Home / Romansa / Pernikahan tanpa Bahagia / Ketika Sakura Berhenti Jatuh

Share

Ketika Sakura Berhenti Jatuh

Author: Diko_13
last update Last Updated: 2025-10-20 22:38:16

Musim semi di Kyoto seperti puisi yang diulang-ulang dengan cara berbeda setiap tahun.

Udara lembut beraroma bunga, jalanan tua diselimuti kelopak sakura yang gugur perlahan, dan setiap langkah terasa seperti melewati kenangan yang tak sepenuhnya asing.

Rani berjalan menyusuri tepi sungai Kamo, membawa buku catatan kecil dan pena tua milik Yudha — satu-satunya benda yang selalu ia bawa sejak meninggalkan tanah air. Pena itu sudah mulai aus, ujungnya retak, tapi setiap kali ia menulis dengannya, ada rasa damai yang tak bisa dijelaskan.

Di seberang sungai, anak-anak berlari mengejar kelopak sakura yang jatuh. Tawa mereka menggema di udara sore, memantul di antara gedung kayu dan jembatan batu yang dipenuhi turis.

Rani tersenyum samar. Ia suka duduk di tempat itu, di bangku kayu tua dekat pohon besar. Tempat yang selalu sepi, tapi justru di situlah pikirannya paling hidup.

Ia membuka catatannya. Di halaman pertama, tertulis sebuah kalimat yang sudah berbulan-bulan ia tulis tapi belum ber
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Sebelum Langit Penuh Cahaya

    Malam itu, Kyoto bernafas dengan tenang.Langitnya biru tua, menampung bintang-bintang kecil yang tampak seperti cahaya yang jatuh pelan dari tempat yang jauh. Di bawahnya, dua sosok berjalan berdampingan — tanpa arah, tanpa rencana.Hanya ada langkah-langkah pelan, udara yang lembab, dan suara hati yang belum sempat diceritakan.Yudha berjalan di sisi Rani, kedua tangannya dimasukkan ke saku jaket.Ia belum tahu apa yang harus dikatakan — apakah harus memulai percakapan, atau justru membiarkan keheningan berbicara untuk mereka. Karena sejak pertama kali matanya menangkap sosok Rani tadi, semua kata yang pernah ia siapkan terasa tidak penting lagi.Rani menatap jalan di depannya.Ia masih belum percaya Yudha benar-benar di sana — bukan dalam mimpi, bukan dalam bayangan, tapi nyata, berjalan di sampingnya di kota yang jauh dari rumah. Ada kehangatan yang perlahan merambat dari dada ke ujung jarinya, kehangatan yang selama ini ia pikir sudah hilang.“Aku pikir aku tak akan melihatmu lag

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Ketika Sakura Berhenti Jatuh

    Musim semi di Kyoto seperti puisi yang diulang-ulang dengan cara berbeda setiap tahun.Udara lembut beraroma bunga, jalanan tua diselimuti kelopak sakura yang gugur perlahan, dan setiap langkah terasa seperti melewati kenangan yang tak sepenuhnya asing.Rani berjalan menyusuri tepi sungai Kamo, membawa buku catatan kecil dan pena tua milik Yudha — satu-satunya benda yang selalu ia bawa sejak meninggalkan tanah air. Pena itu sudah mulai aus, ujungnya retak, tapi setiap kali ia menulis dengannya, ada rasa damai yang tak bisa dijelaskan.Di seberang sungai, anak-anak berlari mengejar kelopak sakura yang jatuh. Tawa mereka menggema di udara sore, memantul di antara gedung kayu dan jembatan batu yang dipenuhi turis.Rani tersenyum samar. Ia suka duduk di tempat itu, di bangku kayu tua dekat pohon besar. Tempat yang selalu sepi, tapi justru di situlah pikirannya paling hidup.Ia membuka catatannya. Di halaman pertama, tertulis sebuah kalimat yang sudah berbulan-bulan ia tulis tapi belum ber

