"Apakah begitu sulit bagimu mengandung sendiri anak kita?"
"Sudah kukatakan berkali-kali, ini demi kau dan juga diriku. Aku tak ingin tubuhku menjadi melar di mana-mana dan membuatmu tak berselera."
Pasangan suami istri itu kembali diam dalam beberapa waktu. Sejak enam tahun pernikahan mereka, Cataline selalu tegas mengatakan dirinya tak akan mengandung sendiri anaknya. Dia akan memakai jasa ibu pengganti untuk mendapatkan keturunan. Meski Rich ribuan kali meyakinkannya akan terus bersama gadis itu, Cataline tetap dengan pendiriannya.
"Kau tak akan menyesalinya, Cataline?" tanya Rich meyakinkan.
Cataline menggeleng cepat dan berkata, "Akan lebih menyesal jika aku yang mengandungnya. Aku tak ingin merusak tubuh indahku karena seorang anak. Lagian, bukankah banyak orang yang melakukannya? Ayolah, Rich... demi penampilan istrimu, kau harusnya mengerti. Bisa kau bayangkan teman-temanku akan mengejekku jika menjadi gendut karena hamil? Tolonglah... aku tak ingin hamil, tapi kita juga harus memiliki penerus untuk keluarga ini."
Bertahun Rich meyakinkannya tapi Cataline hanya sibuk dengan keindahan tubuh. Sampai mati pun istrinya itu tidak akan mau mengalah. Rich akan semakin tua dan bisa mati kapan saja. Lantas, untuk apa dia bekerja sangat keras jika tak memiliki keturunan untuk meneruskan nama dan bisnis keluarga? Rich ingin menimang putra, memberikan cinta pada anak-anaknya, membesarkan mereka sampai nanti melahirkan cucu-cucu yang banyak. Tapi jika Cataline tetap seperti ini, semua impian itu tak akan pernah nyata.
"Rich... bukankah kau berjanji akan menuruti semua inginku? Lantas kenapa kau tak bisa melakukannya kali ini?" Cataline memeluk lengan suaminya dan berkata dengan manja, "Kau akan melakukannya, kan? Usiaku sudah 35 tahun, aku tak ingin semakin tua karena mengandung."
Lelah dengan desakan istrinya, mau tak mau Rich harus mengalah. "Terserah kau saja, lakukan apa yang menurutmu benar."
"Kau setuju? Rich... aku sangat mencintaimu!" Cataline mencium Rich yang diam mematung.
***
[Halo, Nona Jovanka Abigail, kami sudah menemukan klien untukmu. Luangkan waktumu besok untuk menemui calon klien pertamamu. Kami akan mengirimkan pesan selanjutnya untuk tempat dan waktunya, terima kasih.]
Jantung Jovanka berdebar tak karuan membaca pesan yang masuk ke ponselnya. Ini adalah pesan ke dua setelah kemarin dia dinyatakan lulus pendaftaran tahap awal. Tak disangka, hanya kurun waktu satu hari sejak mendaftar di situs itu, Jovanka akan menemui kliennya.
"Bagaimana ini? Apakah aku harus menolak tawaran ini?" Jovanka bergumam ragu. "Tapi itu baru calon klien, belum tentu mereka akan memilihku." Dia kembali tenang memasuki kediaman keluarga Hernandez. Gelak tawa semua orang terdengar renyah menyambut kedatangan Jova. Semua orang pasti sedang berbahagia seperti biasanya. Jova tidak perlu ikut bergabung karena dia tak pernah diinginkan hadir di sana. Gadis itu menaiki anak tangga sebelum Adriana memanggilnya.
"Kau pulang, Jovanka?"
Jovanka menghentikan kakinya. Akan disebut tidak sopan jika dia tetap melangkah meninggalkan tempat itu.
"Selamat malam, semuanya. Maaf, aku pulang terlambat."
"Ya, ini sudah larut malam. Tak ada yang menyebut ini masih siang, kau tak melihat gelap di luar sana?" Bertrand menyindir sambil melirik jam di pergelangannya.
"Jovanka, sebenarnya apa yang kau lakukan di luar sana sampai tengah malam?"
Kali ini Ferry Hernandez yang bertanya dengan nada curiga. Jovanka dibuat tidak nyaman oleh tatapan mereka yang seakan menuduhnya melakukan sesuatu yang salah.
