Di jam istirahat, seperti biasa, Andra, Tristan, Ricky, Setya dan temannya yang lain nongkrong di depan perpustakaan SMA Tunas Bangsa sambil bercengkrama menceritakan banyak hal.
Hari ini Andra sering tertawa, dia terlihat lebih bahagia dari biasanya. Tak ada orang lain yang tahu selain Tristan kalau dia bahagia karena berhasil mencicipi perempuan bernama Risty itu.
Hingga tiba-tiba seseorang yang tak dia kenali menarik kerah kemejanya dan meninju pipinya telak. Membuatnya dan teman-temannya seketika syok. Suasana mendadak tegang."Lo yang namanya Andra?" Lelaki yang baru saja menghajar Andra itu melirik nametag yang terpasang di seragam Andra. Belum sempat Andra menjawab lelaki itu sudah menghajarnya lagi, bertubi-tubi. "Kurang ajar lo! Cowok ber*ngsek!"
Teman-temannya spontan melerai. "Woi, woi, udah. Jangan berantem di sini."
"Lo nggak tahu permasalahannya, jangan ikut campur!" Lelaki itu masih menarik kerah kemeja Andra sambil menatap tajam teman Andra yang tak dia kenali.
"Apa pun masalahnya bisa diselesaikan dengan kepala dingin," terang Setya.
"Nggak bisa!"
"Lo siapa?!" Andra melepaskan tangan lelaki itu yang menarik kemejanya dan mendorongnya kuat.
"Kenapa lo tiba-tiba ninju gue? Salah gue apa?" Mereka berdua kini beradu tatap. Tatapan penuh kebencian.
"Apa yang udah lo perbuat terhadap Risty?" Lelaki itu justru bertanya tanpa menjawab pertanyaan Andra lebih dulu. Dia memelankan suaranya. "Gue nggak bakal lakuin ini tanpa alasan. Gue nggak terima dengan apa yang udah lo perbuat ke Risty."
Sekilas tertangkap ekspresi terkejut dari raut wajah Andra ketika mendengar nama Risty. Lelaki yang tak dia kenali itu menangkap ekpresi tersebut. Andra langsung teringat dengan kejadian tadi malam. Dan sejenak dia paham.
Dahi Andra mengernyit. "Lo siapa Risty?" Andra melirik nametag di seragam lelaki itu yang bertuliskan Gilang Angkasa.
Lelaki bernama Gilang itu terdiam. Dia tidak akan memberitahu siapa statusnya. "Lo nggak perlu tahu siapa gue, tapi yang pasti gue nggak akan diam kalau lo berani berbuat macam-macam ke dia," jelasnya.
Andra terkekeh, "gue nggak peduli."
Mendengar itu emosi Gilang semakin tersulut, membuatnya kembali meninju pipi Andra, tapi kali ini Andra tak tinggal diam juga. Dia balas meninju wajah Gilang membuat Gilang termundur beberapa langkah. Gilang membalas lagi. Mereka saling baku hantam. Andra menarik kerah kemeja Gilang, lalu kembali menghantamkan pukulan ke wajah Gilang. Suasana depan perpustakaan mendadak ramai dan riuh. Sesekali terdengar siswi berteriak karena takut. Para siswa berusaha melerai, tapi Andra terlalu kalap hingga Gilang kewalahan.
"Andra! Gilang!" Hingga sebuah teriakan menghentikan keduanya. Mereka menoleh ke sumber suara. Bu Lilis, guru BK, tampak berdiri di tengah koridor yang ramai itu. Dari balik kacamatanya guru itu menatap tajam muridnya. "Kalian ikut saya ke ruang BK sekarang!" serunya.
Andra dan Gilang saling tatap. Lalu membuang muka. Keduanya mengiringi Bu Lilis, melewati kerumunan siswa yang menonton aksi mereka sejak tadi. Gilang memandang sekilas siswa-siswa itu yang menatapnya dengan tatapan mencemooh.
Adalah hal yang biasa jika perkelahian itu dilakukan oleh seorang Andra. Lelaki itu sudah sering keluar masuk ruang BK. Tapi kali ini yang membuat mereka terheran adalah sosok Gilang juga ikut terlibat. Sosok yang selama ini dikenal baik dan tak pernah mencari masalah apalagi masuk BK.
