Masuk“Ada kopi? Atau ini rapat model interogasi?”
Raffa yang berdiri di ujung ruangan hanya menoleh sekilas. “Silakan duduk,” suaranya berat, tanpa intonasi.
Raline menarik kursi dengan gaya pura-pura percaya diri. “Kalau saya nggak salah, ini ruangan CEO? Atau ruang sidang KPK?”
“Berbeda gimana? Lebih pendek? Lebih kere?” Raline menyengir, suara tawanya setengah gugup.
Raline terdiam sepersekian detik lalu mencondongkan tubuhnya. “Ya, kalau nggak berisik, hidup saya udah tamat, Pak.”
Raffa menggeser map hitam di meja ke arahnya. “Ini kontrak yang Anda setujui. Pernikahan kontrak selama enam bulan, syarat-syaratnya tertulis jelas di dalam. Termasuk tunjangan untuk adik Anda dan cicilan rumah kontrakan. Anda bebas menarik diri kapan saja, tapi konsekuensinya juga tertulis.”
Raline menatap map itu lama-lama. Dalam hati ia berkata, neraka enam bulan ini resmi dimulai.
Raffa memperhatikannya. “Anda terlihat ragu.”
“Bukan ragu, cuma lagi menghitung berapa dosa yang saya tumpuk,” balas Raline. “Dan, Pak, serius nih? Nama saya ditulis tanpa huruf ‘e’? Jadi ‘Ralin Kirana’? Kalo gini saya kayak merek susu formula.”
“Kalau Anda tidak nyaman, kita bisa batalkan,” kata Raffa.
Raline mendongak. “Batalkan? Terus Nadine kuliahnya pakai doa doang?”
Raffa menatapnya lama. “Kenapa Anda menerima tawaran ini?”
Raffa tidak menimpali. Ia mengambil pena, menandatangani halaman terakhir kontrak, lalu mendorongnya ke arah Raline. “Tanda tangan di sini.”
Raline menatap pena itu. “Ini kayak ujian nasional. Kalau saya tanda tangan, nilai hidup saya langsung turun.”
Selesai.
Raffa menyilangkan tangan. “Mulai besok Anda akan pindah ke rumah keluarga saya. Ada aturan yang harus dipatuhi. Paman dan bibi saya tinggal di sana. Mereka akan mengamati Anda.”
“Wah, kayak reality show dong. ‘Menantu Cari Masalah’,” seloroh Raline. Ia menyunggingkan senyum sinis untuk menyamarkan kegelisahannya.
Raffa mencondongkan tubuh. “Anda tidak boleh memandang enteng situasi ini. Mereka… tajam.”
Raline mengangguk. “Saya ngerti. Saya juga tajam kok. Tajam kalau lagi potong bawang.”
“Jam sebelas nanti ada fitting gaun di butik. Asisten saya akan menjemput Anda. Anda perlu tampil sesuai citra keluarga.”
Asisten kembali masuk, menyerahkan sebuah amplop tebal berisi daftar agenda. Raline menerimanya. Tangannya gemetar bukan karena beratnya amplop, tapi karena beban di belakangnya.
Raffa berdiri. “Ada pertanyaan?”
Raffa tak menanggapi. Ia mengulurkan tangan. Raline ragu sejenak lalu menyambutnya. Sentuhan itu dingin tapi tegas.
Dalam hati Raline mendesah. Gengsi gue harus ditaruh di mana? Tapi ada sesuatu pada tatapan pria itu—dingin, penuh rahasia yang membuatnya sulit menebak.
Ia memberanikan diri. “Pak Raffa, saya cuma mau bilang… saya nggak akan jadi istri yang manis-manis aja. Saya bakal tetep ngomel, ketawa, dan ngomong nggak penting. Itu paketnya.”
Raffa hanya berkata pelan, “Kita lihat sejauh mana Anda bertahan.”
Asisten memberi isyarat bahwa jadwal Raffa berikutnya sudah menunggu. Raline berdiri, merapikan tas. Dalam hati ia menyiapkan seribu skenario untuk menghadapi rumah baru, paman-bibi yang “tajam”, dan pria dingin ini.
