공유

Bab 2 Jemputan Pagi

작가: Fazarardian
last update 최신 업데이트: 2025-08-15 10:33:16

“Bukan jual diri. Lo jual pengaruh lo. Dengan harga yang bisa nolong lo dan Nadine lebih dari cukup.”

Kata-kata Niko semalam masih berputar di kepala Raline. Matanya perih karena semalaman tak tidur. Surat kontrakan yang kusut masih tergeletak di meja, mie instan di panci sudah dingin, sementara di luar hujan subuh turun tanpa henti.

Ia memejamkan mata. Bayangan Nadine menangis diam-diam kembali hadir, mengeluh tak bisa ikut praktikum karena tak ada biaya. Ingatan itu menekan dadanya seperti beban batu.

Raline mendesah, lalu menatap langit-langit kamar kontrakan. Apa gunanya idealisme kalau adiknya sendiri hancur di depan mata?

Suara langkah pelan terdengar dari kamar. Nadine keluar dengan wajah sembab, rambut acak-acakan.

“Kak, kenapa nggak tidur?” tanyanya serak.

Raline tersenyum tipis. “Lagi nggak ngantuk.”

Nadine menggigit bibir, lalu tiba-tiba air matanya pecah. “Aku nggak bisa ikut praktikum, Kak. Semua mahasiswa wajib ikut. Biayanya mahal. Aku juga takut alergi kambuh… obatku udah nggak ditanggung BPJS. Aku”

Kalimatnya terhenti. Bahunya bergetar, suara tercekat.

Raline buru-buru meraih bahu adiknya, menariknya ke dalam pelukan. Hatinya berdenyut sakit. Ingatan wajah ibu mereka di rumah sakit muncul, lengkap dengan tangisan yang berusaha ditahan.

“Din, dengerin Kakak. Kamu nggak boleh berhenti. Apa pun yang terjadi, Kakak bakal cari jalan.”

Namun bahkan ketika kalimat itu keluar, hatinya terasa hampa. Jalan? Dari mana? Endorse terakhir sudah cair sebulan lalu. Proyek copywriting sedang sepi. Kontrakan menunggak. Dan waktu tidak pernah mau menunggu.

Tok! Tok! Tok!

Ketukan keras di pintu membuat keduanya tersentak. Raline refleks berdiri. Nadine menatap kakaknya penuh tanya.

“Siapa pagi-pagi gini?” gumam Raline, melangkah ke pintu.

Begitu pintu terbuka, dua pria bersetelan hitam berdiri tegak. Ekspresi mereka datar, identitas perusahaan Rajawali terpampang jelas di kartu yang mereka tunjukkan.

“Bu Raline Kirana?” suara salah satu dari mereka berat, dingin. “Kami diminta menjemput Anda. Mobil sudah menunggu.”

Raline membeku. Nadinya berdegup tak karuan. “Menjemput? Saya nggak pernah”

Kalimatnya terputus ketika Nadine muncul dari kamar, matanya penuh tanya. “Mbak? Ada apa?”

Raline tercekat. Napasnya tersengal. Ingatan tentang kontrak, uang, dan wajah Nadine yang menangis semalam menyerbu bersamaan. Kakinya terasa goyah, seperti kehilangan pijakan.

Salah satu pria kembali bersuara. “Tolong ikut bersama kami. Proses administratif tidak akan lama.”

Raline menggertakkan gigi. Tangannya mengepal di sisi tubuh. Ia ingin menolak, ingin menutup pintu rapat-rapat. Tapi bayangan surat administrasi kampus Nadine, biaya obat yang terus naik, dan kontrakan yang hampir disegel kembali terlintas.

Ia menelan ludah, lalu menoleh pada adiknya. “Din, tunggu di rumah. Jangan keluar.”

“Mbak…” suara Nadine bergetar, matanya berkaca-kaca.

Raline berusaha tersenyum. “Nggak apa-apa. Ini cuma urusan kerjaan.”

Sedan hitam berkilap sudah menunggu di depan kontrakan. Nadine berdiri di balik tirai jendela, menatap punggung kakaknya yang berjalan di bawah gerimis. Raline menunduk, wajahnya dingin tapi langkahnya mantap.

Begitu pintu mobil terbuka, aroma kulit sintetis dan wangi parfum mahal langsung menyeruak. Seorang driver berusia 40-an dengan wajah kaku hanya memberi anggukan singkat.

“Tujuan?” Raline bertanya hati-hati.

“Pak Raffa sudah menunggu,” jawabnya singkat.

Nama itu membuat bulu kuduk Raline berdiri. Raffa, CEO Rajawali. Lelaki yang ia kritik habis-habisan di salah satu video kontennya: dingin, kaya, tanpa empati.

Ia menatap keluar jendela ketika mobil mulai melaju. Hujan tipis menempel di kaca, menggambar garis-garis samar. Tangannya bergetar di pangkuan, tapi ia genggam erat.

“Lo terima, karena Nadine,” suara Niko semalam kembali terngiang. “Bukan karena duitnya.”

