Selamat datang, Bu Raline.”
Suara itu berat, dalam, dan menekan, seolah bisa menembus lapisan terdalam hati orang yang mendengarnya. Raline mendongak. Di ujung ruangan luas dengan dinding kaca setinggi langit-langit, seorang pria berdiri tegak. Pria itu mengenakan setelan hitam sempurna, dasi perak terikat rapi di leher. Rambutnya hitam pekat, disisir ke belakang tanpa satu helai pun lepas. Tatapannya dingin, setajam pisau, seakan hendak menguliti lawan bicara. Raffa. CEO Rajawali, sekaligus orang yang paling ia benci beberapa minggu terakhir karena video kritiknya. Kini berdiri di hadapannya, nyata, berwujud, dengan aura yang membuat seluruh ruangan seolah menunduk padanya. Raline menelan ludah, tapi berdiri tegak. “Saya Raline. Kita langsung saja, saya nggak suka basa-basi.” Alis Raffa terangkat tipis. Senyum samar melintas di bibirnya, lebih mirip ejekan daripada keramahan. “Langsung to the point. Saya suka orang seperti itu.” Niko yang tadi mengantar Raline ke ruangan kini menutup pintu dengan hati-hati. Hening sejenak menyelimuti, hanya terdengar gemericik hujan di balik kaca. Raffa melangkah mendekat. Sepatu kulitnya beradu dengan lantai marmer, suaranya berat dan mantap. “Saya sudah baca semua portofolio Anda. Tulisan Anda tajam. Anda punya pengaruh. Dan justru itu yang saya butuhkan.” Raline menyilangkan tangan di dada. “Saya juga tahu siapa Anda. Laki-laki yang memecat ribuan karyawan tanpa pesangon.” Udara seakan mengeras. Senyum samar di bibir Raffa sirna, berganti tatapan dingin. “Anda cukup berani bicara begitu di depan saya.” “Kalau saya nggak berani, saya bukan Raline,” balasnya cepat. Mata mereka saling mengunci, percikan ketegangan memenuhi udara. Untuk sesaat, waktu terasa berhenti. Raffa lalu tertawa kecil, suara rendahnya bergema di ruangan. “Bagus. Keberanian itu yang membuat Anda menarik untuk publik.” --- Ia menarik kursi, duduk di hadapan meja panjang yang dipenuhi dokumen. Lalu menunjuk kursi seberangnya. “Duduklah. Kita bicara kontrak.” Raline tetap berdiri sejenak, seakan menimbang apakah ia harus patuh atau membangkang. Tapi akhirnya ia menarik kursi, duduk dengan tubuh kaku. “Jadi?” suaranya datar. Raffa menyandarkan tubuh, jari-jarinya mengetuk pelan di meja. “Saya butuh Anda untuk memainkan peran. Di depan publik, Anda akan jadi istri saya. Hanya formalitas, hanya citra. Tidak ada kewajiban lain. Kontrak enam bulan, dan semua kebutuhan Anda akan ditanggung.” Raline mendengus. “Kedengarannya manis. Tapi apa jaminannya ini bukan jebakan?” Tatapan Raffa menajam. “Jebakan? Kalau saya ingin menjebak, saya tidak perlu susah-susah. Saya bisa menghancurkan karier Anda hanya dengan satu telepon.” Raline tersentak, tapi ia cepat menegakkan dagu. “Coba saja. Kalau lo pikir gue gampang ditakutin, lo salah besar.” Senyum tipis kembali muncul di wajah Raffa. “Menarik.” Keheningan kembali merebak. Raline bisa merasakan detak jantungnya berpacu liar. Tangannya mengepal di bawah meja, sementara pikirannya berlari pada wajah Nadine. Ia menarik napas panjang. “Oke. Anggap saya terima. Tapi ada syarat.” Alis Raffa terangkat. “Syarat?” “Gue nggak akan jadi boneka yang diem aja. Gue nggak akan pura-pura cinta sama lo di depan kamera. Gue cuma bakal main peran sesuai yang lo minta, nggak lebih. Dan satu lagi…” ia mencondongkan tubuh, menatap lurus. “…kalau gue tahu lo bohong atau mau manfaatin gue lebih dari kontrak, gue akan buka mulut ke publik. Dengan bukti.” Ruangan terasa bergetar oleh keberaniannya. Raffa menatapnya lama, seakan menimbang seberapa jauh perempuan ini bisa melawan. Lalu ia tersenyum