Terdengar sayup suara berisik memasuki setengah alam sadarku yang tengah bermimpi. Bersamaan tubuhku yang terasa berguncang pelan. Saat netra ini terbuka, tertangkap Iqbal, anak keduaku tengah menangis menatapku. Inginku tertawa melihat wajah jeleknya saat ini. Wajah Iqbal basah karena air mata dan keringat yang bercampur. Bahkan di atas bibirnya ada cairan kental berwarna bening yang turun dari hidung mancungnya. Namun, urung kulakukan. Sebab selain tangis Iqbal yang mengusik tidurku, ada bayi perempuan yang ikut menagis.
Entah sudah berapa lama, bayi merah yang ada di dekatku ini menangis seperti itu. Suara tangisnya yang biasa melengking, terdengar serak sekarang. Bahkan wajah cantiknya yang biasanya putih kemerah-merahan, kini berwarna biru. Kuraih alas tidur bayiku yang berwana merah muda itu. Sekarang ia sudah berada dalam dekapku. Suara tangisnya pun seketika lenyap. Ketika ia berhasil mengisap sumber makanannya yang ada pada tubuhku. Layaknya seorang musafir yang kehausan setelah berjalan jauh di tengah padang pasir yang gersang. Bibir mungilnya langsung melahap rakus ASI-ku.
Iqbal masih menangis tersedu-sedu, kutarik ujung bajunya agar mendekat padaku. Kemudian mengelap cairan kental yang ada di atas bibir merahnya. Kini ia lebih tenang melihatku yang tersenyum menatapnya.
"Ibu jangan mati yah, Bu. Iqbal sayang Ibu. Iqbal janji, gak jadi anak nakal, Bu," isaknya tergugu menatapku. Tangan kecil Iqbal mengurut-urut lengan kiriku, walaupun tak ada tenaga yang terasa, tapi mampu memberiku sedikit kekuatan pada kondisiku yang sangat lemah saat ini.
Haru dan sedih hati ini mendengar apa yang Iqbal perkataan yang polos barusan. Tak sanggup aku membayangkan bagaimana bila aku tiada. Siapa yang akan mengurus ketiga buah hatiku nantinya. Mereka bertiga adalah harta berharga yang allah titipkan padaku.
"Bapak sama Bang Yoga Mana, Bal?" tanyaku. Sadar kenapa rumah terasa hening dan kenapa cuma ada kami saja.
"Bapak pergi lagi, Bu. Cari uang katanya. Kalau Bang Yoga barusan ikut Bu Halimah ke rumahnya," ucapnya dengan nada yang masih tersenggal-sengal.
"Tapi Iqbal sudah makan kan, Nak?" aku bertanya pada Iqbal yang masih saja senggukan. Ia menjawab pertanyaanku dengan gelengan kepala. Dua iris hitam pekat miliknya menatapku dengan tatapan sayu.
"kenapa belum makan, Bal?" Selidikku.
"Kan, gak ada makanan. Ibu bilang tunggu Bapak pulang. Tapi tadi bapak bilang tunggu Ibu bangun."
Mendengar jawaban Iqbal yang polos, membuat darahku mendidih di sekujur sekujur tubuhku. Setelah satu malaman tak pulang, Bang Rio masih tak membawa uang juga. Bahkan dengan keadaanku begini, ia tega pergi meninggalkan kami.
"Assalammualaikum," Ucap dua suara yang bersamaan dari ambang pintu masuk rumahku.
"Walaikumsalam," jawabku tampa bergerak sedikitpun. Aku tetap duduk bersandar di headboard tempat tidurku, sambil menyusi bayi perempuan yang belum memiliki nama.
Salah satu pemilik suara terdengar menerobos masuk ke rumahku dengan langkah terburu-buru. Terlihatlah Yoga, anak pertamaku berdiri menatapku dengan napas yang sedikit tersenggal. Salah satu tanggannya tengah menjinjing rantang stailes bersusun tiga, entah milik siapa. Setelah melihatku sekilas, iapun meminta Iqbal untuk membantunya.
"Bal, Sini. Bantu, Abang!" teriaknya pada Iqbal. Dua iris hitam yang tadi terlihat sayu, kini tampak ceria saat menatap rantang tersebut. Iqbal langsung melompat dari atas tempat tidur ke lantai. Saat Iqbal hendak keluar, Bu Halimah pun menampakan diri di ambang pintu kamarku.
"Alhamdulillah, Ana. Akhirnya kamu sadar juga. Bikin kita yang liat panik," ucap Bu Halimah sembari meletakan bokongnya di tepian tempat tidurku.
"Maaf yah. Bu. Sepertinya saya hari ini banyak merepotkan, Ibu yah?"