"Aku beke-"
"Sudahlah, Sayang... jangan terlalu keras pada Jovanka, dia sudah dewasa. Bukankah wajar seorang gadis pulang malam setelah bertemu dengan teman-temannya?" potong Adriana. Nadanya sangat lembut seperti dia bukanlah orang yang kemarin mengutuk Jovanka di kamar. "Sayang, besok desainer interior akan mulai bekerja. Bukankah Jovanka juga seharusnya ikut memberi saran untuk dekorasi ulang tahun Queen? Dia sangat pintar, aku rasa dia memiliki ide," sambungnya menatap lembut sang suami.
Jovanka bisa menyadari kelicikan ibu tirinya, bahwa wanita itu tak menginginkan Jovanka ada di acara ulang tahun Queen. Hanya saja dia tak langsung mengatakannya dengan gamblang.
"Kau tak boleh di sini sampai acara ulang tahun Queen selesai. Pergilah ke rumah temanmu dan menginap di sana, aku tak ingin seseorang melihat kau ada di rumah ini," perintah Ferry Hernandez.
Jovanka melihat senyum kemenangan di wajah Adriana, rencananya sesuai dengan yang diharapkan.
"Baik, Ayah." Jovanka berpamitan pergi ke kamarnya dan tak ada yang peduli. Semua orang kembali bercengkrama seperti sebelum Jovanka pulang.
Menginap di rumah teman? Hahaha! Bahkan Jovanka tak memiliki teman selain Sarah Spencer, dan tak mungkin dia menginap di rumah gadis itu. Sarah tak boleh tau terlalu banyak tentang Jovanka atau dia akan mendapat hukuman dari sang ayah.
Begitulah peraturan di dalam hidupnya. Tak ada yang boleh tahu Jovanka adalah salah satu putri keluarga ini. Sebab itu pula Ferry Hernandez menyuruhnya pergi agar tidak mengundang kecurigaan orang lain. Ferry tak pernah mengakui Jovanka sebagai putrinya di depan umum dan hanya memperkenalkan ketiga anak lainnya. Jadi, Jova tidak boleh terlalu banyak bercerita tentang hidupnya pada Sarah.
Ketika Jovanka menceritakan tentang pesan yang dia dapat, gadis bermata besar itu melotot sampai matanya hampir memenuhi wajah.
"Kau serius? Itu baru kemarin dan mereka langsung menghubungimu?" tanya Sarah tak percaya. "Aku menjadi curiga, mungkin mereka menjual gadis-gadis ke luar negeri, jadi jangan temui mereka!"
"Kau berlebihan, Sarah. Mereka mengajak bertemu di restoran, itu tempat umum. Tak mungkin mereka menculikku di sana."
"Tapi tetap saja, Jovanka! Kau harus hati-hati dan jangan begitu cepat setuju!"
Sepulang kuliah dia pergi ke toko kue dan bekerja seperti biasa. Pukul tujuh malam dia meminta ijin pada Nyonya Green dengan alasan ada acara keluarga. Nyonya Green tidak mempermasalahkannya karena selama ini Jova adalah gadis yang rajin. Dan tentang kesalahpahamannya dengan pelanggan kemarin pun tidak dipermasalahkan wanita tua itu, meski mereka tetap meminta maaf padanya. Jovanka meminjam kamar mandi toko untuk membersihkan diri, mengganti bajunya dan bergegas ke alamat yang dikirimkan pihak pencari jasa ibu pengganti.
Sudah hampir pukul delapan malam saat Jovanka memasuki restoran itu, dia akan terlambat. Teleponnya berdering dan langsung mendapat cecaran dari seberang sana.
"Nona Jovanka, apa kau serius dengan pekerjaan ini? Klien sudah tiba, di mana kau?"
"Maaf, Nyonya, aku sudah di restoran." Penelepon memberitahu Jova nomor ruangannya dan meminta pelayan mengantarkan.
"Masuklah, dan jaga pandanganmu. Klien kita bukan orang sembarangan jadi jangan membuat kesalahan." Gadis berusia tiga puluhan itu mengajak Jovanka masuk.
