Adrian dan Alya sudah bersiap untuk berangkat setelah mereka menyelesaikan sarapan, barang-barang yang akan mereka bawa pun sudah masuk ke dalam bagasi mobil. Alya yang sudah menyelesaikan sarapannya lebih dahulu di dapur khusus pembantu sedang berpamitan dengan teman-temannya. Mereka saling memeluk dan meminta maaf.
"Bi, maafin Alya ya, dan terima kasih atas bantuan Bibi selama ini." Ucap Alya sambil mencium tangan Bibi Marina lalu memeluknya.
"Iya sama-sama, Nduk. Bibi juga minta maaf kalau ada salah sama kamu." Ucap Bibi Marina sembari mengelus puncak kepala gadis itu.
Alya tak kuasa menahan lelehan air mata yang mulai jatuh di pipinya. Bibi Marina adalah satu-satunya orang yang peduli padanya setelah kepergian ibunya. Ia biasa berkeluh kesah dengan wanita itu tentang Ayahnya. Bibi Marina sendiri sudah menganggap Alya putrinya sendiri, meski ia juga punya tiga orang anak.
"Sudah siap." Adrian ternyata sudah berdiri di belakang mereka. Ia terlihat rapi dengan mengenakan blazer semi formal berwarna abu-abu dengan aksen kerah Shanghai warna hitam, dipadu dengan dalaman berupa kaos berwarna putih dan celana bahan warna hitam.
"Iya, Tuan." Ucap Alya sambil tertunduk karena tadi ia sempat terpana dengan penampilan Adrian.
Adrian kemudian menyalami dan memeluk Bibi Marina. Tak lupa ia menyerahkan sebuah amplop coklat kepada wanita itu dan sempat ditolaknya. Namun, karena Adrian terus memaksa akhirnya Bibi Marina menerima pemberian Adrian yang katanya merupakan bonus dari lelaki itu. Berkali-kali wanita itu mengucapkan terima kasih, dan juga berpesan untuk menjaga Alya.
Keduanya telah berada di jalan tol menuju kota Surabaya tempat dimana Adrian tinggal. Mobil berjalan dalam kecepatan sedang karena suasana jalanan yang sepi. Ini baru pertama kalinya bagi Alya pergi jauh dari tempat tinggalnya. Ia tak mengalihkan pandangannya dari luar jendela, memandangi setiap jalanan yang mereka lalui.
Mereka tiba di apartemen setelah menempuh perjalanan selama satu jam, menaiki lift menuju lantai empat dimana Adrian tinggal. Saat lift mulai berjalan naik Alya memegang lengan Adrian dengan kuat antara takut dan mual. Karena ia baru pertama kali menaiki benda ini. Adrian hanya menggelengkan kepala melihat tingkah gadis itu.
Mereka berdua memasuki ruangan di lantai empat nomor 402. Ruangan berukuran kurang lebih tiga puluh meter ini cukup luas dengan ruang tamu di bagian depan dan dua kamar tidur, serta dapur dan kamar mandi. Adrian menunjuk kamar yang akan ditempati Alya di bagian belakang bersebelahan dengan kamar mandi.
Terdengar panggilan masuk dari ponsel Adrian.
"Istirahatlah dulu, setelah itu kita cari makan." Perintah lelaki itu sebelum ia mengangkat telepon dan berlalu menuju ke kamarnya.
Alya memasuki kamar yang tadi ditunjukkan Adrian, kamar yang cukup luas dengan ada ranjang tipe single bed dan lemari di dalamnya. Gadis itu kemudian menata pakaiannya di lemari, kemudian melangkah ke ranjang. Tangannya bergerak mengelus sprei dan menepuk kasur busa itu perlahan, baru kali ini ia akan tidur di kasur seempuk ini.
Meski badannya terasa lelah, tetapi ia tak sanggup memejamkan mata. Gadis itu kemudian melangkah keluar berniat mengambil air putih karena merasa tenggorokannya kering.
