Aku menarik selimut hingga menutup wajah. Namun, karena sudah lama menunggu dan tidak terjadi apa-apa, aku pun membuka selimut dengan sedikit mengintip. Laki-laki menyebalkan itu sudah berbaring dengan tangan kanan yang diletakkan di atas kening dan memejam.
Ish! Kirain bakalan kayak adegan di sinetron yang Ibu tonton. Ternyata enggak."Pengen diapa-apain, ya?" tanyanya."Mas Arga tidur di lantai, dong! Kan, perjanjiannya gak boleh sentuhan dulu sebelum akunya siap.""Gak ada yang mau nyentuh juga. Aku gak bisa tidur di lantai, nanti kedinginan. Emang kamu mau meluk?"What?!Aku menggulingkan tubuhnya, tapi rupanya suami dadakanku ini bukan manusia biasa. Kenapa tubuhnya tidak bergeser sama sekali? Jangan-jangan dia punya kekuatan super?"Dosa. Mau dibacain hadis? Kamu aja yang di bawah kalau mau." Dia masih saja tak bergerak.Aku mendengkus, lantas meletakkan guling di tengah-tengah sebagai pembatas dan kembali meringkuk. Baru terlelap beberapa menit, aku sudah dikejutkan oleh tepukan di pipi. Dan ketika aku membuka mata ... wajah kami sudah sangat dekat! Spontan aku mendorongnya hingga laki-laki itu terjengkang ke belakang. "Mas apaan sih? Mau nyari kesempatan dalam ketiduran?" Aku menarik selimut, menutup tubuh rapat-rapat dengan benda tebal itu guna melindungi diri. Ini orang ternyata bahaya juga."Makanya jangan ngorok!"Aku mendelik. Ngorok katanya? Mana ada!"Alesan! Pasti mau mesum, kan?"Mas Arga tiba-tiba mendekat. Apalagi tatapannya berubah liar dan menakutkan. Jakunnya pun naik turun membuat bulu kudukku berdiri karena ngeri."Ibuuu!" Aku berteriak histeris sambil bersembunyi di balik selimut."Kamu ngapain teriak, sih, Ra? Dikira disiksa sama aku nanti."Aku membuka selimut. Mas Arga berjalan mendekati pintu yang sedang diketuk dari luar."Ada apa, Ra?" Wajah Bapak langsung menyembul di balik pintu ketika Mas Arga membukanya."Enggak ada apa-apa, kok, Pak," jawab Mas Arga.Bapak tertawa. "Yura takut, ya? Makanya jangan asal kalau bicara, sekarang kamu terima itu konsekuensinya. Selamat melaksanakan ibadah malam pertama.""Bapak!" Aku menutup wajah dengan bantal.***Sarapan pagi ini benar-benar hening. Aku memperhatikan Mas Arga yang sedang melahap nasi gorengnya dengan sangat tenang, padahal di seberang meja sana Mbak Aida sedang menatapnya."Ehm." Mas Imran, suami Mbak Aida, itu tiba-tiba terbatuk. Dan saat itu pula Mbak Aida tersentak lantas meraih gelas di depannya dan menuangkan air putih untuk suaminya."Oh, iya, Pak, Bu. Pagi ini saya langsung bawa Yura pulang. Soalnya, lusa saya sudah harus masuk kerja. Cuti dadakan seperti ini tidak lama."Aku langsung menoleh dan melotot tajam. Bisa-bisanya dia mengambil tindakan tanpa mengambil keputusan bersama lebih dulu?"Silakan, Nak. Bapak lepas tanggung jawab Yura karena sekarang tanggung jawabnya sudah ada di pundak kamu. Jangan sakiti dia atau kita duel tinju di lapangan." Bapak tergelak. Sementara aku