Accueil / Rumah Tangga / Perselingkuhan di Siang Hari / Bab 6 - Tangan yang Mendebarkan

Share

Bab 6 - Tangan yang Mendebarkan

Auteur: Wee Daevii
last update Dernière mise à jour: 2025-10-17 13:55:12

"Biar saya bantu..."

Kiara sempat ingin menolak. Tapi Arhan sudah lebih dulu membantu.

Dengan hati-hati, ia memakaikan sweater kuning itu. Jarak keduanya begitu dekat, hingga Kiara mampu mencium wangi parfum yang menempel di baju Arhan. Inilah saat melodi romantis biasanya mengalun. Mengiringi gerakan demi gerakan yang penuh kehatian-kehatian dan rasa canggung yang mendebarkan.

"Oh ya... Panggil saja Kiara." ucap Kiara berusaha terlihat tenang.

Sekali lagi mereka bertemu pandang.

"Hm.. oke. Kiara," sahut Arhan dengan senyum tipis, senyum yang lagi-lagi membuat Kiara menunduk malu.

"Kalau begitu berikan nomer HP-mu. Nanti aku akan ganti biaya rumah sakitnya."

Arhan menerima ponsel yang Kiara sodorkan dan menuliskan nomornya.

Merekapun berjalan keluar beriringan dalam diam.

Di depan rumah sakit, Arhan membukakan pintu taksi untuk Kiara.

Kiara menatapnya ragu, alisnya sedikit terangkat.

“Silakan,” ucap Arhan tenang. “Aku akan mengantarmu pulang.”

Kiara menggeleng pelan. “Hah? Nggak perlu. Aku bisa sendiri.”

“Sudah,” katanya sambil menatap lembut tapi tegas. “Masuk saja.”

Akhirnya, Kiara menurut. Ia melangkah pelan dan duduk di kursi belakang, sementara Arhan mengambil tempat di depan, di samping sopir.

Sepanjang perjalanan, Kiara hanya diam. Tapi di hatinya, ada perasaan aneh yang sulit ia jelaskan. Campuran antara syukur dan canggung, antara ingin berterima kasih tapi juga ingin segera sampai rumah agar batinnya tak semakin sulit dikendalikan.

Di luar, hujan mulai reda. Menyisakan awan mendung yang masih terlihat samar. Tak lama, mobil akhirnya berhenti di depan rumah Kiara. Kiara segera turun. Suara pintu dari sisi depan ikut terbuka. Arhan melangkah cepat menyusul ke arah pintu belakang.

"Oh ya, hampir lupa. Ini obatnya." Arhan menyerahkan kantong obat. "Kata dokter, kamu kena cacar api, kamu pasti sangat kesakitan. Apa... Sekarang masih sangat sakit?"

"Cacar api?"

"Jadi kamu nggak tahu?"

Kiara sempat bingung mau jawab apa. Namun akhirnya ia berkata pelan, "hm.. aku tau kok."

"Obatnya diminum tiga kali sehari. Dan ada obat antibiotik yang harus dihabiskan meskipun sudah membaik..."

"Iya, sekali lagi makasih."

“Kalau begitu, aku pamit dulu, ya,” kata Arhan sambil menarik gagang pintu taksi.

Kiara menggenggam erat kantong obat itu, seolah ingin menyimpan rasa hangat yang baru saja singgah. Ia menatap Arhan sekali lagi dan berbisik lirih,

“Hati-hati di jalan.”

Taksi perlahan melaju, meninggalkan Kiara di depan rumahnya. Hujan sudah reda, menyisakan rasa damai di hati Kiara.

Kiara masih berdiri beberapa saat, menatap jalan yang kosong, sebelum akhirnya melangkah masuk rumah. Bibirnya tersenyum sedikit mengiringi langkah kakinya.

Di depan cermin, bayangan dirinya menatap balik. Wajah pucat, rambut sedikit berantakan, dan sweater kuning yang masih ia kenakan.

Ia memutar tubuh perlahan, mencoba melihat punggungnya melalui kaca. Kulit di sana tampak kemerahan, ruamnya menyebar. Saat jemarinya tanpa sengaja menyentuh bagian itu, rasa perih langsung menyengat.

“Aduh,” desisnya pelan.

Namun anehnya, rasa sakit itu justru membawa kembali suara Arhan di kepalanya.

"Kamu pasti sangat kesakitan. Apa... Sekarang masih sangat sakit?"

Suara itu berputar tanpa henti, membuat dada Kiara terasa sesak oleh sesuatu yang sulit ia gambarkan. Ia buru-buru menggeleng, mencoba menepis bayangan itu.

Untuk mengalihkan pikirannya, ia meraih ponsel dan menekan nama kontak suaminya. Ia ingin bercerita tentang apa yang baru saja menimpanya.

Nada sambung nya terdengar.

tut... tut... tut...

Bunyi itu terulang beberapa kali, tapi tak ada jawaban.

