Sudah hampir satu jam aku terjaga karena menyusui bayiku. Bolak-balik mengganti saluran TV , tak kutemukan juga siaran yang menarik. Bosan hanya mencari tayangan, aku memilih mematikan TV. Seketika suasana malam ini kembali hening.
Suamiku masih belum tampak juga batang hidungnya, padahal aku sangat membutuhkan kehadirannya saat ini. Terdengar seseorang membuka pintu masuk rumahku, ku harap semoga itu Bang Rio yang pulang.
"Anaaa!"
Syukurlah ternyata memang suamiku yang pulang. Bang Rio berteriak lantang, memanggilku dari arah dapur.Crack!
Bang Rio menendang keras pintu kamar kami yang tak terkunci. Kali ini suara pintu yang menghantam diding kamar, berhasil membangunkan ketiga anakku. Bayi yang ada dalam pangkuanku langsung menangis, karena terkejut. Begitu pula dengan Yoga dan Iqbal, mereka terbangun dalam keadaan kaget. Namun, rasa kantuk dan lelah seharian menjagaku, membuat mereka memilih tetap berbaring diam sambil melamun.
"Kenapa nggak ada makanan di rumah? Dasar istri tak becus! Suami capek kerja di luar, pulang kerumah. Eh, gak ada apa-apa. Aku lapar!" Bentak Bang Rio saat masuk ke dalam kamar. "Hei, jawab aku bodoh! Jangan kau lihat saja aku. Sudah berani kau melawanku, yah. Aku ceraikan nanti kau, jadi gembel, kau di jalanan!" ancamnya padaku. Bukannya aku tak mau menjawab. Tapi aku seperti tak memiliki mulut. Entah kenapa setelah mengalami pendarahan tadi pagi, aku terus saja mengalami halusinasi terhadap seluruh anggota tubuhku secara bergantian. Aku yang berusaha mengumpulkan kesadaran, melongo heran. Yoga yang tadinya kulihat hanya terbaring, tiba-tiba berlari ke arahku. Kuikuti kemana arah mata Yoga menatap. Ternyata satu kaki Bang Rio sudah melayang di udara, seakan siap menendangku yang masih memangku bayi.Gedebuk!
Tubuh kecil Yoga terpental saat menghalau tendangan Bang Rio, yang tadinya untukku. Kepala kecil yoga terantuk ke tiang kayu yang ada di kamar. Melihat anak sulungku itu terpental dan terbentur, akhirnya mulutku bisa juga mengeluarkan suara."Astagfirullah Abaang!" jeritku. Kuletakan bayi perempuanku yang makin menangis histeris, akibat nada-nada tinggi suara suamiku. Suasana malam yang tadinya hening, mendadak riuh. Tangisan bayiku dan teriakan Bang Rio yang saling sahut-menyahut dan tak ada yang mau mengalah.
"Makanya, kau jawab kalau aku bertanya! Kenapa kau nggak masak? Aku lapar!" bentaknya lagi.
Masih tak kuhiraukan bentakan suamiku. Aku lebih memilih, menghampiri Yoga yang menangis ketakutan. "Sini Bang," Bujukku pada Yoga."Aku mau masak apa Bang? Uangku saja tak ada lagi. Abang juga belum ada kasih aku uang?" Jawabku pelan. Aku menatapnya dengan penuh emosi. Cukup aku saja yang ia sering pukul. Jangan anakku.
"Menjawab pula kau!" Satu tangan Bang Rio berhasil mencengkram kerah dasterku, sementara tangan yang satu lagi sudah mengepal, seakan hendak meninjuku. Dari mulutnya tercium bau alkohol yang menyengat. Pantas saja dia gila.
"Pak! Jangan pukul ibu, Pak, ibu lagi sakit." ucap Yoga memohon, sambil memeluk Iqbal yang ketakutan.
Tak tega melihat anak-anakku ketakutan, aku memutar otak. Untung saja aku hapal tabiat Bang Rio bila mabuk. Aku hanya perlu sedikit mengalah, untuk membuatnya tertidur.
"Yah sudah sebentar," Jawabku singkat dan melepaskan diri dari tangannya yang masih mencengkram dasterku.
