Share

3. Berkelakuan Manis

     Sudah hampir satu jam aku terjaga karena menyusui bayiku. Bolak-balik mengganti saluran TV , tak kutemukan juga siaran yang menarik. Bosan hanya mencari tayangan, aku memilih mematikan TV. Seketika suasana malam ini kembali hening.

     Suamiku masih belum tampak juga batang hidungnya, padahal aku sangat membutuhkan kehadirannya saat ini. Terdengar seseorang membuka pintu masuk rumahku, ku harap semoga itu Bang Rio yang pulang. 

     "Anaaa!"

     Syukurlah ternyata memang suamiku yang pulang. Bang Rio berteriak lantang, memanggilku dari arah dapur.

     Crack!

     Bang Rio menendang keras pintu kamar kami yang tak terkunci. Kali ini suara pintu yang menghantam diding kamar,  berhasil membangunkan ketiga anakku. Bayi yang ada dalam pangkuanku langsung menangis, karena terkejut. Begitu pula dengan Yoga dan Iqbal, mereka terbangun dalam keadaan kaget. Namun, rasa kantuk dan lelah seharian menjagaku, membuat mereka memilih tetap berbaring diam sambil melamun.

     "Kenapa nggak ada makanan di rumah? Dasar istri tak becus! Suami capek kerja di luar, pulang kerumah. Eh, gak ada apa-apa. Aku lapar!" Bentak Bang Rio saat masuk ke dalam kamar.

     "Hei, jawab aku bodoh! Jangan kau lihat saja aku. Sudah berani kau melawanku, yah. Aku ceraikan nanti kau, jadi gembel, kau di jalanan!" ancamnya padaku. Bukannya aku tak mau menjawab. Tapi aku seperti tak memiliki mulut. Entah kenapa setelah mengalami pendarahan tadi pagi, aku terus saja mengalami halusinasi terhadap seluruh anggota tubuhku secara bergantian.

     Aku yang berusaha mengumpulkan kesadaran, melongo heran. Yoga yang tadinya kulihat hanya terbaring, tiba-tiba berlari ke arahku. Kuikuti kemana arah mata Yoga menatap. Ternyata satu kaki Bang Rio sudah melayang di udara, seakan siap menendangku yang masih memangku bayi.

     Gedebuk!

     Tubuh kecil Yoga terpental saat menghalau tendangan Bang Rio, yang tadinya untukku. Kepala kecil yoga terantuk ke tiang kayu yang ada di kamar. Melihat anak sulungku itu terpental dan terbentur,  akhirnya mulutku bisa juga mengeluarkan suara. 

     "Astagfirullah Abaang!" jeritku. Kuletakan bayi perempuanku yang makin menangis histeris, akibat nada-nada tinggi suara suamiku. Suasana malam yang tadinya hening, mendadak riuh. Tangisan bayiku dan teriakan Bang Rio yang saling sahut-menyahut dan tak ada yang mau mengalah.

     "Makanya, kau jawab kalau aku bertanya! Kenapa kau nggak masak? Aku lapar!" bentaknya lagi.

     Masih tak kuhiraukan bentakan suamiku. Aku lebih memilih, menghampiri Yoga yang menangis ketakutan. "Sini Bang," Bujukku pada Yoga. 

     "Aku mau masak apa Bang? Uangku saja tak ada lagi. Abang juga belum ada kasih aku uang?" Jawabku pelan. Aku menatapnya dengan penuh emosi. Cukup aku saja yang ia sering pukul. Jangan anakku.

      "Menjawab pula kau!" Satu tangan Bang Rio berhasil mencengkram kerah dasterku, sementara tangan yang satu lagi sudah mengepal, seakan hendak meninjuku. Dari mulutnya tercium bau alkohol yang menyengat. Pantas saja dia gila.

     "Pak! Jangan pukul ibu, Pak, ibu lagi sakit." ucap Yoga memohon, sambil memeluk Iqbal yang ketakutan.

     Tak tega melihat anak-anakku ketakutan, aku  memutar otak. Untung saja aku hapal tabiat Bang Rio bila mabuk. Aku hanya perlu sedikit mengalah, untuk membuatnya tertidur. 

     "Yah sudah sebentar," Jawabku singkat dan melepaskan diri dari tangannya yang masih mencengkram dasterku. 

     "Abang istirahatlah sebentar, Ana lihat dulu kebelakang, apa yang ada Ana masak," ucapku berbohong, padahal aku hanya ingin mengulur waktu. Mau masak apa, tadi saja kami makan karena Bu Halimah yang memberikan kami lauk.