tipis, senyum yang sama sekali tidak mengandung kehangatan. “Deal.” Sebuah map hitam disodorkan ke meja. Di dalamnya, kontrak dengan kop Rajawali sudah tersusun rapi. Pena mahal diletakkan di sampingnya. “Silakan tanda tangan.” Raline menatap dokumen itu. Jemarinya sempat gemetar ketika menyentuh ujung kertas. Ingatan tentang Nadine, obat alergi, biaya kampus, kontrakan menunggak, semuanya menghantam sekaligus. Tangannya meraih pena. Ujungnya nyaris menyentuh kertas. Tapi sebelum tinta pertama tergores, sebuah ketukan cepat terdengar di pintu. Tok! Tok! Tok! Niko masuk dengan wajah tegang. “Maaf, Pak. Ada masalah mendesak. Media sudah mencium kabar soal rencana pernikahan pura-pura ini.” Raline membeku. Matanya membelalak, jantungnya seolah jatuh ke perut. Ia menoleh ke Raffa, mencari jawaban. Namun pria itu hanya bersandar tenang, matanya menyipit penuh kalkulasi. “Cepat juga mereka,” gumamnya rendah. “Sepertinya permainan sudah dimulai.” Raline menggenggam pena lebih erat, tapi tangannya bergetar hebat. Permainan apa yang sebenarnya gue masukin diri gue ke dalamnya? Raffa menoleh padanya, tatapannya menusuk. “Ujian pertama lo datang lebih cepat dari yang kita kira. Siap, Bu Raline?”“Aku keberatan! Tidak bisa begini caranya!” Suara Pak Bima pecah lantang, memotong suasana yang tadinya hening di ruang rapat utama Rajawali Group. Lampu-lampu kristal yang menggantung di langit-langit memantulkan kilauan dingin, membuat wajah-wajah yang duduk melingkar tampak semakin tegang. Herman mengetukkan palu kecil di meja panjang kayu mahoni, suaranya bergema hingga ke sudut ruangan. “Keberatanmu tidak berarti apa-apa, Bima. Semua sudah disepakati. Malam ini kita ambil keputusan. Tidak ada alasan menunda.” Sri menyilangkan tangan di dada, senyumnya tipis penuh tantangan. “Semakin lama menunggu, semakin rapuh posisi perusahaan. Kita butuh pemimpin yang benar-benar siap, bukan yang masih sibuk membuktikan diri.” Raffa yang duduk di kursi utama menatap mereka dengan rahang mengeras. Matanya dingin, tapi di balik itu amarah membara. “Kau bicara seolah Rajawali hanyalah kursi kekuasaan. Padahal ini warisan, darah, dan kerja keras ayahku. Bukan mainan.” “Lalu apa buktinya kau b
“Aku rasa… sudah cukup sandiwara ini.” Suara Herman terdengar dingin, menusuk seperti belati yang baru saja ditarik dari sarungnya. Diiringi gesekan kertas, ia mengeluarkan beberapa lembar dari map merah di tangannya. Gerakannya tenang, namun penuh wibawa yang sengaja dipertontonkan. Matanya menyapu seluruh ruangan, memastikan setiap orang menahan napas dalam diam, menunggu kalimat berikutnya. “Lihatlah ini,” katanya lantang, sambil mengangkat lembaran itu agar semua mata dapat melihat. “Kontrak pernikahan yang ditandatangani Raffa Al Mahendra dengan… Raline.” “Tidak mungkin…” suara salah satu sepupu Raffa pecah, hampir menyerupai teriakan yang disusul bisikan gempar di sekeliling meja panjang ruang rapat Rajawali Group. “Jadi benar? Semua ini hanya pura-pura?” Raline merasakan dunia seakan runtuh di sekelilingnya. Lututnya gemetar seolah tak mampu lagi menyangga tubuh. Pandangannya kabur sesaat, wajah-wajah di depannya berubah menjadi bayangan samar yang menindih dadanya. Setiap
