Aku sudah berjanji. Malam harinya, seseorang mengantarkan undangan dan permen manis pernikahan.Leon membuka sebutir permen, lalu perlahan memasukkannya ke dalam mulut, seakan sudah lama tak merasakan manis seperti ini.Di hari pernikahan, para tamu datang silih berganti.Tom mengenakan setelan jas hitam yang pas di tubuhnya. Auranya begitu kuat.Aku menatap pria di sampingku. Hatiku dipenuhi rasa tenang dan bahagia yang belum pernah kurasakan sebelumnya.Setelah bertemu Tom, aku baru mengerti apa itu cinta sejati, tanpa kepura-puraan, tanpa rasa curiga.Saat upacara pernikahan dimulai, aku menggandeng tangan ayahku, perlahan berjalan menuju Tom.Ayahku menyerahkan tanganku ke tangan Tom dengan sungguh-sungguh. Dia berkata, "Anakku kutitipkan padamu."Tom pun bersumpah dengan tulus, "Tenang saja, aku akan menjaganya dengan seluruh hidupku."Lalu, kami mengucap janji, bertukar cincin, dan berciuman dengan penuh cinta.Suasana langsung pecah oleh tepuk tangan dan gemuruh teriakan bahagia
Rasa sakit yang kupikir akan menyiksaku ternyata tak pernah datang.Aku segera menoleh. Leon berdiri di depanku, tubuhnya menjadi tameng. Satu tangannya menekan perutnya erat-erat, darah mengalir deras. Dia terhuyung, lalu jatuh ke pelukanku."Leon!" Aku segera memapahnya. Tanganku yang satunya buru-buru menekan tombol panggilan darurat. Hanya ada satu hal di pikiranku. Menghentikan darah ini, secepatnya!"Kamu gila, ya?" teriakku sambil menekan lukanya. Jari-jariku basah oleh darah hangatnya.Kesadarannya mulai memudar, wajahnya pucat pasi. Namun, dia tetap memaksakan diri membuka mata, tersenyum lemah. "Ternyata, ditusuk itu sakit, ya. Waktu itu ... kamu juga sesakit ini?"Dadaku terasa sesak, mataku panas.Sebelum ambulans datang, suara sirine yang nyaring menggema. Di detik itu juga, dia kehilangan kesadarannya.Operasinya berlangsung selama tiga jam. Dokter bilang lukanya tak mengenai organ vital, tetapi dia kehilangan banyak darah.Aku akhirnya bisa bernapas lega. Aku duduk lemas
Belum sempat aku bicara, ekspresinya sudah kacau."Aku bisa jelaskan! Dulu, aku benar-benar mengira Nafa adalah orang yang menyelamatkanku. Di antara kami, kami nggak pernah ada perasaan apa-apa."Suaranya tercekat, matanya merah."Baru setelah kamu pergi, aku sadar, ternyata enam tahun lalu malam itu, orang yang menyelamatkanku adalah kamu. Selama ini aku salah orang, Elea."Tatapan Leon penuh penyesalan, ada cahaya seolah memohon. Dia pikir, dengan mengungkap kebenarannya, aku akan memaafkannya.Namun, dia salah.Malam itu, akulah yang menyelamatkannya. Aku menjahit luka tembaknya, menghentikan pendarahan di bawah lampu steril. Namun, aku tak pernah menceritakannya. Itu masa lalu yang kami berdua sengaja hindari.Leon salah mengenali orang. Sekali salah, tetapi membawa kesalahan seumur hidup.Dia bertanya dengan lirih, "Anak waktu itu, aku nggak biarkan Nafa melahirkannya. Sekarang, aku sudah tahu semuanya, Elea. Bisakah kita kembali seperti dulu?"Aku menggeleng tanpa ragu."Itu ngg
Dulu aku mati-matian berusaha membahagiakannya, tetapi dia tetap dingin bagai batu yang tak pernah bisa dihangatkan.Sampai Nafa muncul, barulah aku sadar bahwa dia bukan tak punya perasaan, dia hanya tak mencintaiku.Dua tahun lalu, aku sendiri yang merobek perjanjian pernikahan kami dan mundur demi kebahagiaan mereka.Sekarang mereka sudah putus, tetapi kenapa dia justru memperlihatkan seolah masih mencintaiku?Aku berkata dengan nada dingin, "Maaf, Tom adalah tunanganku. Kami akan menikah tanggal delapan belas, tinggal sepuluh hari lagi."Wajah Leon langsung pucat pasi. Matanya merah, seperti tak sanggup menerima kenyataan bahwa aku benar-benar akan menikah dengan orang lain.Namun, aku tak ingin berurusan dengannya lagi. Aku langsung mengajak semua orang pergi ke tempat lain. Saat melewatinya, dia refleks menarik ujung bajuku.Aku tanpa ragu menepis tangannya dan menggandeng Tom pergi, meninggalkan Leon berdiri kaku di tempat.Di dalam mobil, Tom tiba-tiba melepaskan genggaman tang
Dua tahun kemudian, di Bandara Manattan.Aku mendorong koper keluar dari terminal. Udara yang familier langsung menyambutku.Hari aku meninggalkan Manattan, aku sendirian. Dua tahun kemudian saat kembali, aku datang bersama Tom.Penelitian pertamaku sudah selesai. Pihak rumah sakit memberiku izin cuti dua bulan. Aku memutuskan untuk kembali ke sini karena ada sesuatu yang harus kuselesaikan, sebuah perpisahan yang belum sempat kulakukan dengan layak."Senior, kalau kamu nggak cepat-cepat, kita bisa telat nih!" Tom menarik tanganku dan mulai berlari.Lina sudah bilang sejak pagi ingin mengadakan pesta penyambutan untukku. Karena selama dua tahun ini, aku memang belum sempat bertemu teman-teman lama, makanya aku pun menyanggupi.Saat kami bergegas naik ke lantai atas, aku sempat merasa melihat sosok yang familier, tetapi tak kupikirkan lebih lanjut.Begitu pintu ruang makan VIP dibuka, pita-pita warna-warni langsung berjatuhan dari atas."Kamu tuh, ya, dua tahun nggak ada kabar. Aku hamp
Leon duduk lemas di kursi kulit. Matanya merah, sementara tangannya menggenggam erat laporan yang baru saja diterimanya."Nafa, orang yang menyelamatkanku enam tahun lalu ... Itu bukan kamu."Ekspresi Nafa sempat menegang, tetapi dia masih berusaha tersenyum lembut dan menggenggam tangan Leon."Leon, kenapa tiba-tiba bicara begitu? Kamu pasti lelah ...."Belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya, Leon sudah mengentakkan tangan Nafa. Suaranya rendah, tetapi penuh amarah."Berhenti pura-pura! Aku sudah lihat rekaman CCTV waktu itu. Yang menyelamatkanku adalah Elea. Dia yang menemaniku melewati masa paling kelam dalam hidupku!"Wajah Nafa seketika pucat pasi.Dulu, saat lewat di rumah sakit secara tak sengaja, Leon yang baru siuman salah mengira Nafa sebagai penyelamatnya. Harusnya Nafa meluruskan saat itu juga. Namun, karena tergoda oleh perasaan sesaat, Nafa memilih diam. Setelah itu, keluarganya mengirimnya ke luar negeri. Mereka putus kontak. Ketika kembali, Nafa telah mengidap kanker