Kiara menatap layar ponsel yang perlahan meredup. Perasaan sepi perlahan menguasainya lagi. Ruangan di sekelilingnya terasa diam.

Sementara itu, di tempat lain, ada tawa yang justru tumbuh.

Di bawah langit cerah kawasan puncak. Aris, suaminya, memotret Dinda yang sedang makan es krim.

Di sebelahnya, ada Lestari, terlihat begitu akrab. Mereka tampak seperti keluarga utuh yang bahagia.

Ironisnya, hanya Kiara yang tahu, betapa hampa rasanya rumah yang kini ia sebut pulang.

Akhirnya ia kembali membuka ponsel. Ia menatap layar kontak lama. Jempolnya terlihat mengetik sesuatu.

> "Aku sudah transfer, untuk ganti biaya Rumah sakitnya. Sekali lagi terima kasih."

> "Kiara."

Pesan terkirim. Titik biru di sebelah masih abu-abu. Kiara menatap lama, seolah menunggu balasan.

Ia meletakan ponsel di meja, memeluk lutut, dan menatap keluar jendela. Mendung mulai memudar, berganti dengan cahaya senja yang nampak berseri.

Dan jauh di tempat lain, ponsel Arhan bergetar di atas meja kamar. Layar menyala, menampilkan nama yang baru pertama kali muncul di daftar pesannya. "Kiara."

Arhan menatap layar itu beberapa detik. Senyumannya muncul, lalu perlahan memudar saat suara perempuan memanggil.

"Mas. Aku sudah siap. Kamu jadi ikut ke acara pernikahan temenku kan?

Arhan sedikit terperanjat, pandangannya berpindah dari ponsel ke arah pintu.

Di layar, pesan dari Kiara masih belum dibuka.

-

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Perselingkuhan di Siang Hari   Bab 53 - Kiara, Dewi, dan Arhan

    Dewi menatap Rani dengan antusias. “Kamu udah tahu belum, Ran, siapa teman spesial Kiara? Kalian kan udah dekat banget. Pasti dia udah cerita lah ke kamu?”Kiara langsung tersedak.“Dew—”Kini Kiara dan Dewi sama-sama menatap Rani, seperti menunggu kalimat apa kira-kira yang akan keluar dari mulutnya.Tapi Rani tak langsung merespon, ia justru menaikkan alis — pura-pura bingung.“Teman spesial?”Ia menatap Kiara sambil mengerutkan kening.“Emang iya, Mbak? Sekarang kamu punya teman spesial?”Nada suaranya lugu, seolah benar-benar tidak tahu apa-apa.Dewi langsung manyun.“Hmmm, Kirain kamu tahu.”Rani menahan senyum tipis—bukan mengejek, tapi seperti sengaja memberi Kiara waktu untuk bicara sendiri.“Wahh, aku baru dengar malah,” katanya ringan. "Kenapa Mbak Dewi tiba-tiba tanya tentang hal ini?""Hehe karena sebenarnya, aku pernah salah ngira kalau Mbakmu itu ada hubungan sama Erwin.""Owh, Mbak Dewi past cumai salah duga aja."Dewi memeluk bantal sofa dan cemberut lucu.“Ya ampuun,

  • Perselingkuhan di Siang Hari   Bab 52 - Cerita Tiga Perempuan

    Erwin akhirnya menyerah dan melangkah pergi. Namun, sebelum benar-benar membalikkan badan, ia masih sempat memanggil pelan—hampir seperti helaan napas yang putus asa.“Ran….”Rani berpaling cepat. Air matanya menggantung di ujung mata; ia tak berani menatap Erwin. Bukan karena benci—justru karena rasa rindu itu ternyata masih ada dan lebih kuat dari yang ingin ia akui.Kiara yang melihat keduanya hanya bisa menarik napas pelan. Ada sesuatu dalam cara mereka saling menghindar, tapi tetap saling menahan, yang terasa terlalu familiar baginya. Sebuah sisa cinta yang keras kepala—persis seperti hubungannya sendiri dengan Arhan yang tak pernah benar-benar sederhana.Dengan hati yang enggan, akhirnya pelan-pelan Erwin melangkah menjauh dari sana.Setelah Erwin benar-benar pergi, Rani buru-buru mengusap pipinya yang masih basah. Suasana kafe juga mulai kembali normal; para pengunjung yang tadi sempat menoleh kini sudah tenggelam lagi dalam urusan masing-masing.Kiara langsung merangkul Rani s