Ketukan keras palu kayu menghantam meja panjang berlapis kaca. Suara itu bergema di seluruh ruangan, memecah bisikan-bisikan kecil yang sempat terdengar. Raline terlonjak sedikit di kursinya, dadanya langsung berdegup lebih cepat. “Sidang keluarga Rajawali Group, resmi dibuka.” Suara Herman Al Mahendra begitu tegas, dalam, dan menusuk. Tatapannya menyapu seisi ruangan seperti mata elang yang mencari mangsa. Lampu kristal di langit-langit memantulkan cahaya dingin, seakan menyorot wajah-wajah yang sedang menunggu tontonan. Di sisi kanan meja, para anggota keluarga besar Rajawali duduk berderet rapi, sebagian sudah menyiapkan berkas-berkas, sebagian lain hanya menyilangkan tangan dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu. Raline berusaha duduk tegak. Tangannya menggenggam ujung rok jas biru gelapnya begitu erat hingga buku jarinya memutih. Di sampingnya, Raffa duduk dengan wajah setenang batu, tanpa sedikit pun ekspresi. “Jadi,” Herman membuka map cokelat di depannya, kertas berde
Blitz kamera meledak bagai kilatan petir begitu pintu konferensi terbuka. Cahaya-cahaya putih menyambar wajah Raline, membuat matanya silau dan kakinya sempat goyah. Ruangan penuh sesak oleh wartawan yang sudah menunggu sejak pagi, suara mereka meledak bersamaan bagaikan gelombang yang menelan semua kewarasan. “Pak Raffa! Apa benar kabar pertunangan itu?” “Siapa perempuan di samping Anda?” “Apakah ini pernikahan kilat demi menyelamatkan Rajawali Group?” Suara-suara itu menusuk telinga. Raline merasa tubuhnya bagai boneka yang dipajang di etalase, ditatap dari segala arah tanpa bisa bersembunyi. Nafasnya pendek-pendek, dadanya bergetar. Seketika, jemari dingin Raffa menyentuh tangannya. Ia menggenggam erat, memberi tekanan yang membuat Raline sedikit sadar. “Tenang,” bisiknya, suaranya rendah namun tegas. Dengan langkah mantap, Raffa maju ke depan. Wajahnya tanpa senyum, namun karismanya menekan ruangan. Blitz kamera semakin brutal, menyalak seperti serangan beruntun. “Ya,” suar
Selamat datang, Bu Raline.” Suara itu berat, dalam, dan menekan, seolah bisa menembus lapisan terdalam hati orang yang mendengarnya. Raline mendongak. Di ujung ruangan luas dengan dinding kaca setinggi langit-langit, seorang pria berdiri tegak. Pria itu mengenakan setelan hitam sempurna, dasi perak terikat rapi di leher. Rambutnya hitam pekat, disisir ke belakang tanpa satu helai pun lepas. Tatapannya dingin, setajam pisau, seakan hendak menguliti lawan bicara. Raffa. CEO Rajawali, sekaligus orang yang paling ia benci beberapa minggu terakhir karena video kritiknya. Kini berdiri di hadapannya, nyata, berwujud, dengan aura yang membuat seluruh ruangan seolah menunduk padanya. Raline menelan ludah, tapi berdiri tegak. “Saya Raline. Kita langsung saja, saya nggak suka basa-basi.” Alis Raffa terangkat tipis. Senyum samar melintas di bibirnya, lebih mirip ejekan daripada keramahan. “Langsung to the point. Saya suka orang seperti itu.” Niko yang tadi mengantar Raline ke ruanga
“Bukan jual diri. Lo jual pengaruh lo. Dengan harga yang bisa nolong lo dan Nadine lebih dari cukup.” Kata-kata Niko semalam masih berputar di kepala Raline. Matanya perih karena semalaman tak tidur. Surat kontrakan yang kusut masih tergeletak di meja, mie instan di panci sudah dingin, sementara di luar hujan subuh turun tanpa henti. Ia memejamkan mata. Bayangan Nadine menangis diam-diam kembali hadir, mengeluh tak bisa ikut praktikum karena tak ada biaya. Ingatan itu menekan dadanya seperti beban batu. Raline mendesah, lalu menatap langit-langit kamar kontrakan. Apa gunanya idealisme kalau adiknya sendiri hancur di depan mata? Suara langkah pelan terdengar dari kamar. Nadine keluar dengan wajah sembab, rambut acak-acakan. “Kak, kenapa nggak tidur?” tanyanya serak. Raline tersenyum tipis. “Lagi nggak ngantuk.” Nadine menggigit bibir, lalu tiba-tiba air matanya pecah. “Aku nggak bisa ikut praktikum, Kak. Semua mahasiswa wajib ikut. Biayanya mahal. Aku juga takut alergi ka