"Jadi bagaimana dengan kencanmu kemarin?"
Rachel mendelik ke arah Hera ketus, hampir saja make up artist yang sedang mendandaninya salah mencoret eyeliner-nya melebar ke samping kalau ia tak memiliki refleks yang bagus. Jangan salahkan ia soal ini, salahkan saja Rachel yang bertanya padanya tanpa tedeng aling-aling.
"Apakah kau tidak memiliki pertanyaan lain untuk ditanyakan padaku selain tentang Gideon?" ketus perempuan itu, kembali duduk tenang menyelesaikan riasannya untuk pemotretan majalah sementara Hera hanya terkikik di sampingnya.
"Well, tidak ada hal yang seru untuk ditanyakan padamu selain soal Gideon," godanya sembari menarik turunkan alis.
"Lagipula entah sudah berapa abad aku tidak melihatmu berkencan," lanjut manajernya itu hiperbolis.
Rachel baru saja akan mengelak dan berteriak 'kami tidak berkencan, ini hanya pura-pura' kalau saja ia tidak ingat kalau ia berada di tempat pemotretan dan ada banyak kru dari majalah yang ia tidak kenal. Ia tidak bisa menghancurkan karirnya bahkan sebelum itu dimulai. Ia tak sebodoh itu.
Ketika riasannya keluar, perempuan itu segera menuju ruang ganti untuk memakai pakaiannya, Hera berjalan mengikuti Rachel.
"Kau tahu mereka akan menanyakan Gideon di wawancaramu bukan?" tanya Hera sembari menatap serius sahabatnya itu.
"Benarkah? Mereka tidak memberikan skripnya padaku," heran Rachel sembari membenarkan bagian depan gaunnya. Hera menghela napas.
"Jangan bilang kau tidak mendiskusikan hal-hal dasar dalam hubungan kalian? Seperti jawaban untuk pertanyaan kapan pertama kali kalian bertemu."
Rachel menggaruk tengkuknya canggung, perempuan itu mencoba menghindari tatapan tajam Hera yang tertuju ke arahnya, tiba-tiba saja kaca ruang ganti terlihat lebih menarik.
"Yah ... aku belum mengobrolkannya dengan Gideon, sih," ringisnya yang mengundang helaan napas lelah dari Hera. Manajernya itu menepuk jidatnya sendiri, sekarang hanya ada sisa waktu empat puluh menit sebelum interview dimulai, untung saja masih ada waktu.
"Telpon Gideon sekarang."
"Hah? Untuk apa? Aku tidak mau."
Hera menepuk jidatnya lagi sembari menyeret Rachel ke luar dari ruang ganti, menyeretnya ke arah balkon studio yang cukup jauh dari kru majalah agar tidak ada orang yang bisa mendengar mereka.
"Kalian perlu berunding, jika jawaban kalian berbeda, kebohongan kalian akan terbongkar," bisik Hera sembari melirik ke sekitar, memastikan situasi aman untuk mereka menyusun strategi.
Ucapan perempuan itu masuk akal, seharusnya dari kemarin Rachel sudah menyusun segalanya agar ia tidak terlalu sering menghubungi Gideon. Demi apapun ia tak ingin berhubungan dengan lelaki itu.
"Baiklah, kau tunggulah di depan aku akan menelponnya," balas Rachel sementara Hera hanya mengangguk dan meninggalkan perempuan bersurai cokelat bergelombang itu sendiri.
Rachel mengembuskan napasnya lelah, kalau dipikir-pikir ia tak mengetahui apapun tentang Gideon, ia tak pernah menanyakan hal-hal pribadi yang disukai dan tak disukai lelaki itu. Lagipula mereka baru bertemu, bagaimana ia bisa tahu? Apa yang publik harapkan.
"Bagaimana kalau ia tak mengangkat telponnya?" bisik perempuan itu pada dirinya sendiri sembari mengaitkan surainya pada belakang telinga. Tepat ketika ia berjalan mendekat ke arah batas balkon suara berat seseorang di seberang sana membuatnya menahan napas.
"Rachel? Ada apa?"
Dia mengangkatnya, Rachel meneguk ludahnya gugup sebelum berdehem pelan, kenapa ia harus gugup? Ini hanya Gideon.
"Ada hal penting yang harus aku bicarakan," balas Rachel sembari bersandar pada pagar pembatas, menaruh ponselnya di depan telinga.
"Aku ada pemotretan hari ini dan aku takut mendapatkan pertanyaan tentangmu saat interview, aku hanya ingin memastikan kita menjawab dengan jawaban yang sama—" ucap Rachel hati-hati, tersenyum pada kru yang lewat di depannya dengan sopan sebelum lanjut berbicara dengan Gideon.