mengembuskan napas kasar."Tapi, Yura belum siap. Mas Arga gak bilang apa-apa semalam." Aku mencoba protes."Surgamu di telapak kaki suamimu, Ra. Patuhi saja dia." Ibu menengahi.Aku melirik Mbak Aida sekilas. Sejak ijab Qabul kemarin, dia berubah pendiam. Ah, aku yakin sekali kalau Mbak Aida salah paham."Udah, kan? Ayo, Ra. Kita beres-beres." Aku menurut saja ketika Mas Arga menggenggam tangan dan mengajak ku memasuki kamar. Di meja makan tadi, aku tahu betul kalau tatapan Mbak Aida sangat menyiratkan ketidaksukaan."Apaan sih, Mas? Aku gak mau pindah ke mana-mana. Kamu aja sendiri yang ke sana." Aku menyentak tangan Mas Arga."Demi keluarga kamu, kita harus pindah.""Bilang aja masih belum move on!""Aku sih udah. Cuma kayaknya Aida yang belum. Kamu gak cemburu kalau kita tetap di sini?""Dih! Emang situ siapa?""Aku suami kamu."Aku memutar bola mata malas. Lantas berjalan menuju ranjang dan duduk bersila di sana. Memperhatikan Mas Arga yang sedang membuka lemari, entah mengambil apa."Gak mau bawa baju, Ra?""Gak." Aku melengos. Baru semalam aja rasanya udah serem, apalagi kalau nanti harus tinggal berdua sama Mas Arga di rumahnya?"Bagus. Lagian aku juga suka kalau kamu gak pakai baju."What?Aku melempar bantal.***"Gak sorean aja berangkatnya?" tanya ibu ketika kami berpamitan."Saya banyak kerjaan, Bu. Lagian Yura grogi kalau masih banyak orang," jawaban Mas Arga membuatku mendelik."Ngomong apaan, sih?" protesku."Pamit, ya, Pak, Bu. Yura bakalan kangen banget sama kalian." Aku memeluk mereka berdua dengan berderai air mata. Mau bagaimanapun juga, aku belum pernah jauh dari mereka. Lalu, sekarang aku harus meninggalkan mereka dan tinggal bersama suami yang sama sekali tidak kuinginkan juga tidak pernah kubayangkan sebelumnya."Mbak, aku pamit, ya." Aku beralih pada Mbak Aida, tapi sejak tadi, dia masih saja menatap Mas Arga. Mungkin memang benar, Mbak Aida belum move on."Daaa ...."Aku melambaikan tangan, lantas masuk ke dalam mobil dan duduk di samping kemudi.Kendaraan roda empat ini mulai berjalan, menjauhi pekarangan rumah dan semakin jauh hingga bangunan itu kini tak terlihat lagi.Aku mengembuskan napas panjang. Hari baru harus dimulai, apa yang harus aku lakukan setelah jadi istri Mas Arga nanti? Aku masih ingin lanjut bekerja, membahagiakan diri sendiri dan juga orang tua.Setelah membalas pesan dari teman kerja, aku membuka obrolan di antara kami."Eum, ada siapa di rumah?" tanyaku sok tegar, padahal gemetar."Gak ada siapa-siapa."Gawat! Aku baru ingat dari cerita Mbak Aida, Mas Arga ini piatu. Sementara ayahnya sudah menikah lagi dan tinggal bersama istri barunya."Pembantu atau apa gitu? Gak punya? Aku gak bisa masak, gak bisa nyuci, gak bisa nyapu, gak bisa beres-beres rumah, gak bisa—""Yang penting bisa diem. Jangan ngoceh terus."Bibirku terkatup sempurna. Asli nyebelin!"Masih jauh, ya?" tanyaku memecah keheningan di antara kami."Enggak."Aku melempar pandangan