Hampir enam bulan sejak kepergian Radit. Hari-hari terasa lama berlalu. Waktu berputar lebih lambat dari semestinya. Kayla merasa hatinya hampa. Apa pun yang dilakukan terasa sangat menjemukan. Dia kehilangan gairah untuk hidup.
"Kamu harus move on, Kay," ujar Nadin pada suatu hari. "Aku nggak bisa, Nad. Tidak ada yang bisa menggantikan Radit disini," lirih Kayla berkata seraya menunjuk dadanya. "Sudah cukup. Sudah terlalu lama. Hentikan kebodohan itu, Kay!" "Aku memang bodoh. Sangat bodoh. Mencintai orang yang mungkin tidak menginginkanku. Aku..." Kayla tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Matanya berkaca-kaca, dan tidak lama bendungan itu bobol. Air bening mulai terjun bebas, membasahi pipinya yang tirus. Setiap hal tentang Radit selalu mengundang air matanya. Nadin mengusap-usap punggung Kayla. Dia ikut merasakan kesedihan sahabatnya itu. Kayla sangat mencintai Radit dengan tulus. Cintanya pada lelaki itu sangat besar. Tak tergambar dan tak bisa dibandingkan, bahkan dengan cinta Juliet kepada Romeo sekalipun. Diam-diam dia mengagumi kesetiaan Kayla. Walau dia ragu, akankah penantian itu bermuara kebahagiaan. "Kayla, dipanggil ke ruangan bos," Cindy, sekretaris Pak Surya datang memberitahu. Kayla buru-buru menghapus air matanya. Dia tidak ingin ada orang selain Nadin yang tahu keresahan hatinya. "Iya, Cin, aku segera kesana," sahut Kayla dengan suara serak. "Kamu baik-baik saja, Kay?" tanya Cindy meyakinkan. Ada rasa heran melihat mata Kayla yang agak sembab. Kayla memaksakan sebuah senyuman. "Iya." Kayla bercermin di kaca kecil yang selalu tersimpan di dalam tas. Dia memastikan tidak lagi ada sisa air mata di pipinya. Lalu dengan percaya diri, dia melangkah pasti menuju ruangan atasannya. *** Malam sudah jauh dari kata larut. Jarum jam yang masih lincah bergerak, bertengger di angka satu dan tiga. Pukul satu malam lewat lima belas menit. Namun tak sepicing pun Kayla bisa memejamkan matanya. Pikirannya melayang pada kejadian tadi siang. Sebuah tawaran dari Pak Surya membuatnya riang. Promosi sebagai kepala cabang di pulau seberang. Malangnya ia bak makan buah simalakama. Jika dia terima tawaran itu, Ayah yang sudah renta akan tinggal sebatang kara. Tapi jika dia menolak, mundur dari perusahaan adalah satu-satunya pilihan, karena sudah ada orang yang akan menggantikan posisinya. Bukan apa-apa, perusahaan tempat Kayla bekerja merupakan perusahaan keluarga, dimana aroma nepotisme masih terasa kental. Kayla merupakan satu dari segelintir pegawai yang bukan merupakan keluarga dari pemilik perusahaan dan bisa lulus setelah melewati berbagai rangkaian tes. Dilema melanda. Kayla tak ingin kehilangan pekerjaan. Satu-satunya mata pencarian yang menghidupinya dan Ayah beberapa tahun belakang. Resign di saat karirnya sedang diatas angin bukan pilihan yang diinginkannya. Tapi bagaimana dengan Ayah? Inikah cara perusahaan merumahkannya secara halus? *** "Kenapa tidak dimakan? Masakan Ayah tidak enak, ya?" tegur Ayah saat Kayla hanya diam memandangi sepiring nasi goreng di hadapannya. "Enak kok, Yah," jawab Kayla sekenanya. Padahal dia belum mencicipi sesendok pun menu