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Suara dari Langit yang Sama

    Sudah hampir setahun sejak Rani pergi.Yudha masih tinggal di rumah kecil di tepi sawah, di kota tempat mereka dulu pertama kali bertemu — bukan karena ia tak mampu pindah, tapi karena di setiap hembusan angin dari jendela, ia merasa Rani masih tinggal di situ, di sela-sela cahaya pagi.Hidupnya kini sederhana.Ia menulis di ruang kecil di belakang rumah, ditemani secangkir kopi hitam dan suara jangkrik yang tak pernah bosan memecah keheningan.Ia menulis bukan lagi tentang cinta yang kehilangan, tapi tentang manusia yang terus belajar untuk bertahan.Kadang, di tengah malam, ia masih memandangi halaman kosong sebelum mulai mengetik, seolah menunggu sesuatu yang dulu hanya Rani yang bisa memunculkannya: keberanian untuk jujur pada diri sendiri.---Suatu pagi, hujan turun lembut, seperti benang-benang perak yang dijatuhkan dari langit.Yudha duduk di teras, membaca majalah sastra yang dikirim temannya dari Jakarta. Ia tidak terlalu memperhatikannya, sampai matanya berhenti pada satu h

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Bayangan yang Menyentuh Cahaya

    Salju telah mencair perlahan di jalanan Kyoto.Musim semi mulai datang, ditandai oleh semburat merah muda di dahan-dahan sakura yang baru mekar. Udara masih dingin, tapi matahari muncul lebih lama sekarang — seolah langit sedang belajar menghangatkan dunia lagi.Rani berjalan menyusuri jalanan kecil di distrik Gion, membawa kamera kecil yang ia pinjam dari penerbit. Ia diminta menulis esai pendek untuk kolom budaya — tentang “keindahan dalam ketenangan”.Tapi yang ia temukan hari itu bukan hanya keindahan, melainkan semacam kesadaran baru akan dirinya sendiri.Suara gemericik air dari kanal kecil mengiringi langkahnya. Di sisi jalan, bunga plum berjatuhan pelan, seperti hujan yang lembut.Ia berhenti di depan sebuah toko kecil yang menjual kertas washi dan alat tulis. Dari balik kaca jendela, seorang pria tampak sedang mengatur kuas dan tinta di meja.Saat Rani masuk, aroma tinta dan kayu memenuhi udara. Pria itu menoleh — rambut hitamnya sedikit berantakan, matanya lembut tapi penuh

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Di Kota yang Tak Tidur

    Kyoto menyambutnya dengan udara dingin dan langit berwarna kelabu pucat.Dari jendela kamar apartemen kecil yang disewakan penerbit, Rani menatap ke luar — melihat jalanan sempit dengan deretan toko kayu tua, lampion merah yang bergoyang lembut diterpa angin, dan suara langkah orang-orang yang tergesa menembus senja.Sudah seminggu sejak ia tiba. Tapi rasanya seperti baru kemarin ia meninggalkan Yudha di bandara, dengan pelukan yang masih menempel di kulitnya seperti kehangatan terakhir sebelum musim dingin.Ia mencoba menulis setiap pagi. Duduk di meja dekat jendela, membuka laptop, menatap layar kosong — tapi kata-kata tak juga mau datang.Bukan karena ia tak tahu apa yang ingin ditulis, melainkan karena setiap kalimat seolah berawal dan berakhir pada satu nama: Yudha.Penerbit menunggu draf naskahnya, para editor mengirim email dengan nada ramah tapi mendesak. Ia membaca semuanya, lalu menutup kembali layar laptopnya. Di luar, salju mulai turun perlahan — butir pertama musim ini.I

  • Pernikahan tanpa Bahagia   Langit yang Menyimpan Janji

    Langit sore itu tampak seperti lukisan yang belum selesai.Warna jingga memudar di tepi horizon, bercampur dengan abu-abu yang berat. Udara lembab membawa aroma tanah yang baru tersiram hujan, dan dari kejauhan, suara lonceng gereja berdenting pelan — ritmis, tapi menyesakkan dada.Rani berdiri di tepi jendela ruang kerjanya. Di meja, naskah barunya masih terbuka, tapi tinta di pena telah mengering. Ia sudah menatap halaman itu selama hampir dua jam tanpa menulis satu pun kata.Judul sementara di halaman depan berbunyi: “Tentang Mereka yang Tak Pernah Benar-Benar Pergi.”Kata-kata itu terasa seperti luka kecil yang belum sembuh.Karena semakin ia menulis, semakin ia sadar — kisah yang berusaha ia tulis bukan lagi tentang Arga, melainkan tentang dirinya sendiri… dan Yudha.Suara ketukan di pintu membuatnya menoleh.“Masuk,” katanya pelan.Yudha muncul di ambang pintu, membawa dua gelas teh. Senyumnya lembut, tapi matanya menyimpan sesuatu yang sulit diterjemahkan — campuran antara ragu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status