Dua bulan kemudian.
"Jadi dia siswa baru itu?"
Safira bertanya sambil matanya tak lepas dari menatap objek yang tengah makan, duduk di kursi seberang.
"Iya, namanya Gilang. Gilang Angkasa," jawab Riri sambil mengaduk teh es nya yang kemanisan.
Riri, yang belakangan ini sering mendengar gosip-gosip dari para siswi sedikit-banyak mengetahui perihal siswa baru itu. Beberapa hari belakangan Safira juga sering mendengar gosip yang menceritakan perihal siswa baru. Safira yang semakin penasaran tak pernah tahu yang mana siswa baru itu. Hingga akhirnya Riri memberitahunya ketika mereka tak sengaja bertemu di kantin.
"Oh." Safira mengangguk-angguk, sebelum kembali menyuap baksonya.
"Sejak pertama kali kedatangannya di sekolah kita cewek-cewek udah pada banyak yang naksir, apalagi adik kelas," ucap Riri lagi. "Katanya sih ganteng, tapi menurut gue biasa aja tuh, mereka terlalu norak, kayak nggak pernah liat cowok ganteng aja," jelas Riri yang tampaknya agak tak suka dengan siswa baru itu. "Terus katanya orang tuanya kaya banget, tapi nggak tau, deh, pekerjaannya apa?"
"Ganteng atau cantik itu relatif," gumam Safira. Dan soal pekerjaan orang tuanya, Safira tak menggubris.
Sebenarnya ini bukan pertama kali Safira melihat Gilang.
Kali pertama mereka bertemu sewaktu melaksanakan upacara bendera minggu lalu.
Waktu itu siswi kelas XII IPS 1 berbaris di sebelah siswa kelas XII IPS 2. Dan tanpa sengaja Safira melirik ke barisan cowok di sebelahnya. Cowok itu adalah Gilang. Memang waktu pertama melihatnya wajahnya, Safira merasa asing. Dia tidak pernah melihat wajah cowok itu sebelumnya. Dan setelah pertemuan itu pun mereka sering bertemu dan saling pandang tanpa sengaja. Dan semakin dilihat, cowok itu semakin menarik. Safira akui dia memiliki wajah yang sedap dipandang, juga tubuhnya yang tinggi dan proporsional. Tak heran jika kaum hawa tertarik padanya. Dan hari ini Safira baru mengetahui ternyata siswa baru yang diperbincangkan selama ini adalah dia.
Safira tersenyum tipis, "dia emang ganteng, kok," sambungnya.
Riri menoleh curiga, "jangan bilang lo juga naksir dia?"
Safira menoleh heran. "Gue cuman bilang ganteng doang, kan? Bukan berarti suka. Kalau gue bilang dia jelek berarti gue bohong."
"Tapi, kalau lo suka sama dia terus kalian pacaran pasti cocok. Lo, kan, cantik." Riri terkekeh.
"Ngaco."
Persis saat Safira mengucapkan kalimat itu, Evan menghampiri mereka. Lelaki itu duduk di hadapan mereka. Sontak Safira membuang muka, merasa jengkel tatkala melihat wajah lelaki itu tersuguhkan di hadapannya. Sementara Riri melanjutkan makannya.
"Lagi ngomongin apa lo berdua? Ngomongin gue, ya?" Evan menaikkan kedua alisnya, memandangi Safira dan Riri bergantian.
"PD banget lo," sahut Riri sebelum menyuap sesendok baksonya.
Evan tak menghiraukan ucapan Riri. Dia berpaling ke Safira, lalu mengambil teh es Safira yang tinggal seperempat dan meneguknya hingga habis.
"Ih kok dihabisin, sih?" Safira memberengut, "gue kan mau minum juga. Ganti nggak?"
"Iya, gue ganti kok tenang aja," jawab Evan yang hendak beranjak dari duduknya bermaksud memesan teh es lagi, mengganti teh es yang sudah dia minum.
"Ganti yang utuh,"
"Iya,"
"Ganti yang utuh terus lo yang bayarin semua pesanan gue, ya?"
"Iya bawel!" teriak Evan yang sudah melangkah menuju ibu kantin. "Bu, teh es nya satu, ya?"