sarapan pagi ini. "Kamu lagi ada masalah?" tanya Ayah lagi. Kayla menggeleng. Tapi bukan Ayah namanya jika tidak berhasil membuat Kayla mengeluarkan isi hati. "Kamu memikirkan laki-laki itu lagi?" Tatapan Ayah menghujam jantung Kayla. "Nggak, Yah. Radit sudah lama pergi. Ayah nggak usah khawatir." "Kalau gitu, sekarang Ayah bisa dong menjodohkanmu dengan seseorang?" "Sama anak teman Ayah itu?" "Lho, kok kamu tau? Kamu sering ingat dia juga, ya?" Ayah tersenyum menggoda. "Ih, Ayah, apaan sih?" balas Kayla sewot. "Nabil itu laki-laki yang baik, cerdas dan juga soleh. Dan yang terpenting, dia seorang PNS. Kamu tahu kan, PNS itu digaji sampai mati?" Perkataan Ayah mengingatkan Kayla pada pekerjaannya. Ayah benar, profesi yang minim risiko itu adalah sebagai PNS. Tidak seperti dirinya yang bekerja di swasta dan kini berada di ujung tanduk. "Jadi karena itu Ayah mau menjodohkanku dengan si Nabil itu?" Kayla menatap bola mata Ayah sangat dalam. Mencoba mencari kejujuran disana. "Bukan itu, Nak. Ayah hanya ingin, jika suatu saat Ayah sudah tidak ada lagi, kamu berada bersama orang yang tepat, yang bisa menjaga dan membimbingmu sepanjang usia." "Ayah mikirnya kejauhan. Sudah, Yah, aku ke kantor dulu," pamit Kayla. Dia sungguh tidak suka topik pagi ini. Sementara, Ayah hanya bisa tersenyum melepas kepergian anak gadisnya. Berbagai kekhawatiran ia coba singkirkan. "Kayla, sepertinya waktu Ayah tidak akan lama. Coba kamu pikirkan lagi." Langkah Kayla terhenti. Dia membalikkan badan. Rasa cemas menyergapnya. "Ayah, jangan bicara yang nggak-nggak. Ayah akan tetap di sini, kita akan selalu bersama," ujar Kayla menghibur dirinya yang mendadak panik. "Pergilah, nanti kamu terlambat. Ayah akan baik-baik saja." Laki-laki itu meyakinkan. Kayla baru saja hendak memutar badan namun kata-kata Ayah kembali menghentikannya. "Jangan mencintai terlalu dalam, nanti kamu bisa tenggelam." Ayah menatap Kayla penuh arti. Kayla meninggalkan rumah dengan perasaan bimbang. Percakapan dengan Ayah tadi membuat kegalauannya menjadi-jadi. *** "Kesempatan tidak akan datang dua kali." Itu tanggapan Nadin ketika Kayla memberitahukan tawaran Pak Surya padanya. "Tapi gimana dengan Ayah?" "Ayahmu bisa tinggal bersamaku, Kay. Atau kalau dia keberatan, aku bisa mengunjunginya setiap hari." Kayla menatap Nadin penuh keraguan. "Itu nggak mungkin," desisnya kemudian. "Atau gimana kalau kamu bawa Ayah sekalian?" Mata Nadin berbinar-binar seakan menemukan oase di padang pasir. Kayla terdiam sesaat. Ide Nadin bukan hal yang buruk. Tetapi rasanya mustahil membawa Ayah ikut serta ke Kalimantan, tempat tugasnya yang baru. Ayah pasti tidak akan setuju. Terlalu banyak kenangan di rumah mereka. "Mungkin aku harus mundur dari perusahaan ini," gumam Kayla, hampir tidak kedengaran. "Jangan, Kay! Cari kerja sekarang nggak gampang. Coba kamu pikirin lagi." Nadin terlihat ikut resah. "Tapi perusahaan ingin aku mundur dengan cara menyingkirkanku ke tempat yang jauh. Mungkin kinerjaku kurang memuaskan, atau aku sudah tidak produktif lagi." Kayla mengira-ngira mencari cela dirinya. "Kamu salah, Kay. Kamu karyawan teladan, berprestasi