Safira menemukan bungkusan hitam menggantung di pagar kosannya. Isinya terdapat bungkusan dan teh gelas--bungkusan itu sepertinya bungkusan nasi. Gilang membelikan semua untuknya. Safira mengamati sekitarnya. Mencari keberadaan Gilang, tapi sepertinya lelaki itu memang sudah tak ada. Cewek itu pun masuk ke dalam dengan membawa bungkusan itu.
Di dalam kamar, Safira mengirimi Gilang pesan.
Safira: Makasih nasi gorengnya. Tau aja gue laper.
Gilang: Tau dong ... Aku kan malaikat penolongmu ...
Safira terpaku membaca kalimat di pesan itu.Gilang menggunakan kata 'aku kamu'.Untuk sesaat, jantungnya berdegup kencang. Tapi dia berusaha menetralkan perasaannya dan membalas pesan itu dengan tenang.
Safira: Tapi sebenarnya lo nggak perlu repot-repot ngasi makanan segala. Gue jadi nggak enak.
Gilang: Nggak pa-pa. Itu sebagai ucapan terima kasih gue ke lo.
Gilang kembali menggunakan 'lo gue'.
Safira: Terima kasih buat a
Gimana ya kelanjutannya? Apakah Viona bersedia? Nantikan part selanjutnya, ya. Makasih readers...
Viona menatap kerumunan para senior yang tengah asyik bercanda ria di kantin. Di sana juga ada Gilang. Lelaki itulah yang menjadi sasarannya. Viona menarik napas lalu mengembuskannya perlahan. Kali ini dia sendiri, tidak ada Shasa yang biasa setia menemani. "Gue harus berani. Ya, kali ini harus berhasil," ucapnya meyakinkan dirinya. Dengan segenap keberanian, perempuan itu pun berjalan mendekati kerumunan itu--seiring dengan jantungnya yang bertalu-talu--lebih tepatnya mendekat ke posisi di mana Gilang berada.Bau asap rokok yang menyatu dengan aroma makanan menguar tatkala Viona tiba di depan pintu kantin. "Kak Gilang!!" Teriakan itu menarik perhatian semua yang ada di kantin. Gilang yang tengah bersantai sambil nge-teh bersama Gio dan Farhan, seketika menatap gadis yang memanggil namanya itu. Dia lagi, dia lagi. Gilang berdiri dan mendatangi gadis itu. Keningnya berkernyit. "Lo ini kenapa, sih? Ada perlu apa la
"Gimana? Deal?" Gilang menatap Viona intens. Sementara Viona menatap lelaki itu takut-takut. Gilang menaikkan alisnya ketika melihat tak ada tanda-tanda Viona akan menjawab. "A-apa nggak ada cara lain, Kak?" tanya Viona akhirnya. Dia tampak keberatan dengan syarat yang Gilang ajukan. "Nggak ada." Gilang menjawab tegas. "Kalau lo mau jadi pacar kakak syarat yang harus lo penuhi, ya, itu. Kalau nggak mau, ya, terserah. Nggak ada yang maksa. Tapi lo juga nggak bisa maksa kakak buat jadi pacar lo, kan?" Viona terdiam menatap ke lain arah. Menimbang-nimbang syarat yang Gilang ajukan. Melihat Viona yang hanya terdiam, Gilang memutuskan untuk pergi dari tempat itu. "Kak ...." Namun panggilan dan pegangan tangan Viona pada pergelangan tangannya menghentikan langkahnya. Gilang menoleh, "gimana?" "Iya, Kak, gue mau." "Mau apa? Yang jelas, dong." "Gue mau lakuin apa yang kakak minta." Gilang mengernyit, t
"Habis ini nggak kemana-mana lagi, kan?" tanya Gilang menoleh ke Viona yang duduk di atas motornya. Gilang bisa melihat Viona yang menggeleng. Mereka sedang dalam perjalanan pulang dari rumah Tiwi, teman Viona. Ketika mendekati kawasan SMA Tunas Bangsa, Gilang melambatkan laju motornya. "Mampir ke sekolah dulu, yuk," ajaknya. "Ngapain?" heran Viona. Gilang hanya tersenyum miring menatap jalanan di depannya. Tiba di depan sekolah, dia langsung membelokan motornya ke gerbang sekolah, melajukannya hingga ke parkiran. Di malam hari, gedung sekolah itu tampak benderang di sebagian koridor. Sedangkan koridor lain terlihat gelap. Tidak semua lampu dihidupkan oleh penjaga sekolah. Hanya koridor tertentu yang terdapat ruang-ruang penting yang tampak terang. Viona menatap gedung itu dalam kebingungan dan tanda tanya. Setelah turun dari motornya, Gilang langsung menarik lengannya untuk masuk ke sekolah yang gelap itu. Viona yang tak kuasa bertanya
Baru saja Safira ingin bilang ke Gilang kalau dia mau menerima ajakannya untuk jalan. Namun urung. Safira rasa waktunya tidak pas. Safira juga merasa sikap Gilang agak berbeda belakangan ini, entah karena apa? Atau mungkin hanya perasaannya saja? Safira lalu melemparkan pandangan ke luar kelas, para siswa nampak berlalu-lalang bersamaan dengan Evan yang masuk ke kelas. "Lo tadi ngapain, sih? Lama banget lagi. Muka lo kenapa kusut gitu?" Safira langsung melemparkan pertanyaan beruntun tatkala lelaki itu meletakkan tas di bangkunya. Wajah Evan memang tampak kusut seperti sedang memikirkan masalah. "Lo ada masalah?" tanya Safira lagi. Tubuhnya berbalik menghadap Evan yang duduk di belakangnya. "Iya. Gue emang lagi ada masalah," sahut Evan. "Cerita aja ke gue." Safira tersenyum menatap Evan yang justru terdiam. Evan memang ada masalah dengan Fajar dan Tino, tapi dia tidak mau menceritakannya pada Safira. Safira tak boleh tahu masalahnya yang menyang
