Tanpa Meiva dan Clovis sadari, di antara banyaknya wartawan. Ada satu media masa yang melihat mereka turun dari mobil secara bergantian. Gerak gerik Meiva yang menyelinap masuk ke gedung menimbulkan kecurigaan langsung menggerakkan tangan wartawan itu untuk mengangkat kamerannya, menggambil foto Meiva tersembunyi. Meiva masuk dengan santai setelah lolos dari kerumunan wartawan. Dia segera ke ruangan pertemuan yang ada di lantai lima. Sambil berjalan tergesa-gesa ia mengeluarkan ponselnya mencoba menghubungi Emeli yang seharusnya sudah di sini sebelum dia sampai. “Apa kamu sudah sampai, Meiv?” Meiva memejamkan mata mendesah kesal. “Bukankah kamu yang seharusnya lebih dulu sampai di sini?” “Maaf, Meiv, mendadak kakakku menelepon minta aku mengantar ke rumah sakit. Ini baru saja aku dalam perjalanan ke sana, kamu masuklah duluan, aku akan segara menyusul.” “Oke.” Secara bersamaan Meiva membuka pintu, tubuh rampingnya hampir saja tertabrak oleh tubuh tegap yang akan keluar da
“Lumayan.” Mendengar kata ‘lumayan membuat Meiva seketika menoleh. Entah apa maksud Clovis mengatakannya. “Sudah kubilang, kalau dia adalah Perempuan yang baik.” Pipinya bersemu merah saat mendengar pujian itu. Tangannya memotong daging panggang di atas piring hadapannya. “Ya, mama benar. Dia gadis baik.” “Dan juga patuh.” Clovis melirik sambil menyeringai di samping Meiva. Tapi, entah kenapa ia merasa lirikkan itu seperti sebuah ancaman. Ia mengusap-usap belakang leher sendiri, ketika merasakan takut, juga canggung. Acara pertemuan kali sangat berangsur sangat formal, para pelayan pun menyajikan makanan secara khusus. Nyoya Liona sibuk mencicipi makanan satu persatu sebelum menyuruh yang lain menyantapnya. “Clovis memiliki alargi susu, oleh sebab itu, aku harus memastikan kalau tidak ada kandungan susu dalam setiap menunya.” “Dan kamu juga harus mengingatnya, Lily, supaya di masa depan berhati-hati.” “Hanya masalah kecil, tidak perlu dibicarakan,” potong Clovis ti
Pasok udara di sekitarnya semakin menipis. Di dalam kegelapan saja, membuatnya merasa sesak, apa lagi sekarang tangan kekar Clovis terus membekapnya. 'Pria ini gila, seperti yang dikatakan Austin.'Saat tenaganya hampir saja habis, Clovis mengendurkan tangannya. Meiva langsung meraup napas sebanyak-banyaknya, untuk memasukkan oksigen dalam dadanya terpenuhi. "Ka—" Secara bersamaan Meiva membuka mulut ingin bicara, lampu dalam kamar mandi itu menyala. Mata kecoklatannya, bertatapan dengan netra hitam pekat milik Clovis. Saat ini lelaki itu baru menyadari, kalau perempuan yang bersamanya sejak tadi adalah Meiva? Dahi Clovis mengkerut dalam, saat menyadarinya. Antara malu, dan juga canggung saat perempuan itu menatapnya dengan napas terengah-engah karena ulahnya. "Bagus sekali, Pak Clovis," ucap Meiva dengan suara pelan sambil tersenyum sinis. "Apa yang kamu lakukan di sini?" Mereka sudah bertemu sejak beberapa jam yang lalu, tapi kini Clovis bersikap seolah baru saja bangun dari
Bab 45 Saat menyadari langkah kaki lelaki itu masuk melalui celah pintu yang terbuka, Meiva reflek mundur, tangannya yang gemetar mengarahkan senter di ponselnya ke wajah lelaki itu, tapi karena panik ponselnya terjatuh ke lantai, meski pun tidak mati, Cahaya itu berbalik meyorot ke kaki jenjangnya.Dalam ruang yang minim pencahayaan itu, Meiva sama sekali tidak merasakan sikap baik laki-laki itu, bayangan hitam itu semakin mendekat seperti malaikat maut. Tanganya terulur ke belakang pinggang ramping Meiva, guyuran air dingin menerpa kulit Meiva Kemudian memejamkan mata, tersentak, kala buliran air terjun bebas melewati kelopak matanya. Hawa panas dari tubuh lelaki kian mendekat, Meiva mendongak saat jari lelaki itu mengangkat dagunya, Meiva berusaha mengamati wajah itu, meski pun tidak jelas di balik sama-samarnya pencahayaan, ia bisa merasakan hawa penindasan yang begitu kuat. “Lepaskan aku!” Meiva menggunakan keberaniannya untuk menyingkirkan tangan lelaki itu. ia bergera
Kaki jenjang berkulit putih Meiva berangsur mundur, ketika dia menyadari kalau sudah salah memilih tempat berpijak. Meski pun ia tak melihat wajah pria di balik bayangan hitam itu, tapi, aura menyeramkan telah memenuhi ruangan membuat Meiva lagi dan lagi menelan saliva. ‘Aku menghargai Nyonya Liona, tapi aku juga menghargai nyawaku sendiri, lebih baik meninggalkan tempat ini dari pada meninggal untuk selama-lamanya,’ batinnya, mengamati benda-benda yang diletakkan di meja dan lingerie di atas ranjang, dengan cepat kemudian dengan cepat ia berbalik. Tidak menoleh lagi, ia segera membuka pintu keluar dari tempat menyeramkan itu. Namun, berulang kali tangan berkulit putihnya memutar handle pintu, tapi tak kunjung terbuka. Tanpa menyerah, ia mengulangi dengan cepat, berharap keajaiban terjadi.“Permainan belum dimulai, kau mau pergi, Nona?” Clovis sengaja tidak menunjukkan wajahnya, sebab ia tidak ingin perempuan itu mengenalinya setelah keluar dari sini. Statusnya sebagai anak Liona
Clovis bukanlah orang yang menerima keadaan begitu saja, meski pun ia menerima permintaan sang mama, tetap saja taktik licik dia mainkan. meminta pada Miguel untuk menyiapkan suite room dan semua keperluannya untuk pertemuan dengan Perempuan pilihan sang mama. “Kamar khusus telah disiapkan, Tuan Clovis, seperti permintaan Anda," ucap Miguel berdiri di depan pintu kamar hotel. "Ini kartu aksesnya." Clovis berpenampilan rapi, kini melepaskan jas yang melekat di tubuhnya. Menyisakan kemeja panjang berwarna hitam, senada dengan celana dan sepatunya. Menempelkan kartu ke dalam kamar luas bernuansa merah mendominasi, Clovis secara khusus memesan kamar seperti ini, seprai berwarna merah, dan bedcover berwarna hitam, lampu yang menyala dalan ruangan ini pun kuning ke Kuningan, kalau tidak dibantu dengan lilin-lilin yang menyala di pinggiran ranjang pasti pencahayaan di dalam sana tak akan seterang sekarang. Ia kemudian membuka tas hitam yang diletakkan di atas lantai oleh Miguel sebel