  • Perselingkuhan di Siang Hari   Bab 51 - Kiara, Dewi dan Rani

    Di dalam mobil, Arhan menyetir dengan menyandarkan kepala, keningnya sedikit berkerut, seperti baru saja mengingat sesuatu."Kiara...." ucapnya pelan. "Wanita tadi, wanita yang hamil itu ..., bukannya dia yang pernah kerja di kafe dekat kantor, kan?"Kiara yang tadi masih menatap ke luar jendela, kini menatap Arhan. "Iya, dia Rani yang itu."Arhan hanya mengangguk, tak berani berkata lebih banyak."Kenapa? Kamu khawatir?""Enggak." Arhan langsung menggelengkan kepala. "Aku justru tadi sempat khawatir, kalau dia itu saudara kamu atau—" ucapannya menggantung, bibirnya bahkan terasa kaku jika ia harus melanjutkan sampai dengan kata 'suami'.""Dia bisa dipercaya, kok," tambah Kiara.Keheningan kembali turun, tapi perlahan tangan kiri Arhan menggenggam jemari Kiara. Dan tersenyum ke arahnya, seolah mengatakan, "kalau ada apa-apa. Aku akan selalu ada buat kamu."Kiara membalas senyum itu. Ia menggeser duduknya sedikit, mendekat ke arah Arhan, lalu menyandarkan kepalanya di bahunya.-Keesok

  • Perselingkuhan di Siang Hari   Bab 50 - Api yang Membesar

    Kembang api masih mekar satu per satu di langit Jakarta—merah, hijau, ungu—semuanya memantul di mata Kiara, membuat malam itu seperti terasa jauh lebih berwarna.Arhan berdiri tepat di belakangnya,ia merangkul Kiara dari belakang.Pelan, dan penuh keromantisan. Kiara tidak menjauh.Kedua tangannya justru terangkat, menyentuh lengan Arhan yang melingkar di bahunya.Keduanya sama-sama diam, hanya menatap langit.Cincin di jari mereka—dua cincin berbeda—berkilat tipis terkena cahaya kembang api.Kesadaran itu menampar mereka seketika.Perlahan, Kiara menurunkan tangan Arhan dari bahunya.Namun jari mereka masih saling menggenggam—erat, seperti enggan dilepas.Dan ketika Kiara akhirnya menatap Arhan, hatinya terjun bebas begitu saja. Tak terhitung sudah berapa kali ia jatuh pada pria ini …, jatuh tanpa bisa menahan dirinya sendiri.“Kiara….” suara Arhan memanggil dengan lembut. “Aku ingin tinggal bersamamu.”Dunia Kiara berhenti.Kalimat itu bukan angin lalu. Bukan sekadar luapan emosi s

  • Perselingkuhan di Siang Hari   Bab 49 - Kembang Api di Langit yang Sama

    Kiara pulang ke rumah, dan seperti yang sudah ia duga, Aris tidak ada. Dalam keadaan begini, mustahil suaminya pulang. Ia pasti ikut Lestari untuk menenangkan Dinda. Kiara berdiri di ruang tamu, merasa benar-benar kehilangan arah. Tangannya sempat bergerak membuka kontak ponsel, hampir menekan nama Arhan, tapi ia berhenti. Jam segini Arhan pasti sudah di rumah bersama istrinya. Akhirnya, ia menekan nama yang sudah lama tidak ia hubungi. Ibunya. Sudah lama ia tidak bercerita apa pun kepada orang tuanya. Ia selalu bilang semuanya baik-baik saja, seolah hidupnya tetap selalu rapi tanpa masalah, tapi malam ini, ia merasa benar-benar mentok. Ada dorongan untuk sekadar mendengar suara ibunya, meski ia sendiri tidak tahu harus bercerita dari mana. “Assalamualaikum, Bu ..., Ibu lagi apa?” tanyanya pelan. “Waalaikumsalam, Ra. Ini ibu lagi masak buat nanti malam. Ada apa, Nak? Suara kamu kok kayak kurang sehat? Kamu baik-baik saja, kan?” “Kiara sehat kok, Bu." Ia berusaha tersenyum mes

  • Perselingkuhan di Siang Hari   Bab 48 - Hanya Orang luar

    Aris tiba di depan menimarket dengan napas terengah, wajahnya pucat. Begitu melihat kiara berdiri tanpa Dinda, ia langsung menghampiri dengan wajah yang terlihat emosi."Kiara! Mana dinda?! Di mana anak saya?!"Kiara membuka mulut, tapi suara tak keluar. "Mas, aku—""Kalau kamu nggak suka sama Dinda, bilang! Kalau tadi kamu sakit hati dengan omongannya bilang! Jangan malah sengaja bikin anak saya hilang kayak gini."Beberapa pengunjung yang akan masuk ke sana menoleh. Dua kasir ikut saling pandang, kaget. Suara Aris menggema di pelataran minimarket.Kiara mematung, tak bisa menjawab, bahkan hampir seperti bernapas. Kata-kata Aris seperti menampar keras.Lalu sebuah mobil berhenti mendadak di depan minimarket. Pintu terbuka cepat.Lestari turun dengan langkah buru-buru, wajahnya panik. Begitu sampai, tatapannya langsung menusuk Kiara."Mana Dinda? Ia mendekat, memeriksa sekeliling, lalu mentatap Aris.Lestari mendecak sinis, "aku udah percayain Dinda ke kamu ya, Ris. Malah kamu sembara

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status