dan energik. Perusahaan pasti bangga punya karyawan seperti kamu," kata Nadin membesarkan hati Kayla. Kayla tersenyum getir mendengar kata-kata Nadin yang berusaha menghiburnya. "Kamu kan tahu sendiri sistem di perusahaan kita. Mungkin ada kerabat owner yang akan mengisi posisi kamu," Nadin berasumsi sendiri. Kayla tak bersuara, tapi di dalam hati dia meyakini semua kata-kata Nadin. *** Lama Ayah termenung setelah Kayla menceritakan semuanya. Kerutan di dahinya semakin jelas terlihat. "Kalimantan itu terlalu jauh," cetusnya setelah lama hening. "Ayah tidak ingin karir kamu berakhir. Tapi melepasmu sejauh itu, Ayah tidak mampu." "Aku ingin Ayah ikut denganku." Ayah terdiam lagi. Sorot matanya menyiratkan kesedihan. Ada selaksa beban yang ingin ia hempaskan. "Tidak mungkin Ayah meninggalkan kota ini. Rumah ini mahar pernikahan dari Ayah untuk Ibu. Hanya ini satu-satunya kenangan yang abadi." Ayah terlihat sangat sedih. Sepasang matanya berkaca-kaca. Seperti dugaan Kayla, Ayah tidak akan setuju dengan rencananya. Sekarang dia hanya punya satu pilihan. Berhenti bekerja dari perusahaan yang bertahun-tahun menjadi tempatnya mengais rupiah. Ah, begitu banyak kenangan di perusahaan itu. Di sana dia mengenal Radit. Di sana juga cintanya tumbuh subur pada laki-laki itu. Radit telah menjerat hatinya, dan meninggalkannya tanpa ikatan. *** Keputusan Kayla untuk resign sudah bulat. Dia akan menyingkir sebelum tersingkir. Berat memang, tapi mau bagaimana lagi. Mungkin ini yang terbaik, paling tidak untuk saat ini. "Jadi kamu memilih mengundurkan diri?" tanya Pak Surya begitu mereka berhadapan langsung di ruangannya. "Iya, Pak," jawab Kayla singkat. "Kamu yakin?" Kayla mengangguk mantap, walau di dalam hati dia ingin menangis. Tapi dia harus kuat. Dia tidak ingin terlihat lemah. "Coba kamu pikirkan sekali lagi, Kay. Jangan berpikiran pendek. Ada gurat kecewa yang tesirat jelas di raut wajah Pak Surya. Berat rasanya untuk melepas karyawan andalannya. Tapi di sisi lain, dia tak kuasa. Top manajemen memegang kekuasaan penuh untuk membuat kebijakan, dan seluruh stakeholders wajib menjalankannya. "Saya sudah memikirkannya masak-masak, Pak, mungkin jalannya memang harus begini." Lemah nada suara Kayla. Pak Surya menghela nafas berat, seberat beban yang menghimpit pundaknya. "Maafkan saya, Kay, Saya gagal mempertahankan kamu." Mata Pak Surya terlihat berair. "Nggak apa-apa, Pak. Bapak nggak salah. Saya mengerti posisi Bapak." Tidak ingin berlama-lama dalam situasi itu, Kayla segera pamit. Namun sebelum dia benar-benar undur diri, Pak Surya menahan langkahnya. "Karena kamu mengundurkan diri, kamu tidak akan menerima pesangon, kecuali kamu dipecat." Kayla tersenyum kecut. "Kamu tidak akan lapor Disnaker, kan?" seru Pak Surya lagi. Lagi-lagi Kayla menyunggingkan senyuman, kali ini lebih pahit. Nadin memeluk Kayla begitu erat saat gadis itu berpamitan pada semua karyawan. Dia sangat menyayangkan keputusan Kayla. Namun bukan tidak mungkin suatu saat dirinyalah yang akan berada di posisi Kayla. "Aku bakal kesepian tanpa kamu," ujar Nadin seperti seorang anak kecil yang akan ditinggal ibunya. Kayla