Share

Bab 5 - Sweater kuning

Author: Wee Daevii
last update Last Updated: 2025-10-16 16:38:20

Dua hari itu berlalu seperti mimpi panjang.

Waktu seakan berputar, membawa Kiara kembali pada hari ketika tubuhnya tak sanggup lagi berdiri.

Arhan berlari menyeberang tanpa memperdulikan suara klakson kendaraan yang melintas. Rintik hujan yang makin deras membasahi bahunya, tapi matanya hanya terfokus pada tubuh Kiara yang terkulai di trotoar.

Ia berlutut, mengguncang pelan bahu perempuan itu. Wajah Kiara tampak pucat, bibirnya kering, napasnya dangkal.

Tanpa pikir panjang, Arhan melepaskan jaket yang ia kenakan dan menutupinya agar tak semakin basah.

“Mbak... dengar aku, kan?” ucapnya pelan tapi cemas.

Arhan menatap sekeliling dengan panik, lalu melambaikan tangan ke arah taksi yang baru berhenti di depan minimarket.

“Pak, tolong bantu saya! Dia pingsan!”

Dengan bantuan sopir taksi yang membukakan pintu, Arhan mengangkat tubuh Kiara ke dalam mobil. Gerimis makin deras saat pintu mobil tertutup, menyisakan suara hujan yang membasahi kaca.

Di dalam taksi, Arhan menatap wajah Kiara yang terpejam di pangkuannya. Ada rasa takut yang ia sendiri tak sepenuhnya paham.

'Kenapa aku secemas ini pada seseorang yang bahkan belum aku tahu namanya?'

Tangannya refleks menggenggam erat jemari Kiara yang dingin. Mobil terus melaju hingga berhenti di depan lobi IGD.

Beberapa saat setelahnya, Arhan masih duduk di kursi tunggu dengan pakaian yang setengah basah.

Pintu ruang tindakan terbuka, seorang perawat keluar dan mendekat.

“Maaf, Bapak keluarga pasien?”

pertanyaan itu membuatnya terdiam sejenak.

“Ah... saya...” ia menarik napas, menatap wajah perawat yang menunggu jawaban, lalu menelan ludah pelan. “Saya, temannya.”

Perawat mengangguk singkat. “Baik, Pak, kami butuh tanda tangan di formulir perawatan sementara. Hanya untuk tindakan dasar.”

Tanpa banyak pikir, Arhan menandatangani kertas itu. Dalam hati, ia merasa aneh, menandatangani di kolom wali pasien untuk seseorang yang baru dua kali ia temui.

Tak lama, dokter keluar dari ruang tindakan, melepas masker, lalu berbicara dengan nada tenang.

“Pasien sudah sadar. Tekanan darahnya rendah, dan dia juga demam tinggi. Dari pemeriksaan kulit di bagian punggung, tampaknya itu herpes zoster atau cacar api. Mungkin karena daya tahan tubuhnya menurun.”

Arhan terdiam, mendengarkan setiap kata.

“Ruam herpes ini biasanya sangat menyakitkan,” lanjut sang dokter. “Dan kalau dia terlalu lelah atau stres, bisa makin parah. Untuk sekarang, kami beri obat antivirus dan pereda nyeri.”

Arhan mengangguk pelan. “Baik, Dok.”

“Ini resep obatnya. Bisa ditebus di apotek lantai bawah.”

Ia langsung berjalan menuju apotek. Di kepalanya, suara dokter terus terulang: ‘Ruam herpes ini biasanya sangat menyakitkan.'

Kalimat itu terus mengikutinya sampai Ia berdiri di depan konter apotek. Ia menarik napas panjang, menunggu obat disiapkan. Entah kenapa, hatinya terasa berat, membayangkan wanita itu mungkin sangat kesakitan hingga dirinya pingsan di jalan.

Sedangkan di ruang IGD, Kiara perlahan bangun dengan bantuan perawat. Selang infus di tangannya baru saja dilepas. Wajahnya masih pucat, tapi pijakannya sudah mulai stabil.

"Saya harus bayar di mana sus?"

"Semuanya sudah dibayar sama wali ibu." Jawab suster lalu pamit pergi.

Kiara memiringkan kepala. Bingung.

Wali?

Saat dirinya sedang mencari jaket yang tadi ia kenakan, tirai pembatas bergeser pelan. Arhan muncul dari baliknya, membawa kantong belanja di tangan.

Kiara sedikit terkejut melihat wajah pria yang kini tak asing lagi, berdiri di hadapannya.

"Mas... nya?" Jari telujuk Kiara terangkat pelan, kedua alisnya berkerut. Mengingat sesuatu.

"Hm... Saya Arhan. Tadi Mbaknya pingsan di jalan," ucapnya sambil mengenalkan diri. Sekilas ia menatap pakaian Kiara yang masih tampak basah.