"Abang istirahatlah sebentar, Ana lihat dulu kebelakang, apa yang ada Ana masak," ucapku berbohong, padahal aku hanya ingin mengulur waktu. Mau masak apa, tadi saja kami makan karena Bu Halimah yang memberikan kami lauk.
Sesuai tebakanku, setelah ku minta Bang Rio untuk berbaring di tempat tidur, suara dengkurannya mulai keluar.
Kuajak Yoga dan Iqbal keluar dari kamar, menjauh dari Bang Rio yang telah terlelap. Aku meminta mereka melanjutkan tidur di ruang tamu bersamaku. Beralaskan ambal tahu berwarna merah, mereka pun kembali melanjutkan tidurnya. Aku yang seharian merasa sangat lemas dan sempoyongan, mendadak sehat penuh tenaga. Naluriku sebagai ibu yang harus melindungi anak-anaknya dari bahaya, membuatku mendapatkan tenaga extra. Biarlah aku mengalah malam ini melawan orang yang sedang tak waras. Tapi lihat saja besok, akan kulawan dia.*** Aku tengah bermimpi. Namun, sayup-sayup terdengar sebuah suara memanggilku dari dalam mimpi. Semakin lama, suara itu semakin jelas terdengar. Saat netra ini terbuka, terlihat Bang Rio tengan membangunkanku."Dek, dek bangun." suara itu lah yang sedari tadi memanggilku di dalam mimpi.
"Ayo makan dulu, Dek. Abang sudah belikan sarapan," ucapnya lagi padaku sambil tersenyum manis. Aroma wangi sabun dan sampo dari tubuh suamiku yang berkulit gelap, menyeruak tajam keIndra penciumanku. Berkat wangi segar itu, aku terbangun dengan bugar . Netraku menyapu seluruh ruang tamu yang menjadi tempatku tidur. Kudapati Yoga dan Iqbal yang ternyata sudah duluan bangun dan tengah menikmati sarapan dengan lahap. Melihat mereka makan sambil bercanda riang, bibir ini reflek melengkung ke atas. Kali ini aku bisa tersenyum saat melihat buah hatiku makan dengan lahap."Eh, tuan putri sudah bangun, cantiknya anak Bapak ini," ucap Bang Rio saat melihat bayi perempuan kami ikut terbangun.
"Cuci muka dulu dek baru makan. Oh, ya. Tolong sekalian bawakan teh yang ada di belakang. Tadi sudah Abang buat, cuman lupa Abang bawa kemari," pintanya lembut padaku.
Bang Rio memang tipikal orang yang kasar dan kurang bertanggung jawab pada keluarga. Tapi tak menutup kemungkinan dia akan memperlakukan kami layaknya kepala rumah tangga yang baik. Namum, sering di belakang sikap baiknya ada kesalahan yang tengah ia tutupi.
Setelah mendapatkan kesadaran penuh. Akupun beranjak meninggalkan ruang tamu yang tadi malam terasa dingin, tapi di pagi ini terasa begitu hangat. Langkahku terus tertuju pada kamar mandi, untuk sekedar mencuci muka.
Selesainya aku membersihkan wajah dan gigi, akupun kembali ke tempat suami dan anak-anakku berkumpul. Aroma manis dari secangkir besar teh yang kubawa tercium sangat manis. Ah ... Manis sekali pagiku ini. Niat hati mengajak Bang Rio perang pagi ini, lenyap sudah. Aku benar-benar terbuai dengan kehangatan rumah tangga kami pagi ini.
"Dek, itu di meja uang buat belanja sama uang yang Abang pinjam kemarin yah," Tunjuk bang Rio ke arah meja kecil.
Awalnya aku tak terlalu memperhatikan apa saja yang ada di atas meja kecil itu. Aku yang sekarang mudah lapar, lebih terfokus pada bungkusan makanan yang ada di meja tersebut. Kesambet hantu apa suamiku pagi ini? karena tiba-tiba dia ingat akan hutangnya padaku.
Sepanjang pernikahanku yang telah berjalan tujuh tahun. Tak sekalipun Bang Rio pernah mengganti uang yang telah ia pinjam dariku dan ini untuk pertama kalinya ia bertanggung jawab pada hutangnya. Baik itu uang yang ia beri padaku, maupun uang hasil keringatku sendiri, tak sekalipun pernah ia ingat untuk mengembalikan.
