Share

Malam Pertama

Suasana hening. Mulut Shaila kaku meski pertanyaan sudah beruntun di dalam pikirannya. Ezra fokus dengan benda kotak pipih yang ia pegang. 

 

"Zan, ada beberapa hal yang ingin aku tanyakan." Shaila menoleh ke arah Ezra yang sedari tadi duduk di sampingnya. 

 

"Aku juga." Ezra sedikit melirik Shaila. 

 

"Wanita itu?" Belum selesai Shaila berbicara. 

 

"Wanita?" Sontak Ezra menengok ke arah Shaila sambil mengerutkan alisnya. Lalu Ia segera menyimpan ponselnya diatas tempat tidur. 

 

Ia mendesah kasar. 

 

"Oke, mungkin sekarang saatnya aku harus menjelaskan situasi ini. Tapi, kamu harus janji, tidak akan berkomentar apapun!" Seraya ia bangkit dan berdiri, lalu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. 

 

Sementara Shaila masih tetap dalam posisi duduk di tepi ranjang. 

 

"Tidak janji." Kepala Shaila menggeleng. 

 

"Janji atau tidak, kamu jangan berkomentar! Ini perintah suamimu."

 

"Apakah kamu tidak bisa merasakan kalau laki-laki yang bersamammu ini bukan Fauzan kekasih hati  yang kau puja-puja?" Nadanya dingin. 

 

"Maksudmu??" 

 

"Aku bilang jangan berkomentar!"

 

Ezra melangkah menuju jendela kamar. Matanya menatap nun jauh ke arah luar. 

 

"Aku bukan Fauzan, tapi Ezra saudara kembarnya. Aku tahu kamu kekasih Fauzan sejak lama. Tapi sayang, Si Brengsek itu mengkhianatimu selama dia di Australia. Memangnya kamu tidak menyadarinya????"

 

"Dan... satu lagi, Mama yang memintaku datang menggantikannya. Tugasku menggantikan Fauzan selesai. Sekarang terserah padamu, meneruskan pernikahan ini atau tidak. Keputusan bergantung padamu." 

 

Setelah mendengar perkataan itu. Hidung Shaila terasa sangat sakit dan tiba-tiba bulir bening mengalir dari matanya. 

 

Tidak tahu sejak kapan Ezra berada di belakangnya. Shaila menoleh dan menabrak bidang dadanya.  Ezra menahan lalu memeluknya. Nafas Shaila terengah. Dadanya sesak, sedikit kehabisan nafas, kemudian berkata, "Maaf"  Ia membenamkan kepalanya ke dalam pelukan. 

 

Ezra hanya terdiam. Setelah beberapa saat, ia perlahan menepuk punggung Shaila. 

 

"Salahku apa? Sehingga dengan mudahnya Fauzan mampu menghilangkanku dan menggantinya dengan wanita lain. Apa aku kurang cantik?"

 

Shaila menatap Ezra dengan genangan air di matanya. 

 

Ezra memahami apa yang Shaila maksud. Setelah hening sejenak,  Ia berkata,

 

 "Sekarang, kamu sudah menikah denganku."

 

Shaila terdiam. Kemudian mendorong Ezra menjauh. Ia menghapus air matanya. 

 

"Aku minta maaf." Shaila menunduk. 

 

Ezra mengangguk mengerti.

 

"Kalau kamu lelah, tidur saja dulu! Aku akan ke ruang kerja." Ezra menunjuk ranjang dengan dagunya. 

 

"Terima kasih. Aku... " Kata-kata Shaila terputus, banyak yang ingin ia katakan, namun tidak tahu harus bagaimana mengatakannya. 

 

Ezra tiba-tiba berbalik. Menatap Shaila dengan penuh ketenangan. 

 

"Lupakan semua yang terjadi! Hari ini hanyalah sementara. Kalau masih berharap sama Fauzan. Aku akan membiarkanmu menunggunya. Mungkin dia akan datang."

 

Selesai berbicara, dia melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. 

 

"Aku masih ada konferensi video. Mungkin aku akan tidur di ruang kerja. Tolong bangunkan aku satu jam sebelum subuh." 