     Sesuai tebakanku, setelah ku minta Bang Rio untuk berbaring di tempat tidur, suara dengkurannya mulai keluar. 

 

     Kuajak Yoga dan Iqbal keluar dari kamar, menjauh dari Bang Rio yang telah terlelap. Aku meminta mereka melanjutkan tidur di ruang tamu bersamaku. Beralaskan ambal tahu berwarna merah, mereka pun kembali melanjutkan tidurnya. Aku yang seharian merasa sangat lemas dan sempoyongan, mendadak sehat penuh tenaga. Naluriku sebagai ibu yang harus melindungi anak-anaknya dari bahaya, membuatku mendapatkan tenaga extra.

     Biarlah aku mengalah malam ini melawan orang yang sedang tak waras. Tapi lihat saja besok, akan kulawan dia.

***

     Aku tengah bermimpi. Namun, sayup-sayup terdengar sebuah suara memanggilku dari dalam mimpi. Semakin lama, suara itu semakin jelas terdengar. Saat netra ini terbuka, terlihat Bang Rio tengan membangunkanku. 

     "Dek, dek bangun." suara itu lah yang sedari tadi memanggilku di dalam mimpi.

     "Ayo makan dulu, Dek. Abang sudah belikan sarapan," ucapnya lagi padaku sambil tersenyum manis.

 

     Aroma wangi sabun dan sampo dari tubuh suamiku yang berkulit gelap, menyeruak tajam keIndra penciumanku. Berkat wangi segar itu, aku terbangun dengan bugar . Netraku menyapu seluruh ruang tamu yang menjadi tempatku tidur. Kudapati Yoga dan Iqbal yang ternyata sudah duluan bangun dan tengah menikmati sarapan dengan lahap. Melihat mereka makan sambil bercanda riang, bibir ini reflek melengkung ke atas. Kali ini aku bisa tersenyum saat melihat buah hatiku makan dengan lahap.

     "Eh, tuan putri sudah bangun, cantiknya anak Bapak ini," ucap Bang Rio saat melihat bayi perempuan kami ikut terbangun.

     "Cuci muka dulu dek baru makan. Oh, ya. Tolong sekalian bawakan teh yang ada di belakang. Tadi sudah Abang buat, cuman lupa Abang bawa kemari," pintanya lembut padaku.

     Bang Rio memang tipikal orang yang kasar dan kurang bertanggung jawab pada keluarga. Tapi tak menutup kemungkinan dia akan memperlakukan kami layaknya kepala rumah tangga yang baik. Namum, sering di belakang sikap baiknya ada kesalahan yang tengah ia tutupi.

     Setelah mendapatkan kesadaran penuh. Akupun beranjak meninggalkan ruang tamu yang tadi malam terasa dingin, tapi di pagi ini terasa begitu hangat. Langkahku terus tertuju pada kamar mandi, untuk sekedar mencuci muka. 

     Selesainya aku membersihkan wajah dan gigi, akupun kembali ke tempat suami dan anak-anakku berkumpul. Aroma manis dari secangkir besar teh yang kubawa tercium sangat manis. Ah ... Manis sekali pagiku ini. Niat hati mengajak Bang Rio perang pagi ini, lenyap sudah. Aku benar-benar terbuai dengan kehangatan rumah tangga kami pagi ini.

 

     "Dek, itu di meja uang buat belanja sama uang yang Abang pinjam kemarin yah," Tunjuk bang Rio ke arah meja kecil. 

     Awalnya aku tak terlalu memperhatikan apa saja yang ada di atas meja kecil itu. Aku yang sekarang mudah lapar, lebih terfokus pada bungkusan makanan yang ada di meja tersebut. Kesambet hantu apa suamiku pagi ini? karena tiba-tiba dia ingat akan hutangnya padaku.

     Sepanjang pernikahanku yang telah berjalan tujuh tahun. Tak sekalipun Bang Rio pernah mengganti uang yang telah ia pinjam dariku dan ini untuk pertama kalinya ia bertanggung jawab pada hutangnya. Baik itu uang yang ia beri padaku, maupun uang hasil keringatku sendiri, tak sekalipun pernah ia ingat untuk mengembalikan. 

 

     "Alhamdulillah," ucapku penuh syukur. "Abang gajian?" tanyaku penasaran. Namun, Bang Rio tak juga menjawab pertanyaanku. Ia malah asik bermain dengan bayi kami yang jarang ia lihat.

     "Nanti Abang antar adek Ama Yoga berobat yah," ucapnya tak menjawab pertanyaanku. 