"Agar tidak ada kecurigaan, kau mengerti bukan?"
Ada kekehan pelan yang menguar dari laki-laki beriris legam itu, kekehan yang cukup khas meski Rachel tak mengenal lelaki itu dalam waktu yang lama, ada jeda sebentar sebelum Gideon mulai berbicara.
"Tentu saja, pertanyaan jenis apa yang harus kita diskusikan?"
"Mungkin pertanyaan basic seperti kapan dan dari mana kita bertemu?"
Gideon dan Rachel sama-sama terdiam, jelas-jelas mereka baru pertama kali bertemu beberapa hari lalu. Tapi tentu saja mereka tidak membutuhkan jawaban jujur sekarang.
"Sebenarnya aku sudah menjawab pertanyaan itu untuk wartawan sebuah acara selebritas, maaf tidak mendiskusikannya denganmu terlebih dahulu."
Rachel membelalakkan matanya, "apa maksudmu kau sudah menjawabnya?"
"Aku mengatakan kalau kita bertemu di pesta selepas event butik Clarissa tahun lalu, kita sama-sama menghadiri acara itu bukan?"
Rachel terdiam sembari mengingat-ingat tentang event itu, ia memang datang ke acara itu tapi ia tak bertemu dengan Gideon. Ia bahkan tidak tahu Gideon hadir di acara itu.
"Iya sih aku datang, tapi kita bahkan tidak bertemu dan saling bersapa di sana. Bagaimana kalau orang lain menyadarinya?"
Gideon terkekeh, "tidak akan ada yang sadar, bilang saja kita hanya saling melirik dan jatuh cinta untuk pandangan pertama lalu mengobrol secara privat?"
Sebenarnya jawaban lelaki itu cukup logis tapi itu menggelikan semenjak Rachel tidak percaya dengan hal-hal seperti cinta pandang pertama. Ayolah ini kenyataan bukan sinetron?
"Baiklah, anggap saja begitu aku akan mengikutimu," final perempuan itu sembari melirik ke arah jalan di bawah balkon studio.
"Pertanyaan apalagi yang ingin kau tanyakan?"
"Makanan apa yang kau suka?"
Gideon terkekeh lagi, Rachel jadi kesal sendiri lelaki itu terus tertawa seolah perempuan itu mengucapkan lelucon.
"Apa yang kau tertawakan?"
"Aku hanya tidak menyangka kau begitu tertarik padaku?" goda lelaki itu.
Dari nada bicaranya Rachel sudah mengetahui kalau lelaki itu hanya bercanda jadi ia balas terkekeh judes.
"Aku tidak tertarik denganmu, ini hanya untuk pekerjaan, bodoh," balasnya.
"Baiklah, aku akan menjelaskan semua hal awam tentang diriku agar kekasihku bisa menjawab pertanyaan interviewnya dengan baik."
"Berhenti mengejekku, menyebalkan."
Dan begitulah Rachel mengetahui fakta tentang Gideon, lelaki itu berusia dua puluh lima tahun, empat tahun lebih muda darinya, ia menikah muda dan memiliki anak perempuan berusia lima tahun, makanan yang disukainya adalah sushi, dan buah kesukaannya adalah semangka. Interview hari itu berjalan dengan lancar sesuai harapannya.
Suasana hati perempuan itu cukup baik ketika ia pulang ke kediamannya, bahkan Hera yang mengantarnya pulang meliriknya heran.
"Apa yang membuatmu tersenyum seperti itu?"
"Siapa yang tersenyum?"
Hera memutar bola matanya, "kau, tentu saja."
Rachel memilih untuk tidak menghiraukan perempuan itu, ia berjalan menuju kamar tidurnya dan segera membersihkan diri. Ia tak sabar untuk beristirahat setelah seharian berpose di depan kamera.
Sebelum perempuan itu tertidur ia mengambil ponselnya di atas nakas, setidaknya ada satu hal lagi yang harus ia lakukan sebelum tidur.
Ya, menghubungi Gideon. Bagaimana pun juga ia harus berterima kasih karena lelaki itu membantunya hari ini.
[Terima kasih untuk hari ini, aku akan mentraktirmu? Kapan kau luang?]
