Esok harinya, Amberly sudah bisa mengatasi perasaannya sendiri. Mengakhiri kebersamaannya dengan keluarga mertua dengan manis. Sepanjang perjalanan pulang, mereka banyak diamnya. Hanya sesekali saja Golda mengajaknya bicara. "Lupakan!" Amberly meresponnya, dengan sebuah lirikan, tanpa ucap. Kemudian, "Jangan lakukan lagi. Kamu benar, lupakan saja.""Hubungan kita tetap baik. Jangan lupakan itu." Golda memperingatinya."Akan aku usahakan." Amberly mengiyakan disertai anggukan. Angel tertidur di pangkuannya. Keadaan menjadi hening kembali."Setelah ini kamu mau ke mana?"tanya Golda."Tidak ada. Aku akan diam terus di rumah." jawab Amberly."Sebaiknya begitu." kata Golda kaku. Suasana yang sedikit canggung itu, tidak ada yang dapat memecahkannya. Sampai ke rumah ibunya dan Golda pun, langsung pamit.Amberly sudah tidak peduli lagi. Berharap lelaki itu mundur, membebaskan dirinya dari wasiat itu.Hari sudah menjelang siang, Amberly minta ijin dari Almira, sekalian menitip angel. Ia berg
Kali ini, Golda datang langsung ke kantornya. Menghadapi tiga orang sekaligus. "Sedang ada rapat istimewa?" tanyanya. Menatap ke semua."Tidak. Kita sedang bersiap untuk pulang." jawab Amberly, sambil mengambil tote bag-nya."Lilian, ikut bersamaku. Ada yang harus dibicarakan sambil jalan." Golda menarik tangan Lilian.Lilian yang merasa kaget, spontan menatapnya heran."Mengenai proyek itu, apakah kamu lupa?" Golda memperingatinya dengan tatapan kurang senang."Itu bisa kamu lakukan di hari kerja." Lilian balik mengingatkan Golda."Aku tidak mau menunggu." Golda terus menarik tangan Lilian. "Kalian bisa duduk di belakang." liriknya pada Amberly dan Gathan."Kalau begitu, kamu bersama Lilian saja. Aku bersama Amberly." tentang Gathan."Mengapa kita harus berbeda kendaraan? Kita searah. Mengantar kalian dulu, baru terakhir Amberly. Bukankah aku sangat berbaik hati?" Golda tampak agak kesal."Kamu tidak berpikir, kalau aku dan Amberly punya kepentingan juga?" Gathan tidak takut melakuk
"Kita akan menikah sesuai wasiat abangku." Golda mulai bicara saat mengadakan pertemuan dengan Amberly di suatu tempat privat sebuah restoran."Boleh aku mengajukan syarat?" Amberly mengatakannya."Katakan saja." Golda menatapnya."Kita akan menikah di atas kertas saja. Maaf, bila aku tidak bisa menjalankan kewajibanku sebagai istri nantinya.""Apa ada hubungannya dengan ketakutanmu itu? Beri alasannya padaku." Golda minta penjelasan mengenai fobianya.Amberly terdiam, sangat berat untuk mengatakannya. Namun, lelaki seperti Golda harus diyakinkan, baru dia percaya."Aku wanita yang tidak sempurna, Golda." Amberly menjawabnya."Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Jangan beralasan yang membuatku terus bertanya."Amberly terdiam. Ia berpikir, pasti akan menyusul pertanyaan berikutnya. Yang akan semakin sulit untuk dijawab. Namun, harus dijawabnya juga."Yang jelas, aku tidak akan memberikan diriku padamu." Amberly membuang tatapannya ke tempat lain.Kali ini Golda yang terdiam, berpiki
"Kamu tidak keberatan, kalau kita membuat surat perjanjian pra nikah?" Amberly bertanya pada Golda saat mau pergi ke rumah Ethan."Lakukan apa yang kamu inginkan." jawab Golda.Jawaban Golda membuat Amberly termenung. Sepertinya asal bisa melaksanakan wasiat dari kakaknya, dia mau melakukan apa saja. Tidak ada jalan lain bagi Amberly untuk menolaknya.Mereka mengunjungi makam Ethan, kemudian ke rumahnya. Di sana sudah hadir Maya dan Frank Sander. Semua sudah siap demi persiapan pernikahan besok harinya."Bagaimana ibumu, Amber? Apakah kali ini bisa hadir?" tanya Maya. Setelah mencium menantunya itu."Akan dibawa besok oleh asistennya Golda, Mi." jawab Amberly."Lalu bapakmu?" tanya Maya lagi."Tidak bisa diharapkan, karena sedang dalam pengobatan di Singapura.""Berarti kita-kita saja. Tidak jadi soal." Maya tampak pasrah, pernikahan anaknya masih tertutup dari umum. Mungkin suatu saat, resepsi itu bisa dilaksanakan secara terbuka.Besoknya, acara berlangsung secara Hidmat, lancar tid