 

Shaila menatap punggung Ezra yang berlalu meninggalkannya. Lalu ia menoleh ke arah ranjang yang besar. Ia mengingat perkataannya kepada Bi Esih. Fauzan tidak akan datang dan ternyata itu benar. Seharusnya malam ini adalah malam terindah untuknya bersama Fauzan. 

 

Tetapi, dibalik itu ia merasa sangat berterima kasih kepada Ezra. 

 

Pernikahan bisa berlangsung berkat adanya Ezra. Ezra juga terlihat sopan dan baik. Mengajak Shaila pulang dengan anggun. Menjadikan harinya istimewa dalam resepsi pernikahan tersebut.

 

*****

 

Keesokan Paginya

 

Shaila terbangun. Posisinya langsung duduk. Dia keheranan kenapa dia bisa berada di ruang yang berbeda? Matanya menyapu seluruh ruangan. Tidak mendapati Ezra. Yang ada hanyalah buku-buku yang tersusun rapi di rak serta meja kerja yang tertata rapi. Dia ingat harus membangunkan Ezra sebelum subuh. Tapi kenapa malah dia yang tidur di ruang kerja?.

 

Dia mendekati meja Ezra. Dipojok samping kiri terdapat hiasan bunga edelweiss. Bunga edelwiss jawa yang sering ia temui ketika pergi ke Gunung Galunggung. Setiap pergi kesana, dia selalu membeli bunga itu dari penjual asongan di sekitar gunung. Karena kalau untuk mengambil sendiri, terlalu bahaya resiko yang akan dialami. Mengingat pohonnya berada di tepi jurang. Dia heran. Kenapa Ezra lebih memahaminya daripada Fauzan. Ezra lebih tahu kesukaannya daripada Fauzan. 

 

Dia menuju kamar berniat untuk mandi membersihkan diri. Melihat Ezra yang masih tertidur mengenakan baju koko dan sarung. Begitu gagah dan menenangkan. Membuat Shaila merasa tentram. Tapi, kenapa dia sendiri tidak ikut salat? Dia memukul keningnya yang tak pusing. 

 

Matahari sudah terbit. Cahayanya menusuk jendela kamar sehingga membuat mata sedikit silau. Dia masih sedikit ragu untuk mengulurkan tangan membangunkan Ezra. 

 

“Ezra, bangun sudah hampir siang! “ 

 

Satu kali, tidak ada tanggapan. Shaila menarik nafas panjang lalu mengeluarkannya dengan kasar.

 

 “Ternyata susah juga membangunkannya.”

 

Dia bersiap berteriak. Mengulurkan tangan dan menggoyangkan badan Ezra. 

 

“Woy, bangun! “ Masih tidak ada sahutan. 

 

“Kebo juga ni orang.”

 

Shaila mendekat. Mengulurkan tangan kembali menggoyangkan badan Ezra dengan kencang. Tiba-tiba tangannya di tarik Oleh tangan  yang sangat kuat. Dia berteriak lagi tanpa sadar dan berbaring di tempat tidur. 

 

Ezra masih menutup matanya. Seolah dia masih berpura-pura memejamkan mata, tapi dia memeluk Shaila. Kepala Shaila terbenam di dada Ezra. Hatinya gemetar. Seharunya dia merasa biasa saja karena tak ada perasaan apapun terhadap Ezra. 

 

Posisi ini membuatnya kaku. Telinganya merah padam. Dia merasa tergencet karena pelukannya yang sangat erat. Tangannya bergerak berusaha mendorong Ezra. Tapi tangan kirinya malah tak sengaja menyentuh bagian terlarang itu. Kemudian mata Ezra membuka dan menatap Shaila. 

 

Sontak Shaila turun dari ranjang dan langsung berdiri. 

 

“Ma,, maaf, tadi...tadi...itu, itu kamu yang menarikku.” 

 

Ezra menatap Shaila dengan penuh ketenangan.

 

“ Aku pikir kamu Muezza.”

 

Muezza? Siapa Muezza? Namanya sangat cantik. Apakah dia wanita kekasih Ezra. Wajar saja untuk laki-laki setampan Ezra memiliki kekasih. Membuat Shaila merasa canggung mendengar Ezra menyebutkan nama wanita lain dihadapannya. 

