BAGIAN 138EXTRA PARTPOV DONIMASIH BERUSAHA UNTUK MENERIMA “I love you, Mas,” kata Hana sambil mengecup keningku. “I love you too, Sayang.” Hana menerima kembali sebuah kecupan di bibir merahnya. Perempuan itu terlihat tersipu-sipu. Senyumnya merekah. Aku tahu jika dia pasti merasa begitu spesial. “Selamat tidur, ya.” Hana seakan tak ingin mengakhiri percakapan. Dia masih saja berbasa-basi sambil memeluk tubuhku erat. “Iya. Kamu lekas tidur, ya. Pagi-pagi kita harus bangun untuk kerja.” Hana mengangguk. Wanita itu pun mulai memejamkan mata. Di saat-saat seperti inilah jiwaku bakal terombang-ambing. Kutatap wajah Hana lekat-lekat. Dia adalah wanita yang sempurna, sebenarnya. Cantik, ayu, cerdas. Rambut hitamnya selaksa sutera yang halus nan lembut. Pipi tembam putihnya begitu mulus dan akan merona merah apabila aku memuji-muji. Tak ada yang kurang darinya. Aku saja yang sebenarnya cukup kurang ajar.
BAGIAN 139EXTRA PARTPOV DONISALAHKU “Halo, Mas?” Suara Jo menggema di telinga. Membuatku makin tambah gelagapan. “Eh, i-iya, Jo. M-maaf.” Aku tergagap-gagap seperti orang bodoh. Sedang irama nadi ini semakin bertambah kencang. Habislah aku malam ini. “Jawab saja, Mas. Aku ingin mendengarnya langsung dari mulutmu.” Rasa bersalah itu begitu besar membebani pundak dan seluruh isi hati. Aku muak pada diriku sendiri. Andai bisa kuhapus seluruh bayang akan Ika di ingatan, pastilah ingin kulakukan sejak dulu kala. Sayangnya, tak semudah membalikkan telapak. “Jo, maaf,” lirihku. Aku sudah kehabisan kata-kata. “Tidak perlu minta maaf. Minta maaflah kepada istrimu, Mas.” Plak! Lagi-lagi aku tertampar oleh kalimat Jo. Benar-benar menohok sekali ucapannya. Membuatku semakin sadar akan kesalahan-kesalahan yang telah kuperbuat. “Aku tahu seperti apa perjuangan dokter Farhana untuk bisa
BAGIAN 140EXTRA PARTPOV DONIMAAFKAN AKU, HANA “Mas, makasih ya, udah ngajakin jalan-jalan malam ini. Kamu tahu aja aku seharian capek di rumah sakit.” Hana berkata saat kami telah berada di dalam mobil miliknya. Perempuan yang mengenakan gaun warna silver dengan model lengan balon bertahtakan manik-manik kristal tersebut begitu anggun malam ini. Wajah oval tembamnya dihias make up yang fresh. Sapuan perona pipi warna peach begitu serasi di kulit putih mulusnya. Apalagi bibir tipis itu. Begitu ranum nan manis. “Iya, sama-sama.” Aku mengulas senyum. Menutupi rasa bersalah yang begitu besar menggelayuti batin. Entah bagaimana reaksi Hana saat tahu tujuanku mengajaknya keluar malam ini. “Ayo, jalan, Mas. Aku udah nggak sabar pengen makan steak di Real Grill.” Hana berkata dengan penuh semangat. “Iya, Han.” Hatiku lemah sebenarnya. Takut-taku kupandangi wajah cantik Hana. Ya Allah, berdosa sekali aku selama ini. Maafk
BAGIAN 141EXTRA PARTPOV DONIPENGAKUAN DOSA “Hal penting apa itu?” Istriku terdengar agak syok. Kutoleh ke arahnya, wajah cantik itu langsung pias. Dia seperti bertanya-tanya dan dilanda sebuah kecemasan. Sialan si Jo, pikirku. Dia akan membuat hubungan rumah tangga kami retak setelah ini. Namun, aku sadar bahwa ini karena kebodohanku juga. Seharusnya … aku tak membawa serta istriku ke sini. Ah, mengapa sikap ceroboh masih saja melekap di diriku? Aku ingin sekali berubah menjadi lebih baik. Akan tetapi, tetap saja sikap kekanakanku bakal muncul lagi. Sungguh, aku benci dengan diriku sendiri. “Sebaiknya, kita pesan makanan saja. Baru setalah itu ngobrol banyak. Oke?” Ika mencoba mencairkan suasana. Wanita dengan wajah bak rembulan yang sedang terang-terangnya tersebut membuat seketika tenang tatkala mendengarkan suara lembutnya. Namun, buru-buru aku istighfar. Tidak pantas aku terus begini. Doni, sadarlah! Kamu dan dia sama-sama telah membina