Safira tersenyum senang, "Evan baik, deh,"
Tak lama kemudian Evan kembali mendatangi Safira dan Riri, "pesanan lo udah gue bayar, bereskan? Habisin makannya," katanya sambil mengacak rambut Safira.
"Makasih," ucap Safira sambil tersenyum lalu meneguk teh es nya.
"Gue dibayarin juga nggak?" tanya Riri berharap.
"Lo bayar sendiri," jawab Evan."Pilih kasih banget, sih, Safira dibayarin, gue nggak,"
"Bangkrut gue bayarin lo pada,"
Riri mendelik ke arah Safira yang sibuk makan. Lalu memandang Evan lagi.
Evan menatap heran, "kenapa lo?"
"Bener, ya, kata anak-anak, kalian kalau pacaran cocok banget tau nggak? Kenapa sih nggak pacaran aja?"
Mendengar kalimat itu, sontak Evan dan Safira melotot ke arahnya.
"Gue? Pacaran sama dia? Halu lo! Haha!" Evan tertawa sumbang, mengibaskan tangannya ke depan wajah Riri. "Kayak nggak ada yang lain aja. "Evan menggeleng-geleng sambil sesekali melirik Safira yang telah tertunduk menatap mangkoknya. Meski Riri bingung dengan bantahan Evan, tapi dia enggan bertanya lebih lanjut dan memilih melanjutkan makannya.
Suasana berganti menjadi hening dan canggung. Menyisakan suara tawa siswa lain yang ada di kantin itu. Masing-masing sibuk dengan dirinya sendiri.
"Gue cabut duluan, ya?" kata Evan tiba-tiba, beranjak dari duduknya, berjalan keluar kantin.
Safira menatap kepergian Evan, dia tahu Evan tersinggung dan tak nyaman dengan ucapan Riri.
"Lo tadi kenapa ngomong gitu, sih?" Safira menatap Riri tak suka.
"Emang kenapa?" Riri bertanya balik."Gue heran sama lo, nggak PD apa gimana? Gue juga nggak pernah liat lo deket-deket cowok selain dengan Evan. Eh sebenarnya lo sama Evan itu ada hubungan apa, sih? Kalian pacaran?"
Riri satu-satunya perempuan yang dekat dengan Safira, namun, tak semua hal dia bisa ketahui tentang sahabatnya itu.
"Gue sama Evan pacaran? Mustahil!"
Riri mengernyit, "kenapa mustahil? Lo cewek sedangkan Evan cowok. Ya, mungkin, aja, kan?"
"Gue sama Evan emang deket banget sampai kalian ngira kita pacaran, kan? Tapi asal lo tahu kalau itu nggak akan pernah terjadi---"
"---karena lo udah telanjur nganggap dia sahabat?" potong Riri cepat, "tapi asal lo tahu, Fir, sejatinya cowok dan cewek itu nggak bisa sahabatan karena mereka pasti akan melibatkan perasaan, percaya sama gue. Banyak tuh kejadian sahabat jadi pacar yang awalnya sih temenan tapi ujug-ujungnya? Udah basi banget. Sekarang gue tanya, apa lo nggak ada perasaan sedikit pun buat Evan?"
"Perkiraan lo salah, Ri. Alasan gue nggak pacaran sama Evan bukan karena udah telanjur nganggap dia sahabat. Dan gue juga nggak akan ada perasaan sama dia karena ...." Safira menggantung kalimatnya. Dia tidak mungkin membocorkan alasan yang sebenarnya, sekali pun itu pada Riri.
"Karena apa?"
Safira tersenyum kecut, "nanti lo juga tahu dengan sendirinya."
Dan kalimat itu semakin membuat gadis bernama Riri itu bingung dan penasaran.
Sebenarnya ada apa antara Evan dan Safira?
Safira memang tidak pernah berhubungan dengan lelaki selain sebatas teman atau sahabat. Apa lagi berniat untuk melakukan lebih seperti yang orang-orang lakukan yang biasa disebut dengan istilah pacaran. Bukan takut dosa. Bukan pula karena tidak menemukan yang pas. Hanya saja, Safira takut disakiti seperti kebanyakan mereka yang melakukannya, juga takut sesuatu ....Cowok yang mereka bicarakan tadi mulai beranjak dari duduknya. Dan pada saat yang bersamaan cowok itu memandang ke arah Safira yang juga memandanginya. Refleks Safira mengalihkan pandangan ke arah mangkok baksonya yang sudah kosong. Tidak heran. Ini sudah kesekian kalinya. Dan sepertinya tidak ada yang mengetahui mereka yang sering beradu pandang tanpa sengaja, selain mereka berdua dan ... Tuhan.