"Hm terima kasih sudah nolong saya lagi." Nada suaranya terdengar canggung.

Hening sesaat.

Kiara celingukan, kembali mencari jaketnya. Arhan langsung menyadarinya dan mengeluarkan sweater dari kantong belanja.

"Kamu bisa pakai ini," katanya sambil menyerahkan sebuah sweater yang masih terbungkus plastik.

Kiara menatap heran. "Apa ini?"

"Sebenarnya jaket Mbak basah," jawab Arhan sedikit kikuk, ia memperlihatkan jaket wanita itu yang benar-benar basah dari dalam kantong belanja.

"Kalau begitu, aku nggak perlu pakai jaket."

"Oh,, jangan, jangan. Cuaca hari ini dingin sekali. Bisa-bisa Mbaknya tambah sakit." Dengan cekatan Arhan membuka plastik pembungkusnya. "Lagian saya beli yang paling murah kok. Jadi Mbaknya tidak perlu merasa terbebani."

Kiara terdiam sesaat sebelum akhirnya menerima, jemarinya masih sedikit bergetar kecil. ia berusaha mengenakannya sendiri, tapi gerakannya kaku. bahunya masih lemah.

"Biar saya bantu."

-

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Perselingkuhan di Siang Hari   Bab 53 - Kiara, Dewi, dan Arhan

    Dewi menatap Rani dengan antusias. “Kamu udah tahu belum, Ran, siapa teman spesial Kiara? Kalian kan udah dekat banget. Pasti dia udah cerita lah ke kamu?”Kiara langsung tersedak.“Dew—”Kini Kiara dan Dewi sama-sama menatap Rani, seperti menunggu kalimat apa kira-kira yang akan keluar dari mulutnya.Tapi Rani tak langsung merespon, ia justru menaikkan alis — pura-pura bingung.“Teman spesial?”Ia menatap Kiara sambil mengerutkan kening.“Emang iya, Mbak? Sekarang kamu punya teman spesial?”Nada suaranya lugu, seolah benar-benar tidak tahu apa-apa.Dewi langsung manyun.“Hmmm, Kirain kamu tahu.”Rani menahan senyum tipis—bukan mengejek, tapi seperti sengaja memberi Kiara waktu untuk bicara sendiri.“Wahh, aku baru dengar malah,” katanya ringan. "Kenapa Mbak Dewi tiba-tiba tanya tentang hal ini?""Hehe karena sebenarnya, aku pernah salah ngira kalau Mbakmu itu ada hubungan sama Erwin.""Owh, Mbak Dewi past cumai salah duga aja."Dewi memeluk bantal sofa dan cemberut lucu.“Ya ampuun,

  • Perselingkuhan di Siang Hari   Bab 52 - Cerita Tiga Perempuan

    Erwin akhirnya menyerah dan melangkah pergi. Namun, sebelum benar-benar membalikkan badan, ia masih sempat memanggil pelan—hampir seperti helaan napas yang putus asa.“Ran….”Rani berpaling cepat. Air matanya menggantung di ujung mata; ia tak berani menatap Erwin. Bukan karena benci—justru karena rasa rindu itu ternyata masih ada dan lebih kuat dari yang ingin ia akui.Kiara yang melihat keduanya hanya bisa menarik napas pelan. Ada sesuatu dalam cara mereka saling menghindar, tapi tetap saling menahan, yang terasa terlalu familiar baginya. Sebuah sisa cinta yang keras kepala—persis seperti hubungannya sendiri dengan Arhan yang tak pernah benar-benar sederhana.Dengan hati yang enggan, akhirnya pelan-pelan Erwin melangkah menjauh dari sana.Setelah Erwin benar-benar pergi, Rani buru-buru mengusap pipinya yang masih basah. Suasana kafe juga mulai kembali normal; para pengunjung yang tadi sempat menoleh kini sudah tenggelam lagi dalam urusan masing-masing.Kiara langsung merangkul Rani s

  • Perselingkuhan di Siang Hari   Bab 51 - Kiara, Dewi dan Rani

    Di dalam mobil, Arhan menyetir dengan menyandarkan kepala, keningnya sedikit berkerut, seperti baru saja mengingat sesuatu."Kiara...." ucapnya pelan. "Wanita tadi, wanita yang hamil itu ..., bukannya dia yang pernah kerja di kafe dekat kantor, kan?"Kiara yang tadi masih menatap ke luar jendela, kini menatap Arhan. "Iya, dia Rani yang itu."Arhan hanya mengangguk, tak berani berkata lebih banyak."Kenapa? Kamu khawatir?""Enggak." Arhan langsung menggelengkan kepala. "Aku justru tadi sempat khawatir, kalau dia itu saudara kamu atau—" ucapannya menggantung, bibirnya bahkan terasa kaku jika ia harus melanjutkan sampai dengan kata 'suami'.""Dia bisa dipercaya, kok," tambah Kiara.Keheningan kembali turun, tapi perlahan tangan kiri Arhan menggenggam jemari Kiara. Dan tersenyum ke arahnya, seolah mengatakan, "kalau ada apa-apa. Aku akan selalu ada buat kamu."Kiara membalas senyum itu. Ia menggeser duduknya sedikit, mendekat ke arah Arhan, lalu menyandarkan kepalanya di bahunya.-Keesok