tertawa kecil. "Aku tidak akan ke mana-mana, kok. Kita kan bisa ketemu kapan saja kamu mau." "Tapi tetap saja beda." Nadin merengut. Kayla mengacak rambut Nadin. Baginya Nadin bukan lagi sekedar rekan kerja dan sahabat. Tapi sudah seperti saudara tempatnya berbagi masalah dan berkeluh kesah. ***-Terkadang, kita harus terluka dulu untuk bahagia-***Dea berdiri di depan cermin, lalu menatap refleksi dirinya disana. Pemilik tinggi badan seratus tujuh puluh tujuh senti itu terlihat jauh lebih anggun dengan pakaian tertutup yang membungkus tubuhnya dari ujung kaki sampai puncak kepala. Rambutnya yang panjang yang dulu selalu tergerai bebas sekarang terbungkus rapi dan tersembunyi di balik hijab yang ia kenakan. Tidak ada lagi Dea yang dulu suka menggunakan dress selutut atau pun blouse berbelahan dada rendah. Ia benar-benar sudah berubah dan bertransformasi total. Penampilannya jauh lebih tertutup dan rapi, namun tidak sedikit pun mengurangi kesan anggun yang memang sudah melekat dalam dirinya.“Lan…!!! Sudah siap belum?” Terdengar suara seorang perempuan memanggil namanya diiringi dengan ketukan di pintu.Dea menatap sekali lagi pantulan dirinya di cermin, lalu meninggalkan senyum sebelum berlalu pergi.“Wulan…!!!” panggilan itu terdengar lagi.“Iya, sebentar,” Dea menyahut, ke
-Kadang, kita mencintai seseorang sebegitu rupa sampai tidak menyisakan tempat bagi yang lain. Membuat kita lupa untuk sekadar bertanya, inikah cinta sebenarnya-*Puluhan detik lamanya Nabil berdiri di depan pintu setelah menekan bel. Namun, hingga detik ini masih belum ada tanda-tanda pintu akan terbuka. Mungkin dia sedang berada dan sibuk di belakang, pikir Nabil. Nabil memutuskan untuk menekan bel sekali lagi. Tapi, baru saja tangannya terulur untuk menyentuh bel, daun pintu terbuka, diiringi dengan seraut wajah manis yang mengembangkan senyum padanya.“Maaf, Yah, tadi bunda lagi di belakang,” ujar perempuan berkerudung itu seraya menyalami tangan Nabil dan menciunm punggung tangannya.“Tidak apa-apa, Nda,” jawab Nabil penuh pengertian. “Rasya mana, Nda?” lanjutnya kemudian.“Lagi tidur di kamar, Yah.”Nabil segera masuk ke kamarnya. Disana, tepatnya di atas sebuah tempat tidur, sedang terbaring seorang anak laki-laki dengan mata terpejam. Ya, dia sedang tidur. Hal pertama yang di
“Kayraaa!!! Ayo sarapan dulu!” seru Kayla dari ruang makan.“Iya, Bun…” Kayra menyahut lalu keluar dari kamar menuju ruang makan.“Ya ampun… rambut kamu belum disisir ya,” ujar Kayla melihat rambut Kayra yang masih berantakan, sementara tubuhnya sudah terbalut seragam sekolah. Kayla mengabaikan sejenak urusan meja makan dan melangkah tergesa ke kamar Kayra untuk mengambil sisir.“Bunda…!!! Crayon aku patah…”Baru saja Kayla akan menyisir rambut Kayra, terdengar teriakan Kiran dari ruang tengah.“Iya, sayang, sebentar ya, Bunda sisirin rambut kakak dulu.”Dengan telaten Kayla membagi rambut Kayra menjadi dua bagian sama banyak, lalu mengepangnya dengan rapi.“Bunda… gimana nih, crayon aku patah…” Kiran yang sudah tidak sabar kembali berseru memanggil Kayla.Menyeret langkah panjang, Kayla bergegas ke ruang tengah. Disana, putri keduanya itu tampak sedang merengut. Di hadapannya terbuka lebar sebuah buku mewarnai dengan sekotak crayon beraneka warna.“Mana yang patah, nak?” tanya Kayla