"Alhamdulillah," ucapku penuh syukur. "Abang gajian?" tanyaku penasaran. Namun, Bang Rio tak juga menjawab pertanyaanku. Ia malah asik bermain dengan bayi kami yang jarang ia lihat. "Nanti Abang antar adek Ama Yoga berobat yah," ucapnya tak menjawab pertanyaanku.
Padahal aku sudah sempat lupa dengan kejadian tadi malam, tapi syukurlah Bang Rio mengingatnya. Setidaknya ia bertanggung jawab dengan perbuatannya.
"Abang kenapa bisa minum? Kan sudah Ana bilang. Kalau kita lagi punya bayi Abang jangan minum, apalagi sampai mabuk," tanyaku mencari tau penyebab ia pulang dengan keadaan mabuk.
"Abang semalam, panik lihat kamu pingsan, Dek. Apalagi Abang baru sadar, kalau kaki Adek sudah berlumuran darah. Kata Bu Halimah, Adek pendarahan dan itu bisa membahayakan nyawamu. Sementara Abang semalam pulang, gak bawa uang. Upah kami di larikan sama Pemborong, jadi Abang sama teman-teman Abang nunggu di rumahnya semalaman. Makanya Abang gak pulang kemarin." lain yang ditanya, lain yang dijawab. Ciri-ciri orang yang sedang berbohong bukan? Apalagi menjawab pertanyaanku yang sederhana, Ia jawab dengan panjang kali lebar.
"Bang, yang Ana tanya. Kenapa Abang tadi malam mabuk? Bukan soal Abang kenapa gak pulang?" Tanyaku mengulang pertanyaan.
"Dengeri dulu cerita Abang, Dek," Ucapnya terhenti. "Hmm ..., ah sudahlah. Abang ceritain, Adek juga tidak akan mengerti," keluh Bang Rio yang kesal dengan pertanyaanku.
Sepertinya ia telah kehilangan rangkaian kata kebohongan yang telah ia siapkan. Terlihat dari iris hitamnya yang banyak melirik ke atas kiri, setiap kali menjawab pertanyaanku. Begitu pula hidungnya, yang selalu kembang-kempis setiap berbicara. 100% ciri-ciri orang yang tengah berbohong.
"Jadi ini uang dari mana? Apa pemborongnya sudah ketemu?" Tanyaku menganti Topic pembicaraan.
"Bukan,itu upah Abang hasil benerin kolam ikan dirumah teman SMA Abang. Awalnya Abang ke sana mau pinjam uang sama teman Abang, biar bawa adek berobat, tapi teman Abang keluar yang ada Ibunya. Ibunya malah tanyak-tanyak kerjaan Abang, pas ibunya tau Abang kuli bangunan, beliau minta Abang bagusin Kolam ikannya," terang bang Rio menceritakan. Kali ini aku percaya ucapan suamiku.
"Emang kolamnya sebesar apa bang, sampai sebanyak ini upahnya," "Cantik kali anak, Bapak ini." Rasa percayaku mendadak hilang, saat ia tiba-tiba mengalihkan pembicaraan lagi. "Bang, sebesar apa?" desakku. "Oh, itu bukan seutuhnya uang hasil ngerjain kolam, Dek. Kolamnya gak terlalu besar juga. Sore Abang sudah selesai bagusin kolamnya. Nah, pas Abang mau pulang teman Abang juga pulang. Jadi kami sedikit mengulang masa sekolah. Tiba-tiba Dimas ngajak Abang minum. Abang sudah tolak, Dek sumpah. Abang jelasin kalau Abang lagi gak boleh minum karena punya bayi, tapi dia maksa. Nah, pas Abang pulang Dimas kasi Abang uang lagi.
Deg!
Tiba-tiba saja detak jantungku berdegup kuat, saat Bang Rio menyebutkan nama seorang yang pernah menguasai hatiku. Tapi Dimas yang dimaksud Bang Rio pasti bukan Dimas yang ada dalam pikiranku. Karena jika Bang Rio berteman dengannya sewaktu SMA, otomatis Bang Rio juga satu sekolah denganku. "Ah ... Diana sadar lah, lagian nama Dimas nama yang pasaran," Bisik batinku.
Gerah dengan banyaknya pertanyaanku, suamiku terlihat hendak menghindar.
"Abang masak air panas buat Beby mandi dulu yah. Siapin lah apa yang mau Adek bawa buat kita pergi berobat."