Cowok itu berjalan menuju rak snack, mengambil dua batang cokelat beng-beng, membayarnya pada ibu kantin lalu berjalan gontai keluar kantin.
"Dia lari, tuh," tegur Safira sambil menyikut lengan Riri.
"Udah mau bel kali makanya dia cabut,"
"Makanya cepetan makannya,"
"Iya, iya." Gadis bernama Riri itu pun melahap baksonya yang tidak banyak lagi.
***Gilang berjalan cepat menuju kelas X IPA 2. Sampai di depan pintu kelas tersebut, dia memanggil seseorang yang duduk tak jauh dari pintu."Ada apa, Bang?" sahut siswa yang dia panggil dengan isyarat lambaian tangan itu. Siswa itu pun berjalan mendatanginya.
"Buat Risty," katanya sambil menyodorkan dua buah cokelat beng-beng yang tadi dia beli di kantin. Pandangannya mengedar ke kelas itu sekilas, tapi dia tak menemukan sosok Risty.
"Oh, oke, Bang," sahut siswa itu sambil mengambil dua buah cokelat dari tangan Gilang.
"Makasih," ucap Gilang sebelum akhirnya melangkah menuju kelasnya.
Adalah Ristyana Putri siswi tercantik di kelas X IPA 2, bahkan dia yang paling cantik di antara siswi seangkatannya yang merupakan pacar Gilang Angkasa. Mereka sudah memasuki masa dua bulan pacaran. Dan selama itu mereka tak pernah menunjukkan kedekatannya di khalayak ramai. Risty yang tidak mau ada orang yang tahu kalau dia menjalin hubungan dengan senior IPS.
Teman sekelas Risty tak heran lagi jika ada cowok yang menanyainya atau memberinya sesuatu karena mereka tahu siswi cantik itu memang digemari banyak lelaki. Entah itu kakak kelas atau teman sebayanya. Meski pun begitu, teman-temannya tahu Risty senang menjomlo. Mereka tak menaruh curiga sedikit pun kalau Gilang justru adalah pacarnya.Kedekatan mereka bermula di sebuah ekstrakurikuler yang sama, yakni Pik Remaja. Awalnya, Risty yang melihat abang kelas setampan Gilang mencoba mendekati lebih dulu. Lelaki mana yang tak terpesona dengan kecantikan siswi yang satu ini? Hingga seorang Gilang Angkasa pun takluk padanya.
***Risty: Kak, Makasih, ya, cokelatnya.Gilang: Iya. Kakak malam ini ke rumah kamu, ya?
Risty: Boleh, Kak. Kebetulan di rumah lagi sepi.
Mama Papa lagi di luar kota.
Gilang: Bagus.
Gilang menyandarkan tubuhnya di sofa panjang. Dia menghela napas. Lalu mengambil jaketnya yang tersampir di lengan sofa dan berdiri dari duduknya. Bergegas ke rumah Risty.
Hal yang biasa dia lakukan tatkala merasa bosan.
***Gilang memarkirkan motornya ke parkiran yang masih lengang. Melepas helmnya dan meletakkannya di atas spion. Mencabut kunci motornya kemudian turun dari ninja hitamnya. Tubuh tinggi dan proporsional itu berlenggang memasuki sekolah yang sepi. Berjalan gontai menuju kelas, sesekali tersenyum ramah pada satu-dua siswa yang menegurnya. Gilang termasuk siswa yang teladan. Selalu datang lebih awal, bukan untuk mengerjakan pekerjaan rumah seperti siswa lain. Dia memang senang datang sebelum sekolah terlalu ramai. Selain itu katanya agar bisa menghirup udara segar sebelum terkena polusi. Hari ini hampir tiga bulan Gilang bersekolah di SMA Tunas Bangsa. Dan sejauh ini semuanya masih baik-baik saja. Gilang masuk ke kelasnya yang baru ada beberapa orang yang sedang piket. Dia baru meletakkan tas di bangkunya ketika seorang gadis, teman sekelasnya, mendekatinya. "Hei, Gilang," sapa gadis itu, mengulum senyum.Gilang memandangnya, "eh, Sa, ada apa?"