Rachel menatap layar komputernya sembari mengusap dahinya yang berkerut tak nyaman sementara Hera menyikunya dari samping, membuyarkan lamunannya."Apa yang kau pikirkan? Kerutanmu akan semakin dalam kalau kau terus memasang raut jelek seperti itu.""Diam." Rachel menyandarkan punggungnya pada kursi sembari mengembuskan napas."Kenapa kau masih di sini? Bukankah kau akan bertemu dengan Gideon?" tanya Hera santai sembari meminum kopinya, Rachel melirik perempuan itu melalui ekor matanya."Janjinya rabu depan, aku tak ingin terlalu sering bertemu dengannya.""Bukankah itu terlalu lama?" tanya Hera lagi."Tidak. Aku tidak ingin kami terlihat seperti pasangan yang terlalu clingy karena setiap hari bertemu," keluh Rachel sembari merebut kopi dingin dari tangan Hera dan meminumnya, seharusnya ia juga membelinya sebelum datang ke kantor tadi."Memangnya kenapa kalau terlihat clingy? Bukankah itu bagus?" seru Hera jahil sembari merebut kembali kopinya yang sudah hampir habis, Rachel merengut.
"Kalian saling mengenal?" Rachel tersadar dari keterkejutannya ketika Gideon menginterupsi ia dan Angie yang terlihat sama-sama kebingungungan dengan pertanyaan lelaki itu."Ya, begitulah ceritanya panjang," tukas Rachel pendek sementara Angie tidak mengucapkan apa-apa, ia terlihat berinteraksi dengan Luna.Mereka terlihat akrab, pikir Rachel. Dalam benaknya ia menebak apa hubungan Angie dengan Gideon? Apakah ia mantan istri Gideon? Seingatnya mantan istri lelaki itu aktris juga? Berarti bukan, lantas di mana mereka saling mengenal dan bagaimana bisa ia bertemu dengan perempuan itu sekarang dalam situasi seperti ini? Dunia memang sempit."Luna, main sama tante Angienya nanti lagi ya? Hari ini kita pergi sama tante Rachel dulu, Luna mau kan?" Lamunan Rachel terhenti ketika tatapan anak perempuan kecil itu terarah padanya, ia tersenyum kaku sembari merendahkan tubuhnya untuk menyapa anak itu. Tak seburuk dugannya Luna balas tersenyum dan mengangguk."Pinter, ya udah pamit dulu sama ta
Rachel menjauhkan ponselnya ketika mendengar teriakan Hera, manajer sekaligus sahabatnya itu lantas berujar maaf."Dia tidak melakukan apa-apa padamu kan?""Atau jangan-jangan dia merencanakan sesuatu yang buruk lagi?"Rachel menggelengkan kepalanya, meskipun ia tahu Hera tak bisa melihatnya di seberang sana. Perempuan itu mengembuskan napas lelah."Kurasa tidak, lagi pula kita sudah tidak bertemu selama lebih dari lima tahun ... pertemuan kami kemarin pun hanya kebetulan saja," tukas Rachel pelan yang lantas disetujui oleh manajernya."Benar juga, tapi aku tidak menyangka kalau Gideon mengenal Angie," gumam Hera pelan."Kau yang mengenalkanku padanya kenapa kau tidak mengetahui dengan siapa ia berteman?""Hei, aku tidak sebegitu dalam memperhatikannya Chel ..."Rachel terdiam, sebenarnya ia juga mempertanyakan bagaimana Angie dan Gideon bisa saling mengenal? Dan sedang apa perempuan itu di playgroup? Menjemput anaknya? Setahunya Angie juga belum menikah, atau mungkin sudah tanpa sepe
Gideon memutuskan untuk secara pribadi menemui Rachel untuk membahas terkait pemotretan sekaligus jadwal promosi pertama mereka. Sebenarnya ini sudah pertemuan ketiga mereka yang terkait pekerjaan tapi tidak seperti pekerjaan karena mereka bertemu tanpa diantar oleh manajer mereka masing-masing —tapi sejujurnya Gideon masih belum tahu apa-apa tentang perempuan itu, begitupun sebaliknya. Beberapa detik sebelum lelaki itu menghubungi nomor Rachel, ia melihat kalau perempuan itu sudah menelepon lebih dahulu. Ia menjawabnya pada dering kedua.Dua aktor itu memutuskan untuk pergi ke kafe yang tidak terlalu strategis lokasinya untuk menghindari keramaian, meskipun publik sudah mengetahui tentang hubungan mereka ia masih menginginkan privasinya terjaga. Gideon sedang duduk di bangku terdekat dari tempat parkir ketika ia mengirim pesan pada Rachel kalau dia pergi ke tempat pertemuan lebih dulu. Sekarang sudah jam dua siang, seharusnya Rachel akan segera sampai beberapa menit lagi menurut per