"Siapa Beby bang?" Aku mengerutkan kening saat Ia menyebutkan sebuah nama yang asing di rumah ini."Nama anak perempuan kita lah Dek, belum ada namanya kan," jawab Bang Rio sambil berlalu meninggalkanku. Manis sekali sikapnya hari ini, seandainya Bang Rio memperlakukanku seperti ini setiap hari. Betapa bahagianya aku menjadi istrinya. "Semoga Beby benar-benar bisa membawa pengaruh baik untuk rumah tanggaku," bisik batinku.
Sesuai perkataan suamiku, Bang Rio menepati janjinya membawa aku dan Yoga berobat. Bang Rio membawa kami berobat di Puskesmas, yang jaraknya bisa kami tempuh lima menit saja dengan menggunakan angkot. Seakan dunia sedang baik padaku, saat sesampainya di puskesmas pun Bang Rio dengan siaga mendampingi aku dan Yoga untuk di periksa secara bergantian. Kurang dari tiga puluh menit, aku dan Yoga sudah selesai dan menerima obat. Mungkin karena kami datang terlalu pagi jadi antrian tak terlalu ramai. Bang Rio juga sempat menawariku untuk melanjutkan berbelanja, tapi dengan tegas aku menolak. Tubuhku yang belum terlalu fit, membuat aku sangat merindukan tempat tidur. Saat asik bercanda dengan dua anak lelakiku di halte yang tak jauh dari puskesmas, tempat kami menunggu angkot pulang.Tampa sengaja aku melihat seorang wanita muda, tengah tersenyum manis me
Sesampainya di rumah, aku menyuruh Yoga membawa Iqbal bermain di luar. Karena aku yakin sebentar lagi Bang Rio akan menyusulku yang sudah pulang duluan dan siap menghajarku. Benar saja, tak lama setelah aku selesai menidurkan anak perempuanku. Bang Rio pulang, dengan wajah seketat celana dalam baru."Dek! Apa kau sudah gila? Tega kau permalukan Abang dan diamuk massa sama orang-orang yang ada di sana!" Bang Rio langsung menyemburku. Sangkin emosinya ia padaku, aku sampai bisa mendengar suara geletukan giginya yang saling beradu."Aku gilak dan tega, Bang? lalu, Abang dan wanita tadi apa?" Bentakku tak kalah emosi."Yah, tapi gak perlu juga kau bilang kami asangan selingkuh disana!""Kalau kalian bukan pasangan selingkuh, jadi kalian itu apa, Bang? Pasangan mesum? Yang bebas bercerita hal yang tak senonoh di depan umum. Aku ini istrimu, Bang! Apa Abang tidak bisa menjaga perasaanku sedikit saja, Bang?
"Na, Keleng pulang sama cewek!" ujar kak Yanti dengan wajah terkejut. "Bapak ..., " teriak Iqbal dengan nada girang. "Mana ibu?" Tanya Bang Rio dengan nada ketus. Penasaran dengan wanita yang di bawa pulang suamiku. Aku bergegas keluar kamar untuk menemuinya. "Ada apa Bang?" jawabku. "Sekarang juga, Keluar kau dari rumah ini! Ini rumahku! Kenapa aku pula yang harus terusir dari rumah ini?" Tanpa basa-basi Bang Rio membentak dan mengusirku. Iqbal yang tadinya girang akan kepulangan ayahnya berlari ketakutan memeluk diriku. Tak lama seorang w
"Ana tau Rio sudah menikah?" tanya Pak salim padaku. Ketegangan dalam ruang tamuku saat ini sangatlah terasa. Aku saat ini tak jauh sama seperti mereka. Sama-sama terkejut mendengar pengakuan suamiku yang telah menikah lagi. "Tidak Pak," jawabku singkat. Mendengar jawabanku, Pak Salim Menggeleng-gelengkan kepalanya sembari menatap suamiku yang duduk mesra dengan Beby. Mungkin bila orang yang tak mengenal kami. Orang-orang akan bilang, mereka adalah sepasang suami istri. Sementara aku orang lain yang tak ada hubungan apapun dengan mereka. "Rio, dalam hukum negara maupun hukum agama kita. Syarat pertama untuk menikah lagi adalah meminta izin atau restu dari istri pertama. It