Upacara pengibaran bendera merah putih baru saja selesai beberapa menit lalu dan seharusnya para siswa sudah boleh bubar meninggalkan lapangan. Namun, instruksi dari Kepala Sekolah membuat mereka masih berdiri di sana menahan sengatan sinar matahari yang terasa semakin panas. Ada pengumuman penting yang tak boleh luput dari perhatian SMA Tunas Bangsa. SMA Tunas Bangsa berhasil memenangkan lomba yang di adakan minggu lalu. Berita itu tentu saja jadi hal yang membanggakan SMA Tunas Bangsa yang terkenal sebagai SMA swasta favorit dengan murid-muridnya yang cerdas. Setiap tahun selalu memenangkan perlombaan baik di bidang akademi mau pun non akademi. "... selamat kepada Wulan Pratiwi dari kelas XII IPA 1, Ramadhani dari kelas XII IPA 2, dan Ristyana Putri dari kelas X IPA 2 yang telah mewakili sekolah kita memenangkan lomba. Bagi nama yang disebutkan silakan maju ke depan untuk menerima penghargaan ...." Pidato Kepala Sekolah dari atas podium. SMA Tunas Bangsa bert
Menjelang magrib Safira baru tiba di kosannya menggunakan ojol. Dia baru selesai mengerjakan tugas kelompok dari rumah Riri. Safira berjalan melewati lorong yang sepi menuju kamarnya dengan wajah dongkol. Perasaannya masih kesal mengingat kejadian di rumah Riri tadi. Dia masih ingat jelas bagaimana Andra memodusinya. Dia tidak suka sikap Andra yang seperti itu. "Hai, Bro, lagi ngapain? Gue lagi kerja kelompok di rumah temen," cerita Andra pada teman video call-nya waktu itu. Safira yang duduk di kursi yang sama dengan Andra melirik sekilas ke arah layar ponsel Andra yang menampakkan wajah temannya. Saat itu mereka yang lebih dulu tiba di rumah Riri, menunggu kedatangan yang lainnya untuk mengerjakan tugas. Bosan, Andra pun memutuskan video call-an dengan Tristan. Sementara Riri membuatkannya minum di dapur. Lalu terdengar teman Andra berbicara entah apa, Safira tak mendengarnya dengan jelas. "Gue punya cewek baru, nih," ucap Andra lagi. Safira menoleh sebenta
Risty menangis sembari memeluk kedua lutut. Gadis itu terduduk di balik pintu. Tak percaya dengan yang telah dia lakukan. Memang selama ini dia sudah terbiasa melakukan oral seks pada banyak lelaki, tapi itu sebelum dia pacaran dengan Gilang. Semenjak menjalin hubungan dengan Gilang, lelaki itu memintanya untuk tidak melakukan itu lagi pada laki-laki lain selain dirinya. Risty menyanggupinya dan berjanji. Tapi hari ini Risty melanggar janjinya. Dia melakukan itu dengan lelaki yang bahkan baru dia kenal dalam keadaan sadar. Sedangkan dia masih berstatus sebagai kekasih Gilang. Apa kata Gilang jika dia tahu hal ini? Risty melirik jam yang menunjukkan pukul empat subuh. Dia meraih ponselnya di atas meja, menelepon Gilang. "Kak..." ucapnya dengan suara serak ketika teleponnya diangkat. "Iya, kenapa?" sahut Gilang. Suaranya terdengar seperti orang baru bangun tidur. Risty tak langsung menjawab. Dia malah sesegukan. Tenggorokkannya terasa tercekat. Dadanya