pada jendela."Kenapa putus sama Mbak Aida? Pasti Mas Arga selingkuh, ya?"Dia tak menjawab."Aku makin curiga. Pasti bener, ya?" Aku mengubah posisi duduk hingga menghadapnya."Kalau aku selingkuh gak bakal nikah sama kamu. Dah nikah sama selingkuhan."Bener juga. Aku manggut-manggut."Terus kenapa putus?""Kan, Aida yang minta.""Terus kenapa mau?"Mas Arga menarik napas dalam. "Bapak kalian gak setuju."Bapak? Terus kenapa aku malah dinikahkan sama Mas Arga kalau dulu aja hubungan mereka tidak diberi restu?Dahiku berkerut ketika mobil tiba-tiba berhenti di pinggir jalan sempit yang lumayan sepi. Jangan-jangan kehabisan bensin?"Kok, berhenti?" tanyaku."Kayaknya kalau begituan di mobil menantang juga, ya, Ra."Begituan? Astaga, aneh-aneh juga ini orang pikirannya. Sepertinya aku harus segera mencari Kyai agar Mas Arga bisa secepatnya diruqyah."Buka baju, Ra.""Hah?!"Lalu, Mas Arga mulai membuka kancing bajunya. Bahaya!Pagi ini, aku seperti memulai hari baru. Aku bahkan sudah tidak mengusir Mas Arga lagi dan memintanya tidur di luar. Semalaman, Mas Arga menceritakan banyak hal. Anehnya, aku mulai menyukai kebiasaannya yang banyak bicara itu.Aku menopang dagu di meja, sambil memperhatikan Mas Arga yang sedang menuang nasi goreng di piring. Aku menghirup aroma nasi goreng yang membuat perut semakin keroncongan."Selamat sarapan, Cinta." Dia mengecup pipi.Aku mulai melahap nasi goreng buatan Mas Arga. Lalu, membulatkan mata ketika merasakan sensasi pedas yang memenuhi indera perasa."Wow. Pedes banget. Mas Arga bisa makan pedes?" tanyaku saat melihatnya mulai melahap nasi di piringnya."Aku belajar menyukai semua hal tentang kamu, Ta."Aku tersenyum. "Harusnya jangan. Nanti malah bikin Mas Arga kenapa-kenapa.""Kamu khawatir?"Aku langsung mengatupkan bibir. Salah ngomong ternyata.Mas Arga menggeser kursinya hingga ke sampingku. Tangan kirinya melingkar di perutku, sedangkan tangan kanannya masih sib
Warning! Part ini menyebabkan baper.--"Tuh, kan, basah lagi rambutnya."Mas Arga tertawa. Sementara aku hanya membuang muka, tak mau menatapnya. Aku masih sibuk mengeringkan rambut karena satu jam lagi harus berangkat bekerja. Mas Arga memutuskan untuk berangkat di jam yang sama, agar kami juga bisa pulang sama-sama. Tentunya agar kejadian semalam yang katanya ketiduran itu tidak terulang kembali.Kami memang bekerja di rumah makan yang sama. Rumah makan dengan 33 cabang yang tersebar di kota Jogjakarta. Hanya saja aku bekerja di bagian kasir, sedangkan Mas Arga menjadi SPV. Jam kerjanya sama, hanya jadwal sif yang sedikit berbeda. Aku dua sif dan seorang SPV ada jadwal tiga sif."Habis gajian besok aku udah ada janji sama Lilis.""Harusnya jangan libur barengan gitu, kasihan yang lain. Satu-satu aja, dong.""Udah sepakat, kok. Nanti kita juga gantian.""Tiga hari juga?""Lilis sehari, aku yang tiga hari.""Kalau gitu aku ambil jatah liburnya barengan kamu ajalah.""Ish. Kok, gitu?"