Di dalam sudah ada pasangan suami istri dan ketua yayasan. Jova berdiri di belakang gadis yang membawanya tanpa berani mengangkat wajah, seperti yang diperingatkan.
"Tuan dan Nyonya Cullen, ini kandidat kedua yang bisa kami kenalkan. Dia Jovanka Abigail, berusia 22 tahun dan berasal dari pinggir kota. Dia masih berkuliah dan ini pengalam pertamanya, seperti yang Nyonya Cullen inginkan."
Persis seperti sebuah barang, Jovanka ditawarkan pada calon klien yang akan memakai jasanya. Dan sebenarnya, hati gadis itu menangis mendapati dirinya tengah menjual harga diri.
"Jovanka, majulah ke depan dan berkenalan dengan calon klien."
Jova merasakan kakinya gemetar. Dia maju ke hadapan orang-orang yang sedang mempertimbangkan dirinya.
"Angkat wajahmu, biarkan calon klien kita melihatmu."
Masih dengan gemetar, Jovanka mengangkat wajahnya ragu-ragu. Betapa terkejut Jova melihat pria yang duduk di sebelah istrinya.
Bukankah itu pria yang kemarin berselisih paham dengannya di toko?
Rich turun terburu-buru dari mobilnya dan meraih tangan Cataline. Istri yang bertengkar dengannya tempo hari segera ditarik masuk ke dalam mobil. "Apa yang kau lakukan di sini, Kate? Kau memata-matai aku?" tanya Rich, menatap inti mata istrinya menjadi penjelasan. Namun, mata itu menunduk sendu, sebelum akhirnya menitikkan buliran hangat yang kemudian mengalir di kedua pipi. Cataline menangis? Sebuah pemandangan yang sangat jarang terjadi! Bingung. Begitulah isi kepala Rich sekarang. Mengingat yang terjadi di dalam rumah tangga mereka, seharusnya Cataline datang dengan amarah seperti yang sudah-sudah. Tapi kenapa kali ini dia menangis? "Kate, ada apa? Kenapa kau menangis?" tanya Rich sekali lagi. Bukannya menjawab, tangis Cataline semakin besar bahkan dia sesenggukan sekarang. Apakah istrinya sudah memikirkan kembali kenapa Rich menikahi Jovanka? Bagus jika itu benar. Setidaknya Cataline tahu kenapa Rich harus menikahi gadis itu. Tapi... bagaimana jika sesuatu yang buruk
"Halo, Sayangku." "Kau di mana, Brengsek! Kau sengaja menjauhiku?" Sejak tadi malam Cataline mencoba menghubungi pria itu, tetapi hanya layanan operator yang terdengar mengatakan nomornya tidak bisa dihubungi. Dia langsung mengumpat begitu Liam Nelson mengangkat panggilannya. "Hei, kenapa kau sangat marah? Aku baru kembali dari perjalanan bisnis," terang Liam, masih dengan suaranya yang tenang. Cataline semakin kesal oleh jawaban Liam, dia sudah menunggu di rumahnya sejak pagi tapi pria itu belum juga pulang. "Aku di rumahmu, Brengsek. Kau pulang ke mana? Ke hotel menemui gadis-gadismu?" "Benarkah? Aku baru saja memasuki gerbang, kau akan melihatku jika benar kau di rumahku," kata Liam.Cataline langsung berdiri melihat ke jendela, benar saja mobil Liam sedang memasuki garasi terbuka yang ada di sudut kanan. Gadis itu menutup telepon dan menunggu Liam masuk. Kemarahan atas perlakuan Rich masih terus membuatnya tak tenang. Cataline menenggak beer kaleng yang dibelinya saat di pe
[Tuan Rich, Anda marah padaku? Aku sangat menyesal sudah membuatmu tersinggung.]Jovanka membaca ulang pesan yang diketiknya, dan kembali ragu untuk menekan tombol pengirim. Dia menghapus lagi pesan itu dan mengganti dengan yang lain.[Aku hanya bercanda, Tuan Rich, tolong jangan marah padaku.]Sekali lagi, dia hapus pesan itu dan berpikir keras kalimat yang benar untuk meminta maaf."Tapi kenapa aku harus meminta maaf? Dia memang melakukannya," kata gadis itu menggeleng, egonya ikut bermain.Rich sendiri yang lebih dulu menyinggung Jovanka. Pria itu patut mendapat balasan karena sudah menyebut Jovanka sebagai gadis yang tidak menarik."Tapi dia tidak berkata demikian, Jova... dia hanya berkata mempertimbangkan."Kembali Jovanka berkata sendiri.Bisa saja maksud Rich mempertimbangkan bukan karena menganggap Jovanka tidak menarik. Mungkin dia mempertimbangkan karena pria itu adalah suami orang lain sehingga tak seharusnya tidur dengan Jovanka. Apalagi dengan perjanjian pra nikah merek
