"Le-lepaskan aku," pinta Jingga memelas. "Uang darimana itu, Sayang? Kamu belum menjawab pertanyaanku." Ganendra melepaskan dagu Jingga. Sebagai gantinya, pria berambut hitam legam itu beralih menangkup wajah cantik sang istri dan menariknya mendekat. "A-aku ...." Jingga memejamkan mata rapat-rapat. Pikirannya berkecamuk. Di satu sisi dia tak berani berbohong. Namun, di sisi lain dirinya tak berani menyebut nama Hilda. "Menurut perkiraanku, kamu masih baru di sini. Kegiatanmu hanya sebatas di kamar dan meja makan. Tidak mungkin bukan kamu mendapatkan uang ini dari pegawaiku?" terka Ganendra. 'Satu-satunya yang berani membujukmu untuk berbuat bodoh seperti ini hanyalah Hilda." Jingga menelan ludah. Dia sudah bertekad untuk tidak menyebutkan nama itu. Apalagi Hilda sudah berkali-kali menegaskan bahwa Jingga tidak pantas menjadi seorang pelakor. "Jingga ... kenapa diam? Hm?" Ganendra menyentuh bibir ranum gadis itu, lalu mengecupnya lembut. Bayangan percintaan mereka berdua, kembali
"Ga?" Hilda berusaha tertawa untuk menutupi ketakutannya. "Apa itu?" tanyanya pura-pura tak mengerti. "Seharusnya aku yang bertanya, apa ini?" Ganendra bangkit dari sofa, lalu berjalan mendekati Hilda. Dia menempelkan koper kecil yang cukup berat itu ke dada istri sirinya. "Kamu memberikan uang itu untuk Jingga, sementara uang itu kamu dapatkan dari aku. Lelucon macam apa ini, Hil?" geram Ganendra. "Oh, jadi gadis murahan itu yang membocorkan semua," desis Hilda. "Dia tidak membocorkan apapun!" sangkal Ganendra. "Aku yang terlalu pintar untuk membaca segalanya." Hilda terkesiap. Wajah cantiknya memucat. Rasa pening akibat minuman beralkohol yang dia tenggak saat berpesta dengan teman-temannya tadi, menghilang seketika. "Ga ...." Bibirnya bergetar saat menyebut nama sang suami. Sedangkan otaknya berputar keras untuk menutupi rencananya yang telah gagal. "Ga, kamu tahu, kan? Aku sangat mencintaimu. Aku tidak rela membagimu dengan siapapun," rayu Hilda. Luwes, jemari lentiknya berm
Kelopak mata Jingga bergerak pelan. Sayup-sayup pendengarannya menangkap percakapan antara Ganendra dengan seseorang. Meskipun berat, Jingga berusaha untuk membuka mata karena penasaran. Melalui pandangannya yang masih sedikit kabur, Jingga melihat Ganendra tengah berbincang dengan seseorang di ambang pintu. "Pak?" Refleks dirinya menyapa sang suami sambil bergegas turun dari ranjang. Ganendra dan Sandra menoleh secara bersamaan ke arah suara. "Akhirnya, bangun juga kamu," celetuk Ganendra. Sedangkan Sandra yang awalnya ceria, langsung menekuk muka. Akan tetapi, hal itu tak berlangsung lama. Sandra sangat pandai mengendalikan diri sekaligus menguasai emosi. Sesaat kemudian, dia kembali memamerkan senyumnya yang menawan. "Selamat pagi, Nyonya Ganendra," sapa Sandra. Baru kali ini Jingga mendengar seseorang menyapanya dengan sebutan itu. Sontak, sapaan Sandra membuat wajahnya merah merona. "Se-selamat pagi," balas Jingga gugup. "Maaf kalau saya mengganggu pagi-pagi. Saya harus menj
Ganendra merasa sulit sekali untuk konsentrasi. Masih terus terngiang di dalam kepalanya tentang perkataan Sandra yang menuduh dirinya tengah jatuh cinta. "Ck!" Ganendra mengacak-acak rambutnya kasar. Dia lalu meraih segelas air yang memang sudah disediakan untuk setiap anggota rapat. Ganendra seolah tak memedulikan presentasi yang dipaparkan oleh anak buahnya di depan para komisaris. Dia meneguk air sampai habis dan meletakkan gelas yang sudah kosong ke meja. Tak berhenti sampai di situ, Ganendra malah mengetuk-ngetukkan gelas itu ke permukaan meja. Tentu saja hal itu mengganggu orang-orang di sekitarnya. Mereka mengarahkan tatapannya pada Ganendra, tak terkecuali Sandra yang duduk tepat di sampingnya. Wanita muda yang tampak sangat cantik dalam balutan blazer pink dan rok span ketat berwarna senada itu langsung berdehem. "Oh, maaf," ucap Ganendra menyadari kesalahannya. "Silakan lanjutkan." "Kamu kenapa sih, Ga?" bisik Sandra. Namun, Ganendra tak menjawab. Dia berusaha untuk ke