Di antara keramaian itu, Safira memandang miris kedua sosok itu. Dia menyaksikan perkelahian itu sejak tadi. Dan itu membuatnya tak habis pikir. Sungguh dia tak menyangka. Terlebih pada sosok yang selama ini di anggap baik.
***Panggilan itu diakhiri. Pak Zainudin--kepala sekolah SMA Tunas Bangsa--menaruh kembali telepon genggam ke atas meja. Tatapannya tertuju ke dua siswa yang berdiri di depan mejanya.Wajah Andra hanya terdapat bekas pukulan. Berbeda dengan Gilang yang terlihat parah. Bahkan bagian tulang pipinya berdarah. Andra diam saat Pak Zainudin memandanginya lama. Pandangan Pak Zainudin tertuju ke Gilang, lalu beliau menggeleng-geleng.
"Ini pertengkaran pertama kalian. Saya tahu kamu Gilang. Meski pun kamu murid baru. Kamu tidak pernah berkelahi dengan siswa lain, tapi kamu." Pak Zainudin menatap Andra dengan hela napas panjang. "Ini sudah kesekian, Andra."
"Dia yang mulai duluan, Pak." Andra menunjuk Gilang yang hanya mendelik tajam.
"Bapak nggak tahu apa permasalahan kalian. Tapi kamu sering masuk ke BK, apalagi ke ruang Kepala Sekolah dan Bapak pikir ini yang terakhir, Andra. Poin kamu sudah hampir 100. Saya baru saja menelepon ayah kamu dan akan bicara lebih jauh persoalan ini."
Andra terdiam sembari mengepalkan tangan.
"Dan kamu Gilang." Perhatian Pak Zainudin beralih ke Gilang, "untuk pertama kali kamu mendapat poin 30."
Gilang seketika tertegun.
***"Beli voucher kuota, Bang."Sepulang sekolah Safira meminta Evan untuk mengantarnya dulu ke konter dekat sekolahnya untuk membeli kuota. Evan menunggu di motornya yang agak jauh dari konter itu. Safira masuk ke konter itu sendiri.
Penjaga konter itu mengambil satu buah kartu voucher kuota dan meletakannya di atas etalase. Safira menerimanya dan memberikan selembar uang berwarna biru. Safira menunggu kembalian sambil melemparkan pandangan ke sebuah rumah yang ada di sebelah konter itu.
Rumah bercat ungu itu cukup besar dan bertingkat dua. Safira tak tahu itu rumah siapa, tapi yang menarik perhatiannya adalah para siswa berseragam khas SMA Tunas Bangsa ada di sana.
Mereka tampak duduk-duduk sambil bercakap-cakap di teras yang luas itu. Dia pikir mungkin itu rumah salah satu siswa SMA Tunas Bangsa juga dan mereka sedang mengadakan perkumpulan. Safira terkejut ketika salah satu dari mereka memandang ke arahnya. Refleks dia mengalihkan pandangan ke penjaga konter yang telah mengembalikan sisa uangnya.
"M-makasih," ucap Safira menerima kembalian itu, lalu berbalik badan, berjalan keluar dari konter itu dengan tergesa.
Dan saat dia melewati rumah bercat ungu itu, seseorang meneriakinya. "Cewek! Suit... Suit... Sendiri, aja, tuh!"
Seketika bulu kuduk Safira meremang. Dia tidak biasa di perlakukan seperti itu. Dan setiap ada laki-laki yang tak dikenalinya menegurnya seperti itu, dia selalu takut. Safira mempercepat langkahnya seiring dengan jantungnya yang berdegup kencang, berlari menuju tempat Evan yang menunggunya sejak tadi.