Tangan Mas Arga membelai pipi, seolah-olah memintaku untuk mendekat. Spontan aku memejamkan mata. Keringat dingin mulai bercucuran, apa yang akan Mas Arga lakukan?Aku menelan ludah dengan susah payah. Embusan napasnya yang hangat menyapu wajah. Aku ... tidak bisa menolak ketika jarak di antara kami benar-benar terkikis. Apakah itu tandanya, hatiku mulai menerima?"Mas, malu." Aku bergumam, sambil membuka mata. Tapi, gumaman itu hanya dianggap angin lalu oleh Mas Arga. Dia menarik tubuhnya sedikit. Lalu, kembali menatapku dengan lekat, seakan-akan sedang meminta persetujuan."Boleh?" tanyanya lirih.Aku diam sebentar, lalu mengangguk meski ragu. Bibir itu mulai mendekat, lalu akhirnya menempel lekat. Selama beberapa saat kami tenggelam. Rasanya seperti sedang melayang atas sesuatu yang memabukkan.Malam ini, kami benar-benar melebur dalam balutan kasih sebagai pasangan halal. ***Aku mengerjap. Matahari sudah meninggi, cahayanya masuk melalui jendela kamar yang terbuka. Aku menggera
Aku celingukan. Lalu, melotot ketika melihat Lilis sedang bersembunyi di bawah meja kasir. Dia yang ngajak gibah, aku pula yang kena masalah.Mas Arga masih memasang wajah datar. Sementara aku mulai salah tingkah. Kenapa bisa tidak sadar kalau ternyata mobil Mas Arga terparkir di halaman, ya?"Gak usah bayar. Biar aku aja nanti yang bayar.""Ini suap? Biar gak kena hukuman, kan?""Enggak gitu. Lilis yang mulai."Aku menarik tangan Lilis agar dia keluar dari persembunyian."Maaf, Mas. Yura yang ngajak duluan," kata Lilis sambil meremas lenganku."Emang bukan salah kamu, tapi salah Yura. Tenang aja, dia yang akan dapet hukuman dari saya."Aku mengerucutkan bibir. Kena lagi, kan?Aku menghindar saat Mas Arga hendak mengacak rambutku lagi. Dia tertawa."Pinter, ya, sekarang," katanya."Jangan ngacak-acak rambut terus, males sisiran.""Rambutku aja yang diacak, Mas." Lilis menyahut. Aku menyenggol lengannya.Mas Arga hanya tersenyum, lalu berpamitan."Masya Allah ganteng banget jodoh orang
13"Ra."Aku mendongak. "Iya, Pak?""Di sini gak ada gula?"Aku menyemburkan tawa. "Ada, kok. Mau ditambahin?"Bapak menggeleng sambil terkekeh. "Jangan terlalu tegang begitu. Kayak lagi ngomong sama tukang kredit langganan Ibu saja."Kami terbahak bersama. Namun, senyumku langsung memudar ketika Bapak kembali bicara."Arga banyak berubah selepas putus dengan Aida. Sepertinya dia jadi banyak bicara sekarang.""Memangnya dulu enggak banyak bicara, Pak?"Aku mencoba mengingat saat Mas Arga sering mengantar Mbak Aida pulang. Aku yang tidak pernah peduli pada mereka atau memang saat berpacaran dengan Mbak Aida, Mas Arga itu tidak banyak bicara? Entahlah.Beliau hanya tersenyum kecil. "Masuk sore, ya? Bapak jadi kangen jemput kamu waktu pulang malam lagi."Kali ini aku benar-benar dibuat mellow. Ah, Bapak. Sepertinya baru kemarin kita berangkat kerja bersama. Aku yang selalu ketiduran saat menunggu jemputan dari Bapak. Lalu, akhirnya kita akan berhenti di pasar malam hanya agar aku tidak m
12"Mas Arga ngomong apaan, sih? Yang sakit siapa yang ngelantur siapa."Aku melewatinya. Lalu, kembali duduk dan meletakkan dagu di meja.Mas Arga mendekat, lantas melakukan hal yang sama."Ra, maaf. Semalam aku ngelakuin itu tanpa sepengetahuan kamu. Aku minta maaf." Wajahnya tidak bercanda."Mas, bohong, kan?"Dia menggeleng. Aku mulai panik, jangan-jangan obat yang aku minum semalam itu obat tidur? Jadi, aku sudah ternodai? Sudah tidak suci lagi?Namun, tiba-tiba saja Mas Arga menyemburkan tawa. Kencang sekali. Aku memutar bola mata dengan malas, lalu melempar celemek pada laki-laki mesum yang sedang memegangi perutnya itu."Wajah kamu lucu."Aku mencebik. Lucu katanya?Dasar otak mesum!Mas Arga kembali pada kompornya. Tangannya cukup lihai ketika mulai memasukkan bumbu di wajan. Aku mendekat, lalu melongok pada wajan di atas kompor."Lah, gak usah pakai daun jeruk, ah. Aku gak suka. Bumbuin bawang ama cabe aja udah!" protesku."Nasi goreng daun jeruk, kan, enak.""Gak enak, aneh