Pertemuan terkait projek pertama sebelum acara televisi itu dimulai ternyata hanya dihadiri oleh Rachel hari itu. Gideon absen dengan alasan yang Rachel tidak ketahui, perempuan itu tidak berpikir terlalu panjang karena ia bisa menanyakannya nanti atau mungkin Hera lebih tahu tentang itu mengingat manajernya selalu tahu dengan gosip-gosip selebritas."Semenjak menandatangi kontrak kenapa jarang menghubungiku, apa kau sudah melupakanku?" Rachel mengalihkan perhatiannya pada pria berkaca mata yang duduk di meja kerjanya, tak lain dan tak bukan adalah direktur agensinya."menghindariku termasuk resumemu untuk bersiap-siap dalam acara realitas itu?” tanyanya lagi."Tidak ada yang perlu aku ucapkan mengingat Hera pasti memberitahumu semuanya pak tua, lagipula bukannya kau sempat mengancam akan menendangku dari agensi kalau aku tidak mengikuti acara ini,” sinis Rachel yang mengundang tawa sang direktur."Ayolah, Chel. Kau tahu kalau kau satu-satunya yang bisa aku harapkan."Ya, Rachel tahu
"Seperti terjadi banyak hal yang mengganggumu, ayolah Chel ... aku sudah mengenalmu untuk waktu yang lama, kenapa kau tidak menceritakan semuanya padaku?"Rachel terdiam, perempuan itu memilih menggigit sedotan plastik minumannya tanpa menjawab. "Aku tidak khawatir padanya aku hanya penasaran.""Kenapa tak kau tanyakan langsung saja? Untuk apa saling bertukar nomor ponsel kalau tidak digunakan?" tanya Hera lagi yang dibalas Rachel dengan helaan napas."Kau tidak ingin terdengar khawatir olehnya? Oh ayolah Chel, sampai kapan kau akan memberi makan egomu," keluh manajernya itu sembari menyandarkan punggungnya di kursi sementara Rachel masih sibuk dengan pikirannya sendiri."Lagipula kenapa aku harus memakai effort dalam hubungan ini? Semuanya hanya pura-pura, bagaimana pun juga apa yang terjadi pada Gideon bukan urusanku," tukas Rachel."Hubungan bisnis bukan berarti kau tidak bisa berteman dengannya," ucap Hera yang mengundang perhatian perempuan bersurai cokelat yang duduk di seberan
Pekan terakhir bulan Mei, Rachel berkunjung ke rumah kakak sepupu sekaligus seniornya di agensi. Ia biasanya datang karena perempuan itu memintanya untuk menjaga anak-anaknya. Rachel tentu saja dengan suka rela bersedia, lagipula ia tak punya jadwal.Rachel mendongak dari salinan majalah yang sedang dibolak-baliknya dan berkedip pada wanita yang lebih tua yang baru aja duduk dihadapannya."Kenapa kau menatapku seperti itu? Ada masalah apa?"Siska mencondongkan tubuh ke depan dan menatap mata Rachel seperti cermin yang mematut seluruh tubuhnya. “Tidak ada apa-apa Chel, aku hanya merindukan adik cantikku ini.” Perempuan itu berpaling dari Rachel sebentar, sebelum diam-diam memakai anting-antingnya. “Oh ya, bukankah Gideon mengadakan acara karpet merah hari ini? Seharusnya kau pergi bersamanya.”"Kau tahu darimana soal itu?"“Aku melihatnya di televisi beberapa waktu lalu,” jawab Siska singkat, perempuan itu adalah seniornya di agensi.“Ngomong-ngomong, Ane berpikir dia sangat tampan, s
Begitu anak-anak pergi, Rachel mengalihkan perhatiannya kembali pada Gideon, tatapannya menusuk. "Mengapa kau di sini?" tanya perempuan itu, sebelum berjalan mendekat ke arah lelaki yang lebih muda untuk memberi isyarat pada jenis pakaian yang dikenakan Gideon saat itu."Dan ada apa dengan pakaianmu? Kuno."“Tidak ada gunanya pergi dan berdandan modis kalau kau tidak ada di sana,” tukas Gideon acuh sambil mengangkat bahu.“Tapi kau bisa berbicara dengan stylist designer dan penata artis bodoh,” tegur Rachel ketus. “Kau tahu, membangun koneksi, rantai sosial dan semua hal yang bisa membuatmu memiliki teman baru. Perusahaan telah berhasil meyakinkan seseorang untuk memotret kita untuk majalah, tetapi kau juga harus melakukan beberapa hal sendiri.”"Baiklah, baiklah aku mengerti," keluh Gideon pelan, “Aku benar-benar seorang amatir di matamu? Sudahlah. Tapi aku di sini juga untuk membangun koneksi, jadi tidak apa-apa bukan jika aku tinggal di sini? Aku ingin mengenalmu lebih baik, apalag