  • Perselingkuhan di Siang Hari   Bab 50 - Api yang Membesar

    Kembang api masih mekar satu per satu di langit Jakarta—merah, hijau, ungu—semuanya memantul di mata Kiara, membuat malam itu seperti terasa jauh lebih berwarna.Arhan berdiri tepat di belakangnya,ia merangkul Kiara dari belakang.Pelan, dan penuh keromantisan. Kiara tidak menjauh.Kedua tangannya justru terangkat, menyentuh lengan Arhan yang melingkar di bahunya.Keduanya sama-sama diam, hanya menatap langit.Cincin di jari mereka—dua cincin berbeda—berkilat tipis terkena cahaya kembang api.Kesadaran itu menampar mereka seketika.Perlahan, Kiara menurunkan tangan Arhan dari bahunya.Namun jari mereka masih saling menggenggam—erat, seperti enggan dilepas.Dan ketika Kiara akhirnya menatap Arhan, hatinya terjun bebas begitu saja. Tak terhitung sudah berapa kali ia jatuh pada pria ini …, jatuh tanpa bisa menahan dirinya sendiri.“Kiara….” suara Arhan memanggil dengan lembut. “Aku ingin tinggal bersamamu.”Dunia Kiara berhenti.Kalimat itu bukan angin lalu. Bukan sekadar luapan emosi s

  • Perselingkuhan di Siang Hari   Bab 49 - Kembang Api di Langit yang Sama

    Kiara pulang ke rumah, dan seperti yang sudah ia duga, Aris tidak ada. Dalam keadaan begini, mustahil suaminya pulang. Ia pasti ikut Lestari untuk menenangkan Dinda. Kiara berdiri di ruang tamu, merasa benar-benar kehilangan arah. Tangannya sempat bergerak membuka kontak ponsel, hampir menekan nama Arhan, tapi ia berhenti. Jam segini Arhan pasti sudah di rumah bersama istrinya. Akhirnya, ia menekan nama yang sudah lama tidak ia hubungi. Ibunya. Sudah lama ia tidak bercerita apa pun kepada orang tuanya. Ia selalu bilang semuanya baik-baik saja, seolah hidupnya tetap selalu rapi tanpa masalah, tapi malam ini, ia merasa benar-benar mentok. Ada dorongan untuk sekadar mendengar suara ibunya, meski ia sendiri tidak tahu harus bercerita dari mana. “Assalamualaikum, Bu ..., Ibu lagi apa?” tanyanya pelan. “Waalaikumsalam, Ra. Ini ibu lagi masak buat nanti malam. Ada apa, Nak? Suara kamu kok kayak kurang sehat? Kamu baik-baik saja, kan?” “Kiara sehat kok, Bu." Ia berusaha tersenyum mes

  • Perselingkuhan di Siang Hari   Bab 48 - Hanya Orang luar

    Aris tiba di depan menimarket dengan napas terengah, wajahnya pucat. Begitu melihat kiara berdiri tanpa Dinda, ia langsung menghampiri dengan wajah yang terlihat emosi."Kiara! Mana dinda?! Di mana anak saya?!"Kiara membuka mulut, tapi suara tak keluar. "Mas, aku—""Kalau kamu nggak suka sama Dinda, bilang! Kalau tadi kamu sakit hati dengan omongannya bilang! Jangan malah sengaja bikin anak saya hilang kayak gini."Beberapa pengunjung yang akan masuk ke sana menoleh. Dua kasir ikut saling pandang, kaget. Suara Aris menggema di pelataran minimarket.Kiara mematung, tak bisa menjawab, bahkan hampir seperti bernapas. Kata-kata Aris seperti menampar keras.Lalu sebuah mobil berhenti mendadak di depan minimarket. Pintu terbuka cepat.Lestari turun dengan langkah buru-buru, wajahnya panik. Begitu sampai, tatapannya langsung menusuk Kiara."Mana Dinda? Ia mendekat, memeriksa sekeliling, lalu mentatap Aris.Lestari mendecak sinis, "aku udah percayain Dinda ke kamu ya, Ris. Malah kamu sembara

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status