"Ah tidak juga, kita kan bertetangga. Jadi harus saling tolong menolong,"
"Bu, tadi mas-mas yang tadi gak apakan?" tanyaku penasaran. Sebenarnya bukan pria itu yang inginku tanyakan, tetapi suamiku. Aku ingin bertanya kepada Bu Halimah. Kemana sebenarnya suamiku. Tapi entah kenapa? Aku malu menanyakannya.
"Kamu mau tanya Bayu apa suamimu, Ana?" Tanya Bu Halimah padaku. ternyata Bu Halimah tau isi pikiranku.
"Ibu, tau kemana Bang Rio pergi?" akhirnya pertanyaan yang ingin kutanyakan terlontar juga.
"Kalau itu saya kurang tau dia kemana? Yang jelas Rio itu keterlaluan. Istri pingsan karena pendarahan, malah kabur. Tadi saya sempat denger juga, Iqbal di bentak karna minta apa gitu, saya kurang jelas sih dengarnya," Ujar Bu halimah menjelaskan.
"Ana, kamu apa memang gak punya saudara sama sekali buat jagain kamu selama proses pemulihan. Kita yang baru melahirkan ini, memang perlu pendampingan. Apalagi anakmu tiga-tiganya masih kecil. Pasti kamu kerepotan mengurus mereka dan urusan rumah sendirian,"
Deg!
Jantungku serasa di pukul kuat karena pertanyaan Bu Halimah. Seketika juga, muncul awan hitam di hatiku. Bagaimana aku tak merasa sedih? Aku sudah sebatang kara semenjak kelas tiga SMA. Semenjak itu pula, aku berjuang melanjutkan hidup sendiri. Bekerja menjadi pegawai toko dengan gaji kecil. Namun, tetap kujalani karena aku memang butuh uang untuk biyaya hidup.
Seandainya aku tak sebatang kara. Mungkin aku juga berani meninggalkan suamiku yang tak bertanggung jawab seperti Bang Rio. Aku pikir menikah dengannya akan mengurangi beban hidupku. Namun, naasnya hidupku semakin berat. Setelah menikah dengannya aku pun berjualan jajanan kecil-kecilan di teras rumah. Namun, setelah melahirkan anak ketiga ini aku sangat kerepotan. Jadi untuk sementara aku tutup dulu. Sedihnya peputaran uang modalku kemarin di pinjam Bang Rio entah untuk apa. Makanya saat ini aku tak memiliki uang sedikitpun.
Aku menggelengkan kepala menjawab pertanyan Bu Halimah. Wanita yang usianya terpaut lima tahun lebih tua dari umurku menghembuskan napas kasar sembari menatapku dengan nanar.
"Bu, makan dulu. Biar adek gak masuk angin kalau nenen." Aku yang tenggelam dalam pikiran sendiri tak menyadari kehadiran Yoga yang sudah berdiri di sampingku. Ia berdiri sambil menyodorkan piring berisi nasi beserta lauk dan pauknya. Anak pertamaku ini, pola pikirannya memang terlampau dewasa. Ia seperti ini karena keadaan yang memaksanya bersikap dewasa.
"Dari mana kamu dapat, Ga? Tanyaku pada Yoga, sembari menerima piring yang ia sodorkan padaku.
"Dari Bu Halimah, Bu!" jawab yoga sambil berlalu. Ia langsung menggambil posisi duduk di samping Iqbal yang sudah lebih dulu duduk di depan TV tabung yang ada di kamar.
Semenjak melahirkan aku memang sengaja meletakan TV di kamar. Agar saat aku terjaga aku bisa menonton TV, untuk mengusir kantuk saat menyusui.
"Terimakasih banyak yah, Bu. Sepertinya hari ini, saya benar-benar merepotkan, Ibu."
"Jangan bilang gitu. Saya kebetulan masak banyak. Tadinya adik saya mau datang , tapi gak jadi. Sempat khawatir juga tadi makanan saya bakal mubazir. Tapi untung saya dengar percakapan Yoga dan Iqbal, Iqbal merengek lapar ada Yoga. Tadi Yoga sempat izin kesaya juga, minta tolong jagain kamu. Katanya dia mau cari botol-botol bekas buat di jual ke pengempul. Biar dapat uang, untuk beli makan. Yah itu, Allah itu maha pengatur isinya. Di balik adik saya tidak jadi datang. Ternyata saya memang memasak makanan banyak, untuk kejadian seperti ini," tutur Bu Halimah dengan nada yang lembut.
Awah hitam yang tadinya tenang kini mulai bergemuruh, disusul hentakan pentir dan mulai menurunkan hujan yang amat deras di hatiku. Entah kenapa setiap kali sehabis melahirkan, aku menjadi sangat sensitif dan mudah sekali menangis. Padahal aku ini termasuk wanita yang kuat, bahkan wonder woman pun mungkin kalah kuatnya dariku dalam urusan tahan banting.
