SMA Tunas Bangsa adalah salah satu SMA swasta terbaik di Jakarta. Sistem pembelajaran yang sangat baik, murid-murid yang terkenal cerdas dan selalu memenangkan berbagai lomba akademi maupun non akademi di setiap tahunnya, para guru yang tangguh dan profesional, serta gedungnya yang megah dan fasilitas yang lengkap. Setiap tahun ada ribuan siswa SMP yang mendaftar di sana. Namun, tak sedikit siswa yang ditolak karena keterbatasan lokal dan tak memenuhi standar yang telah ditetapkan SMA Tunas Bangsa.
Hari ini adalah hari terakhir Masa Orientasi Siswa bagi peserta didik baru di SMA Tunas Bangsa. Hari pengenalan ekstrakurikuler SMA Tunas Bangsa. Para senior yang memiliki tanggung jawab atas ekstrakurikuler-nya sibuk memperkenalkan ekstrakurikuler pada para peserta didik baru.
Di SMA Tunas Bangsa ada ekstrakurikuler Pramuka, Drumband, Paskibra, Sispala, Voli, Basket, Futsal, Sepak Bola dan Rohani Islami.
Sudah ada beberapa ekskul yang dipromosikan. Dan sekarang giliran promosi ekskul Pramuka.Ribut suara bercakap-cakap terdengar menggema di ruangan itu tatkala para senior ekstrakurikuler Pramuka memasuki ruangan tersebut. Para peserta didik baru duduk di kursi besi yang berbaris rapi."Perkenalkan nama abang Tristan Bimantara, ketua pramuka SMA Tunas Bangsa," ucap lelaki bertubuh tinggi dan kurus itu, selaku ketua ekskul, memperkenalkan dirinya di depan para peserta didik baru yang sontak mengalihkan perhatian padanya.
"Tentu kalian udah nggak asing lagi, ya, dengan nama pramuka?" Restu, selaku wakil Tristan ikut bertanya. Beberapa dari mereka terlihat mengangguk, tanda mereka sudah tidak asing lagi dengan ekstrakurikuler populer yang satu ini. Beberapa ada yang hanya diam. Beberapa pula ada yang terlihat mengobrol dengan temannya.
"Siapa yang suka ekskul pramuka? Siapa yang masa SMP nya suka ikut pramuka?" lanjut Tristan dengan pertanyaan. Sebagian besar peserta didik baru mengangkat tangannya. Tristan dan Restu bergantian menjelaskan sedikit perihal ekstrakurikuler pramuka yang sebenarnya sudah diketahui oleh mereka. Tristan juga mengenalkan para anggotanya yang lain yang berdiri di sampingnya.
"Ini Bang Restu, wakil abang," ucap Tristan memperkenalkan wakilnya. "Yang di sana ada Kak Syifa, halo, Kak Syifa," tegur Tristan sambil melambaikan tangannya ke arah siswi itu. Siswi yang dipanggil 'Kak Syifa' itu tersenyum sambil melambaikan tangannya ke adik kelasnya. "Ada juga Kak Nana, halo Kak," sapa Tristan lagi pada siswi yang berdiri di dekat pintu. Siswi itu tersenyum ramah.
"Kalau kalian gabung pramuka kalian bisa mengenal kakak-kakak dan abang-abang lebih dekat," jelas Tristan. "Yang mau daftar pramuka siapa? Waahh rame banget, ya," ucap Tristan tatkala melihat banyak siswa yang mengangkat tangan. Tristan membagikan beberapa selebaran pada dua temannya untuk dibagikan ke adik kelas yang berminat. Lalu lelaki bertubuh tinggi itu berbalik badan menghadap papan tulis yang mana di sana telah terpampang beberapa nomor telepon yang baru saja ditulis oleh wakilnya.
"Kalian boleh isi formulirnya atau hubungi nomor abang atau teman-teman abang untuk informasi lebih lanjut," sambungnya. Ketua ekskul itu terus mengoceh menjelaskan perihal ekskul tersebut.
Sementara di luar ruangan, di tengah koridor yang ramai, seorang gadis tampak resah, celingukkan memperhatikan area sekitarnya, sesekali dia melongokkan kepala ke ruang MOS. Di tangannya terdapat setumpuk selebaran formulir pendaftaran ektrakurikuler Olahraga Basket.
