"Biar saya bantu..."
Kiara sempat ingin menolak. Tapi Arhan sudah lebih dulu membantu. Dengan hati-hati, ia memakaikan sweater kuning itu. Jarak keduanya begitu dekat, hingga Kiara mampu mencium wangi parfum yang menempel di baju Arhan. Inilah saat melodi romantis biasanya mengalun. Mengiringi gerakan demi gerakan yang penuh kehatian-kehatian dan rasa canggung yang mendebarkan. "Oh ya... Panggil saja Kiara." ucap Kiara berusaha terlihat tenang. Sekali lagi mereka bertemu pandang. "Hm.. oke. Kiara," sahut Arhan dengan senyum tipis, senyum yang lagi-lagi membuat Kiara menunduk malu. "Kalau begitu berikan nomer HP-mu. Nanti aku akan ganti biaya rumah sakitnya." Arhan menerima ponsel yang Kiara sodorkan dan menuliskan nomornya. Merekapun berjalan keluar beriringan dalam diam. Di depan rumah sakit, Arhan membukakan pintu taksi untuk Kiara. Kiara menatapnya ragu, alisnya sedikit terangkat. “Silakan,” ucap Arhan tenang. “Aku akan mengantarmu pulang.” Kiara menggeleng pelan. “Hah? Nggak perlu. Aku bisa sendiri.” “Sudah,” katanya sambil menatap lembut tapi tegas. “Masuk saja.” Akhirnya, Kiara menurut. Ia melangkah pelan dan duduk di kursi belakang, sementara Arhan mengambil tempat di depan, di samping sopir. Sepanjang perjalanan, Kiara hanya diam. Tapi di hatinya, ada perasaan aneh yang sulit ia jelaskan. Campuran antara syukur dan canggung, antara ingin berterima kasih tapi juga ingin segera sampai rumah agar batinnya tak semakin sulit dikendalikan. Di luar, hujan mulai reda. Menyisakan awan mendung yang masih terlihat samar. Tak lama, mobil akhirnya berhenti di depan rumah Kiara. Kiara segera turun. Suara pintu dari sisi depan ikut terbuka. Arhan melangkah cepat menyusul ke arah pintu belakang. "Oh ya, hampir lupa. Ini obatnya." Arhan menyerahkan kantong obat. "Kata dokter, kamu kena cacar api, kamu pasti sangat kesakitan. Apa... Sekarang masih sangat sakit?" "Cacar api?" "Jadi kamu nggak tahu?" Kiara sempat bingung mau jawab apa. Namun akhirnya ia berkata pelan, "hm.. aku tau kok." "Obatnya diminum tiga kali sehari. Dan ada obat antibiotik yang harus dihabiskan meskipun sudah membaik..." "Iya, sekali lagi makasih." “Kalau begitu, aku pamit dulu, ya,” kata Arhan sambil menarik gagang pintu taksi. Kiara menggenggam erat kantong obat itu, seolah ingin menyimpan rasa hangat yang baru saja singgah. Ia menatap Arhan sekali lagi dan berbisik lirih, “Hati-hati di jalan.” Taksi perlahan melaju, meninggalkan Kiara di depan rumahnya. Hujan sudah reda, menyisakan rasa damai di hati Kiara. Kiara masih berdiri beberapa saat, menatap jalan yang kosong, sebelum akhirnya melangkah masuk rumah. Bibirnya tersenyum sedikit mengiringi langkah kakinya. Di depan cermin, bayangan dirinya menatap balik. Wajah pucat, rambut sedikit berantakan, dan sweater kuning yang masih ia kenakan. Ia memutar tubuh perlahan, mencoba melihat punggungnya melalui kaca. Kulit di sana tampak kemerahan, ruamnya menyebar. Saat jemarinya tanpa sengaja menyentuh bagian itu, rasa perih langsung menyengat. “Aduh,” desisnya pelan. Namun anehnya, rasa sakit itu justru membawa kembali suara Arhan di kepalanya. "Kamu pasti sangat kesakitan. Apa... Sekarang masih sangat sakit?" Suara itu berputar tanpa henti, membuat dada Kiara terasa sesak oleh sesuatu yang sulit ia gambarkan. Ia buru-buru menggeleng, mencoba menepis bayangan itu. Untuk mengalihkan pikirannya, ia meraih ponsel dan menekan nama kontak suaminya. Ia ingin bercerita tentang apa yang baru saja menimpanya. Nada sambung nya terdengar. tut... tut... tut... Bunyi itu terulang beberapa kali, tapi tak ada jawaban. Kiara menatap layar ponsel yang perlahan meredup. Perasaan sepi perlahan menguasainya lagi. Ruangan di sekelilingnya terasa diam. Sementara itu, di tempat lain, ada tawa yang justru tumbuh. Di bawah langit cerah kawasan puncak, Aris, suaminya terlihat duduk bersama bersama manta istrinya dan anak mereka. Mereka tertawa kecil sambil memotret Dinda yang sedang makan es krim. Di sebelahnya, ada Lestari, terlihat begitu akrab. Mereka