"Katakan kau hanya bercanda. Kau tidak serius akan melakukan ini, kan? Kau... aku tahu kau sangat putus asa oleh ucapan Tuan Mark, tapi kau tak mungkin mendaftakan diri pada situs gila ini!"
Sarah, sahabatnya terus mengoceh di sisi Jovanka yang fokus dengan layar laptop di pangkuannya. Dia mengabaikan pertanyaan random dari gadis itu.
"Jova, hentikan ini. Masa depanmu masih panjang, jangan membuat dirimu dalam kesulitan."
"Bahkan aku sudah kesulitan sejak terlahir ke dunia ini, Sarah... jangan terlalu dramatis." sahut Jovanka tanpa melihat sahabatnya.
"Tapi kau akan lebih kesulitan, jika seseorang benar-benar menginginkan jasamu! Hentikan, kataku hentikan itu!"
Jovanka menghentikan ketikannya sejenak. Yang diucapkan Sarah ada benarnya, dia sendiri bahkan tidak siap dengan apa yang sedang dia lakukan. Jika data dirinya benar-benar terdaftar ke link itu dan seseorang menginginkan jasanya, entah bagaimana dia akan menghadapi. Dia bahkan tak berpengalaman dengan laki-laki, bagaimana dia akan meyewakan rahimnya pada orang kaya? Akan tetapi, biaya semester tak lagi bisa menunggu. Jovanka akan dikeluarkan dari universitas jika dalam dua bulan ini tak segera melunasinya.
"Oke, Sayang... bagus. Hentikan niat gilamu itu dan mari kita cari solusinya." Sarah akan mengambil alih laptopnya dari pangkuan Jovanka tapi dihentikan oleh Jova.
"Mencari solusi? Apa yang bisa dilakukan gadis seusiaku? Biaya semester tidak sedikit, kau tahu itu." Jova mengetikkan data terakhirnya pada situs itu dan mengarahkan panah pada tulisan 'daftar' di bawahnya. Dalam satu kali klik, dia akan terdaftar sebagai penjual jasa pinjam rahim di situs itu.
"Astaga... aku tak tahu sesulit apa keluargamu, Jova. Tapi kau sudah berhasil masuk ke universitar paling bergengsi di negara ini dengan cuma-cuma, tak bisa kah keluargamu membantu biaya semester saja? Kau sudah bekerja paruh waktu, seharusnya tidak akan begitu sulit jika keluargamu ikut membantu." Sarah mengusap pundak Jovanka merasa sedih.
'Jika' Ya... jika saja keluarga mendukungnya, ini pasti mudah. Ayahnya pemilik perusahaan yang cukup besar di kota ini, bahkan terdaftar sebagai salah satu penyumbang dana di kampus tempat Jovanka kuliah. Tapi sialnya, Jova tidak berhak mendapatkan haknya sebagai anak dan disuruh berjuang sendiri untuk kuliah. Jangankan mengharap bantuan keluarga, bahkan Jovanka tidak berhak menyandang nama besar Hernandez di belakang namanya. Jova tak pernah memberitahu siapa pun bahwa dirinya adalah salah satu putri Ferry Hernandez.
"Tapi tetap saja. Sesulit apa pun keluargamu, kau tak harus melakukan ini. Ayah ibumu akan bersedih jika mereka tahu kau menjual rahimmu demi kuliah." Sarah hendak mengambil laptop itu kembali tapi direbut oleh Jovanka.
"Sarah, kembalikan."
"Tidak. Masa depanmu masih panjang, hentikan ini!"
"Kembalikan kataku, Sarah, kau tak dengar?"
Mereka terus berebut sampai laptop itu berpindah ke pangkuan Sarah. Dia tertawa menang dan menatap sahabatnya. "Aku tak tega melihatmu melakukan hal ini, sudahlah... aku akan merayu ayahku agar bisa memberiku uang jajan lebih dan membantumu membayar semester," katanya lega. Tapi ketika menatap layar laptop itu, Sarah berteriak kembali, "Jovanka! Kau... sudah mendaftarkannya?"
"Tidak. Aku baru selesai mengisi data, belum menekan daftar," sahut Jova ikut menatap layar laptop dan matanya pun membulat. "Itu... sudah terdaftar?"
