Share

2. Awan Hitam

     Terdengar sayup suara berisik memasuki setengah alam sadarku yang tengah bermimpi. Bersamaan tubuhku yang terasa berguncang pelan. Saat netra ini terbuka, tertangkap Iqbal, anak keduaku tengah menangis menatapku. Inginku tertawa melihat wajah jeleknya saat ini. Wajah Iqbal basah karena air mata dan keringat yang bercampur. Bahkan di atas bibirnya ada cairan kental berwarna bening yang turun dari hidung mancungnya. Namun, urung kulakukan. Sebab selain tangis Iqbal yang mengusik tidurku, ada bayi perempuan yang ikut menagis.

     Entah sudah berapa lama, bayi merah yang ada di dekatku ini menangis seperti itu. Suara tangisnya yang biasa melengking, terdengar serak sekarang. Bahkan wajah cantiknya yang biasanya putih kemerah-merahan, kini berwarna biru. Kuraih alas tidur bayiku yang berwana merah muda itu. Sekarang ia sudah berada dalam dekapku. Suara tangisnya pun seketika lenyap. Ketika ia berhasil mengisap sumber makanannya yang ada pada tubuhku. Layaknya seorang musafir yang kehausan setelah berjalan jauh di tengah padang pasir yang gersang. Bibir mungilnya langsung melahap rakus ASI-ku.

     Iqbal masih menangis tersedu-sedu, kutarik ujung bajunya agar mendekat padaku. Kemudian mengelap cairan kental yang ada di atas bibir merahnya. Kini ia lebih tenang melihatku yang tersenyum menatapnya.

     "Ibu jangan mati yah, Bu. Iqbal sayang Ibu. Iqbal janji, gak jadi anak nakal, Bu," isaknya tergugu menatapku. Tangan kecil Iqbal mengurut-urut lengan kiriku, walaupun tak ada tenaga yang terasa, tapi mampu memberiku sedikit kekuatan pada kondisiku yang sangat lemah saat ini.

     Haru dan sedih hati ini mendengar apa yang Iqbal perkataan yang polos barusan. Tak sanggup aku membayangkan bagaimana bila aku tiada. Siapa yang akan mengurus ketiga buah hatiku nantinya. Mereka bertiga adalah harta berharga yang allah titipkan padaku. 

     "Bapak sama Bang Yoga Mana, Bal?" tanyaku. Sadar kenapa rumah terasa hening dan kenapa cuma ada kami saja. 

     "Bapak pergi lagi, Bu. Cari uang katanya. Kalau Bang Yoga barusan ikut Bu Halimah ke rumahnya," ucapnya dengan nada yang masih tersenggal-sengal.

     "Tapi Iqbal sudah makan kan, Nak?" aku bertanya pada Iqbal yang masih saja senggukan. Ia menjawab pertanyaanku dengan gelengan kepala. Dua iris hitam pekat miliknya menatapku dengan tatapan sayu. 

     "kenapa belum makan, Bal?" Selidikku. 

     "Kan, gak ada makanan. Ibu bilang tunggu Bapak pulang. Tapi tadi bapak bilang tunggu Ibu bangun."

     Mendengar jawaban Iqbal yang polos, membuat darahku mendidih di sekujur sekujur tubuhku. Setelah satu malaman tak pulang, Bang Rio masih tak membawa uang juga. Bahkan dengan keadaanku begini, ia tega pergi meninggalkan kami.

     "Assalammualaikum," Ucap dua suara yang bersamaan dari ambang pintu masuk rumahku.

     "Walaikumsalam," jawabku tampa bergerak sedikitpun. Aku tetap duduk bersandar di headboard tempat tidurku, sambil menyusi bayi perempuan yang belum memiliki nama.

     Salah satu pemilik suara terdengar menerobos masuk ke rumahku dengan langkah terburu-buru. Terlihatlah Yoga, anak pertamaku berdiri menatapku dengan napas yang sedikit tersenggal. Salah satu tanggannya tengah menjinjing rantang stailes bersusun tiga, entah milik siapa. Setelah melihatku sekilas, iapun meminta Iqbal untuk membantunya. 

     "Bal, Sini. Bantu, Abang!" teriaknya pada Iqbal. Dua iris hitam yang tadi terlihat sayu, kini tampak ceria saat menatap rantang tersebut. Iqbal langsung melompat dari atas tempat tidur ke lantai. Saat Iqbal hendak keluar, Bu Halimah pun menampakan diri di ambang pintu kamarku.

     "Alhamdulillah, Ana. Akhirnya kamu sadar juga. Bikin kita yang liat panik," ucap Bu Halimah sembari meletakan bokongnya di tepian tempat tidurku.

     "Maaf yah. Bu. Sepertinya saya hari ini banyak merepotkan, Ibu yah?"

     "Ah tidak juga, kita kan bertetangga. Jadi harus saling tolong menolong," 

     "Bu, tadi mas-mas yang tadi gak apakan?" tanyaku penasaran. Sebenarnya bukan pria itu yang inginku tanyakan, tetapi suamiku. Aku ingin bertanya kepada Bu Halimah. Kemana sebenarnya suamiku. Tapi entah kenapa? Aku malu menanyakannya.

     "Kamu mau tanya Bayu apa suamimu, Ana?" Tanya Bu Halimah padaku. ternyata Bu Halimah tau isi pikiranku.

     "Ibu, tau kemana Bang Rio pergi?" akhirnya pertanyaan yang ingin kutanyakan terlontar juga.

     "Kalau itu saya kurang tau dia kemana? Yang jelas Rio itu keterlaluan. Istri pingsan karena pendarahan, malah kabur. Tadi saya sempat denger juga, Iqbal di bentak karna minta apa gitu, saya kurang jelas sih dengarnya," Ujar Bu halimah menjelaskan.