"Kamu lapar?" Suara Adrian membuat Alya yang sedang melangkah perlahan itu terkejut.
"Ma-maaf saya hanya ingin ambil minum." Ucap gadis itu terbata karena dadanya masih berdebar karena suara Adrian yang tiba-tiba.
"Kita pergi belanja sekarang. Di kulkas tidak ada stok makanan. Kamu nggak capek kan?" Adrian bertanya karena menduga gadis itu mungkin tidak bisa beristirahat.
"Baik, Tuan." Setelah menghabiskan satu gelas air putih Alya kemudian mengikuti Adrian.
Mereka berdua berjalan kaki menuju ke supermarket yang terletak di lantai bawah apartemen. Adrian mendorong troli dan meminta Alya memilih barang apa saja yang harus dibeli mulai dari sembako, sayur dan ikan atau daging. Ia juga meminta Alya mengambil kebutuhan pribadi untuk gadis itu. Mereka juga mampir sebentar ke kedai roti membeli beberapa roti tawar dan roti isi.
Alya kemudian menata belanjaan tadi ke dalam kulkas dan lemari dapur. Ia juga menyiapkan beberapa bahan untuk makan malam setelah menolak ajakan Adrian untuk makan di luar. Ia berkata lebih suka makan masakan sendiri.
Semangkuk semur kentang dan telur, juga capcay dan beberapa potong tempe goreng sudah siap di meja makan.
Adrian mengajak gadis itu makan bersamanya dalam satu meja. Awalnya Alya menolak karena merasa sungkan dan akan makan setelah Adrian selesai. Akhirnya gadis itu duduk juga meski dengan canggung karena Adrian tak ingin makan sendiri.
Selesai makan Adrian menjelaskan tugas apa saja yang harus dilakukan gadis itu. Setelah itu ia menyuruhnya istirahat karena ia juga akan masuk ke kamarnya lagi, melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda karena libur kemarin. Pagi-pagi sekali Alya sudah bangun, badannya terasa segar karena tidurnya cukup nyenyak semalam. Setelah membersihkan diri ia mulai menyiapkan sarapan berupa nasi goreng dengan sosis dan telur dadar.
Adrian memuji masakan gadis itu yang terasa lezat di lidahnya, setelah menghabiskan kopinya ia pun berangkat. Sedangkan Alya melanjutkan tugasnya membersihkan dapur dan seluruh ruangan. Setelah selesai dan tidak tahu apa yang harus dikerjakan lagi ia kemudian menyalakan televisi di ruang tamu untuk mengusir rasa bosannya.
Di kantor Adrian sudah disambut oleh David, sang asisten, dengan berondongan pertanyaan tentang alasan Adrian ambil libur panjang. Tidak biasanya ia meninggalkan pekerjaan selama itu. Sedang Adrian malas menanggapi karena merasa tidak perlu menjelaskan meski dia sahabatnya.
"Apa ini karena Natasha?" David masih belum puas karena dari tadi Adrian tidak menanggapinya.
"Ada agenda apa hari ini?" Adrian tetap tidak menanggapi pertanyaan sahabatnya itu.
"Oh ayolah, Bro. Jangan mengalihkan perhatian." Ia tetap memaksa meski Adrian pura-pura sibuk membaca berkas yang ada di meja.
"Sejak kapan kamu jadi pemburu gosip?" Adrian bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari berkas di tangan meski hanya membolak-balik kertas itu.
"Sudah bukan gosip lagi, semua yang ada disini menyimpulkan kalau cucunya Bos Hadinata ini sedang patah hati." David menunjukkan ponselnya yang layarnya menampilkan artikel tentang kedekatan Natasha dan seorang aktor terkenal itu.