Safira termenung menatap tembok kamarnya. Pikirannya dipenuhi berbagai praduga tentang apa yang dia lihat di parkiran tadi siang. Masih terekam jelas di ingatannya, Gilang memboncengi seorang cewek menuju ke luar gerbang sekolah. Dan cewek itu sama dengan yang memanggilnya tadi pagi. Dugaan Safira bahwa cewek itu ada hubungannya dengan perubahan sikap Gilang jadi semakin kuat. Benak Safira bertanya-tanya. Siapa cewek itu? Apakah cewek itu pacarnya? Perasaan Safira seketika mencelos membayangi pertanyaan terakhir itu. Tapi, kalau dipikir-pikir rasanya tak mungkin Gilang mempunyai pacar secepat itu. Selama ini dia juga tak pernah melihat Gilang dekat dengan perempuan mana pun. Lantas siapa cewek yang diboncenginya itu? Apakah keluarganya? Atau teman biasa? Sungguh praduga-praduga tentang Gilang memenuhi otaknya sejak dia pulang sekolah tadi. Safira tak bisa berhenti memikirkan lelaki itu. "Apa aku tanya Gilang aja kali, ya? Dari pada pen
"Jadi bener cewek itu bukan pacar lo?" Safira bertanya memastikan pengakuan Gilang di chat tempo hari. Gadis itu menatap Gilang yang berdiri di sampingnya penuh selidik. Gilang mengangguk tanpa ragu. "Masak gue bohong." Safira lalu tertunduk, "hmm baguslah," gumamnya pelan sembari tersenyum. Namun, masih terdengar oleh Gilang. Gilang mengernyit, "bilang apa barusan?" "Ha?" Safira mengangkat kepalanya, menatap Gilang. "Bilang apa?" "Barusan lo bilang bagus. Bagus apanya?" Safira tertegun. "Oh... Ya bagus. M-maksud gue..." Safira tiba-tiba menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Maksud gue bagus kalau lo nggak punya pacar karena kan biar fokus sama sekolah aja dulu gitu. Nggak boleh pacaran." Gadis itu lalu menyeringai menampakan barisan giginya yang rapi. Dia berjalan di sisi lelaki itu yang terus melangkah, mereka berjalan berdampingan di koridor yang ramai. Gilang hanya tersenyum dalam hati sesekali melirik Safira yang ju
Hari-hari terus berlalu dan anehnya Gilang merasa perasaannya ke Safira semakin hari, berubah.Dia mulai menyukai gadis itu. Dan dia sadar perasaan ini real perasaan sayang. Bukan sekadar mempermainkan. Dia sadar, dia telah terjebak dengan perasaannya sendiri. Gilang semakin yakin dengan perasaannya terhadap Safira yang dia rasa semakin hari kian besar. Tiada hari yang dia lewati tanpa membalas pesan gadis itu jika gadis itu menghubunginya lebih dulu. Bahkan saat dia sedang bersama kekasihnya sekali pun. Seperti saat ini. Viona dan Gilang tengah bermalam minggu di kafe sekaligus merayakan hubungan mereka yang sudah memasuki satu bulan. Dan seharusnya malam ini menjadi malam yang sangat istimewa. Tapi Viona tidak merasakan suasana romantis layaknya jalan bersama pacar karena sejak tadi Gilang sibuk dengan ponselnya dan hanya menanggapi ocehannya sesekali. Viona kesal melihatnya. Dia curiga kalau Gilang sibuk menghubungi kakak tingkatnya itu. Maka keti
Gilang: Fir, GUE SAYANG SAMA LO FIRR!! Dahi Safira berkerut samar menatap layar ponselnya yang menampilkan laman chat aplikasi berwarna hijau. Ada banyak pesan dari Gilang yang belum dia baca dan pesan terakhir yang terpampang di layar ponselnya membuatnya bertanya-tanya. Apa maksud pesan itu? Cepat-cepat dia mengklik pesan tersebut seiring dengan jantungnya yang berdegup kencang. Safira semakin terkesiap begitu mendapati rentetan pesan dari Gilang dan pesan terakhir dari lelaki itu menyatakan perasaan terhadapnya. Safira memegangi dadanya bagian kirinya sambil matanya tak lepas dari menatap pesan terakhir itu. Jadi selama ini Gilang menyukainya? Tanpa sadar gadis itu tersenyum samar. Dia sungguh tak menyangka. Dia pun segera mengetikkan balasan. Safira: Masya Allah... Hanya kata itu yang bisa Safira kirimkan. Nyatanya dia tak mampu berkata-kata. Tak tahu harus mengatakan apa lagi. Wajahnya tak bisa berhenti tersenyum. Gadi