Raline memejamkan mata, menahan sesak di dada. Iya, Nik. Demi Nadine. Semuanya cuma demi dia.

Mobil berhenti di depan sebuah gedung tinggi berlapis kaca, berkilau diterpa cahaya pagi yang muram. Dua pria bersetelan hitam turun lebih dulu, membuka pintu untuknya.

“Silakan, Bu Raline.”

Raline melangkah turun. Sepatunya menjejak lantai marmer basah. Gedung itu menjulang, seperti raksasa yang siap menelannya hidup-hidup.

Di dalam, lobi dipenuhi cahaya putih. Suara hak sepatu dan denting lift menggema. Semua tampak rapi, steril, dan asing.

Seorang asisten perempuan berpenampilan elegan menghampiri. “Selamat pagi, Bu Raline. Silakan ikut saya. Pak Raffa sudah menunggu di ruang rapat.”

Nama itu lagi. Raffa.

Raline menelan ludah. Setiap langkah menuju lift terasa seperti menghitung mundur detik menuju jurang. Ia bisa saja berbalik sekarang, menolak, lari kembali ke kontrakan sempitnya. Tapi bayangan Nadine yang menangis, surat kampus, obat alergi semuanya menahannya di tempat.

Lift berbunyi. Pintu terbuka. Asisten itu memberi isyarat.

“Silakan masuk.”

Raline melangkah masuk. Pintu lift tertutup dengan suara dentum pelan.

Jantungnya berdegup gila. Napasnya pendek. Bayangan wajah seorang pria dengan senyum dingin yang pernah ia lihat di berita kembali muncul di kepalanya.

Dalam hati, Raline berbisik getir. Selamat datang di neraka enam bulan.

Pintu lift terbuka di lantai atas. Raline mendongak. Di ujung ruangan luas yang dipenuhi dinding kaca, seorang pria berdiri dengan tangan terlipat di dada. Tatapannya dingin, menembus, seakan sudah tahu seluruh dosa dan rahasia Raline.

“Selamat datang, Bu Raline,” suara berat itu terdengar. “Saya Raffa.”

이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • Pernikahan kontrak : Antara Cinta dan Dendam   Bab 7 – Malam Pemungutan Suara

    “Aku keberatan! Tidak bisa begini caranya!” Suara Pak Bima pecah lantang, memotong suasana yang tadinya hening di ruang rapat utama Rajawali Group. Lampu-lampu kristal yang menggantung di langit-langit memantulkan kilauan dingin, membuat wajah-wajah yang duduk melingkar tampak semakin tegang. Herman mengetukkan palu kecil di meja panjang kayu mahoni, suaranya bergema hingga ke sudut ruangan. “Keberatanmu tidak berarti apa-apa, Bima. Semua sudah disepakati. Malam ini kita ambil keputusan. Tidak ada alasan menunda.” Sri menyilangkan tangan di dada, senyumnya tipis penuh tantangan. “Semakin lama menunggu, semakin rapuh posisi perusahaan. Kita butuh pemimpin yang benar-benar siap, bukan yang masih sibuk membuktikan diri.” Raffa yang duduk di kursi utama menatap mereka dengan rahang mengeras. Matanya dingin, tapi di balik itu amarah membara. “Kau bicara seolah Rajawali hanyalah kursi kekuasaan. Padahal ini warisan, darah, dan kerja keras ayahku. Bukan mainan.” “Lalu apa buktinya kau b

  • Pernikahan kontrak : Antara Cinta dan Dendam   Bab 6 – Kontrak yang Terbuka

    “Aku rasa… sudah cukup sandiwara ini.” Suara Herman terdengar dingin, menusuk seperti belati yang baru saja ditarik dari sarungnya. Diiringi gesekan kertas, ia mengeluarkan beberapa lembar dari map merah di tangannya. Gerakannya tenang, namun penuh wibawa yang sengaja dipertontonkan. Matanya menyapu seluruh ruangan, memastikan setiap orang menahan napas dalam diam, menunggu kalimat berikutnya. “Lihatlah ini,” katanya lantang, sambil mengangkat lembaran itu agar semua mata dapat melihat. “Kontrak pernikahan yang ditandatangani Raffa Al Mahendra dengan… Raline.” “Tidak mungkin…” suara salah satu sepupu Raffa pecah, hampir menyerupai teriakan yang disusul bisikan gempar di sekeliling meja panjang ruang rapat Rajawali Group. “Jadi benar? Semua ini hanya pura-pura?” Raline merasakan dunia seakan runtuh di sekelilingnya. Lututnya gemetar seolah tak mampu lagi menyangga tubuh. Pandangannya kabur sesaat, wajah-wajah di depannya berubah menjadi bayangan samar yang menindih dadanya. Setiap

  • Pernikahan kontrak : Antara Cinta dan Dendam   BAB 5 Meja panjang yang membakar