Adrian mendesah berat dan menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. Ia kemudian menceritakan permintaan kakeknya tentang pernikahan dan juga penolakan Natasha atas lamarannya. David yang mendengar cerita itu cukup terkejut tak menyangka jika sahabatnya harus berada di posisi seperti ini.
"Tinggal beberapa Minggu, Bro. Apa kamu sudah dapat calonnya?" David berkata mengingatkan batas waktu yang diminta kakeknya.
Adrian berdiri dari kursinya dan berjalan menuju jendela. Di luar tampak langit berwarna biru cerah dan awan putih seperti kapas bergerak karena tiupan angin. Sesekali terlihat burung-burung berterbangan hinggap dari satu pohon ke pohon lain. Untuk saat ini Adrian tidak bisa memutuskan apapun terkait permintaan kakeknya.
Ia juga tak mungkin menerima pilihan kakeknya, siapapun itu. Karena baginya tidak mungkin menikahi seseorang hanya karena ia ataupun keluarganya terlibat hubungan bisnis. Bukannya naif, tapi ia mencoba menuruti kata hatinya.
"Ada agenda apa?" Adrian bertanya lagi pada David.
"Yah baiklah. Hari ini ada rapat pemegang saham jam dua belas siang." David dengan pasrah menjelaskan agenda hari ini.
Rapat pemegang saham, itu berarti akan ada kakeknya. Orang tua itu pasti akan menekya lagi, dan ia sendiri masih belum menyiapkan jawaban. Adrian kembali ke kursinya dan memulai diskusi kecil dengan David tentang bahan apa yang akan dibahas dalam rapat nanti.
Kakek Hadinata baru saja datang saat keduanya selesai berdiskusi, dan David kemudian beranjak menuju ke ruangannya sendiri untuk mempersiapkan berkas-berkas yang akan dibawanya dalam rapat nanti. Adrian berdiri menyambut sang kakek lalu mencium punggung tangan lelaki renta itu. Setelah ia ia menuntunnya menuju sofa yang berada di tengah ruangan.
"Bagaimana kabarmu? Kudengar kau menginap beberapa hari di villa?" Pria tua itu memandang cucunya lekat.
"Ah, aku hanya liburan sebentar sambil menenangkan pikiran." Adrian duduk di sofa seberang kakeknya.
"Ya sudah, kuharap kau segera menemukan gadis yang cocok, tidak seperti model itu." Kakek Hadinata berkata dengan nada bercanda. Meski begitu Adrian merasa sedikit tertampar.
"Sudah waktunya kita ke ruang rapat." Kakek Hadinata berdiri dan berjalan mendahului menuju ruang rapat. Adrian menyusul di belakangnya kemudian David juga terlihat keluar dari ruangannya.
Rapat selesai sekitar pukul tiga sore, setelah membereskan mejanya Adrian berniat untuk pulang. Namun langkahnya dihentikan oleh panggilan David.
" Mau segera pulang, Bro? Bagaimana kalau kita minum sebentar seperti biasanya." Mereka berdua berjalan menuju lift dan menekan tombol menuju tempat parkir.
"Aku masih ada urusan." Adrian teringat Alya yang saat ini sendirian di apartemennya, ia memikirkan gadis itu yang mungkin merasa bosan karena tidak banyak yang harus ia lakukan di apartemen. Sebab sebelum kedatangan Alya, apartemen itu dibersihkan seminggu sekali oleh petugas pembersih yang biasa dipesan secara online.
"Oh ya sudah, lain kali saja." Mereka berdua berpisah di tempat parkir menuju mobil masing-masing.
Adrian memang tidak pernah langsung pulang jika jam kerjanya usai, ia bersama David akan menghabiskan waktu dulu entah untuk minum atau sekedar mengobrol. Namun, karena ada Alya dia memutuskan untuk langsung pulang.