Pemandangan anak-anakku yang sedang makan dengan lahap. Membuat air mataku semakin tak terkendalikan, untuk terjun bebas. Ingin saja kuajukan ke pemerintah, untuk di bangun bendungan air di pelupuk mata ini. Agar air mataku, tak sesuka hatinya keluar. Lucu bukan, biasanya seorang Ibu akan tersenyum lebar saat melihat anak-anaknya memiliki makan dengan lahap. Namun, hal itu seperti tak berlaku padaku dalam keadaan seperti saat ini."Ana, kamu kenapa? Saya ada menyinggung perasaan kamu yah. Maafkan saya yah, Ana. Saya gak bermaksud begitu." Bu halimah terlihat panik saat melihatku menangis.
"Tidak apa Bu, saya memang sering menangis akhir-akhir ini," kilahku.
Bu Halimah terlihat semakin tak nyaman melihat aku yang menangis sambil makan. Sampai saat ia mendapatkan pesan dari Pak Salim, suami Bu Halimah. Memintanya untuk pulang."Saya izin pulang dulu yah, Ana. Kamu makanlah dulu. Nanti sore saya kemari bantuin kamu mandiin si kecil. Ingat kamu jangan banyak begerak dulu."
"Yoga, lihat-lihat Ibumu yah. Jangan main-main dulu. Kalau ada apa-apa panggil Ibu yah, Ga." ucap Bu Halimah kemudian benar-benar berlalu meninggalkan kami.
Sambil makan, aku masih terus memikirkan kemana suamiku itu pergi. Aku tak yakin ia pergi bekerja. 'Cepatlah pulang, Abang. Badan Ana, tak enak rasanya,'
Sudah hampir satu jam aku terjaga karena menyusui bayiku. Bolak-balik mengganti saluran TV , tak kutemukan juga siaran yang menarik. Bosan hanya mencari tayangan, aku memilih mematikan TV. Seketika suasana malam ini kembali hening. Suamiku masih belum tampak juga batang hidungnya, padahal aku sangat membutuhkan kehadirannya saat ini. Terdengar seseorang membuka pintu masuk rumahku, ku harap semoga itu Bang Rio yang pulang. "Anaaa!" Syukurlah ternyata memang suamiku yang pulang. Bang Rio berteriak lantang, memanggilku dari arah dapur. Crack! Bang Rio menendang keras pintu kamar kami yang tak terkunci. Kali ini suara pintu yang menghantam diding kamar, berhasil membangunkan ketiga anakku. Bayi yang ada dalam pangkuanku langsung menangis, karena terkejut. Begitu pula dengan Yoga dan Iqbal, mereka terbangun dalam
Sesuai perkataan suamiku, Bang Rio menepati janjinya membawa aku dan Yoga berobat. Bang Rio membawa kami berobat di Puskesmas, yang jaraknya bisa kami tempuh lima menit saja dengan menggunakan angkot. Seakan dunia sedang baik padaku, saat sesampainya di puskesmas pun Bang Rio dengan siaga mendampingi aku dan Yoga untuk di periksa secara bergantian. Kurang dari tiga puluh menit, aku dan Yoga sudah selesai dan menerima obat. Mungkin karena kami datang terlalu pagi jadi antrian tak terlalu ramai. Bang Rio juga sempat menawariku untuk melanjutkan berbelanja, tapi dengan tegas aku menolak. Tubuhku yang belum terlalu fit, membuat aku sangat merindukan tempat tidur. Saat asik bercanda dengan dua anak lelakiku di halte yang tak jauh dari puskesmas, tempat kami menunggu angkot pulang.Tampa sengaja aku melihat seorang wanita muda, tengah tersenyum manis me
Sesampainya di rumah, aku menyuruh Yoga membawa Iqbal bermain di luar. Karena aku yakin sebentar lagi Bang Rio akan menyusulku yang sudah pulang duluan dan siap menghajarku. Benar saja, tak lama setelah aku selesai menidurkan anak perempuanku. Bang Rio pulang, dengan wajah seketat celana dalam baru."Dek! Apa kau sudah gila? Tega kau permalukan Abang dan diamuk massa sama orang-orang yang ada di sana!" Bang Rio langsung menyemburku. Sangkin emosinya ia padaku, aku sampai bisa mendengar suara geletukan giginya yang saling beradu."Aku gilak dan tega, Bang? lalu, Abang dan wanita tadi apa?" Bentakku tak kalah emosi."Yah, tapi gak perlu juga kau bilang kami asangan selingkuh disana!""Kalau kalian bukan pasangan selingkuh, jadi kalian itu apa, Bang? Pasangan mesum? Yang bebas bercerita hal yang tak senonoh di depan umum. Aku ini istrimu, Bang! Apa Abang tidak bisa menjaga perasaanku sedikit saja, Bang?