***Gimana part ini? Terima kasih yang udah baca. Ikuti terus ya kelanjutannya.
Berita Gilang dan Andra yang berseteru hingga masuk BK terdengar sampai ke telinga Risty. Pasalnya teman-teman sekelasnya sering menceritakan hal itu. Risty tak habis pikir dengan tindakan Gilang yang menurutnya kelewat batas. Dia tak menyangka Gilang bertindak sejauh itu. "Aku, kan, udah bilang, Kak, jangan." Risty memarahi Gilang, "ngapain sih ngasi Kak Andra bogem mentah segala? Kan begini jadinya. Kakak jadi masuk BK. Kakak jadi terkena masalah." Gilang yang mendengar celotehan pacarnya sejak tadi memasang wajah memelas. "Ya, kan, abis kakak nggak suka dia gituin kamu. Kakak marahlah. Wajar, kan?" Saat ini mereka mengasingkan diri di kantin yang tak terpakai yang ada di belakang sekolah, menjauh dari keramaian. Jarang ada siswa mau pun siswi yang lewat di sekitar sini, kecil kemungkinan orang melihat mereka. Risty terdiam. Alih-alih membuatnya senang, semakin hari sikap Gilang justru membuatnya ilfeel dan muak. Sebenarnya sejak kemarin dia mem
Gilang dan dua temannya dari anggota ekstrakurikuler Pik Remaja memasuki setiap kelas, meminta perwakilan pada setiap kelas untuk melakukan penyuluhan sebagai pendidik sebaya. "Boleh minta waktunya sebentar, Bu," kata Rino--teman satu ekskul Gilang--pada guru yang sedang mengajar di kelas XII IPS 1. Bu Nurma yang sedang menulis di papan tulis duduk ke kursi guru, mempersilakan mereka. "Berhubung ada kegiatan penyuluhan, kami dari anggota Pik Remaja meminta perwakilan dari kelas ini minimal dua orang," ucap Gilang mengutarakan maksud kedatangannya. Andra yang melihat Gilang masuk ke kelasnya sejak awal sudah membuang muka. Lelaki itu fokus menulis tanpa mau memandang ke depan sedikit pun. Sementara Gilang hanya melirik sekilas lelaki itu. Beberapa siswa di kelas itu saling pandang dengan tatapan tanya seolah bertanya, "siapa yang mau jadi perwakilan?" "Ini wajib, ya. Semua kelas berpatisipasi. Nanti langsung datang aja ke ruang samping lab kimi
Jam istirahat, Safira, Evan, dan Riri menghabiskan waktu di kantin, menikmati bakso ibu kantin sambil berbincang banyak hal. Mulai dari materi pelajaran, cerita sinetron, masalah keluarga hingga merambat perihal orang tua. "Ya, gitu antara nyokap sama bokap gue, yang lebih keras ke gue itu nyokap. Dia sering maksain kehendaknya. Belum lagi suka banding-bandingin gue sama adik laki-laki gue. Beda banget sama bokap gue yang lebih bisa ngertiin gue." Riri yang bercerita tentang hubungannya dengan orang tuanya lebih dulu. Safira jadi teringat dengan orang tuanya di kampung halaman. Ayah Safira telah meninggal sebelum dia lahir. Dia hanya punya ibu dan dua kakak. Jadi Safira tak tahu bagaimana sosok seorang ayah. Bagaimana rasanya disayang oleh seorang ayah. Beruntung dia masih punya ibu yang selalu mendukung penuh apa pun keinginannya. "Kalau lo, Van, hubungan lo sama keluarga lo gimana? Mama papa lo gimana?" Safira bertanya pada Evan. Ya, meski pun telah mengena
Waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Dan masih ada manusia beraktivitas di gedung club malam di Jakarta yang semakin malam, semakin ramai. Andra duduk sendiri di sofa panjang, di bawah suasana remang-remang sembari mengisap rokok, menunggu kedatangan seseorang. Matanya sejak tadi mengamati pintu masuk dengan bosan. Andra menjatuhkan abu rokoknya ke asbak ketika dia melihat seseorang yang dia tunggu-tunggu akhirnya muncul. Dia adalah Tristan. Dan dia tidak sendiri. Ada Risty di sebelahnya. "Hei, Bro," sapa Tristan pada Andra."Udah lama lo nunggu?" "Banget," jawab Andra dengan malas. Raut wajah Risty berubah tatkala melihat kehadiran Andra di sini, tapi dia tak membantah atau bertanya ke Tristan. Dia merasa tidak nyaman dengan lelaki itu, apalagi mengingat tragedi malam itu. Berbeda dengan Andra yang terlihat biasa saja. Lalu, Tristan mengajak Risty untuk duduk di sofa depan Andra. Diam-diam Andra memperhatikan Risty. Gad
