Risty menangis sembari memeluk kedua lutut. Gadis itu terduduk di balik pintu. Tak percaya dengan yang telah dia lakukan. Memang selama ini dia sudah terbiasa melakukan oral seks pada banyak lelaki, tapi itu sebelum dia pacaran dengan Gilang. Semenjak menjalin hubungan dengan Gilang, lelaki itu memintanya untuk tidak melakukan itu lagi pada laki-laki lain selain dirinya. Risty menyanggupinya dan berjanji.
Tapi hari ini Risty melanggar janjinya. Dia melakukan itu dengan lelaki yang bahkan baru dia kenal dalam keadaan sadar. Sedangkan dia masih berstatus sebagai kekasih Gilang. Apa kata Gilang jika dia tahu hal ini?
Risty melirik jam yang menunjukkan pukul empat subuh. Dia meraih ponselnya di atas meja, menelepon Gilang.
"Kak..." ucapnya dengan suara serak ketika teleponnya diangkat.
"Iya, kenapa?" sahut Gilang. Suaranya terdengar seperti orang baru bangun tidur. Risty tak langsung menjawab. Dia malah sesegukan. Tenggorokkannya terasa tercekat. Dadanya sesak seperti ada yang menghimpit. "Kamu kenapa nangis?" Kali ini suara Gilang terdengar khawatir.
"Kak Andra ...," ucapnya terbata di sela isaknya. "Kak Andra sama Kak Tristan maksain aku untuk ngelakuin itu sama mereka," adunya pada kekasihnya.
"Terus kamu mau?"
"Iya, aku ...."
"Kenapa kamu mau, sih? Kamu kan bisa tolak mereka!" Seperti dugaan Risty, Gilang marah mengetahuinya.
"Mereka udah masuk ke kamar aku, Kak. Aku terpaksa. Mereka juga ngancam." Ya, Andra mengancam akan memberitahu orang tua Risty tentang kelakuan Risty yang sebenarnya jika Risty tak mau menuruti kemauannya. Risty tak mengerti dari mana Andra tahu tentang dirinya yang senang melakukan oral seks. Risty juga tak mengerti bagaimana mereka bisa masuk sampai ke kamarnya padahal seingatnya pintu rumahnya sudah dikunci.
"Ya, tapi, kan, kalau kamu nggak mau mereka nggak bisa maksain diri,"
Risty malah menangis semakin jadi, "kakak marah, ya?" tanyanya di sela tangisnya. "Maafin aku." Risty menungkupkan wajahnya di kedua lututnya.
"Kakak bakal kasi mereka pelajaran,"
Risty kembali mengangkat kepalanya, "jangan, Kak,"
"Kenapa?"
"Nanti mereka jadi tahu tentang hubungan kita,"
"Kamu tenang aja. Kakak nggak bakal bocorin hal itu,"
Risty terdiam. Dia ingin mencegah Gilang lagi, tapi rasanya percuma. Gilang pasti akan nekat. "Iya," jawabnya akhirnya.
"Ya, udah, lain kali kamu jangan gitu lagi, ya?"
"Iya,"
"Kakak tutup teleponnya--,"
"Kak," potong Risty cepat ketika mengetahui Gilang segera memutuskan sambungan.
"Apa lagi?"
"Kayaknya hari ini aku nggak sekolah dulu, deh,"
"Kenapa?"
"Aku takut, aku nggak siap buat ketemu mereka, aku mau nenangin diri. Kakak nanti ke sini, ya, ambil surat dari aku."
Terdengar Gilang menghela napas, "oke, nanti pas berangkat sekolah kakak ke rumah kamu dulu,"
Risty tersenyum, "makasih, Kak,"
"Sama-sama. Kakak tutup dulu teleponnya, ya?"
"Iya,"
Sambungan terputus.
Risty menghela napas sambil menatap layar ponsel. Lalu mengembalikan ponselnya di atas meja yang ada di dekatnya.
"Setelah ini apa Kak Gilang bakal mutusin aku?" tanyanya pada diri sendiri. Ingatannya kembali pada waktu beberapa jam lalu. Kejadian ketika dia melakukan itu pada dua lelaki sekaligus.