"Na, Keleng pulang sama cewek!" ujar kak Yanti dengan wajah terkejut. "Bapak ..., " teriak Iqbal dengan nada girang. "Mana ibu?" Tanya Bang Rio dengan nada ketus. Penasaran dengan wanita yang di bawa pulang suamiku. Aku bergegas keluar kamar untuk menemuinya. "Ada apa Bang?" jawabku. "Sekarang juga, Keluar kau dari rumah ini! Ini rumahku! Kenapa aku pula yang harus terusir dari rumah ini?" Tanpa basa-basi Bang Rio membentak dan mengusirku. Iqbal yang tadinya girang akan kepulangan ayahnya berlari ketakutan memeluk diriku. Tak lama seorang w
"Ana tau Rio sudah menikah?" tanya Pak salim padaku. Ketegangan dalam ruang tamuku saat ini sangatlah terasa. Aku saat ini tak jauh sama seperti mereka. Sama-sama terkejut mendengar pengakuan suamiku yang telah menikah lagi. "Tidak Pak," jawabku singkat. Mendengar jawabanku, Pak Salim Menggeleng-gelengkan kepalanya sembari menatap suamiku yang duduk mesra dengan Beby. Mungkin bila orang yang tak mengenal kami. Orang-orang akan bilang, mereka adalah sepasang suami istri. Sementara aku orang lain yang tak ada hubungan apapun dengan mereka. "Rio, dalam hukum negara maupun hukum agama kita. Syarat pertama untuk menikah lagi adalah meminta izin atau restu dari istri pertama. It
Hai Reader's. Pertama-tama saat ingin mengucapkan terimakasih untuk kalian yang sudah membaca tulisan saya yang recehan ini. Berhubung ini cerita pertama saya, jadi tulisan saya masih terlalu kaku. Jadi karena itu saya sedikit stuck untuk mengupdate cerita selanjutnya. Sebelum saya lanjut mengupdate cerita, izinkan saya merevisi sedikit beberapa Bab agar lebih santai dan enak untuk dibaca. Jadi saya mohon maaf atas ketidak nyamananya. .•♫•♬•𝙸𝚖𝚊𝚐𝚒𝙽𝚊𝚝𝚒𝚘𝚗 •♬•♫•. Hai Reader's. Pertama-tama saat ingin mengucapkan terimakasih untuk kalian yang sudah membaca tulisan saya yang recehan ini. Berhubung ini cerita pertama saya, jadi tulisan saya masih terlalu kaku. Jadi karena itu saya sedikit stuck untuk mengupdate cerita selanjutnya. Sebelum saya lanjut mengupdate cerita, izinkan saya merevisi sedikit beberapa Bab agar lebih santai dan enak untuk dibaca. Jadi
"Hei pelakor ...! Bisa diem gak sih? " Kami yang berada di ruang tamu, tersentak kaget mendengar bentakan dari Kak Yanti. Ini untuk kedua kalinya Ia keluar dari kamarku dengan posisi sama, marah. sambil menggendong Rina yang tengah menangis. Kak Yanti pun menghampiriku dan menyerahkan Rina padaku untuk ditenangkan. Mungkin Kak Yanti sedikit panik dengan tangis Rina yang susah ia redakan. "Eh, Mbak! Tolong dong, sopan sedikit kalau bicara." ucap kak Yanti sambil berkacak pinggang. "Belum jadi istri sah Si Keleng kan? Masih cuman sebatas pelakor kan? Daerah sini, orangnya pada bar-bar loh, Mbak terhadap pelakor. Mbak mau saya panggil orang-orang sini sama ketua RT, buat ngeramein Mbak? Belum sah aja belagu!" "Pak, Buk. Tegur dong, tuh. Mereka belum sah udah n
Kuhentikan aktivitas Rina yang tengah menikmati ASI--ku. Bahkan tak kupedulikan tangisan Rina yang semakin histeris, karena ia belum juga puas menyusu. Tubuh mungilnya kini kembali kugendong menuju tempat perdebatan terjadi. Biarlah Rina menangis sebentar, yang penting rasa penasaran ku terbayarkan. Hanya itu isi pikiranku-------------------------------------------------------Mendapati aku kembali ke ruang tamu, Bang Rio dengan kasar merampas Rina dari gendonganku."Dimas Lihatlah ini!" ucap Bang Rio sambil menunjukan Rina pada pria itu. "aku tidak berbohong padamu. Istriku memang baru saja melahirkan dan kemarin ia memang pendarahan. Tanya saja pada ibu itu kalau kau tidak percaya pada ceritaku kemarin. Ibu itu yang mengatakan istriku pendarahan," tunjuk Bang Rio dengan wajahnya menghadap ke arah Bu Halimah. "Aku memang benar-benar membutuhkan uang Dimas, saat itu dimas." suara suamiku terdengar lirih saat ia menjelaskan. W