"Kok sudah pulang? Katanya anda mau pulang sore?" tanya Jingga."Rapat sudah selesai. Aku tidak ingin berlama-lama di kantor," jawab Ganendra ketus seraya melayangkan tatapan tajam pada Jingga."Berarti ... apa kita jadi jalan-jalan?" tanya Jingga lagi, masih dengan gayanya yang polos."Itu pasti. Aku sudah bosan melihatmu memakai bajuku terus!" sahut Ganendra."Ehm ...." Anggada mencoba untuk menyela pembicaraan. "Pak," sapanya."Kamu belum pulang juga? Apa papaku yang menyuruhmu kemari?" Ganendra mengalihkan perhatiannya pada Anggada."Pak Atmawirya menyuruh saya mengambil beberapa dokumen dari ruang kerja, Pak," jelas Anggada sambil menunjuk ke arah tas kerjanya yang tergeletak di sofa ruang tamu."Ya, sudah kalau begitu. Tunggu apalagi?" ujar Ganendra."Saya ingin mengajak ...." Anggada ragu mengarahkan telunjuknya pada Jingga."Kamu mau mengajak istri saya?" tanya Ganendra dengan nada tinggi."Istri?" Anggada terbelalak tak percaya. "Dia istri bapak?""Iya, apa ada yang salah?" G
"Kamu mabuk lagi, ya?" Ganendra menanggapi santai amarah Hilda. Lain halnya dengan Jingga yang tampak ketakutan. Tanpa sadar dirinya meremas lengan kekar Ganendra, membuat konsentrasi pria itu sedikit terganggu. "Sandra sudah menceritakan semua! Dia bilang kalau kamu hendak mengadakan resepsi besar-besaran! Keterlaluan kamu, Ga! Memangnya siapa Jingga sampai-sampai kamu istimewakan melebihi aku!" cerca Hilda tanpa jeda. "Harus berapa kali kujelaskan padamu tentang siapa Jingga," timpal Ganendra malas. "Aku yang lebih dulu masuk ke dalam hidupmu, Ga!" seru Hilda semakin tak terkendali. "Masuk secara paksa," ralat Ganendra. "Masa kamu lupa, Hil. Papa yang begitu bersemangat menjodohkan kita, dan kenyataannya kita tidak cocok." "Kurang ajar!" umpat Hilda. "Aku tidak akan menyetujui rencanamu, Ga! Akan kugagalkan pesta kalian! Lihat saja nanti!" ancamnya sebelum mengakhiri panggilan secara sepihak. "Bagaimana ini, Pak
Sejak Ganendra meninggalkannya di mall tadi siang, Jingga belum bertemu dengan pria itu lagi. Padahal jarum jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam dan suaminya tak juga pulang.Rasa hati ingin menghubungi Ganendra, tapi Jingga tak memiliki kontaknya. Sungguh konyol dia memikirkan hal itu. Sepertinya, hanya Jingga satu-satunya istri di dunia yang tidak mengetahui nomor telepon pasangan sendiri."Hah." Jingga mengempaskan napas pelan. "Kenapa aku mesti sedih? Bukankah sedari awal, pernikahan ini hanya permainan?" gumamnya lirih.Jingga pun berusaha mengalihkan galaunya dengan mengutak-atik ponsel baru. Sewaktu di gerai ponsel tadi, Ganendra sempat membantu memindahkan seluruh memori dari telepon genggam lama ke yang baru. Gadis cantik itu tersenyum samar membayangkan raut Ganendra yang tampak antusias, lebih dari Jingga sendiri.Larut dalam lamunannya akan sosok Ganendra, Jingga sampai tak menyadari ketika pintu kamarnya dibuka pelan dari luar. Kamar itu memang tak dikunci, menging
"Aku sedang istirahat syuting di cafe Batavia," jelas Hilda. "Ke sini saja, kutunggu."Ganendra tak berpikir dua kali untuk segera menginjak pedal gasnya menuju kawasan yang dimaksud. Baginya, setiap detik sangatlah berharga. Entah mengapa, pria itu merasa ada sesuatu yang salah dan mengganjal saat menyadari bahwa Jingga menghilang, dan kemungkinan besar berada dalam bahaya.Sepuluh menit kemudian, Ganendra sudah tiba di halaman parkir cafe. Hilda sudah menunggunya di pintu masuk dengan wajah semringah."Hei, apa kabar? Sudah berapa hari kita nggak ketemu? Aku kangen sekali," sapa Hilda manja. Jemarinya usil bermain di dagu Ganendra."Bisa kita bicara berdua saja? Jangan di sini," pinta Ganendra dengan nada datar dan dingin. Sigap dirinya mencekal tangan Hilda, karena tak ingin wanita cantik itu menyentuh wajahnya lebih jauh lagi. "Terserah kamu. Kita ngobrol di hotel juga boleh," timpal Hilda setengah menggoda."Kita bicara di mobil." Ganendra memberikan isyarat pada Hilda agar men