Risty tak mengenal Andra lebih dari sekadar nama dan wajahnya saja--berbeda dengan Tristan yang merupakan senior-nya di Pramuka. Selain itu, yang dia tahu Andra adalah senior IPS yang seangkatan dengan Gilang, kelas XII IPS 1. Mereka tak dekat. Andra bahkan tak pernah main ke rumahnya seperti teman lelakinya yang lain. Tapi bisa-bisanya Andra berani mengajaknya melakukan itu dan bodohnya dia mau seperti tak memiliki daya untuk menolak. Selama ini Risty memang sering melakukan itu dengan banyak lelaki dan lelaki yang baru dia kenal adalah pengecualian. Andra adalah pengecualian. Seharusnya dia tak melakukan itu dengan Andra.
Risty menggeram, menyesali diri.
***Sekolah sudah ramai. Sebentar lagi bel tanda masuk berdentang. Namun, batang hidung Andra belum juga terlihat. Tak biasanya dia datang sesiang ini.Safira duduk merenung dibangkunya, terpikirkan dengan lelaki itu. Terlebih mengingat suara yang dia dengar semalam. Rasanya dia yakin itu suara Andra dengan seorang temannya entah siapa. Tapi jika iya ke mana mereka malam-malam begitu? Safira baru tahu ternyata Andra sering mengembun sampai jauh malam di luar rumah.
Suara bel yang berdentang membuyarkan lamunan Safira yang seketika tersadar. Para siswa berbondong-bondong masuk ke kelas. Safira mengedarkan pandangan ke penjuru kelas, tapi Andra juga tak tampak. Apa lelaki itu datang terlambat atau malah tidak masuk?
Safira memandang Riri yang baru duduk di bangkunya. "Andra nggak masuk, ya?" tanyanya pada Riri. "Tapi kayaknya nggak ada surat,"
Riri mengangkat bahu, "terlambat mungkin,"
Safira menghela napas. Tak habis pikir kenapa Andra bisa datang terlambat. Apa mungkin ada kaitannya dengan kejadian yang dilihatnya semalam.Safira memandang Riri, "eh lo tahu nggak--"
"Selamat pagi anak-anak. Siapkan sekarang. "Safira baru akan bercerita tentang Andra ketika Bu Rani masuk dan menginterupsi pembicaraannya. Ketua kelas menyiapkan dan seluruh siswa berdiri, memberi hormat, sejenak, lalu kembali duduk.
Bu Rani langsung membuka absen dan mengabsen satu-persatu muridnya.
"Andra Saputra." Hening. Tak ada yang menyahut ketika nama Andra di sebut. Bu Rani mengedarkan pandangan melihat apakah Andra hadir hari ini. Namun, dia tak menemukannya, "kemana Andra?"
"Nggak tahu, Bu. Nggak ada kabar," sahut siswa yang duduk di belakang.
"Maksudnya alpa?"
Hening kembali. Pasalnya memang tak ada seorang pun yang tahu kabar Andra.
Bu Rani menunduk, jarinya baru ingin menuliskan sesuatu ketika terdengar pintu diketuk disusul ucapan salam dari seseorang. Seisi kelas menoleh ke sumber suara tak terkecuali Bu Rani.
Andra. Berdiri di ambang pintu. Safira membelalak melihatnya. Ternyata lelaki itu datang terlambat. Kemudian lelaki itu berjalan mendekat dan menyalami Bu Rani yang memandangnya terheran. "Maaf, Bu, terlambat," ucapnya."Lapor guru piket," perintah Bu Rani sembari menunjuk ke luar kelas. Safira memperhatikan penampilan Andra dari bangkunya yang tak jauh dari bangku guru. Penampilan Andra berantakan. Seragamnya kusut. Rambutnya seperti tak di sisir. Matanya merah seperti kurang tidur. Lelaki itu mengangguk lalu ke luar kelas. Safira terus memandanginya hingga lelaki itu menghilang.
Safira yakin ini pasti ada hubungannya dengan apa yang dia lihat semalam.
***Kira-kira Risty bakal mutusin Gilang nggak ya? Ikuti terus ceritanya ya readers, terima kasih. Bab selanjutnya bakal lebih seru dan menegangkan!