Ketika ia melangkah keluar ruangan, matanya menangkap sesuatu yang tergeletak di atas meja konsol dekat pintu: sebuah foto lama dalam bingkai. Ia berhenti sejenak. Seorang perempuan muda berdiri di depan panti asuhan, wajahnya setengah tertutup bayangan. Wajah itu… mirip sekali dengan ibunya.
Jantung Raline berhenti sepersekian detik. Ia menoleh cepat, tapi Raffa sudah kembali ke mejanya, sibuk dengan laptop. Asisten mendesaknya keluar.
Raline memaksakan senyum, menyembunyikan keguncangan yang baru saja menerpanya. Tangannya mengepal di balik tas. Kenapa foto Mama ada di sini? pikirnya panik.
Lift berbunyi. Pintu menutup. Dalam kotak logam itu, Raline merasakan detik-detik baru menuju dunia yang sama sekali berbeda.
Hujan masih deras ketika pintu gudang terbuka separuh. Raline menatap pria itu dengan napas tertahan, sedangkan Raffa nyaris tak bisa percaya dengan matanya sendiri.“Pak… Ardan?” suaranya bergetar, antara kaget dan marah.Pria itu mengangguk pelan, matanya tajam menembus gelap. “Kau ingat rupaku. Itu pertanda baik.”Raline menatap keduanya bergantian. “Kamu kenal dia, Raffa?”Raffa mengangguk perlahan. “Dia… mantan penasihat Ayahku. Dulu aku pikir dia sudah meninggal lima tahun lalu dalam kebakaran di kantor pusat.”Ardan melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya. Air menetes dari ujung payungnya, suaranya lembut namun sarat tekanan.“Orang tidak selalu mati hanya karena keluarga Mahendra menginginkannya mati.”Raline menegang. “Maksud Anda?”Ardan menatapnya sejenak, lalu ke arah Raffa. “Aku datang bukan untuk bersembunyi. Aku datang karena waktunya kebenaran dibuka tapi tidak dengan cara yang kau kira.”Raffa berjongkok perlahan, menahan rasa sakit di sisi tubuhnya. “Kalau mem
“Raffa, cepat! Ke sini!”Raline menarik tangan Raffa menembus semak basah, napasnya memburu. Hujan belum berhenti sejak sore. Di belakang mereka, suara mesin mobil dan langkah kaki berat masih terdengar samar di antara deru angin. Raffa menahan nyeri di perutnya, darahnya mulai mengering di bawah perban yang kusam. Tapi matanya tetap menatap ke depan pada satu tujuan yang tersisa: bertahan.Beberapa menit kemudian, mereka tiba di bangunan tua di pinggir sungai bekas gudang kayu yang sudah lama ditinggalkan. Raline menendang pintunya perlahan, dan mereka masuk dalam gelap. Aroma debu, karat, dan hujan menyelimuti udara.“Duduk.” Suara Raline tegas tapi lembut. Ia menarik Raffa untuk duduk di lantai, lalu buru-buru membuka tas kecilnya. Dari dalam, ia mengeluarkan kain bersih dan sebotol air.Raffa meringis saat Raline membuka perbannya. “Jangan… aku bisa sendiri”“Diam.” Raline menatapnya tajam. “Kalau kamu mati karena sok kuat, aku sumpah aku bakal nyusul cuma buat marahin kamu.”
