Share

Bab 7

Di jam istirahat, seperti biasa, Andra, Tristan, Ricky, Setya dan temannya yang lain nongkrong di depan perpustakaan SMA Tunas Bangsa sambil bercengkrama menceritakan banyak hal.

Hari ini Andra sering tertawa, dia terlihat lebih bahagia dari biasanya. Tak ada orang lain yang tahu selain Tristan kalau dia bahagia karena berhasil mencicipi perempuan bernama Risty itu.

Hingga tiba-tiba seseorang yang tak dia kenali menarik kerah kemejanya dan meninju pipinya telak. Membuatnya dan teman-temannya seketika syok. Suasana mendadak tegang.

"Lo yang namanya Andra?" Lelaki yang baru saja menghajar Andra itu melirik nametag yang terpasang di seragam Andra. Belum sempat Andra menjawab lelaki itu sudah menghajarnya lagi, bertubi-tubi. "Kurang ajar lo! Cowok ber*ngsek!"

Teman-temannya spontan melerai. "Woi, woi, udah. Jangan berantem di sini."

"Lo nggak tahu permasalahannya, jangan ikut campur!" Lelaki itu  masih menarik kerah kemeja Andra sambil menatap tajam teman Andra yang tak dia kenali.

"Apa pun masalahnya bisa diselesaikan dengan kepala dingin," terang Setya.

"Nggak bisa!"

"Lo siapa?!" Andra melepaskan tangan lelaki itu yang menarik kemejanya dan mendorongnya kuat.

"Kenapa lo tiba-tiba ninju gue? Salah gue apa?" Mereka berdua kini beradu tatap. Tatapan penuh kebencian.

"Apa yang udah lo perbuat terhadap Risty?" Lelaki itu justru bertanya tanpa menjawab pertanyaan Andra lebih dulu. Dia memelankan suaranya. "Gue nggak bakal lakuin ini tanpa alasan. Gue nggak terima dengan apa yang udah lo perbuat ke Risty."

Sekilas tertangkap ekspresi terkejut dari raut wajah Andra ketika mendengar nama Risty. Lelaki yang tak dia kenali itu menangkap ekpresi tersebut. Andra langsung teringat dengan kejadian tadi malam. Dan sejenak dia paham.

Dahi Andra mengernyit. "Lo siapa Risty?" Andra melirik nametag di seragam lelaki itu yang bertuliskan Gilang Angkasa.

Lelaki bernama Gilang itu terdiam. Dia tidak akan memberitahu siapa statusnya. "Lo nggak perlu tahu siapa gue, tapi yang pasti gue nggak akan diam kalau lo berani berbuat macam-macam ke dia," jelasnya.

Andra terkekeh, "gue nggak peduli."

Mendengar itu emosi Gilang semakin tersulut, membuatnya kembali meninju pipi Andra, tapi kali ini Andra tak tinggal diam juga. Dia balas meninju wajah Gilang membuat Gilang termundur beberapa langkah. Gilang membalas lagi. Mereka saling baku hantam. Andra menarik kerah kemeja Gilang, lalu kembali menghantamkan pukulan ke wajah Gilang. Suasana depan perpustakaan mendadak ramai dan riuh. Sesekali terdengar siswi berteriak karena takut. Para siswa berusaha melerai, tapi Andra terlalu kalap hingga Gilang kewalahan.

"Andra! Gilang!" Hingga sebuah teriakan menghentikan keduanya. Mereka menoleh ke sumber suara. Bu Lilis, guru BK, tampak berdiri di tengah koridor yang ramai itu. Dari balik kacamatanya guru itu menatap tajam muridnya. "Kalian ikut saya ke ruang BK sekarang!" serunya.

Andra dan Gilang saling tatap. Lalu membuang muka. Keduanya mengiringi Bu Lilis, melewati kerumunan siswa yang menonton aksi mereka sejak tadi. Gilang memandang sekilas siswa-siswa itu yang menatapnya dengan tatapan mencemooh.