 

Shaila menjadi salah tinggkah di buatnya. Sedangkan Ezra dengan santainya bangun dan membuka Sarung yang melingkar di pinggangnya. Serta membuka baju koko dengan tenang. 

 

“kenapa kamu terdiam seperti itu? “

 

Tanya Ezra sambil merebahkan tubuhnya kembali diatas ranjang. 

 

“engg,, enggak... “ jawab Shaila terbata. 

 

Tiba-tiba seekor kucing ras persia berwarna putih berlari dan bergegas menaiki tubuh Ezra. Ezra duduk memangku Muezza  sambil merapikan bulunya. 

 

“Shaila ini Muezza.”

 

“Hah? Ini?”

 

“Iya ini Muezza” kali ini Ezra mengangkat kedua tangan kucing itu. 

 

“Muezza?” Mata Shaila membelalak tak mengira kalau Muezza itu seekor kucing, bukan seorang  gadis lain seprti yang ia bayangkan. 

 

Muezza sangat mungil imut sama seperti dirinya. Long hair white membuat kucing itu terlihat sangat lucu. 

 

Shaila penasaran jika tidak menyentuhnya. Karena  dia juga sangat menyukai hewan peliharaan termasuk kucing. Dia memeluk Muezza. 

 

“Kamu lucu banget!” Shaila mengusap bulunya. 

 

“Dia jantan.” Sahut Ezra yang sedang membuka lemari. 

 

“Sepertinya lebih cocok jika kamu memanggilnya ganteng atau keren.”

 

“........“ kucing lucu seperti ini bulu yang lebat seperti ini ternyata laki-laki? Aku kira ini kucing betina”

 

Ezra yang sedang memilih pakaian tiba-tiba berbalik menghadap Shaila. 

 

“Apa? Tadi kamu panggil aku apa? “

 

Mata Shaila tertuju pada dadanya yang penuh dengan rambut-rambut kecil. Ezra masih  mengenakan kaos dalam setelah tadi melepas baju kokonya. 

 

Ezra tersadar dan kembali mengambil pakaiannya dalam lemari. 

“Kalau kamu ingin bercanda, kamu bisa memanggilku terus dengan sebutan itu.”

 

Mendengar itu, Shaila merasa sangat canggung. Lalu dia menundukkan kepalanya. 

 

“Panggil namaku” tiba-tiba Ezra menyentil hidung Shaila yang tak begitu mancung. 

 

Memanggil suami atau kata lain dari suami masih terdengar canggung, apalagi mereka tidak memiliki perasaan sedikitpun. 

 

Tapi Ezra bersikap akrab. Shaila terus menatap Ezra. Tiba-tiba kucing mengeong terus, seolah mengatakan ada sesuatu diantara mereka berdua. 

 

“Den, Den Ezra.” Bi Minah pembantu setia keluarga Nataprawira mengetuk pintu kamar dengan kencang. 

 

“Den Fauzan datang dengan istrinya dan bertengkar dengan Ibu di ruang makan.” Bi Minah merasa cemas. 

 

Bi Minah masih memikirkan bagaimana bisa Shaila menikah dengan Ezra.sedangkan, seharusnya Fauzan yang menikah dengan gadis itu. Tetapi Fauzan malah membawa wanita lain. Wajah yang seperti pinang di belah dua membuat Bi Minah bingung membedakan yang mana Fauzan dan yang mana Ezra anak majikannya itu. 

 

Tanpa menoleh, Ezra mengambil kesempatan  itu untuk mendekati bibir titpisnya Shaila. Lalu menempelkan mulutnya yang tebal sambil membungkuk. 

 

“Aku turun dulu. Kamu bersihkan diri dulu ganti pakaian, nanti susul aku.” Bisiknya di telinga Shaila. 

 

Shaila tercengang tidak percaya. Dia menyentuh bibirnya. Lalu matanya membelalak. Dia lari  menghampiri cermin. Apa? Tadi itu? Sesekali memejamkan mata lebih lama. Mencubit pipi sekedar ingin membuktikan ini mimpi atau nyata. Apa yang Ezra lakukan barusan. Apa hanya ingin terlihat mesra di depan orang lain agar mereka mengira kita sudah bisa saling mencintai? 

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status