"Riri kemana, sih? Katanya pergi bentar tapi nggak balik-balik. Pake nitipin ini ke gue lagi," gumamnya. "Kayaknya ekskul Pramuka udah mau selesai, tuh." Gadis pemilik nametag Safira Riana itu berbalik badan dan kembali berjalan di koridor yang ramai, hendak mencari keberadaan temannya di kantin. Namun, dari arah yang berlawanan, seseorang menabrak bahunya membuatnya sontak memegangi bahunya yang terasa nyilu.
"M-maaf, Kak, nggak sengaja," ucap siswi yang menabraknya itu. Safira memandang ke arah siswi itu yang kini tertunduk.
Safira tersenyum, "nggak apa-apa, santai aja." Matanya tertuju pada nametag siswi itu yang bertuliskan Ristyana Putri.
Siswi berseragam putih biru itu mengangkat kepalanya, menatap Safira. "Kalau gitu aku duluan, ya, Kak," pamitnya sambil tersenyum kaku. Safira mengangguk sambil tersenyum juga. Siswi itu pun berlalu dari hadapannya. Safira menatap punggung siswi itu hingga dia menghilang di balik keramaian.
Satu kata yang terlintas di benak Safira saat melihat wajah siswi bernama Ristyana Putri itu. Cantik. Siswi itu bahkan sangat cantik. Safira yakin siapa pun yang melihatnya akan berpikiran sama dengannya.
Safira termangu merenungkan gadis itu hingga akhirnya dia tersadar karena bahunya terasa di tepuk dari belakang. Safira terkejut dan menoleh. Riri menatapnya heran.
Safira menimpuk Riri dengan selebaran di tangannya. "Dari mana, aja, sih, lo?"
Gadis bernama Riri itu terkekeh. "Kenapa? Lama, ya, nunggunya?"
"Bukan apa-apa. Di dalam ekskul pramuka kayaknya udah mau selesai. Gue panik lah nyariin lo. Masak gue gitu yang gantiin lo promosi?"
Riri langsung mengambil alih kertas-kertas itu dari tangan Safira. "Makasih, ya?"
Safira mengangguk.
Lalu gadis yang merupakan senior basket itu mendatangi teman-temannya selaku anggota ekstrakurikuler basket untuk berunding.
Sementara Safira duduk di kursi panjang depan koridor. Sesekali dia melempar pandang ke siswa yang berlalu-lalang di koridor itu. Safira menghela napas saat dilihatnya Evan yang berjalan ke mari dan di kerubungi cewek-cewek yang merupakan adik kelasnya.
"Bang foto dulu, dong," salah satu siswi itu mengeluarkan ponsel. "Boleh, ya?"
Evan hanya mengangguk pasrah. Siswi itu meminta temannya untuk memotokannya dengan Evan. Beberapa teman siswi itu juga ada yang minta foto bersama Evan.
Safira tersenyum geli saat melihat Evan terlihat risi di dekati para cewek, tapi diturutinya juga kemauan cewek-cewek itu untuk selfie bersama.
"Makasih, ya, Bang," ucap cewek-cewek itu tampak kesenangan."Oke," jawab Evan.
Satu-satunya lelaki yang dekat dengan Safira itu berjalan mendatangi Safira di bangku panjang.
Ketika Evan mendekat, Safira tertawa. "Enak, ya, di kejar cewek-cewek setiap hari? Menang banyak," celetuk Safira sambil terkikik.Sementara Evan malah bergidik geli. Lelaki itu duduk di samping Safira. "Seandainya di kasi kesempatan buat tukaran sama cowok yang biasa aja, yang nggak di kejar-kejar cewek, mau gue, beneran. Pusing tauk." Evan memijit pelipisnya.
Safira hanya tertawa."Nungguin apaan?" Evan mengalihkan topik pembicaraan.
"Tuh, Riri." Safira menatap Riri dari kejauhan yang terlihat sibuk dengan teman satu ekskulnya.
Evan kemudian mengangguk-angguk. Evan kembali mengajak Safira bicara, Safira menanggapi semuanya. Sampai akhirnya, giliran ekskul basket untuk promosi ke ruang MOS.
***Beberapa hari setelah Masa Orientasi Siswa terlewati. Kegiatan belajar mengajar di SMA Tunas Bangsa kembali di mulai.Bel tanda masuk baru saja berbunyi beberapa menit lalu. Ribut tawa dan suara bercakap-cakap terdengar dari setiap kelas yang belum dihadiri guru. Tak terkecuali kelas XII IPS 2.