Harum aroma masakan terhidu oleh Adrian saat ia membuka pintu apartemennya, membuat perut lelaki itu berbunyi karena cacing di dalamnya meronta ingin mencicipi rasa masakan itu. Setelah menaruh tas kerjanya di sofa ia berjalan menuju dapur, dan mendapati gadis dalam balutan rok terusan lengan pendek dengan panjang selutut bermotif garis-garis hitam putih itu tengah sibuk memasak. Ia memperhatikan gadis itu sambil tubuh bersandar di tembok pembatas dapur dan tangan bersedekap.
Kulitnya terlihat putih bersih ditambah dengan rambut yang dikuncir asal membuat ia terlihat cantik natural. Gadis itu bergerak dengan lincah memasukkan bahan-bahan ke dalam wajan penggorengan, ia tak menyadari kedatangan Adrian. Ia kemudian mengambil sebuah mangkuk besar dan menuangkan hasil masakannya tadi ke dalam mangkuk. Gadis itu baru menyadari keberadaan Adrian saat akan menaruh mangkuk di meja makan dan sedikit terkejut.
"Tuan sudah pulang, mau makan sekarang?" Wajah yang setengah terkejut tadi tersamarkan dengan lengkungan tipis di bibir mungilnya.
"Iya, sepertinya cacing di perutku sudah tak sabar kalau harus menunggu setelah mandi." Adrian menarik kursi untuknya.
Alya kemudian mengambil piring dan sendok lalu mengisinya dengan nasi dan lauk pauk yang tadi dimasaknya. Ia kemudian ikut duduk satu meja dengan Adrian, gadis itu sudah tak merasa canggung lagi. Mereka makan sambil saling bertukar cerita, baru kali ini Adrian merasa suasana makan di rumahnya jadi lebih hangat sejak kedatangan Alya.
Adrian menatap wajah Alya yang tengah terbaring di brankar rumah sakit, tangannya sedari tadi tak pernah lepas menggenggam tangan Alya. Raut wajahnya terlihat gembira setelah mendengar diagnosis dari dokter tadi. Beberapa saat kemudian tubuh Alya mulai bergerak, mata wanita itu mulai terbuja perlahan. "A-aku dimana?" Wanita itu bingung karena tidak mengenali ruangan tempatnya berbaring saat ini. "Kita di rumah sakit, Sayang," ucap Adrian sambil mencium tangan Alya. Alya kemudian mengingat apa yang terjadi beberapa saat yang lalu. "Kamu hamil, Sayang, kamu hamil. Kita akan segera punya anak." lanjut Adrian sambil tak henti mencium tangan istrinya, setitik air mata luruh di pipinya. Ia tidak dapat lagi menyembunyikan kebahagiaan karena sebentar lagi akan menjadi ayah. "Aku hamil?" tanya Alya lirih, ia juga senang dan tanpa terasa ikut meneteskan air mata. Satu tangannya meraba perutnya yang masih rata, ia tidak menyangka di rahimnya ada janin yang tumbuh hasil buah cinta mereka. "Ak
Adrian dan Natasha, keduanya sama-sama terkejut saat tiba-tiba seseorang membuka pintu. Dengan cepat Natasha melepaskan tangannya dari leher Adrian."Ma-maaf, Pak Adrian, sa-saya hanya mau melapor kalau semuanya sudah siap." Maya, sekretaris Adrian melaporkan kesiapan konferensi pers yang akan dilakukan Adrian, wajahnya tampak terkejut melihat pemandangan di dalam ruangan bosnya itu."Oke, Maya, terima kasih." Adrian bernapas lega, karena kehadiran Maya membantunya lepas dari ulah Natasha."Aku ada urusan, bisa kau pergi sekarang?" Adrian sengaja mengusir Natasha.Wanita itu kembali mendekati Adrian, tetapi lelaki itu telah lebih dahulu berdiri dan sengaja menghindar.
