Share

Berjarak

Asha yang malang. Sudah tiga kali pagi, dia di paksa berdiri di kakinya yang rapuh. Kelopak matanya saja masih menyisakan tanda merah. Menyiapkan segala keperluan Harris atas nama kewajiban yang tak bisa ia tinggalkan tanpa alasan. Apalagi Asha tahu betul jika Harris terbiasa akan dirinya. Kasihan katanya. Lagipula banyak yang lebih menderita darinya. Begitu pikirannya menguatkan batin yang tersiksa. Meski di balik ibanya Asha pada Harris ada kata-kata iblis yang terngiang-ngiang di telinganya. Kenapa tak kau tinggalkan saja suamimu itu Sha? Buah hati yang banyak menyelamatkan pernikahan saja tak pernah ia harapkan. Lalu untuk apa bertahan dengan pernikahan yang di bangun hanya demi kesenangan semata? Bertubi-tubi kepalanya di tempa mantra-mantra negatif yang entah muncul dari mana. Isi kepala Asha sudah sangat penuh hingga nyaris meledak. Sejak kejadian Mariana menghubungi suaminya, Asha tidak bisa benar-benar berpikir positif. Semua energinya terkuras untuk menerka-nerka siapa sosok Mariana sebenarnya. Harris yang memilih menggantungkan kalimat penjelasan pada waktu semakin mengikis pikiran Asha. Ada apa dengan mereka?

Asha butuh udara yang sejak tiga hari ini serasa langka di dadanya. Bukan karena sirkulasi rumah yang bermasalah, bukan juga alat pernapasannya yang salah. Tapi rasa cemburu yang menggebu mempersempit ruang gerak udara di tubuhnya. Sejenak menghindari Harris mungkin sedikit mengobati rasa sakitnya. Atau setidaknya memberinya waktu untuk tetap waras menjalani kehidupan pernikahannya yang tak pasti. Meski sekedar bersepeda pagi mengintari komplek yang bisa ia lakukan. Tujuan utamanya adalah melewatkan pagi dengan matahari berseri tanpa melihat sosok Harris di sisi. Asha ingin sendiri.

Biarlah suaminya itu mengisi perutnya sendiri, pergi bekerja seperti biasa tanpa ada sapa. Toh, Asha sudah menyiapkan segala keperluannya.

***

Pagi itu kopi milik Harris sudah sedikit dingin, mungkin karena terlalu awal di buat. Tidak seperti biasanya yang selalu mendadak di seduh saat empunya sudah bersiap menyecap. Pagi yang asing, saat pertama kalinya Harris mengisi perutnya tanpa seorangpun di sisi. Sebenarnya, laki-laki yang baru saja mencukur habis bulu wajahnya itu ingin mencari Asha. Memintanya untuk duduk di sampingnya tanpa perlu bicara sebab paginya serasa hampa tanpa Asha. Hanya saja ia tengah di tunggu tugas negara. Sudahlah biarkan saja, nanti malam juga kamu akan bertemu dengannya, pikirnya. Begitu logikanya menguatkan diri.

"Sha!" sapa lembut Harris saat tak sengaja menjumpai istrinya di depan rumah. Perhitungan waktu yang di lakukan Asha kurang akurat hingga ia masih harus bersitatap dengan suaminga. Namun bukan merajuk namanya jika Asha menjawab sapa suaminya. Asha justru melenggang membentangkan jarak, sengaja berlari menjauh dari jangkauan Harris yang sudah berdiri di depan pintu mobilnya. Asha tergesa menuju rumah, menutup pintu tanpa melirik laki-laki yang berdiri menatapnya pilu. Bukan Harris yang seharusnya tersiksa, karena korbannya adalah Asha. Tapi tatapan netra Harris menggariskan kesedihan mendalam.

Bak film drama, Asha meratap di balik pintu. Memikirkan jalan mana yang harus ia tempuh. Percaya pada Harris yang menggantungkan kata? Bodoh saja! Tapi meninggalkannya pun bukan solusi nyata. Membiarkan pernikahan yang sudah seperti kulit kacang tanpa isi juga melelahkan.