Matilah Jovanka jika keluarganya mengetahui hal itu. Entah sumpah serapah dan hukuman apa yang akan diberi ayahnya jika Jovanka benar-benar mendapatkan job menjadi ibu pengganti! Dia terdiam cukup lama dan berkata lirih, "Aku sudah memasuki neraka yang sebenarnya."
"Ya, kau sudah! Maka segeralah ganti nomor ponselmu sebelum seseorang menghubungimu!" Sarah menarik Jovanka untuk bergegas. "Ayo! Kita tak punya waktu lama. Kau harus membuang nomor itu, aku pasti membantumu membayar biaya semester."
Nomor ponselnya mungkin bisa Jovanka ganti, tapi uang untuk kuliahnya tak mungkin datang begitu saja. Dia menarik napas panjang dan menggeleng lemah.
"Kau mungkin bisa membantuku satu atau dua kali, tapi seterusnya tak mungkin aku bergantung padamu, Sarah. Biarkan saja."
"Apa kau sudah gila? Jova, menjadi rahim pengganti itu tidak benar! Jangan lakukan itu."
Jova tahu itu tidak benar dan pasti hanya menambah masalahnya ke depan nanti. Tapi tetap saja, Jova harus tetap berkuliah agar bisa mengubah hidupnya. Bahkan ketika ayahnya hidup pun dia tak mendapatkan apa-apa, lantas apa yang akan terjadi jika ayahnya sudah tiada? Dia harus tetap berkuliah untuk mengubah hidup yang menyedihkan ini.
"Tenangkan dirimu, Nona Spencer... aku tahu kau peduli padaku, tapi ini sudah jalanku." Jova menyesap habis isi gelasnya sebelum berdiri. "Ayo pergi, aku harus bekerja. Kau juga pulanglah, ibumu pasti menunggu di rumah."
Mereka berpisah di depan kafe. Sarah pulang dengan mobilnya sementara Jovanka berjalan kaki menuju toko kue di seberang jalan.
"Kau sudah datang? Bereskan semua kue di belakang itu." Seorang wanita tua pemilik toko kue langsung memberi perintah, saat Jovanka memasuki pintu.
"Baik."
Dia sudah dua tahun bekerja paruh waktu di sana, tapi Jovanka bahkan tak memiliki tabungan ketika dirinya kesulitan. Upah dari pekerjaannya sering tidak cukup untuk keperluan sehari-hari, bagaimana mungkin dia akan berkuliah hanya mengandalkannya saja? Itulah sebabnya Jovanka mencari situs untuk mendaftarkan diri sebagai ibu pengganti, seperti yang Queen sarankan malam itu. Meski dia tahu itu bukanlah saran tapi sebuah hinaan.
Jelas-jelas tak ada harapan ayahnya akan membantu biaya kuliah. Jova membuang harapan itu jauh-jauh. Dia harus berjuang, kuat, meski di lubuk hatinya dia tahu menjadi ibu pengganti bukanlah sesuatu yang baik dilakukan. Dia harus bangkit.
"Selamat datang, ada yang bisa dibantu?" Jovanka menyapa pelanggan yang memasuki toko kue, sembari melebarkan senyumnya yang terpaksa.
Seorang pria berusia tiga puluhan mengangguk dan tetap berbicara di telepon. "Aku lelah, Cataline, jangan terus mendorongku melakukannya," katanya.
Jovanka dengan sabar menunggu pelanggannya selesai berbicara di telepon, sebelum menawarkan produk andalan mereka hari ini. Pembicaraan itu tampaknya sangat serius, terlihat dari wajah pria itu yang seperti tertekan dan marah. Jova mengamatinya dari jauh, wajah itu sangat tampan meski sedang dalam suasana hati yang tidak baik. Dua mata pria itu begitu memesona di balik bulu-bulu tebal yang menukik ke bawah. Sangat gagah, Jovanka memujanya di dalam dada sampai dia tak menyadari pria itu sudah berdiri dekat di depannya.
"Apa yang kau lihat? Turunkan matamu dari wajahku!"