     "Ana, kamu apa memang gak punya saudara sama sekali buat jagain kamu selama proses pemulihan. Kita yang baru melahirkan ini, memang perlu pendampingan. Apalagi anakmu tiga-tiganya masih kecil. Pasti kamu kerepotan mengurus mereka dan urusan rumah sendirian,"

     Deg! 

     Jantungku serasa di pukul kuat karena pertanyaan Bu Halimah. Seketika juga, muncul awan hitam di hatiku. Bagaimana aku tak merasa sedih? Aku sudah sebatang kara semenjak kelas tiga SMA. Semenjak itu pula, aku berjuang melanjutkan hidup sendiri. Bekerja menjadi pegawai toko dengan gaji kecil. Namun, tetap kujalani karena aku memang butuh uang untuk biyaya hidup.

     Seandainya aku tak sebatang kara. Mungkin aku juga berani meninggalkan suamiku yang tak bertanggung jawab seperti Bang Rio. Aku pikir menikah dengannya akan mengurangi beban hidupku. Namun, naasnya hidupku semakin berat. Setelah menikah dengannya aku pun berjualan jajanan kecil-kecilan di teras rumah. Namun, setelah melahirkan anak ketiga ini aku sangat kerepotan. Jadi untuk sementara aku tutup dulu. Sedihnya peputaran uang modalku kemarin di pinjam Bang Rio entah untuk apa. Makanya saat ini aku tak memiliki uang sedikitpun. 

     Aku menggelengkan kepala menjawab pertanyan Bu Halimah. Wanita yang usianya terpaut lima tahun lebih tua dari umurku menghembuskan napas kasar sembari menatapku dengan nanar. 

     "Bu, makan dulu. Biar adek gak masuk angin kalau nenen." Aku yang tenggelam dalam pikiran sendiri tak menyadari kehadiran Yoga yang sudah berdiri di sampingku. Ia berdiri sambil menyodorkan piring berisi nasi beserta lauk dan pauknya. Anak pertamaku ini, pola pikirannya memang terlampau dewasa. Ia seperti ini karena keadaan yang memaksanya bersikap dewasa. 

     "Dari mana kamu dapat, Ga? Tanyaku pada Yoga, sembari menerima piring yang ia sodorkan padaku. 

     "Dari Bu Halimah, Bu!" jawab yoga sambil berlalu. Ia langsung menggambil posisi duduk di samping Iqbal yang sudah lebih dulu duduk di depan TV tabung yang ada di kamar. 

     Semenjak melahirkan aku memang sengaja meletakan TV di kamar. Agar saat aku terjaga aku bisa menonton TV, untuk mengusir kantuk saat menyusui. 

     "Terimakasih banyak yah, Bu. Sepertinya hari ini, saya benar-benar merepotkan, Ibu."

     "Jangan bilang gitu. Saya kebetulan masak banyak. Tadinya adik saya mau datang , tapi gak jadi. Sempat khawatir juga tadi makanan saya bakal mubazir. Tapi untung saya dengar percakapan Yoga dan Iqbal, Iqbal merengek lapar ada Yoga. Tadi Yoga sempat izin kesaya juga, minta tolong jagain kamu. Katanya dia mau cari botol-botol bekas buat di jual ke pengempul. Biar dapat uang, untuk beli makan. Yah itu, Allah itu maha pengatur isinya. Di balik adik saya tidak jadi datang. Ternyata saya memang memasak makanan banyak, untuk kejadian seperti ini," tutur Bu Halimah dengan nada yang lembut. 

     Awah hitam yang tadinya tenang kini mulai bergemuruh, disusul hentakan pentir dan mulai menurunkan hujan yang amat deras di hatiku. Entah kenapa setiap kali sehabis melahirkan, aku menjadi sangat sensitif dan mudah sekali menangis. Padahal aku ini termasuk wanita yang kuat, bahkan wonder woman pun mungkin kalah kuatnya dariku dalam urusan tahan banting.

     Pemandangan anak-anakku yang sedang makan dengan lahap. Membuat air mataku semakin tak terkendalikan, untuk terjun bebas. Ingin saja kuajukan ke pemerintah, untuk di bangun bendungan air di pelupuk mata ini. Agar air mataku, tak sesuka hatinya keluar. Lucu bukan, biasanya seorang Ibu akan tersenyum lebar saat melihat anak-anaknya memiliki makan dengan lahap. Namun, hal itu seperti tak berlaku padaku dalam keadaan seperti saat ini.

     "Ana, kamu kenapa? Saya ada menyinggung perasaan kamu yah. Maafkan saya yah, Ana. Saya gak bermaksud begitu." Bu halimah terlihat panik saat melihatku menangis.

     "Tidak apa Bu, saya memang sering menangis akhir-akhir ini," kilahku.

     Bu Halimah terlihat semakin  tak nyaman melihat aku yang menangis sambil makan. Sampai saat ia mendapatkan pesan dari Pak Salim, suami Bu Halimah. Memintanya untuk pulang. 

     "Saya izin pulang dulu yah, Ana. Kamu makanlah dulu. Nanti sore saya kemari bantuin kamu mandiin si kecil. Ingat kamu jangan banyak begerak dulu." 

     "Yoga, lihat-lihat Ibumu yah. Jangan main-main dulu. Kalau ada apa-apa panggil Ibu yah, Ga." ucap Bu Halimah kemudian benar-benar berlalu meninggalkan kami.

     Sambil makan, aku masih terus memikirkan kemana suamiku itu pergi. Aku tak yakin ia pergi bekerja. 'Cepatlah pulang, Abang. Badan Ana, tak enak rasanya,'

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status