***

Malam menyapa Harris dan Asha dengan hawa dingin yang membekukan tulang. Bukan karena Jakarta tiba-tiba menjadi dingin seperti negara subtropis. Tetapi karena Harris dan Asha membiarkan hubungan dingin di antara mereka semakin beku. Asha sudah cukup baik dengan tak gegabah melangkah dan memberi waktu pada Harris untuk memutuskan nasib pernikahan mereka. Meski Asha sendiri tak tahu batas sabarnya dimana. Sementara Harris bersikukuh tak merasa salah. Harris punya caranya sendiri untuk membuktikannya. Salahnya, Harris tak mau lelah untuk sekedar memberi penjelasan pembuka atas apa yang terjadi padanya. Harris terlalu fokus pada titik utama masalah mereka tanpa mau repot sedikit saja untuk menenangkan perasaan Asha. Harris tak mau rugi mencoba bicara jika kepercayaan Asha padanya tak akan pernah sama.

"Baru setengah sepuluh Sha." ujar Harris yang melihat Asha berbaring memunggunginya. Harris mulai gerah dengan Asha yang sejak pagi membangun tembok kokoh, membentangkan jarak darinya. Belum cukupkah Asha pergi saat pagi? Masih kurangkah waktunya sendiri sementara sepanjang hari tak ada kabar menghampiri? Apalagi maunya saat tak ada sapa setelah lelah bekerja? Hingga ranjang yang seharusnya selalu hangat menjadi begitu sunyi. Harris frustasi.

"Sha!? Kamu dengar saya?" tanya Harris. Wajahnya sengaja mendekat memastikan jika istrinya memang tidak benar-benar tidur. "Saya mau bicara." tambahnya. Harris seperti sengaja memotong-motong kalimatnya. Harris ingin dirinya yakin jika Asha sedang mendengarnya bicara. "Tentang Mariana, Sha." jelasnya lagi.

Asha mengerjap, matanya yang sejak tadi tertutup tiba-tiba terbuka lebar. Terbelalak. Kupingnya tidak salah mendengar jika Harris mengusik wanita yang namanya berkali-kali ia baca dari ponsel suaminya. Rasa ingin tahunya menggebu meski ada setitik cemas yang mengekor. Khawatir jika Mariana yang di sebut-sebut suaminya akan mengubah pernikahannya, entah jadi apa. "Besok akhir pekan, temani saya menemui Mariana. Saya mau kamu yakin sama saya. Mariana yang akan menjelaskan hubungan kami." papar Harris berusaha merobohkan tembok besar di antara mereka. "Kamu bisa dengar penjelasan saya dan Mariana. Saya gak mau bicara sepihak karena saya yakin kamu gak akan percaya sepenuhnya setelah apa yang kamu lihat. Saya hanya ingin kamu percaya sama saya seperti sebelumnya. Saya gak mau ada sisa curiga Sha." hembusan nafas Harris di belakang telinga Asha terasa begitu hangat dan lembut hingga nyaris membuat Asha hanyut. Apalagi suara yang di dengungkan sedikit melegakan. "Masih mau seperti ini kamu Sha?" tanya Harris yang lagi-lagi sia-sia. "Kamu boleh gak bicara dengan saya sampai besok kita ketemu Mariana." Harris menghidu aroma khas pada Asha yang sudah sangat ia rindukan. Andai Asha mau sedikit saja melihatnya, pasti sudah ia sergap istri manisnya itu. Yang tak bisa Harris lewatkan hanya mencium ujung pundak Asha yang terbuka sempurna. Menyentuh lembut lengan atas Asha yang sudah lama tak membangunkan bulu kuduknya. Andai saja Harris tak canggung untuk romantis pada Asha, mungkin birahinya bisa terlampiaskan malam itu. Sayang, Harris terlalu kaku untuk sekedar merayu Asha dengan kalimat-kalimat manis. Harris seperti alergi jika harus jujur tentang perasaan rindunya akan kehangatan ranjang mereka.

Sepanjang malam, Asha yang tak bisa tenang. Dia bergulat sendiri dengan imaginasi-imaginasinya tentang sosok Mariana yang tak lama lagi akan ia temui. Batas sabarnya di ujung tanduk. Andai saja mungkin, Asha ingin sekali mempercepat waktu. Memutarkan jarum jam yang masih beberapa jam lagi menuju besok yang di janjikan Harris. Asha bahkan tengah mempersiapkan kalimat-kalimat yang akan ia gunakan untuk perang mulut jika memang harus di lakukan. Asha nyaris gila memikirkannya.

***

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status