Jovanka terperanjat mendengar suara berat yang begitu dekat padanya, dia sampai bergidik ngeri. "Ma-maaf, Tuan, Anda mencari sesuatu?"
"Kau pikir aku ke sini untuk melihat wanita kampungan sepertimu? Jelas aku menginginkan sesuatu yang kau jual!" ucap pria itu masih dengan nada sinis yang menyebalkan.
"Maaf." Hanya kata itu yang Jova ucapkan dan menurunkan pandangannya. Dia menyesal baru saja memuja pria tampan itu di dalam hati. 'Dasar arogan. Semoga Tuhan membuat wajahmu menjadi jelek!'
"Kau baru saja mengutukku?" Tatapan tajam pria itu seperti ujung panah yang siap untuk mencabik mata Jovanka. Dia mencengkeram lengan Jovanka dan berkata dengan pelan, "Kau ingin mati?"
'Astaga, apakah dia bisa membaca pikiran seseorang?' pikir Jovanka ketakutan.
Rich turun terburu-buru dari mobilnya dan meraih tangan Cataline. Istri yang bertengkar dengannya tempo hari segera ditarik masuk ke dalam mobil. "Apa yang kau lakukan di sini, Kate? Kau memata-matai aku?" tanya Rich, menatap inti mata istrinya menjadi penjelasan. Namun, mata itu menunduk sendu, sebelum akhirnya menitikkan buliran hangat yang kemudian mengalir di kedua pipi. Cataline menangis? Sebuah pemandangan yang sangat jarang terjadi! Bingung. Begitulah isi kepala Rich sekarang. Mengingat yang terjadi di dalam rumah tangga mereka, seharusnya Cataline datang dengan amarah seperti yang sudah-sudah. Tapi kenapa kali ini dia menangis? "Kate, ada apa? Kenapa kau menangis?" tanya Rich sekali lagi. Bukannya menjawab, tangis Cataline semakin besar bahkan dia sesenggukan sekarang. Apakah istrinya sudah memikirkan kembali kenapa Rich menikahi Jovanka? Bagus jika itu benar. Setidaknya Cataline tahu kenapa Rich harus menikahi gadis itu. Tapi... bagaimana jika sesuatu yang buruk
"Halo, Sayangku." "Kau di mana, Brengsek! Kau sengaja menjauhiku?" Sejak tadi malam Cataline mencoba menghubungi pria itu, tetapi hanya layanan operator yang terdengar mengatakan nomornya tidak bisa dihubungi. Dia langsung mengumpat begitu Liam Nelson mengangkat panggilannya. "Hei, kenapa kau sangat marah? Aku baru kembali dari perjalanan bisnis," terang Liam, masih dengan suaranya yang tenang. Cataline semakin kesal oleh jawaban Liam, dia sudah menunggu di rumahnya sejak pagi tapi pria itu belum juga pulang. "Aku di rumahmu, Brengsek. Kau pulang ke mana? Ke hotel menemui gadis-gadismu?" "Benarkah? Aku baru saja memasuki gerbang, kau akan melihatku jika benar kau di rumahku," kata Liam.Cataline langsung berdiri melihat ke jendela, benar saja mobil Liam sedang memasuki garasi terbuka yang ada di sudut kanan. Gadis itu menutup telepon dan menunggu Liam masuk. Kemarahan atas perlakuan Rich masih terus membuatnya tak tenang. Cataline menenggak beer kaleng yang dibelinya saat di pe
[Tuan Rich, Anda marah padaku? Aku sangat menyesal sudah membuatmu tersinggung.]Jovanka membaca ulang pesan yang diketiknya, dan kembali ragu untuk menekan tombol pengirim. Dia menghapus lagi pesan itu dan mengganti dengan yang lain.[Aku hanya bercanda, Tuan Rich, tolong jangan marah padaku.]Sekali lagi, dia hapus pesan itu dan berpikir keras kalimat yang benar untuk meminta maaf."Tapi kenapa aku harus meminta maaf? Dia memang melakukannya," kata gadis itu menggeleng, egonya ikut bermain.Rich sendiri yang lebih dulu menyinggung Jovanka. Pria itu patut mendapat balasan karena sudah menyebut Jovanka sebagai gadis yang tidak menarik."Tapi dia tidak berkata demikian, Jova... dia hanya berkata mempertimbangkan."Kembali Jovanka berkata sendiri.Bisa saja maksud Rich mempertimbangkan bukan karena menganggap Jovanka tidak menarik. Mungkin dia mempertimbangkan karena pria itu adalah suami orang lain sehingga tak seharusnya tidur dengan Jovanka. Apalagi dengan perjanjian pra nikah merek