Seorang guru masuk ke kelas XII IPS 2, membuat seisi kelas itu yang tadinya ribut seketika senyap. Hanya sesekali terdengar bisikan. Beliau ternyata tidak sendiri. Dia bersama seorang siswa asing yang berjalan di belakangnya. Menciptakan tanya di benak para siswa XII IPS 2.
Siapakah dia? Demikian tatapan para siswa yang memandangnya seolah bertanya. Beberapa dari mereka saling pandang sebelum akhirnya Bu Nurma menjawab pertanyaan itu.
"Selamat pagi anak-anak. Sekolah kita kedatangan murid baru. Dia pindahan dari SMA Negeri 2 Bandung," jelas Bu Nurma, guru Sosiologi yang akan mengajar hari ini sekaligus wali kelas mereka. Para siswa di kelas itu ber 'oh' ria sambil matanya tak lepas dari menatap siswa baru itu. Bu Nurma menoleh. "Gilang, perkenalkan lagi dirimu pada teman-temanmu dan hal-hal lain yang perlu temanmu ketahui." Bu Nurma mempersilakan.
Gilang mengangguk, lalu menatap ke depan, memandangi para siswa di kelas itu secara keseluruhan. "Perkenalkan nama saya Gilang Angkasa. Kalian bisa panggil saya Gilang. Saya pindahan dari Bandung. Usia saya 17 tahun. Hobi saya traveling. Oh, iya, saya masih single," jelas Gilang dengan intonasi yang cepat dan fasih.
Kalimat terakhir yang Gilang ucapkan membuat beberapa siswi di kelasnya tertawa, entah karena apa. Tapi Gilang tampak tak peduli. Dia justru membalasnya dengan tersenyum tipis.
Gilang rasa hanya itu yang perlu dia sampaikan. Dia menoleh ke Bu Nurma. "Sudah, Bu," katanya.
"Silakan duduk di bangku kamu, cari tempat yang kosong. Di sini masih ada bangku kosong ... " Bu Nurma mengedarkan pandangan, mencari kursi kosong yang ternyata ada di pojok belakang. "Di sana." Bu Nurma menunjuk pojok tersebut.Gilang pun mengangguk. Kaki panjangnya melangkah cepat menuju bangkunya bersamaan dengan para siswa yang terus memandangi. Dia duduk, melepaskan tas ranselnya, lalu mengeluarkan buku tulis kosong. Dia mulai mengikuti pelajaran Sosiologi yang akan di mulai.
Beberapa siswa yang duduk tak jauh darinya memandang ke arahnya. Gilang membalas pandangan itu dengan tersenyum ramah. Gilang tidak masalah jika dia harus duduk sendiri. Toh, ini memang kesenangannya. Menyendiri.
"Baik anak-anak, mohon perhatiannya, buka halaman 5 di buku paket kalian," perintah Bu Nurma. "Gilang, kamu yang belum punya buku paket boleh numpang sama temanmu. Gio, Farhan, bagi buku kalian dengan Gilang, ya," tegur Bu Nurma pada dua siswa yang duduk di depan Gilang.
"Iya, Bu," sahut lelaki bernama Gio. Dia pun menoleh ke belakang. Gilang justru menggeleng, mengisyaratkan bahwa dia tak perlu dibagi buku. Gio dan Farhan saling pandang. Lalu menoleh lagi ke arah Gilang.
"Kenalkan nama gue Gio, dia Farhan," ucap Gio pada Gilang sambil mengulurkan tangannya.
Gilang menjabat tangan Gio, "gue Gilang. Bukunya kalian pakai aja, gue nggak pake buku nggak masalah, jangan bilang ke Bu Nurma," jelasnya pada dua teman barunya itu.
Farhan hanya mengangguk, "okey kalau gitu."
Keduanya lalu berbalik badan, mendengarkan penjelasan Bu Nurma dengan saksama.Ya, Gilang tidak butuh buku. Dia cukup mendengarkan apa yang Bu Nurma jelaskan. Kecuali Bu Nurma memberi tugas. Tapi sampai sejauh ini sepertinya Bu Nurma tidak memberi tugas.
Tanpa Gilang sadari, ada seorang siswi yang sejak tadi memperhatikannya. Siswi itu tersenyum dalam diam.
