester tidak sedikit, kau tahu itu." Jova mengetikkan data terakhirnya pada situs itu dan mengarahkan panah pada tulisan 'daftar' di bawahnya. Dalam satu kali klik, dia akan terdaftar sebagai penjual jasa pinjam rahim di situs itu.

"Astaga... aku tak tahu sesulit apa keluargamu, Jova. Tapi kau sudah berhasil masuk ke universitar paling bergengsi di negara ini dengan cuma-cuma, tak bisa kah keluargamu membantu biaya semester saja? Kau sudah bekerja paruh waktu, seharusnya tidak akan begitu sulit jika keluargamu ikut membantu." Sarah mengusap pundak Jovanka merasa sedih.

'Jika' Ya... jika saja keluarga mendukungnya, ini pasti mudah. Ayahnya pemilik perusahaan yang cukup besar di kota ini, bahkan terdaftar sebagai salah satu penyumbang dana di kampus tempat Jovanka kuliah. Tapi sialnya, Jova tidak berhak mendapatkan haknya sebagai anak dan disuruh berjuang sendiri untuk kuliah. Jangankan mengharap bantuan keluarga, bahkan Jovanka tidak berhak menyandang nama besar Hernandez di belakang namanya. Jova tak pernah memberitahu siapa pun bahwa dirinya adalah salah satu putri Ferry Hernandez.

"Tapi tetap saja. Sesulit apa pun keluargamu, kau tak harus melakukan ini. Ayah ibumu akan bersedih jika mereka tahu kau menjual rahimmu demi kuliah." Sarah hendak mengambil laptop itu kembali tapi direbut oleh Jovanka.

"Sarah, kembalikan."

"Tidak. Masa depanmu masih panjang, hentikan ini!"

"Kembalikan kataku, Sarah, kau tak dengar?"

Mereka terus berebut sampai laptop itu berpindah ke pangkuan Sarah. Dia tertawa menang dan menatap sahabatnya. "Aku tak tega melihatmu melakukan hal ini, sudahlah... aku akan merayu ayahku agar bisa memberiku uang jajan lebih dan membantumu membayar semester," katanya lega. Tapi ketika menatap layar laptop itu, Sarah berteriak kembali, "Jovanka! Kau... sudah mendaftarkannya?"

"Tidak. Aku baru selesai mengisi data, belum menekan daftar," sahut Jova ikut menatap layar laptop dan matanya pun membulat. "Itu... sudah terdaftar?"

Matilah Jovanka jika keluarganya mengetahui hal itu. Entah sumpah serapah dan hukuman apa yang akan diberi ayahnya jika Jovanka benar-benar mendapatkan job menjadi ibu pengganti! Dia terdiam cukup lama dan berkata lirih, "Aku sudah memasuki neraka yang sebenarnya."

"Ya, kau sudah! Maka segeralah ganti nomor ponselmu sebelum seseorang menghubungimu!" Sarah menarik Jovanka untuk bergegas. "Ayo! Kita tak punya waktu lama. Kau harus membuang nomor itu, aku pasti membantumu membayar biaya semester."

Nomor ponselnya mungkin bisa Jovanka ganti, tapi uang untuk kuliahnya tak mungkin datang begitu saja. Dia menarik napas panjang dan menggeleng lemah.

"Kau mungkin bisa membantuku satu atau dua kali, tapi seterusnya tak mungkin aku bergantung padamu, Sarah. Biarkan saja."

"Apa kau sudah gila? Jova, menjadi rahim pengganti itu tidak benar! Jangan lakukan itu."

Jova tahu itu tidak benar dan pasti hanya menambah masalahnya ke depan nanti. Tapi tetap saja, Jova harus tetap berkuliah agar bisa mengubah hidupnya. Bahkan ketika ayahnya hidup pun dia tak mendapatkan apa-apa, lantas apa yang akan terjadi jika ayahnya sudah tiada? Dia harus tetap berkuliah untuk mengubah hidup yang menyedihkan ini.

"Tenangkan dirimu, Nona Spencer... aku tahu kau peduli padaku, tapi ini sudah jalanku." Jova menyesap habis isi gelasnya sebelum berdiri. "Ayo pergi, aku harus bekerja. Kau juga pulanglah, ibumu pasti menunggu di rumah." 

Mereka berpisah di depan kafe. Sarah pulang dengan mobilnya sementara Jovanka berjalan kaki menuju toko kue di seberang jalan. 

"Kau sudah datang? Bereskan semua kue di belakang itu."  Seorang wanita tua pemilik toko kue langsung memberi perintah, saat Jovanka memasuki pintu.

"Baik." 

Dia sudah dua tahun bekerja paruh waktu di sana, tapi Jovanka bahkan tak memiliki tabungan ketika dirinya kesulitan. Upah dari pekerjaannya sering tidak cukup untuk keperluan sehari-hari, bagaimana mungkin dia akan berkuliah hanya mengandalkannya saja? Itulah sebabnya Jovanka mencari situs untuk mendaftarkan diri sebagai ibu pengganti, seperti yang Queen sarankan malam itu. Meski dia tahu itu bukanlah saran tapi sebuah hinaan.

Jelas-jelas tak ada harapan ayahnya akan membantu biaya kuliah. Jova membuang harapan itu jauh-jauh. Dia harus berjuang, kuat, meski di lubuk hatinya dia tahu menjadi ibu pengganti bukanlah sesuatu yang baik dilakukan. Dia harus bangkit.

"Selamat datang, ada yang bisa dibantu?" Jovanka menyapa pelanggan yang memasuki toko kue, sembari melebarkan senyumnya yang terpaksa.

Seorang pria berusia tiga puluhan mengangguk dan tetap berbicara di telepon. "Aku lelah, Cataline, jangan terus mendorongku melakukannya," katanya.

Jovanka dengan sabar menunggu pelanggannya selesai berbicara di telepon, sebelum menawarkan produk andalan mereka hari ini. Pembicaraan itu tampaknya sangat serius, terlihat dari wajah pria itu yang seperti tertekan dan marah. Jova mengamatinya dari jauh, wajah itu sangat tampan meski sedang dalam suasana hati yang tidak baik. Dua mata pria itu begitu memesona di balik bulu-bulu tebal yang menukik ke bawah. Sangat gagah, Jovanka memujanya di dalam dada sampai dia tak menyadari pria itu sudah berdiri dekat di depannya.

"Apa yang kau lihat? Turunkan matamu dari wajahku!"

Jovanka terperanjat mendengar suara berat yang begitu dekat padanya, dia sampai bergidik ngeri. "Ma-maaf, Tuan, Anda mencari sesuatu?"

"Kau pikir aku ke sini untuk melihat wanita kampungan sepertimu? Jelas aku menginginkan sesuatu yang kau jual!" ucap pria itu masih dengan nada sinis yang menyebalkan.

"Maaf." Hanya kata itu yang Jova ucapkan dan menurunkan pandangannya. Dia menyesal baru saja memuja pria tampan itu di dalam hati. 'Dasar arogan. Semoga Tuhan membuat wajahmu menjadi jelek!'

"Kau baru saja mengutukku?" Tatapan tajam pria itu seperti ujung panah yang siap untuk mencabik mata Jovanka. Dia mencengkeram lengan Jovanka dan berkata dengan pelan, "Kau ingin mati?"

'Astaga, apakah dia bisa membaca pikiran seseorang?' pikir Jovanka ketakutan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status