Share

Gelap yang Berbisik

Penulis: Diko_13
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-26 21:58:50

Terowongan tua itu seperti perut bumi yang menelan mereka bulat-bulat. Lampu minyak yang dibawa Hasan hanya memberi cahaya kuning redup, cukup untuk menerangi jalan setapak yang sempit, namun sisanya tenggelam dalam kegelapan pekat. Suara langkah mereka bergaung panjang, bercampur dengan tetesan air yang jatuh dari dinding batu yang lembap.

Aruna merasakan dingin menjalar hingga ke tulang. Meski tubuhnya lelah, ia tetap menggenggam tangan Rafka erat-erat. Suaminya tampak semakin pucat, tapi sesekali matanya terbuka, menatap Aruna dengan penuh percaya. Itu sudah cukup membuatnya kuat melangkah.

“Terowongan ini… sudah ada sejak zaman perang,” suara Hasan terdengar lirih, serak seperti berbisik kepada dinding-dinding batu. “Ayahmu dan aku menemukannya bertahun-tahun lalu. Kami tahu, cepat atau lambat, jalur ini akan menjadi jalan penyelamat.”

Surya berjalan paling depan, pistol di tangan, matanya menyapu setiap sudut gelap. “Aku tidak suka tempat sempit begini. Kalau mereka mengepung dar
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Perburuan di Hutan Malam

    Langit malam membentang pekat di atas lembah Penjaga Senja. Bulan sabit menggantung pucat, seperti mata yang diam-diam mengawasi manusia di bawahnya. Angin malam meniup lembah, membawa aroma tanah basah, darah, dan logam.Aruna berdiri di antara puluhan Penjaga Senja yang telah siap dengan senjata masing-masing. Mereka tampak bagai bayangan hitam, wajah dingin dan tak berperasaan, mata menyala oleh semangat berburu. Tak ada canda, tak ada bisikan, hanya keheningan yang menekan dada.Di sampingnya, Jendra menatap dengan raut cemas. “Aruna, kau yakin sanggup melakukannya? Mereka… bukan hanya memburu binatang. Perburuan ini… bisa juga berakhir dengan nyawa manusia yang dipertaruhkan.”Aruna mengeratkan genggaman pada pedangnya. “Aku tidak punya pilihan, Jendra. Jika aku berhenti sekarang, mereka takkan percaya padaku. Dan jika mereka tak percaya, kita semua berakhir di sini.”Lodra yang mendengar itu hanya mengangguk. “Dia benar. Penjaga Senja bukan sekadar prajurit. Mereka menguji kita

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Ujian Darah dan Bayangan

    Malam itu, lembah Penjaga Senja terasa seperti dunia lain. Kabut yang menutupinya di siang hari kini berubah menjadi tirai perak, berkilau diterpa cahaya api unggun. Bayangan manusia bergerak di antara tenda-tenda gelap, suara logam beradu terdengar tiada henti. Seperti sekawanan serigala, mereka hidup dalam disiplin, kekejaman, dan aturan yang hanya mereka sendiri pahami.Aruna duduk di dekat api kecil bersama rombongan Bayangan Hutan. Meski tubuhnya letih, matanya tak bisa berhenti mengamati setiap detail. Di sudut sana, seorang perempuan bertopeng sedang mengasah belatinya tanpa suara. Di sisi lain, sekelompok pria bertubuh kekar tengah berlatih pertarungan tangan kosong, saling melempar ke tanah keras tanpa ampun.“Tempat ini… lebih menyeramkan dari yang kubayangkan,” bisik salah satu prajurit Bayangan Hutan.Jendra, yang duduk tak jauh dari Aruna, menatap sekeliling dengan wajah tegang. “Mereka bukan sekadar prajurit. Mereka pembunuh yang dilatih untuk tak mengenal takut.”Aruna