Hai Reader's. Pertama-tama saat ingin mengucapkan terimakasih untuk kalian yang sudah membaca tulisan saya yang recehan ini. Berhubung ini cerita pertama saya, jadi tulisan saya masih terlalu kaku. Jadi karena itu saya sedikit stuck untuk mengupdate cerita selanjutnya. Sebelum saya lanjut mengupdate cerita, izinkan saya merevisi sedikit beberapa Bab agar lebih santai dan enak untuk dibaca. Jadi saya mohon maaf atas ketidak nyamananya. .•♫•♬•𝙸𝚖𝚊𝚐𝚒𝙽𝚊𝚝𝚒𝚘𝚗 •♬•♫•. Hai Reader's. Pertama-tama saat ingin mengucapkan terimakasih untuk kalian yang sudah membaca tulisan saya yang recehan ini. Berhubung ini cerita pertama saya, jadi tulisan saya masih terlalu kaku. Jadi karena itu saya sedikit stuck untuk mengupdate cerita selanjutnya. Sebelum saya lanjut mengupdate cerita, izinkan saya merevisi sedikit beberapa Bab agar lebih santai dan enak untuk dibaca. Jadi
"Hei pelakor ...! Bisa diem gak sih? " Kami yang berada di ruang tamu, tersentak kaget mendengar bentakan dari Kak Yanti. Ini untuk kedua kalinya Ia keluar dari kamarku dengan posisi sama, marah. sambil menggendong Rina yang tengah menangis. Kak Yanti pun menghampiriku dan menyerahkan Rina padaku untuk ditenangkan. Mungkin Kak Yanti sedikit panik dengan tangis Rina yang susah ia redakan. "Eh, Mbak! Tolong dong, sopan sedikit kalau bicara." ucap kak Yanti sambil berkacak pinggang. "Belum jadi istri sah Si Keleng kan? Masih cuman sebatas pelakor kan? Daerah sini, orangnya pada bar-bar loh, Mbak terhadap pelakor. Mbak mau saya panggil orang-orang sini sama ketua RT, buat ngeramein Mbak? Belum sah aja belagu!" "Pak, Buk. Tegur dong, tuh. Mereka belum sah udah n
Kuhentikan aktivitas Rina yang tengah menikmati ASI--ku. Bahkan tak kupedulikan tangisan Rina yang semakin histeris, karena ia belum juga puas menyusu. Tubuh mungilnya kini kembali kugendong menuju tempat perdebatan terjadi. Biarlah Rina menangis sebentar, yang penting rasa penasaran ku terbayarkan. Hanya itu isi pikiranku-------------------------------------------------------Mendapati aku kembali ke ruang tamu, Bang Rio dengan kasar merampas Rina dari gendonganku."Dimas Lihatlah ini!" ucap Bang Rio sambil menunjukan Rina pada pria itu. "aku tidak berbohong padamu. Istriku memang baru saja melahirkan dan kemarin ia memang pendarahan. Tanya saja pada ibu itu kalau kau tidak percaya pada ceritaku kemarin. Ibu itu yang mengatakan istriku pendarahan," tunjuk Bang Rio dengan wajahnya menghadap ke arah Bu Halimah. "Aku memang benar-benar membutuhkan uang Dimas, saat itu dimas." suara suamiku terdengar lirih saat ia menjelaskan. W
"Berhenti, jangan lari!" Teriak seseorang tiba-tiba. "Astagfirullahaladzim, Rina! Abang!" Teriakku panik. Suamiku berlari keluar rumah, masih dalam posisi menggendong Rina. Aku yang sempat menyadari gerak-gerik mencurigakan dari suamiku yang terus menggendong Rina, terduduk lemas sesaat. Apa ini alasan Bang Rio enggan menyerahkan Rina padaku. Agar ia tak terlihat mencurigakan jika kabur. Secepatnya aku berusaha menyadarkan diri, untuk mengejar suamiku yang membawa Rina pergi. Anakku dalam bahaya, itu lah yang terlintas dalam pikiranku. Aku menyusul Dimas beserta satu orang polisi yang terlebih dulu mengejar suamiku. Bang Rio berlari menuju jalan yang berada di ujung jalan rumahku ini. Sebuah jalan besar yang bebas di lewati kendaraan besar sekalipun.