tampak seperti keluarga utuh yang bahagia. Ironisnya, hanya Kiara yang tahu, betapa hampa rasanya rumah yang kini ia sebut pulang. Akhirnya ia kembali membuka ponsel. Ia menatap layar kontak lama. Jempolnya terlihat mengetik sesuatu. "Aku sudah transfer, untuk ganti biaya Rumah sakitnya. Sekali lagi terima kasih." "Kiara." Pesan terkirim. Titik biru di sebelah masih abu-abu. Kiara menatap lama, seolah menunggu balasan. Ia meletakan ponsel di meja, memeluk lutut, dan menatap keluar jendela. Mendung mulai memudar, berganti dengan cahaya senja yang nampak berseri. Dan jauh di tempat lain, ponsel Arhan bergetar di atas meja kamar. Layar menyala, menampilkan nama yang baru pertama kali muncul di daftar pesannya. "Kiara." Arhan menatap layar itu beberapa detik. Senyumannya muncul, lalu perlahan memudar saat suara perempuan memanggil. "Mas. Aku sudah siap. Kamu jadi ikut ke acara pernikahan temenku kan? Arhan sedikit terperanjat, pandangannya berpindah dari ponsel ke arah pintu. Di layar, pesan dari Kiara masih belum dibuka. -Arhan masih berdiri di tempat, pandangannya tak lepas dari Kiara yang terisak di tepi jalan. Dunia di sekitarnya terasa hening, hanya suara tangisnya yang terdengar samar di antara angin.Haruskah ia mendekat?Atau justru pergi saja, pura-pura tak melihat?Jari-jarinya mengepal pelan. Dengan wajah bimbang, ia akhirnya meraih ponsel dan menekan panggilan ke nomor Kiara.Di depan sana, Kiara menatap layar ponselnya. Ada panggilan masuk. Ia buru-buru mengapus air mata. "Halo." Suaranya berpura-pura normal, namun masih terdengar sedikit bergetar.Suara di seberang telepon, hening. Tak ada jawaban. Kiara menurunkan ponselnya dari telinga, menatap layar, memastikan apa masih tersambung panggilannya.Samar-samar, suara gemuruh kereta terdengar. Bukan hanya di telinganya, tapi juga dari seberang telepon.Keningnya berkerut, ia menoleh ke kanan, ke kiri, mencari sumber suara.Sampai akhirnya pandangan itu berhenti pada sosok pria yang berdiri tak jauh darinya, dengan ponsel yang masih di tel
Malam perlahan turun. Kiara meringkuk di ranjang, masih mengenakan sweater kuning yang diberikan Arhan. Matanya setengah terpejam ketika suara pintu terbuka pelan. Aris pulang, membawa aroma wangi mobil dan udara dingin dari luar. “Kiara?” suaranya terdengar pelan, sedikit serak. Kiara membuka mata, berusaha tersenyum. “Kamu baru pulang?” tanyanya lirih.Aris mengangguk sambil menaruh tas di kursi. “Iya. Tadi jalanan macet.” Ia mendekat ke sisi ranjang, duduk di tepi tempat tidur. “Kamu kenapa? Sakit?”"Iya, sedikit demam. Soalnya punggungku muncul ruam herpes."Kiara ingin melanjutkan jawabanya dan bercerita lebih banyak dengan nada lembut, sedikit manja, berharap Aris akan memegang tangannya, atau sekadar menunjukkan rasa khawatir. Namun saat ia baru membuka mulut, Aris sudah menimpali lebih dulu, “Syukurlah kalau cuma demam. Herpes memang suka begitu, kadang bikin panas tinggi, tapi itu normal kok. Minum obat, nanti juga sembuh sendiri.” Kiara terdiam. Senyumnya pelan-pela
"Biar saya bantu..." Kiara sempat ingin menolak. Tapi Arhan sudah lebih dulu membantu. Dengan hati-hati, ia memakaikan sweater kuning itu. Jarak keduanya begitu dekat, hingga Kiara mampu mencium wangi parfum yang menempel di baju Arhan. Inilah saat melodi romantis biasanya mengalun. Mengiringi gerakan demi gerakan yang penuh kehatian-kehatian dan rasa canggung yang mendebarkan. "Oh ya... Panggil saja Kiara." ucap Kiara berusaha terlihat tenang. Sekali lagi mereka bertemu pandang. "Hm.. oke. Kiara," sahut Arhan dengan senyum tipis, senyum yang lagi-lagi membuat Kiara menunduk malu. "Kalau begitu berikan nomer HP-mu. Nanti aku akan ganti biaya rumah sakitnya." Arhan menerima ponsel yang Kiara sodorkan dan menuliskan nomornya. Merekapun berjalan keluar beriringan dalam diam. Di depan rumah sakit, Arhan membukakan pintu taksi untuk Kiara. Kiara menatapnya ragu, alisnya sedikit terangkat. “Silakan,” ucap Arhan tenang. “Aku akan mengantarmu pulang.” Kiara menggeleng pelan. “Hah?