     Padahal aku sudah sempat lupa dengan kejadian tadi malam, tapi syukurlah Bang Rio mengingatnya. Setidaknya ia bertanggung jawab dengan perbuatannya.

 

     "Abang kenapa bisa minum? Kan sudah Ana bilang. Kalau kita lagi punya bayi Abang jangan minum, apalagi sampai mabuk," tanyaku mencari tau penyebab ia pulang dengan keadaan mabuk.

     "Abang semalam, panik lihat kamu pingsan, Dek. Apalagi Abang baru sadar, kalau kaki Adek sudah berlumuran darah. Kata Bu Halimah, Adek pendarahan dan itu bisa membahayakan nyawamu. Sementara Abang semalam pulang, gak bawa uang. Upah kami di larikan sama Pemborong, jadi Abang sama teman-teman Abang nunggu di rumahnya semalaman. Makanya Abang gak pulang kemarin." lain yang ditanya, lain yang dijawab. Ciri-ciri orang yang sedang berbohong bukan? Apalagi menjawab pertanyaanku yang sederhana, Ia jawab dengan panjang kali lebar. 

     "Bang, yang Ana tanya. Kenapa Abang tadi malam mabuk? Bukan soal Abang kenapa gak pulang?" Tanyaku mengulang pertanyaan.

     "Dengeri dulu cerita Abang, Dek," Ucapnya terhenti. "Hmm ..., ah sudahlah. Abang ceritain, Adek juga tidak akan mengerti," keluh Bang Rio yang kesal dengan pertanyaanku.

     Sepertinya ia telah kehilangan rangkaian kata kebohongan yang telah ia siapkan. Terlihat dari iris hitamnya yang banyak melirik ke atas kiri, setiap kali menjawab pertanyaanku. Begitu pula hidungnya, yang selalu kembang-kempis setiap berbicara. 100% ciri-ciri orang yang tengah berbohong.

     "Jadi ini uang dari mana? Apa pemborongnya sudah ketemu?" Tanyaku menganti Topic pembicaraan.

 

     "Bukan,itu upah Abang hasil benerin kolam ikan dirumah teman SMA Abang. Awalnya Abang ke sana mau pinjam uang sama teman Abang, biar bawa adek berobat, tapi teman Abang keluar yang ada Ibunya. Ibunya malah tanyak-tanyak kerjaan Abang, pas ibunya tau Abang kuli bangunan, beliau minta Abang bagusin Kolam ikannya," terang bang Rio menceritakan. Kali ini aku percaya ucapan suamiku.

 

     "Emang kolamnya sebesar apa bang, sampai sebanyak ini upahnya," 

     "Cantik kali anak, Bapak  ini." Rasa percayaku mendadak hilang, saat ia tiba-tiba mengalihkan pembicaraan lagi.

     "Bang, sebesar apa?" desakku.

     "Oh, itu bukan seutuhnya uang hasil ngerjain kolam, Dek. Kolamnya gak terlalu besar juga. Sore Abang sudah selesai bagusin kolamnya. Nah, pas Abang mau pulang teman Abang juga pulang. Jadi kami sedikit mengulang masa sekolah. Tiba-tiba Dimas ngajak Abang minum. Abang sudah tolak, Dek sumpah. Abang jelasin kalau Abang lagi gak boleh minum karena punya bayi, tapi dia maksa. Nah, pas Abang pulang Dimas kasi Abang uang lagi.

     Deg!

     Tiba-tiba saja detak jantungku berdegup kuat, saat Bang Rio menyebutkan nama seorang yang pernah menguasai hatiku. Tapi Dimas yang dimaksud Bang Rio pasti bukan Dimas yang ada dalam pikiranku. Karena jika Bang Rio berteman dengannya sewaktu SMA, otomatis Bang Rio juga satu sekolah denganku. "Ah ... Diana sadar lah, lagian nama Dimas nama yang pasaran," Bisik batinku.

 

     Gerah dengan banyaknya pertanyaanku, suamiku terlihat hendak menghindar. 

     "Abang masak air panas buat Beby mandi dulu yah. Siapin lah apa yang mau Adek bawa buat kita pergi berobat."

     "Siapa Beby bang?" Aku mengerutkan kening saat Ia menyebutkan sebuah nama yang asing di rumah ini.

 

     "Nama anak perempuan kita lah Dek, belum ada namanya kan," jawab Bang Rio sambil berlalu meninggalkanku.

     Manis sekali sikapnya hari ini, seandainya Bang Rio memperlakukanku seperti ini setiap hari. Betapa bahagianya aku menjadi istrinya. "Semoga Beby benar-benar bisa membawa pengaruh baik untuk rumah tanggaku," bisik batinku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status