"Aku akan berganti pakaian." ucap Amberly agak kikuk."Mataku hanya melihat, tapi niatku tidak bermaksud lain. Lakukan, tanpa merasa terganggu oleh kehadiranku." kata Golda, sambil membalikkan badannya.Hati Amberly merasa bersalah. Dirinyalah yang terlalu banyak menuntut pada suaminya, dan Golda terlalu banyak sabarnya.Dengan cepat Amberly mengambil pakaian yang akan dipakai, lalu masuk ke kamar mandi lagi untuk bergati.Ia harus berani melawan ketakutannya sendiri. Kalau Golda adalah lelaki yang normal, tentu berharap Amberly datang padanya sebagai istri. Menyerahkan dirinya secara total, tanpa keraguan.Amberly ke luar kamar mandi, melihat Golda duduk di sofa menunggunya."Kamu mau duduk bersama suamimu ini?" undangnya, sambil menepuk sofa sebelahnya.Amberly mengangguk sambil duduk seperti yang diminta Golda."Kita berlaku sebagaimana pada umumnya, tidak harus orang lain tahu dalam-dalamnya. Kamu bisa?" tatapnya pada Amberly yang sedang merapikan rambutnya yang masih agak basah k
Meja makan sudah ada Ange yang sedang disuapi Golda. "Ayah yang sangat baik." puji Amberly pada Golda."Aku sangat menyayanginya. Kalau tidak disuapi, cara makannya belum benar." jawab Golda."Anye sudah bisa maka cendili, Ayah." sangkal Angel."Ange harus berusaha lebih baik lagi." bujuk Golda sambil mencium pipi gadis kecil itu.Sebenarnya, membuat malu hati Amberly. Golda begitu baik sikapnya pada Angel juga pada dirinya. Sementara ia sebagai istri, belum bisa memberinya apa-apa.Amberly tersenyum kecil ketika Golda menatapnya. Menyembunyikan rasa gelisah di hatinya.Almira yang ikut duduk di antara mereka, berkata, "Ange sangat dekat dengan Golda. Bukankah itu lebih baik, Am?""Tentu saja, Bu." jawab Amberly, memulai sarapannya."Semoga Ange tidak minta adik cepet-cepet." ucap Golda tanpa dipikir, membuat mata Amberly melotot.Golda tertawa melihat itu. "Tidak masalah kan, Sayang?" goda Golda di depan mertuanya.Meski dengan wajah memerah. Amberly mengangguk. "Iya." jawabnya pend
Tangan Golda berganti jadi mengelus punggung Amberly. Menatapnya dengan seksama."Terus beranikan dirimu untuk menyentuhku. Aku akan memberikan kebebasan padamu, di mana saja." Golda mengucapkannya.Tubuh Amberly bukan patung batu, saat dielus merasakan merindingnya. Begitu juga saat di cium, Golda benar-benar menuntunnya supaya apa yang dilakukan dapat dinikmati oleh Amberly. Namun, tidak semudah itu Amberly dapat menggerakkan hatinya. Dengan konsentrasi untuk dapat mengendalikan ketakutannya saja, tidak bisa fokus dengan apa yang dilakukan Golda.Alhasil, Amberly hanya bisa terdiam, memandangi wajah Golda. "Apa yang kamu lihat dariku.""Kamu tampan." ceplos Amberly."Selain itu?""A–ku … tidak terlalu panik lagi saat berdekatan dan disentuh olehmu."Golda tersenyum, menyibak rambut di kening Amberly.. "Berjuanglah terus, sampai kamu tidak lagi merasakan kepanikan itu. Aku Masih merasakan getaran di tubuhmu. Tapi, setidaknya tidak ada ketakutan yang sangat.""Aku pasti akan melawa
Golda maupun bi Lasih tentu saja terkejut. "Non!" teriak bi Lasih. Sementara Golda yang baru membaca sebagian suratnya, malah tertegun. Jantungnya seakan ditimpa segunung beban. Namun begitu mendengar jeritan bi Lasih, ia jadi terjaga kembali.Segera dia mengangkat tubuh Amberly dan meletakkannya di tempat tidur. Tidak banyak yang bisa dilakukan Golda, hanya menyaksikan bi Lasih yang panik, berusaha menyadarkan Amberly.Surat yang dibacanya tadi, merupakan surat hasil identifikasi DNA dari Golda dan Angel. Yang menyatakan kalau ada kecocokan (positif) sebagai ayah dan anak. Bagaimana Amberly tidak pingsan? Dirinya sendiri merasa shock.Apakah itu hanya lelucon yang iseng dibuat Ethan, sebelum kematiannya? Sungguh! Golda rasa tidak pernah menyentuh perempuan, bahkan yang pernah jadi pacarnya. Dia merasa sangat menjaga kelakuannya selama ini.'Aku pernah meragukan Angel bukan anak Ethan. Karena mengingat kondisinya. Tetapi sekarang ada tes DNA, seperti ini?' Golda terus berbicara ke di