Di jam istirahat, seperti biasa, Andra, Tristan, Ricky, Setya dan temannya yang lain nongkrong di depan perpustakaan SMA Tunas Bangsa sambil bercengkrama menceritakan banyak hal. Hari ini Andra sering tertawa, dia terlihat lebih bahagia dari biasanya. Tak ada orang lain yang tahu selain Tristan kalau dia bahagia karena berhasil mencicipi perempuan bernama Risty itu.Hingga tiba-tiba seseorang yang tak dia kenali menarik kerah kemejanya dan meninju pipinya telak. Membuatnya dan teman-temannya seketika syok. Suasana mendadak tegang. "Lo yang namanya Andra?" Lelaki yang baru saja menghajar Andra itu melirik nametag yang terpasang di seragam Andra. Belum sempat Andra menjawab lelaki itu sudah menghajarnya lagi, bertubi-tubi. "Kurang ajar lo! Cowok ber*ngsek!" Teman-temannya spontan melerai. "Woi, woi, udah. Jangan berantem di sini." "Lo nggak tahu permasalahannya, jangan ikut campur!" Lelaki itu masih menarik kerah kemeja Andra sambil menatap taj
Berita Gilang dan Andra yang berseteru hingga masuk BK terdengar sampai ke telinga Risty. Pasalnya teman-teman sekelasnya sering menceritakan hal itu. Risty tak habis pikir dengan tindakan Gilang yang menurutnya kelewat batas. Dia tak menyangka Gilang bertindak sejauh itu. "Aku, kan, udah bilang, Kak, jangan." Risty memarahi Gilang, "ngapain sih ngasi Kak Andra bogem mentah segala? Kan begini jadinya. Kakak jadi masuk BK. Kakak jadi terkena masalah." Gilang yang mendengar celotehan pacarnya sejak tadi memasang wajah memelas. "Ya, kan, abis kakak nggak suka dia gituin kamu. Kakak marahlah. Wajar, kan?" Saat ini mereka mengasingkan diri di kantin yang tak terpakai yang ada di belakang sekolah, menjauh dari keramaian. Jarang ada siswa mau pun siswi yang lewat di sekitar sini, kecil kemungkinan orang melihat mereka. Risty terdiam. Alih-alih membuatnya senang, semakin hari sikap Gilang justru membuatnya ilfeel dan muak. Sebenarnya sejak kemarin dia mem
Gilang dan dua temannya dari anggota ekstrakurikuler Pik Remaja memasuki setiap kelas, meminta perwakilan pada setiap kelas untuk melakukan penyuluhan sebagai pendidik sebaya. "Boleh minta waktunya sebentar, Bu," kata Rino--teman satu ekskul Gilang--pada guru yang sedang mengajar di kelas XII IPS 1. Bu Nurma yang sedang menulis di papan tulis duduk ke kursi guru, mempersilakan mereka. "Berhubung ada kegiatan penyuluhan, kami dari anggota Pik Remaja meminta perwakilan dari kelas ini minimal dua orang," ucap Gilang mengutarakan maksud kedatangannya. Andra yang melihat Gilang masuk ke kelasnya sejak awal sudah membuang muka. Lelaki itu fokus menulis tanpa mau memandang ke depan sedikit pun. Sementara Gilang hanya melirik sekilas lelaki itu. Beberapa siswa di kelas itu saling pandang dengan tatapan tanya seolah bertanya, "siapa yang mau jadi perwakilan?" "Ini wajib, ya. Semua kelas berpatisipasi. Nanti langsung datang aja ke ruang samping lab kimi
Jam istirahat, Safira, Evan, dan Riri menghabiskan waktu di kantin, menikmati bakso ibu kantin sambil berbincang banyak hal. Mulai dari materi pelajaran, cerita sinetron, masalah keluarga hingga merambat perihal orang tua. "Ya, gitu antara nyokap sama bokap gue, yang lebih keras ke gue itu nyokap. Dia sering maksain kehendaknya. Belum lagi suka banding-bandingin gue sama adik laki-laki gue. Beda banget sama bokap gue yang lebih bisa ngertiin gue." Riri yang bercerita tentang hubungannya dengan orang tuanya lebih dulu. Safira jadi teringat dengan orang tuanya di kampung halaman. Ayah Safira telah meninggal sebelum dia lahir. Dia hanya punya ibu dan dua kakak. Jadi Safira tak tahu bagaimana sosok seorang ayah. Bagaimana rasanya disayang oleh seorang ayah. Beruntung dia masih punya ibu yang selalu mendukung penuh apa pun keinginannya. "Kalau lo, Van, hubungan lo sama keluarga lo gimana? Mama papa lo gimana?" Safira bertanya pada Evan. Ya, meski pun telah mengena