Adalah hal yang biasa jika perkelahian itu dilakukan oleh seorang Andra. Lelaki itu sudah sering keluar masuk ruang BK. Tapi kali ini yang membuat mereka terheran adalah sosok Gilang juga ikut terlibat. Sosok yang selama ini dikenal baik dan tak pernah mencari masalah apalagi masuk BK.

Di antara keramaian itu, Safira memandang miris kedua sosok itu. Dia menyaksikan perkelahian itu sejak tadi. Dan itu membuatnya tak habis pikir. Sungguh dia tak menyangka. Terlebih pada sosok yang selama ini di anggap baik.

***

Panggilan itu diakhiri. Pak Zainudin--kepala sekolah SMA Tunas Bangsa--menaruh kembali telepon genggam ke atas meja. Tatapannya tertuju ke dua siswa yang berdiri di depan mejanya.

Wajah Andra hanya terdapat bekas pukulan. Berbeda dengan Gilang yang terlihat parah. Bahkan bagian tulang pipinya berdarah. Andra diam saat Pak Zainudin memandanginya lama. Pandangan Pak Zainudin tertuju ke Gilang, lalu beliau menggeleng-geleng.

"Ini pertengkaran pertama kalian. Saya tahu kamu Gilang. Meski pun kamu murid baru. Kamu tidak pernah berkelahi dengan siswa lain, tapi kamu." Pak Zainudin menatap Andra dengan hela napas panjang. "Ini sudah kesekian, Andra."

"Dia yang mulai duluan, Pak." Andra menunjuk Gilang yang hanya mendelik tajam.

"Bapak nggak tahu apa permasalahan kalian. Tapi kamu sering masuk ke BK, apalagi ke ruang Kepala Sekolah dan Bapak pikir ini yang terakhir, Andra. Poin kamu sudah hampir 100. Saya baru saja menelepon ayah kamu dan akan bicara lebih jauh persoalan ini."

Andra terdiam sembari mengepalkan tangan.

"Dan kamu Gilang." Perhatian Pak Zainudin beralih ke Gilang, "untuk pertama kali kamu mendapat poin 30."

Gilang seketika tertegun.

***

"Beli voucher kuota, Bang."

Sepulang sekolah Safira meminta Evan untuk mengantarnya dulu ke konter dekat sekolahnya untuk membeli kuota. Evan menunggu di motornya yang agak jauh dari konter itu. Safira masuk ke konter itu sendiri.

Penjaga konter itu mengambil satu buah kartu voucher kuota dan meletakannya di atas etalase. Safira menerimanya dan memberikan selembar uang berwarna biru. Safira menunggu kembalian sambil melemparkan pandangan ke sebuah rumah yang ada di sebelah konter itu.

Rumah bercat ungu itu cukup besar dan bertingkat dua. Safira tak tahu itu rumah siapa, tapi yang menarik perhatiannya adalah para siswa berseragam khas SMA Tunas Bangsa ada di sana.

Mereka tampak duduk-duduk sambil bercakap-cakap di teras yang luas itu. Dia pikir mungkin itu rumah salah satu siswa SMA Tunas Bangsa juga dan mereka sedang mengadakan perkumpulan. Safira terkejut ketika salah satu dari mereka memandang ke arahnya. Refleks dia mengalihkan pandangan ke penjaga konter yang telah mengembalikan sisa uangnya.

"M-makasih," ucap Safira menerima kembalian itu, lalu berbalik badan, berjalan keluar dari konter itu dengan tergesa.

Dan saat dia melewati rumah bercat ungu itu, seseorang meneriakinya. "Cewek! Suit... Suit... Sendiri, aja, tuh!"

Seketika bulu kuduk Safira meremang. Dia tidak biasa di perlakukan seperti itu. Dan setiap ada laki-laki yang tak dikenalinya menegurnya seperti itu, dia selalu takut. Safira mempercepat langkahnya seiring dengan jantungnya yang berdegup kencang, berlari menuju tempat Evan yang menunggunya sejak tadi.

***

Aprillia D

Gimana part ini? Terima kasih yang udah baca. Ikuti terus ya kelanjutannya.

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status