“Raffa, berhenti dulu! Lukamu”Raline menarik pergelangan tangan Raffa yang terus berjalan terhuyung-huyung. Napasnya berat, darah di sisi perutnya sudah merembes lewat perban. Tapi pria itu seolah tak peduli. Ia terus melangkah melewati jalan tanah yang licin, menembus kabut senja menuju rumah kayu tua di ujung hutan.“Aku harus tahu, Raline,” katanya di antara deru napas.“Harus tahu semuanya… sebelum mereka menghancurkan bukti terakhir.”Raline mengejarnya, wajahnya tegang tapi matanya dipenuhi kecemasan.“Kamu bahkan hampir nggak bisa berdiri, Raff! Setidaknya biar aku yang”“Terlambat kalau kita berhenti sekarang!” potong Raffa keras, tapi suaranya serak, nyaris putus. Ia menatap ke depan, ke rumah yang sudah lama ditinggalkan tempat Bu Sri dulu sering pergi diam-diam.Raline tahu, tidak ada gunanya membantah. Ia menahan air mata, menggandeng lengan Raffa agar tak jatuh. Mereka berdua melangkah pelan menaiki anak tangga kayu yang rapuh, pintu depan terbuka sedikit, menimbulkan bu
Raline hampir tidak ingat bagaimana ia bisa menyeret tubuh Raffa sejauh itu.Tangan kirinya berlumur darah, kemejanya sobek, tapi matanya tak lepas dari wajah pria yang terkulai di pelukannya.Suara tembakan masih bergema di kejauhan, bercampur dengan deru hujan yang turun tanpa ampun.Langit malam bagai menutup diri, menenggelamkan mereka dalam kegelapan dan napas yang memburu.“Raffa, tahan sebentar lagi, tolong…” bisiknya dengan suara bergetar.Tubuh Raffa dingin, napasnya berat dan terputus-putus.Peluru hanya menembus bahu, tapi darahnya terus keluar.Setiap kali Raline menekan luka itu dengan kain basah, ia merasakan perih di dada sendiri bukan karena luka, tapi karena rasa takut kehilangan.Setelah beberapa menit menembus hutan dan rawa kecil, mereka akhirnya sampai di sebuah pondok tua di pinggir danau.Bangunan kayu itu sudah lapuk, tapi masih cukup kokoh untuk menahan angin dan hujan.Raline membuka pintu dengan bahunya, menyeret Raffa masuk, lalu menutupnya rapat-rapat.Di
“Raffa!”Raline menjerit di bawah derasnya hujan, suaranya tertelan angin malam. Tapi tak ada jawaban. Hanya bau mesiu dan tanah basah.Ia berlari lagi, melewati genangan air, tubuhnya menggigil. Ponsel di genggamannya masih menampilkan pesan dari “S.M.” inisial yang cukup untuk membuat jantungnya seolah berhenti berdetak.Bu Sri.Ia tahu wanita itu punya pengaruh besar dalam keluarga Mahendra. Tapi mengapa sampai mengirim orang untuk menculiknya?Saat pikirannya berputar, cahaya redup lampu motor muncul dari arah tikungan. Raline spontan bersembunyi di balik tumpukan kayu, menahan napas. Dua pria berjaket hitam berhenti di dekat tubuh yang tergeletak.“Cepat, angkat dia!”“Masih hidup, kan?”“Masih. Tapi banyak darah. Bu Sri bilang jangan sampai dia mati sebelum bicara.”Raline menahan teriakannya. Raffa... mereka bawa Raffa!Ia menunggu sampai motor itu menjauh, lalu berlari ke arah yang berlawanan, menuju hutan kecil di belakang vila. Nafasnya tersengal, tapi tekadnya bulat ia haru
“Ada yang tidak beres.”Nada suara Raffa datar, tapi matanya penuh waspada. Ia berdiri di dekat jendela, mengintip ke luar vila. Jalanan gelap. Angin berhembus pelan, tapi ada sesuatu di udara yang terasa… salah.Raline menghampiri pelan. “Raff?”“Mobil di luar itu…” Raffa menunjuk sedikit, “tidak bergerak sejak sepuluh menit lalu.”Raline menegang. “Mungkin warga?”“Tidak. Lampunya padam tapi mesinnya menyala.”Raline menelan ludah. “Jadi mereka… sudah tahu kita di sini?”Raffa menarik napas panjang, lalu berbalik menghadapnya. “Dengar, aku butuh kamu tenang. Jangan panik, jangan keluar dari rumah ini.”“Dan kamu mau ke luar?” suara Raline meninggi. “Raff, mereka bersenjata.”“Aku tidak bisa diam menunggu.”“Kamu juga bukan Superman!” Raline setengah berbisik, setengah memohon. “Kita harus cari cara lain.”Raffa menatapnya dalam. “Kamu percaya aku?”“Percaya. Tapi aku juga nggak mau kehilangan kamu.”Ucapan itu spontan, tapi jujur. Raffa sempat tertegun lalu perlahan tersenyum. “Kam