Pukul sepuluh malam Adrian mengajak Alya untuk pulang ke rumah mereka sendiri. Sebenarnya Alya menolak karena kasihan dengan Kakek Hadinata. Namun, melihat suasana hati Adrian yang tidak cukup baik setelah kejadian makan malam tadi, ia akhirnya menyetujui ajakan Adrian."Jadi, kalian memilih meninggalkan kakek sendirian lagi," ucap pria tua itu saat keduanya berpamitan untuk pulang."Aku butuh ketenangan kalau Kakek menginginkan segera punya cucu." ucap Adrian enteng dan mendapat cubitan kecil di pinggangnya dari Alya.Kakek Hadinata memandang dua orang yang tengah berdiri tak jauh darinya itu dengan lekat. Ia tahu cucunya sengaja menghindar dari dirinya."Kalau itu akan membuatmu berhasil dalam waktu dekat, silahkan," ucap pria itu sambil menekan kata berhasil."Tunggu saja." Adrian segera berbalik dan melangkah meninggalkan kakeknya. Sedang Alya yang bingung harus berbuat apa l
Acara gathering sudah berakhir, Adrian melanjutkan pekerjaannya sedangkan Alya menemani Kakek Hadinata pulang ke rumah atas permintaan pria tua itu. Mereka berdua sedang berbincang di halaman belakang."Adrian lahir dan tumbuh di rumah ini, dia anak yang periang dan lincah." Kakek Hadinata memulai percakapan sambil berdiri menghadap tanaman mawar putih. Alya berdiri di samping pria tua itu sambil mendengarkan pria itu bercerita tanpa berniat menyela."Setelah kepergian Ayahnya akibat kecelakaan itu dia jadi berubah, agak susah diatur."Alya bisa membayangkan kehidupan seorang anak, apalagi anak laki-laki saat kehilangan seorang ayah. Mungkin rasanya seperti kehilangan arah, sama dengan dirinya saat ditinggal sang ibu.
Alya menatap pantulan dirinya di cermin, merasa puas dengan penampilannya kali ini. Rok span dengan panjang di bawah lutut berwarna hitam dipadu dengan blouse berwarna emas dengan model balon di lengannya. Ia juga menyapukan riasan tipis di wajah ditambah lipstik warna peach, terlihat segar dan cantik.Di luar kamar Adrian tengah sibuk memberi arahan kepada anak buahnya melalui sambungan telepon. Pria itu juga sudah tampak rapi dengan setelan jas berwarna hitam.Alya keluar dari kamar dan mendekati Adrian, kegugupan tampak jelas di raut wajahnya."Kamu sudah siap?" tanya Adrian saat ia menyadari kehadiran Alya."Sudah, tetapi aku merasa sedikit gugup." Alya berkata sambil menautkan kedua tangannya.Adrian memasukkan ponsel ke dalam saku, lalu melangkah mendekati Alya kemudian memeluknya seolah memberi kekuatan pada wanita itu."Kamu tidak perlu cemas, a
Setelah kepergian Adrian, Natasha tertawa bahagia. Ia merasa usahanya untuk memisahkan Adrian dan Alya akan berhasil."Ada gunanya juga koin ini." Natasha memandangi koin pecahan lima ratus rupiah yang tadi ia letakkan di meja. Ia sengaja menggunakan benda itu untuk membuat tanda merah seperti bekas ciuman di leher dan juga dadanya.đź’—đź’—đź’—Adrian semakin frustasi karena tidak kunjung menemukan Alya, ia menepikan mobilnya di bahu jalan yang sepi. Kepalanya berpikir kira-kira kemana perginya Alya, kepalanya mendongak ke atas menatap bintang-bintang yang berkilauan seolah mengejeknya.Adrian mengedarkan pandangannya ke segala penjuru, yang ia dapati hanya kelap-kelip lampu jalanan. Pria itu segera beranjak saat matanya menatap sebuah gedung di hadapannya, ia baru ingat kalau belum memeriksa bekas apartemen yang ia tinggali sebelumnya.Segera Adrian memacu mobilnya kesana, dan