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Bayangan Penjaga Senja

    Pagi itu, hutan yang semalam menjadi ladang darah tampak seolah tak bersalah. Cahaya mentari menembus celah dedaunan, burung-burung bernyanyi, dan embun bergulir di ujung daun. Namun bagi Bayangan Hutan, kedamaian itu terasa seperti ejekan. Luka di tubuh mereka terlalu segar, luka di hati mereka terlalu dalam.Di dalam gua, Aruna terbangun lebih awal. Tubuhnya masih sakit, setiap gerakan menimbulkan perih, tapi matanya penuh tekad. Ia menatap tangannya sendiri, yang masih berlumur bekas darah meski sudah dicuci semalam. “Aku melukai Rakas dengan tangan ini,” gumamnya lirih. Ada kebanggaan, tapi juga rasa takut—karena ia tahu itu hanya permulaan.Jendra masuk membawa seember air. Ia berhenti sejenak, melihat Aruna yang duduk termenung. “Kau tidak perlu memaksa bangun. Tubuhmu butuh istirahat.”Aruna tersenyum tipis. “Kalau aku menunggu sampai benar-benar pulih, dunia sudah keburu terbakar.”Jendra menghela napas panjang. “Keras kepala, seperti biasa.” Ia meletakkan air, lalu duduk di s

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Luka yang Belum Sembuh

    Malam itu seakan berhenti bernafas setelah pasukan Xu mundur. Hanya suara daun bergesekan dan erangan mereka yang terluka terdengar di hutan yang hangus. Api dari obor-obor yang jatuh perlahan padam, menyisakan bara merah yang berkedip seperti mata setan. Bau darah menusuk, bercampur dengan bau kayu terbakar.Aruna duduk bersandar pada sebatang pohon besar, tubuhnya gemetar hebat. Nafasnya terputus-putus, wajahnya pucat pasi. Pedang yang tadi menjadi nyawanya kini tergeletak tak berdaya di tanah, penuh darah yang sudah mengering.Jendra berlutut di sampingnya, tangannya penuh noda darah saat menekan luka di bahu Aruna. “Tahan sedikit lagi. Kau tidak boleh menyerah sekarang.”Aruna berusaha tersenyum, meski bibirnya pecah. “Aku masih hidup… bukankah itu sudah cukup?”Jendra mengerutkan kening. “Jangan bicara seperti itu.” Suaranya keras, tapi ada getaran yang tak bisa ia sembunyikan. “Kau lebih kuat dari yang kau kira. Jangan berhenti sekarang.”---Lodra terhuyung, mencoba berdiri mes

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Api yang Membelah Malam

    Hutan yang biasanya tenang kini menjelma menjadi lautan api dan jeritan. Kabut asap bercampur dengan bau darah menyelimuti udara, membuat setiap hembusan nafas terasa berat dan panas. Tanah becek, bercampur lumpur dan darah, menjadi saksi bisu atas pertarungan yang tak mengenal belas kasih.Aruna masih berdiri, meski tubuhnya hampir roboh. Tangan yang memegang pedang bergetar hebat, darah menetes dari sela jarinya. Rakas mengerang di hadapannya, bahunya tertusuk, wajahnya penuh amarah.“Bangsat… kau berani melukaiku!” raung Rakas, matanya merah membara.Aruna menatapnya tanpa gentar, meski dadanya naik turun tak terkendali. “Aku tidak akan jatuh di tanganmu, Rakas. Tidak malam ini.”Rakas tertawa keras, suaranya menggema seperti hewan buas yang terluka. Ia mencabut pedang dari tanah, mengangkatnya tinggi, lalu menebas lagi. Aruna menangkis, suara dentingan logam meledak di udara. Tubuhnya terdorong mundur, tapi ia tidak terjatuh.---Jendra, yang masih bertarung dengan tiga prajurit s

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Darah dan Nyala

    Api menjilat batang-batang pohon, asap mengepul pekat menutupi langit malam. Jeritan dan denting senjata berpadu menjadi orkestra kematian yang tak terhindarkan. Bayangan Hutan bertarung mati-matian, meski jumlah mereka jauh lebih sedikit. Di tengah kekacauan itu, Aruna berdiri menghadapi Rakas. Nafasnya memburu, tangannya bergetar memegang pedang pendek yang terasa terlalu ringan untuk menahan tebasan musuh sebesar itu. Tapi matanya menyala, dipenuhi tekad yang baru lahir. Rakas menyeringai, darah segar mengalir dari luka di lengannya akibat serangan Aruna sebelumnya. “Luka kecil dari tangan seorang gadis? Kau akan menyesal telah membuatku berdarah.” Aruna menelan ludah, tubuhnya kaku. Tapi ia tidak mundur. “Aku tidak takut padamu.” Rakas tertawa keras, suaranya menggetarkan dada. “Kau bahkan takut pada dirimu sendiri. Lihat tubuhmu gemetar, mata yang hampir pecah karena panik. Kau tidak cocok memegang senjata, Aruna. Kau hanyalah boneka yang dijadikan umpan.” Ucapan itu menusuk,

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status