Di jam istirahat, seperti biasa, Andra, Tristan, Ricky, Setya dan temannya yang lain nongkrong di depan perpustakaan SMA Tunas Bangsa sambil bercengkrama menceritakan banyak hal. Hari ini Andra sering tertawa, dia terlihat lebih bahagia dari biasanya. Tak ada orang lain yang tahu selain Tristan kalau dia bahagia karena berhasil mencicipi perempuan bernama Risty itu.Hingga tiba-tiba seseorang yang tak dia kenali menarik kerah kemejanya dan meninju pipinya telak. Membuatnya dan teman-temannya seketika syok. Suasana mendadak tegang. "Lo yang namanya Andra?" Lelaki yang baru saja menghajar Andra itu melirik nametag yang terpasang di seragam Andra. Belum sempat Andra menjawab lelaki itu sudah menghajarnya lagi, bertubi-tubi. "Kurang ajar lo! Cowok ber*ngsek!" Teman-temannya spontan melerai. "Woi, woi, udah. Jangan berantem di sini." "Lo nggak tahu permasalahannya, jangan ikut campur!" Lelaki itu masih menarik kerah kemeja Andra sambil menatap taj
Berita Gilang dan Andra yang berseteru hingga masuk BK terdengar sampai ke telinga Risty. Pasalnya teman-teman sekelasnya sering menceritakan hal itu. Risty tak habis pikir dengan tindakan Gilang yang menurutnya kelewat batas. Dia tak menyangka Gilang bertindak sejauh itu. "Aku, kan, udah bilang, Kak, jangan." Risty memarahi Gilang, "ngapain sih ngasi Kak Andra bogem mentah segala? Kan begini jadinya. Kakak jadi masuk BK. Kakak jadi terkena masalah." Gilang yang mendengar celotehan pacarnya sejak tadi memasang wajah memelas. "Ya, kan, abis kakak nggak suka dia gituin kamu. Kakak marahlah. Wajar, kan?" Saat ini mereka mengasingkan diri di kantin yang tak terpakai yang ada di belakang sekolah, menjauh dari keramaian. Jarang ada siswa mau pun siswi yang lewat di sekitar sini, kecil kemungkinan orang melihat mereka. Risty terdiam. Alih-alih membuatnya senang, semakin hari sikap Gilang justru membuatnya ilfeel dan muak. Sebenarnya sejak kemarin dia mem
Gilang dan dua temannya dari anggota ekstrakurikuler Pik Remaja memasuki setiap kelas, meminta perwakilan pada setiap kelas untuk melakukan penyuluhan sebagai pendidik sebaya. "Boleh minta waktunya sebentar, Bu," kata Rino--teman satu ekskul Gilang--pada guru yang sedang mengajar di kelas XII IPS 1. Bu Nurma yang sedang menulis di papan tulis duduk ke kursi guru, mempersilakan mereka. "Berhubung ada kegiatan penyuluhan, kami dari anggota Pik Remaja meminta perwakilan dari kelas ini minimal dua orang," ucap Gilang mengutarakan maksud kedatangannya. Andra yang melihat Gilang masuk ke kelasnya sejak awal sudah membuang muka. Lelaki itu fokus menulis tanpa mau memandang ke depan sedikit pun. Sementara Gilang hanya melirik sekilas lelaki itu. Beberapa siswa di kelas itu saling pandang dengan tatapan tanya seolah bertanya, "siapa yang mau jadi perwakilan?" "Ini wajib, ya. Semua kelas berpatisipasi. Nanti langsung datang aja ke ruang samping lab kimi
Jam istirahat, Safira, Evan, dan Riri menghabiskan waktu di kantin, menikmati bakso ibu kantin sambil berbincang banyak hal. Mulai dari materi pelajaran, cerita sinetron, masalah keluarga hingga merambat perihal orang tua. "Ya, gitu antara nyokap sama bokap gue, yang lebih keras ke gue itu nyokap. Dia sering maksain kehendaknya. Belum lagi suka banding-bandingin gue sama adik laki-laki gue. Beda banget sama bokap gue yang lebih bisa ngertiin gue." Riri yang bercerita tentang hubungannya dengan orang tuanya lebih dulu. Safira jadi teringat dengan orang tuanya di kampung halaman. Ayah Safira telah meninggal sebelum dia lahir. Dia hanya punya ibu dan dua kakak. Jadi Safira tak tahu bagaimana sosok seorang ayah. Bagaimana rasanya disayang oleh seorang ayah. Beruntung dia masih punya ibu yang selalu mendukung penuh apa pun keinginannya. "Kalau lo, Van, hubungan lo sama keluarga lo gimana? Mama papa lo gimana?" Safira bertanya pada Evan. Ya, meski pun telah mengena
Waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Dan masih ada manusia beraktivitas di gedung club malam di Jakarta yang semakin malam, semakin ramai. Andra duduk sendiri di sofa panjang, di bawah suasana remang-remang sembari mengisap rokok, menunggu kedatangan seseorang. Matanya sejak tadi mengamati pintu masuk dengan bosan. Andra menjatuhkan abu rokoknya ke asbak ketika dia melihat seseorang yang dia tunggu-tunggu akhirnya muncul. Dia adalah Tristan. Dan dia tidak sendiri. Ada Risty di sebelahnya. "Hei, Bro," sapa Tristan pada Andra."Udah lama lo nunggu?" "Banget," jawab Andra dengan malas. Raut wajah Risty berubah tatkala melihat kehadiran Andra di sini, tapi dia tak membantah atau bertanya ke Tristan. Dia merasa tidak nyaman dengan lelaki itu, apalagi mengingat tragedi malam itu. Berbeda dengan Andra yang terlihat biasa saja. Lalu, Tristan mengajak Risty untuk duduk di sofa depan Andra. Diam-diam Andra memperhatikan Risty. Gad
Sekolah masih sepi sekali ketika Safira dan Riri tiba. Mereka datang lebih awal dari biasanya. Setelah video call-an dengan ibunya sampai subuh dia tidak tidur lagi, begitu pun Riri. Mereka menghabiskan waktu dengan berbincang banyak hal, sampai menjelang azan subuh mereka salat berjamaah. Maka dari itu, mereka bisa datang sepagi ini. Sekolah memang masih sepi. Dan seharusnya pintu setiap kelas tetap terbuka, tapi Safira melihat pintu kelasnya dari kejauhan tampak tertutup. Aneh, tidak seperti biasanya. Apakah penjaga sekolah yang biasa bertugas membuka pintu kelas belum datang? Pikirnya. Tapi mengapa pintu kelas lain terbuka? Hanya pintu kelasnya saja yang tertutup. Safira mempercepat langkahnya. Diiringi Riri. Derap sepatunya menggema di koridor yang sepiTiba di depan pintu, Safira mencoba mendorong pintu itu pelan. Ternyata memang tidak dikunci. Pintu terbuka dan ... "Happy birthday to you... Happy birthday to you... Happy birthda
Safira terkesiap melihat baju putihnya berwarna kecoklatan. "Eh, sori, sori, nggak sengaja," ucap seseorang yang menabraknya itu yang ternyata adalah laki-laki. Safira mengangkat kepalanya. Wajah anak baru itu tersuguhkan di hadapannya. Gilang Angkasa telah menabrak dan mengotori bajunya. Gadis itu hanya bisa diam meski pun dia ingin marah. "Sori banget, ya. Serius gue nggak sengaja." Gilang terlihat merasa bersalah. "Iya nggak pa-pa," jawab Safira sambil tertunduk dan melanjutkan langkahnya melewati Gilang, tapi tanpa di duga, Gilang menahan pergelangan tangannya. Gilang tahu meski pun gadis yang di tabraknya itu mengatakan tidak apa-apa tapi raut wajahnya menunjukkan kalau dia tidak baik-baik saja. "Apa lagi?" Safira menatap Gilang. "Baju lo kotor gitu, gue bener-bener nggak enak," ucap Gilang sambil memperhatikan baju putih Safira beserta roknya basah dan berwarna kecoklatan juga Safira yang menggendong tas ransel, gadis itu pasti m
Menjelang istirahat, Safira ke luar kelas, hendak menuju kantin. Namun, seorang siswi memanggilnya. "Safira," Safira menoleh. Safira tak kenal siswi itu tapi dia sempat melihat nametag gadis itu bertuliskan Risa Indira. Safira tak sengaja terpandang ke tangan Risa yang memegang sebuah kotak kecil. "Safira, kan?" "Iya, ada apa?" "Ini dari Gilang buat lo." Risa menyodorkan kotak kecil di tangannya ke Safira. Safira melirik kotak itu, kotak kecil bersampul kertas kado berwarna merah muda motif kotak-kotak. "Terima aja. Dia nitip ini ke gue buat lo, katanya sebagai hadiah," jelas Risa saat melihat Safira seperti enggan menerimanya. Safira menerima kotak itu. "Makasih." Risa tersenyum, "sama-sama. Gue duluan, ya." Risa berlalu mendahului Safira, entah hendak ke mana. Safira menilik kotak itu dengan heran. "Apa, sih, nih?" Dia berjalan menuju bangku panjang depan koridor membuka kotak itu di sana. Ternyata isi