Jovanka mengganti bajunya untuk ke sekian kali, dan melemparkan baju terakhir ke atas ranjang. Dia menatap tubuhnya yang hanya mengenakan dalaman, di pantulan cermin."Astaga... semua terasa tidak cocok," keluhnya kecewa.Baru berapa hari yang lalu dia berbelanja pakaian yang sangat banyak, tapi karena tidak teliti, Jovanka melakukan kesalahan. Semua pakaian itu dia beli dengan ukuran dirinya yang belum mengandung, tanpa mencoba terlebih dulu. Bagaimana bisa sesuai? Memang tidak menjadi sempit, hanya saja... perutnya yang mulai membuncit menjadi sedikit terlihat. "Ayolah, Jovanka... kenapa kau pikirkan itu? Ini belum seberapa, bobotmu akan bertambah berkali lipat lagi."Dia akhirnya mengenakan kembali pakaian itu, membuang rasa tak nyaman di kepalanya. Bagaimana pun semua orang di kampus juga akan tahu dirinya sedang mengandung. Hanya menunggu waktu saja.Tak lupa Jovanka memoles wajahnya dengan sedikit riasan, yang ikut dibeli tempo hari. Hanya bedak dan lipgloss tentu saja, sebab
Lihat lah pria itu berdiri dari duduknya. Tentu saja Cataline yang selalu menjadi pemenang. Mendengar istrinya bunuh diri, Rich pasti membujuk dan memohon agar Cataline tidak melompat dari jendela. Kesempatan itu tidak akan Cataline sia-siakan untuk lepas dari semua kejahatannya. Ya, Cataline sudah sering membalikkan kesalahan menjadi kemenangan untuknya, dan Rich selalu mengalah. Tak ubahnya hari ini, Cataline tahu suaminya akan kembali mengalah. Rich pasti memohon, bersujud demi bayi yang sudah lama diidamkan."Jangan mencegahku! Jika kau tidak meninggalkan gadis itu dan menggugurkan bayinya, maka kau akan kehilangan aku dan bayi kita!" Sekali lagi dia mengancam, menatap Rich yang berdiri di sana.Rich tidak bergeming, tetap diam di tempatnya berdiri. Cataline tidak sabar melihat Rich berjalan ke arahnya dan memohon. Tapi sialnya, kenyataan tidak sesuai dengan yang Cataline harapkan."Aku tahu kau hanya mengancam, Kate, sudahlah, kau sudah terlalu sering melakukannya padaku," kata
"Astaga, sudah berapa aku tertidur di sini?"Dia mengenakan pakaian buru-buru untuk mengusir rasa dingin di sekujur tubuh. Jovanka tidak ingat sejak kapan dia tertidur di dalam bath up itu, sehingga telapak tangan dan kakinya sudah mengeriput. Ketika keluar dari kamar mandi, semakin terkejut dia melihat jam digital yang menunjukkan hari sudah sore."Kenapa dia tak membangunkanku?" kata Jovanka menggerutu, mengingat meninggalkan Rich di balkon kamarnya. Mengatahui Jovanka tidak juga keluar, bukankah seharusnya Rich menggedor pintu? Dia keluar untuk mencari Rich di kamar sebelah, tapi pintunya sudah terkunci.Apa Rich sedang tidur? Jovanka mencoba mengintip dari lubang kunci, hanya gelap yang terlihat mata."Apa yang Anda cari, Nona?"Suara Kenrick memaksa Jovanka kembali berdiri, wajahnya sangat terkejut bercampur malu."Eh, itu... Anda melihat Rich, Tuan Ken?" tanya Jovanka, kemudian mengetuk kepala pelan.Sudahlah ketahuan mengintip, sekarang juga dia berkata jujur tengah mencari Ric