***Dua bulan kemudian. "Jadi dia siswa baru itu?" Safira bertanya sambil matanya tak lepas dari menatap objek yang tengah makan, duduk di kursi seberang. "Iya, namanya Gilang. Gilang Angkasa," jawab Riri sambil mengaduk teh es nya yang kemanisan. Riri, yang belakangan ini sering mendengar gosip-gosip dari para siswi sedikit-banyak mengetahui perihal siswa baru itu. Beberapa hari belakangan Safira juga sering mendengar gosip yang menceritakan perihal siswa baru. Safira yang semakin penasaran tak pernah tahu yang mana siswa baru itu. Hingga akhirnya Riri memberitahunya ketika mereka tak sengaja bertemu di kantin. "Oh." Safira mengangguk-angguk, sebelum kembali menyuap baksonya. "Sejak pertama kali kedatangannya di sekolah kita cewek-cewek udah pada banyak yang naksir, apalagi adik kelas," ucap Riri lagi. "Katanya sih ganteng, tapi menurut gue biasa aja tuh, mereka terlalu norak, kayak nggak pernah liat cowok ganteng aja," jel
Gilang memarkirkan motornya ke parkiran yang masih lengang. Melepas helmnya dan meletakkannya di atas spion. Mencabut kunci motornya kemudian turun dari ninja hitamnya. Tubuh tinggi dan proporsional itu berlenggang memasuki sekolah yang sepi. Berjalan gontai menuju kelas, sesekali tersenyum ramah pada satu-dua siswa yang menegurnya. Gilang termasuk siswa yang teladan. Selalu datang lebih awal, bukan untuk mengerjakan pekerjaan rumah seperti siswa lain. Dia memang senang datang sebelum sekolah terlalu ramai. Selain itu katanya agar bisa menghirup udara segar sebelum terkena polusi. Hari ini hampir tiga bulan Gilang bersekolah di SMA Tunas Bangsa. Dan sejauh ini semuanya masih baik-baik saja. Gilang masuk ke kelasnya yang baru ada beberapa orang yang sedang piket. Dia baru meletakkan tas di bangkunya ketika seorang gadis, teman sekelasnya, mendekatinya. "Hei, Gilang," sapa gadis itu, mengulum senyum.Gilang memandangnya, "eh, Sa, ada apa?"
Upacara pengibaran bendera merah putih baru saja selesai beberapa menit lalu dan seharusnya para siswa sudah boleh bubar meninggalkan lapangan. Namun, instruksi dari Kepala Sekolah membuat mereka masih berdiri di sana menahan sengatan sinar matahari yang terasa semakin panas. Ada pengumuman penting yang tak boleh luput dari perhatian SMA Tunas Bangsa. SMA Tunas Bangsa berhasil memenangkan lomba yang di adakan minggu lalu. Berita itu tentu saja jadi hal yang membanggakan SMA Tunas Bangsa yang terkenal sebagai SMA swasta favorit dengan murid-muridnya yang cerdas. Setiap tahun selalu memenangkan perlombaan baik di bidang akademi mau pun non akademi. "... selamat kepada Wulan Pratiwi dari kelas XII IPA 1, Ramadhani dari kelas XII IPA 2, dan Ristyana Putri dari kelas X IPA 2 yang telah mewakili sekolah kita memenangkan lomba. Bagi nama yang disebutkan silakan maju ke depan untuk menerima penghargaan ...." Pidato Kepala Sekolah dari atas podium. SMA Tunas Bangsa bert
Menjelang magrib Safira baru tiba di kosannya menggunakan ojol. Dia baru selesai mengerjakan tugas kelompok dari rumah Riri. Safira berjalan melewati lorong yang sepi menuju kamarnya dengan wajah dongkol. Perasaannya masih kesal mengingat kejadian di rumah Riri tadi. Dia masih ingat jelas bagaimana Andra memodusinya. Dia tidak suka sikap Andra yang seperti itu. "Hai, Bro, lagi ngapain? Gue lagi kerja kelompok di rumah temen," cerita Andra pada teman video call-nya waktu itu. Safira yang duduk di kursi yang sama dengan Andra melirik sekilas ke arah layar ponsel Andra yang menampakkan wajah temannya. Saat itu mereka yang lebih dulu tiba di rumah Riri, menunggu kedatangan yang lainnya untuk mengerjakan tugas. Bosan, Andra pun memutuskan video call-an dengan Tristan. Sementara Riri membuatkannya minum di dapur. Lalu terdengar teman Andra berbicara entah apa, Safira tak mendengarnya dengan jelas. "Gue punya cewek baru, nih," ucap Andra lagi. Safira menoleh sebenta