Sekolah masih sepi sekali ketika Safira dan Riri tiba. Mereka datang lebih awal dari biasanya. Setelah video call-an dengan ibunya sampai subuh dia tidak tidur lagi, begitu pun Riri. Mereka menghabiskan waktu dengan berbincang banyak hal, sampai menjelang azan subuh mereka salat berjamaah. Maka dari itu, mereka bisa datang sepagi ini. Sekolah memang masih sepi. Dan seharusnya pintu setiap kelas tetap terbuka, tapi Safira melihat pintu kelasnya dari kejauhan tampak tertutup. Aneh, tidak seperti biasanya. Apakah penjaga sekolah yang biasa bertugas membuka pintu kelas belum datang? Pikirnya. Tapi mengapa pintu kelas lain terbuka? Hanya pintu kelasnya saja yang tertutup. Safira mempercepat langkahnya. Diiringi Riri. Derap sepatunya menggema di koridor yang sepiTiba di depan pintu, Safira mencoba mendorong pintu itu pelan. Ternyata memang tidak dikunci. Pintu terbuka dan ... "Happy birthday to you... Happy birthday to you... Happy birthda
Safira terkesiap melihat baju putihnya berwarna kecoklatan. "Eh, sori, sori, nggak sengaja," ucap seseorang yang menabraknya itu yang ternyata adalah laki-laki. Safira mengangkat kepalanya. Wajah anak baru itu tersuguhkan di hadapannya. Gilang Angkasa telah menabrak dan mengotori bajunya. Gadis itu hanya bisa diam meski pun dia ingin marah. "Sori banget, ya. Serius gue nggak sengaja." Gilang terlihat merasa bersalah. "Iya nggak pa-pa," jawab Safira sambil tertunduk dan melanjutkan langkahnya melewati Gilang, tapi tanpa di duga, Gilang menahan pergelangan tangannya. Gilang tahu meski pun gadis yang di tabraknya itu mengatakan tidak apa-apa tapi raut wajahnya menunjukkan kalau dia tidak baik-baik saja. "Apa lagi?" Safira menatap Gilang. "Baju lo kotor gitu, gue bener-bener nggak enak," ucap Gilang sambil memperhatikan baju putih Safira beserta roknya basah dan berwarna kecoklatan juga Safira yang menggendong tas ransel, gadis itu pasti m
Menjelang istirahat, Safira ke luar kelas, hendak menuju kantin. Namun, seorang siswi memanggilnya. "Safira," Safira menoleh. Safira tak kenal siswi itu tapi dia sempat melihat nametag gadis itu bertuliskan Risa Indira. Safira tak sengaja terpandang ke tangan Risa yang memegang sebuah kotak kecil. "Safira, kan?" "Iya, ada apa?" "Ini dari Gilang buat lo." Risa menyodorkan kotak kecil di tangannya ke Safira. Safira melirik kotak itu, kotak kecil bersampul kertas kado berwarna merah muda motif kotak-kotak. "Terima aja. Dia nitip ini ke gue buat lo, katanya sebagai hadiah," jelas Risa saat melihat Safira seperti enggan menerimanya. Safira menerima kotak itu. "Makasih." Risa tersenyum, "sama-sama. Gue duluan, ya." Risa berlalu mendahului Safira, entah hendak ke mana. Safira menilik kotak itu dengan heran. "Apa, sih, nih?" Dia berjalan menuju bangku panjang depan koridor membuka kotak itu di sana. Ternyata isi
Safira duduk di meja belajarnya. Memperhatikan gelang bermata berry merah itu dengan saksama. Dia masih tak habis pikir, Gilang memberinya gelang. Jauh dalam lubuk hatinya, dia yakin, cowok itu punya maksud tertentu. Apa tujuan cowok itu mendekatinya? Jawaban dari pertanyaan itu yang sedang dia pikirkan. Apa pun itu Safira yakin bukan seperti yang Riri katakan kalau Gilang menyukainya. Itu sama sekali tidak masuk akal menurut Safira. Tidak mungkin lelaki seperti Gilang menyukai perempuan seperti dirinya. Ponsel Safira di atas meja bergetar. Ada notifikasi masuk. Lamunan Safira seketika buyar dan perhatiannya teralihkan ke ponsel di dekatnya. Safira segera meletakkan gelang yang di pegangnya ke atas meja, meraih dan mengecek ponselnya. Ada pesan di sosial medianya. Safira mengklik pesan itu. Gilang Angkasa: Gimana gelangnya? Suka? Safira membelalak. Lelaki itu bahkan sudah tahu sosial medianya dan bah