Jovanka mengganti bajunya untuk ke sekian kali, dan melemparkan baju terakhir ke atas ranjang. Dia menatap tubuhnya yang hanya mengenakan dalaman, di pantulan cermin."Astaga... semua terasa tidak cocok," keluhnya kecewa.Baru berapa hari yang lalu dia berbelanja pakaian yang sangat banyak, tapi karena tidak teliti, Jovanka melakukan kesalahan. Semua pakaian itu dia beli dengan ukuran dirinya yang belum mengandung, tanpa mencoba terlebih dulu. Bagaimana bisa sesuai? Memang tidak menjadi sempit, hanya saja... perutnya yang mulai membuncit menjadi sedikit terlihat. "Ayolah, Jovanka... kenapa kau pikirkan itu? Ini belum seberapa, bobotmu akan bertambah berkali lipat lagi."Dia akhirnya mengenakan kembali pakaian itu, membuang rasa tak nyaman di kepalanya. Bagaimana pun semua orang di kampus juga akan tahu dirinya sedang mengandung. Hanya menunggu waktu saja.Tak lupa Jovanka memoles wajahnya dengan sedikit riasan, yang ikut dibeli tempo hari. Hanya bedak dan lipgloss tentu saja, sebab
Lihat lah pria itu berdiri dari duduknya. Tentu saja Cataline yang selalu menjadi pemenang. Mendengar istrinya bunuh diri, Rich pasti membujuk dan memohon agar Cataline tidak melompat dari jendela. Kesempatan itu tidak akan Cataline sia-siakan untuk lepas dari semua kejahatannya. Ya, Cataline sudah sering membalikkan kesalahan menjadi kemenangan untuknya, dan Rich selalu mengalah. Tak ubahnya hari ini, Cataline tahu suaminya akan kembali mengalah. Rich pasti memohon, bersujud demi bayi yang sudah lama diidamkan."Jangan mencegahku! Jika kau tidak meninggalkan gadis itu dan menggugurkan bayinya, maka kau akan kehilangan aku dan bayi kita!" Sekali lagi dia mengancam, menatap Rich yang berdiri di sana.Rich tidak bergeming, tetap diam di tempatnya berdiri. Cataline tidak sabar melihat Rich berjalan ke arahnya dan memohon. Tapi sialnya, kenyataan tidak sesuai dengan yang Cataline harapkan."Aku tahu kau hanya mengancam, Kate, sudahlah, kau sudah terlalu sering melakukannya padaku," kata
"Astaga, sudah berapa aku tertidur di sini?"Dia mengenakan pakaian buru-buru untuk mengusir rasa dingin di sekujur tubuh. Jovanka tidak ingat sejak kapan dia tertidur di dalam bath up itu, sehingga telapak tangan dan kakinya sudah mengeriput. Ketika keluar dari kamar mandi, semakin terkejut dia melihat jam digital yang menunjukkan hari sudah sore."Kenapa dia tak membangunkanku?" kata Jovanka menggerutu, mengingat meninggalkan Rich di balkon kamarnya. Mengatahui Jovanka tidak juga keluar, bukankah seharusnya Rich menggedor pintu? Dia keluar untuk mencari Rich di kamar sebelah, tapi pintunya sudah terkunci.Apa Rich sedang tidur? Jovanka mencoba mengintip dari lubang kunci, hanya gelap yang terlihat mata."Apa yang Anda cari, Nona?"Suara Kenrick memaksa Jovanka kembali berdiri, wajahnya sangat terkejut bercampur malu."Eh, itu... Anda melihat Rich, Tuan Ken?" tanya Jovanka, kemudian mengetuk kepala pelan.Sudahlah ketahuan mengintip, sekarang juga dia berkata jujur tengah mencari Ric