Risty menangis sembari memeluk kedua lutut. Gadis itu terduduk di balik pintu. Tak percaya dengan yang telah dia lakukan. Memang selama ini dia sudah terbiasa melakukan oral seks pada banyak lelaki, tapi itu sebelum dia pacaran dengan Gilang. Semenjak menjalin hubungan dengan Gilang, lelaki itu memintanya untuk tidak melakukan itu lagi pada laki-laki lain selain dirinya. Risty menyanggupinya dan berjanji. Tapi hari ini Risty melanggar janjinya. Dia melakukan itu dengan lelaki yang bahkan baru dia kenal dalam keadaan sadar. Sedangkan dia masih berstatus sebagai kekasih Gilang. Apa kata Gilang jika dia tahu hal ini? Risty melirik jam yang menunjukkan pukul empat subuh. Dia meraih ponselnya di atas meja, menelepon Gilang. "Kak..." ucapnya dengan suara serak ketika teleponnya diangkat. "Iya, kenapa?" sahut Gilang. Suaranya terdengar seperti orang baru bangun tidur. Risty tak langsung menjawab. Dia malah sesegukan. Tenggorokkannya terasa tercekat. Dadanya
Di jam istirahat, seperti biasa, Andra, Tristan, Ricky, Setya dan temannya yang lain nongkrong di depan perpustakaan SMA Tunas Bangsa sambil bercengkrama menceritakan banyak hal. Hari ini Andra sering tertawa, dia terlihat lebih bahagia dari biasanya. Tak ada orang lain yang tahu selain Tristan kalau dia bahagia karena berhasil mencicipi perempuan bernama Risty itu.Hingga tiba-tiba seseorang yang tak dia kenali menarik kerah kemejanya dan meninju pipinya telak. Membuatnya dan teman-temannya seketika syok. Suasana mendadak tegang. "Lo yang namanya Andra?" Lelaki yang baru saja menghajar Andra itu melirik nametag yang terpasang di seragam Andra. Belum sempat Andra menjawab lelaki itu sudah menghajarnya lagi, bertubi-tubi. "Kurang ajar lo! Cowok ber*ngsek!" Teman-temannya spontan melerai. "Woi, woi, udah. Jangan berantem di sini." "Lo nggak tahu permasalahannya, jangan ikut campur!" Lelaki itu masih menarik kerah kemeja Andra sambil menatap taj
Berita Gilang dan Andra yang berseteru hingga masuk BK terdengar sampai ke telinga Risty. Pasalnya teman-teman sekelasnya sering menceritakan hal itu. Risty tak habis pikir dengan tindakan Gilang yang menurutnya kelewat batas. Dia tak menyangka Gilang bertindak sejauh itu. "Aku, kan, udah bilang, Kak, jangan." Risty memarahi Gilang, "ngapain sih ngasi Kak Andra bogem mentah segala? Kan begini jadinya. Kakak jadi masuk BK. Kakak jadi terkena masalah." Gilang yang mendengar celotehan pacarnya sejak tadi memasang wajah memelas. "Ya, kan, abis kakak nggak suka dia gituin kamu. Kakak marahlah. Wajar, kan?" Saat ini mereka mengasingkan diri di kantin yang tak terpakai yang ada di belakang sekolah, menjauh dari keramaian. Jarang ada siswa mau pun siswi yang lewat di sekitar sini, kecil kemungkinan orang melihat mereka. Risty terdiam. Alih-alih membuatnya senang, semakin hari sikap Gilang justru membuatnya ilfeel dan muak. Sebenarnya sejak kemarin dia mem
Gilang dan dua temannya dari anggota ekstrakurikuler Pik Remaja memasuki setiap kelas, meminta perwakilan pada setiap kelas untuk melakukan penyuluhan sebagai pendidik sebaya. "Boleh minta waktunya sebentar, Bu," kata Rino--teman satu ekskul Gilang--pada guru yang sedang mengajar di kelas XII IPS 1. Bu Nurma yang sedang menulis di papan tulis duduk ke kursi guru, mempersilakan mereka. "Berhubung ada kegiatan penyuluhan, kami dari anggota Pik Remaja meminta perwakilan dari kelas ini minimal dua orang," ucap Gilang mengutarakan maksud kedatangannya. Andra yang melihat Gilang masuk ke kelasnya sejak awal sudah membuang muka. Lelaki itu fokus menulis tanpa mau memandang ke depan sedikit pun. Sementara Gilang hanya melirik sekilas lelaki itu. Beberapa siswa di kelas itu saling pandang dengan tatapan tanya seolah bertanya, "siapa yang mau jadi perwakilan?" "Ini wajib, ya. Semua kelas berpatisipasi. Nanti langsung datang aja ke ruang samping lab kimi