    Ketukan keras palu kayu menghantam meja panjang berlapis kaca. Suara itu bergema di seluruh ruangan, memecah bisikan-bisikan kecil yang sempat terdengar. Raline terlonjak sedikit di kursinya, dadanya langsung berdegup lebih cepat. “Sidang keluarga Rajawali Group, resmi dibuka.” Suara Herman Al Mahendra begitu tegas, dalam, dan menusuk. Tatapannya menyapu seisi ruangan seperti mata elang yang mencari mangsa. Lampu kristal di langit-langit memantulkan cahaya dingin, seakan menyorot wajah-wajah yang sedang menunggu tontonan. Di sisi kanan meja, para anggota keluarga besar Rajawali duduk berderet rapi, sebagian sudah menyiapkan berkas-berkas, sebagian lain hanya menyilangkan tangan dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu. Raline berusaha duduk tegak. Tangannya menggenggam ujung rok jas biru gelapnya begitu erat hingga buku jarinya memutih. Di sampingnya, Raffa duduk dengan wajah setenang batu, tanpa sedikit pun ekspresi. “Jadi,” Herman membuka map cokelat di depannya, kertas berde

  • Pernikahan kontrak : Antara Cinta dan Dendam   Bab 4 Api di Balik Sorotan

    Blitz kamera meledak bagai kilatan petir begitu pintu konferensi terbuka. Cahaya-cahaya putih menyambar wajah Raline, membuat matanya silau dan kakinya sempat goyah. Ruangan penuh sesak oleh wartawan yang sudah menunggu sejak pagi, suara mereka meledak bersamaan bagaikan gelombang yang menelan semua kewarasan. “Pak Raffa! Apa benar kabar pertunangan itu?” “Siapa perempuan di samping Anda?” “Apakah ini pernikahan kilat demi menyelamatkan Rajawali Group?” Suara-suara itu menusuk telinga. Raline merasa tubuhnya bagai boneka yang dipajang di etalase, ditatap dari segala arah tanpa bisa bersembunyi. Nafasnya pendek-pendek, dadanya bergetar. Seketika, jemari dingin Raffa menyentuh tangannya. Ia menggenggam erat, memberi tekanan yang membuat Raline sedikit sadar. “Tenang,” bisiknya, suaranya rendah namun tegas. Dengan langkah mantap, Raffa maju ke depan. Wajahnya tanpa senyum, namun karismanya menekan ruangan. Blitz kamera semakin brutal, menyalak seperti serangan beruntun. “Ya,” suar

  • Pernikahan kontrak : Antara Cinta dan Dendam   Bab 3 Tawar-Menawar Dingin

    Selamat datang, Bu Raline.” Suara itu berat, dalam, dan menekan, seolah bisa menembus lapisan terdalam hati orang yang mendengarnya. Raline mendongak. Di ujung ruangan luas dengan dinding kaca setinggi langit-langit, seorang pria berdiri tegak. Pria itu mengenakan setelan hitam sempurna, dasi perak terikat rapi di leher. Rambutnya hitam pekat, disisir ke belakang tanpa satu helai pun lepas. Tatapannya dingin, setajam pisau, seakan hendak menguliti lawan bicara. Raffa. CEO Rajawali, sekaligus orang yang paling ia benci beberapa minggu terakhir karena video kritiknya. Kini berdiri di hadapannya, nyata, berwujud, dengan aura yang membuat seluruh ruangan seolah menunduk padanya. Raline menelan ludah, tapi berdiri tegak. “Saya Raline. Kita langsung saja, saya nggak suka basa-basi.” Alis Raffa terangkat tipis. Senyum samar melintas di bibirnya, lebih mirip ejekan daripada keramahan. “Langsung to the point. Saya suka orang seperti itu.” Niko yang tadi mengantar Raline ke ruanga

  • Pernikahan kontrak : Antara Cinta dan Dendam   Bab 2 Jemputan Pagi

    “Bukan jual diri. Lo jual pengaruh lo. Dengan harga yang bisa nolong lo dan Nadine lebih dari cukup.” Kata-kata Niko semalam masih berputar di kepala Raline. Matanya perih karena semalaman tak tidur. Surat kontrakan yang kusut masih tergeletak di meja, mie instan di panci sudah dingin, sementara di luar hujan subuh turun tanpa henti. Ia memejamkan mata. Bayangan Nadine menangis diam-diam kembali hadir, mengeluh tak bisa ikut praktikum karena tak ada biaya. Ingatan itu menekan dadanya seperti beban batu. Raline mendesah, lalu menatap langit-langit kamar kontrakan. Apa gunanya idealisme kalau adiknya sendiri hancur di depan mata? Suara langkah pelan terdengar dari kamar. Nadine keluar dengan wajah sembab, rambut acak-acakan. “Kak, kenapa nggak tidur?” tanyanya serak. Raline tersenyum tipis. “Lagi nggak ngantuk.” Nadine menggigit bibir, lalu tiba-tiba air matanya pecah. “Aku nggak bisa ikut praktikum, Kak. Semua mahasiswa wajib ikut. Biayanya mahal. Aku juga takut alergi ka

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status