Hari itu sudah semakin dekat. Hari dimana Kayla akan menyerahkan hidupnya pada garis takdir. Kayla sudah ikhlas jika memang seperti itu nasib yang harus diterimanya. Dan, hari ini Kayla kembali mengunjungi pusara Radit. Ia tidak sendiri, tapi bersama Kayra, sang putri tersayang.Dulu ia sangat rajin berkunjung kesini. Mengadukan luka batinnya dan kesendirian yang membuatnya semakin tersiksa. Tapi seiring waktu, frekuensi kunjungannya juga berkurang. Bukan Kayla tidak ingat Radit lagi, tapi Kayla hanya sedang berusaha menyembuhkan lukanya secara pelan-pelan.Lama Kayla termangu di pusara Radit. Kayla merasa keputusannya untuk menikah dengan Nabil adalah sebuah bentuk pengkhianatan pada Radit. Tapi ia tidak punya pilihan lain yang lebih baik.“Maafin aku, Dit, tapi aku melakukan semua ini demi anak kita,” gumamnya di sela isak.“Bunda kenapa minta maaf sama papa? Bunda salah apa?” Kayra yang keheranan melihat Kayla berurai air mata bertanya polos. Berbagai pertanyaan bertumpuk di hatiny
Kayla masih merenungi semua yang sudah dilakukan dan dikatakannya pada Nabil. Rasanya semua seperti di luar kontrol dan berasal dari alam bawah sadarnya. Menikah dengan Nabil untuk ke dua kalinya sama sekali tidak pernah ada dalam opsi hidupnya. Bagaimana mungkin ia menikah dengan orang yang tidak ia cintai? Namun, di dalam hidup terlalu banyak pilihan-pilihan sulit, dan kita harus memilih salah satu di antaranya. Kayla mengalihkan pandangan pada Kayra yang sedang tidur. Wajahnya tenang dan begitu damai. Sungguh, Kayla tidak sanggup melukai dan menyakiti hatinya. Dia masih terlalu kecil. Sudah terlalu banyak hal-hal mengiris batin yang dialaminya dalam usia sedini itu. Kayla berjanji, ia tidak akan lagi menambah luka pada anaknya itu.Mata Kayla berpindah pada kantong plastik putih dengan label rumah sakit yang dikunjunginya tadi. Perlahan, dibukanya kantong itu dan mengamati satu demi satu butiran pil berbentuk bulat yang kini memenuhi ruang matanya.Pandangan Kayla berpindah pada
Seperti permintaan Kayla, Nabil pun menjemput Kayra ke sekolahnya. Ternyata Nabil datang lebih cepat. Dengan sabar ia pun menunggu sampai Kayra pulang. Ia duduk di bangku berwarna-warni yang tersedia disana dan memandang lepas pada kerumunan anak-anak yang menampilkan beragam ekspresi.Dari jauh Nabil memperhatikan Kayra yang sedang bermain bersama teman-temannya. Nabil rasa usulnya pada Kayla agar menyekolahkan Kayra tidak sia-sia. Buktinya, sekarang Kayra jauh berubah, malahan amat sangat jauh. Wajahnya yang biasa tersaput mendung, sekarang diselimuti awan-awan ceria. Tidak pernah lagi Nabil melihat rona kesedihan di mukanya. Memandang muka Kayra, Nabil seperti sedang menatap Radit. Mereka memang mirip. Siapa pun tidak ada yang akan membantah kalau Kayra adalah anak Radit. Ingat Radit, pikiran kembali membawanya pada hari terakhir Radit bersamanya.Saat itu mereka duduk berdua di kursi teras rumah sambil memperhatikan Kayra yang sedang bermain di pekarangan. Dari yang awalnya mere