BAGIAN 142ENDINGKUIKHLASKAN YANG PERNAH TERJADIPOV HANA Air mataku luruh seperti hujan lebat di penghujung September yang basah. Dada ini sesak. Langkah kakiku pun terasa begitu berat sekaligus tertatih. Ucapan yang terlontar dari Jo sempurna membuat jantungku remuk redam. Hancur sudah harapku. Telah pupus segala impi tentang indahnya masa depan. Mas Doni yang berulang kali mendapat maklum dan maaf dariku, nyatanya kembali berulah di saat aku telah jatuh terlelap. “Hana!” Pekik itu sama sekali tak kugubris. Aku terus menapaki jalanan. Tak peduli lagi dengan lalu lalang kendaraan atau orang yang kebetulan memandangiku dari halaman kafetaria yang bersebelahan dengan gedung Real Grill. Kuusap air mata di pipi. Berjalan dengan sepatu hak tinggi di atas jalan beraspal bukanlah suatu hal mudah. Terlebih gaun malamku yang panjangnya menyentuh jalan. Aku terseok-seok. Sedang perasaan kini sekacau kota yang habis diterjang tsunami. Ah,
“Mi, Ika berangkat dulu.” Zulaika menyambar tanganku. Aku yang tengah mendak meraih pisau selai di atas meja, terpaksa urung sebab tangannya telah menggenggam jemari ini erat. “Lho, nggak sarapan dulu, Ka?” tanyaku agak heran. Zulaika, anak pertamaku yang sudah menginjak usia 17 tahun tersebut, biasanya tak pernah melewatkan sarapan. Gadis itu paling suka dibuatkan roti panggang yang diolesi selai kacang. Namun, kali ini dia sangat berbeda. “Buru-buru,” ucapnya sambil mencium tanganku cepat, lalu berlari ke arah depan sana menuju pintu. Rumah minimalis kami yang dapur, ruang tengah, dan ruang tamunya tanpa sekat serta langsung mengarah ke pintu ini memang membuatku langsung bisa memandangi sosok Zulaika yang keluar.&n
Tanganku jadi gemetar hebat. Lutut ini seketika lemas. Air mata di ujung pelupuk tanpa terasa semakin banyak dan akhirnya jatuh tak tertahankan. Zulaika, kamu benar-benar telah merusak segala percaya yang selama ini kuberikan! Demi kebahagiaanmu, kulepaskan kau bagai burung di udara. Bebas pergi ke mana pun dengan teman-temanmu. Sampai saat pulang terlambat pun, aku masih maklum asal sebelum Magrib tiba. Inikah yang ternyata kamu sembunyikan dari mamimu sendiri? Aku menguatkan diri untuk terus menjelajahi isi WhatsApp milik Zulaika. Kubongkar isi balas-balasan pesan yang dilakukan Zulaika kepada seseorang bernama Boo. Hari ini juga, semua rahasianya harus kuungkap. Zulaika harus menerima semua konsekuensi dari perbuatan tak terpuji tersebut! Tanganku mengulir bola mouse hingga ke atas. Belum sampai pada p
Daddy : Sorry, baru ngirim pagi. Segini dulu, ya? Anakku minta uang semesteran soalnya. Nanti kutambah lagi. Jantungku sungguh rasanya teremas-remas. Bagai ditusuk sembilu. Nominal sepuluh juta bukanlah angka yang kecil. Apalagi bila uang tersebut asalnya dari orang yang entah siapa. Mengapa Zulaika bisa dikirimi uang sebanyak itu oleh lelaki matang yang dipanggilnya ‘daddy’? Saat kuberanikan diri untuk memperbesar foto yang digunakan akun tersebut, aku sungguh semakin tercengang. Bapak-bapak yang usianya jelas di atasku. Kutaksir mungkin sekitar lima puluh tahun. Bertampang sangar akibat lintang kumis tebal. Hidungnya besar dengan pipi yang tembam. Dari foto separuh badan dengan gaya formal dan berlatar belakang merah, dapat kusimpulkan orang ini badannya gemuk. Astaga, apakah … ana