Arhan berlari menyeberang tanpa memperdulikan kendaraan yang melintas. Rintik hujan yang makin deras membasahi bahunya, tapi matanya hanya terfokus pada tubuh Kiara yang terkulai di trotoar. Ia berlutut, mengguncang pelan bahu perempuan itu. Wajah Kiara tampak pucat, bibirnya kering, napasnya dangkal. Tanpa pikir panjang, Arhan melepaskan jaket yang ia kenakan dan menutupinya agar tak semakin basah. “Mbak... dengar aku, kan?” ucapnya pelan tapi cemas. Arhan menatap sekeliling dengan panik, lalu melambaikan tangan ke arah taksi yang baru berhenti di depan minimarket. “Pak, tolong bantu saya! Dia pingsan!” Dengan bantuan sopir taksi yang membukakan pintu, Arhan mengangkat tubuh Kiara ke dalam mobil. Gerimis makin deras saat pintu mobil tertutup, menyisakan suara hujan yang membasahi kaca. Di dalam taksi, Arhan menatap wajah Kiara yang terpejam di pangkuannya. Ada rasa takut yang ia sendiri tak sepenuhnya paham. 'Kenapa aku secemas ini pada seseorang yang bahkan belum aku tahu n
Pagi itu langit tampak muram. Gerimis lagi-lagi turun sejak subuh, menetes lembut di balik jendela kamar.Kiara membuka mata dengan tubuh yang terasa lemah. Wajahnya pucat, tanpa energi.Di sebelahnya, Aris, suaminya, masih terlelap. Hari itu hari Sabtu, hari di mana ia bisa bangun sedikit siang karena tidak ada jadwal di rumah sakit.Kiara beranjak perlahan, berniat menuju kamar mandi. Namun langkahnya terhenti saat ponsel di meja samping tempat tidur bergetar pelan.Layar menyala, menampilkan satu nama kontak yang kini sudah tak asing lagi di matanya."Mamanya Dinda." > “Hari ini jadi kan? Dinda sejak kemarin sudah merengek minta ke rumah neneknya. Sekalian ke Puncak.” Kiara menatap layar itu tanpa ekspresi. Tapi ketika ponsel kembali bergetar, matanya refleks melirik. > “Kalau bisa jangan ajak istrimu. Takut Dinda jadi kurang nyaman menghabiskan waktu liburannya.” Jemarinya langsung menegang mengepal. Ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya cepat, mencoba menahan sesu
Punggung pria itu terlihat hangat. Kemeja putih yang ia kenakan membuatnya semakin terlihat tenang. Kiara berdiri dan memberanikan diri memanggil. "Permisi..." Pria itu menoleh. Saat berbalik, garis rahangnya tampak tegas dari samping. "Iya..." Tatapan mereka sempat bertemu. Cepat-cepat Kiara mengalihkan tatapannya. "Sekali lagi, terima kasih." Kiara mengulurkan tangannya, memberikan sekotak cheescake. Pria itu memiringkan kepalanya, tampak heran. "Ah... Ini sebagai ucapan terima kasih. Mohon untuk diterima," ujar cepat Kiara. "Oke, aku terima. Makasih ya." Tangannya cukup besar saat menerima kotak cheescake. sebelum pergi, ia sempat menoleh sekali lagi ke arah Kiara, meninggalkan senyuman manis yang membuat hati Kiara sedikit berdesir. Senyum itu masih tersisa di benaknya bahkan setelah sosok pria itu benar-benar melangkah pergi. Kiara menarik napas pelan, lalu kembali ke arah kasir. Saat melihat Rani, pelayan kafe tadi. Rasanya Kiara ingin menanyakan kesalapahaman yang