BAGIAN49
PENGAKUAN SANG IPAR
“Ri, maafkan aku jika selama ini mungkin sikapku membuat kamu ataupun Mama tidak suka.” Mbak Sherly, perempuan 37 tahun yang memiliki seorang putri remaja itu membuka percakapan saat kami hanya berdua di ruang tengah. Tak ada siapa pun selain kami di sini. Semua orang telah berangkat ke peraduan dan jatuh lelap dalam mimpi-mimpi mereka. Termasuk Mama. Aku bersyukur bahwa beliau akhirnya bisa beristirahat setelah hampir seharian hanya menangis dan berkali-kali jatuh pingsan.
Aku mengulas senyum kepada wanita di hadapanku tersebut. Bukan senyum bahagia, melainkan penuh getir. Enam belas tahun dia menikah dengan Bang Edo, baru kali inilah iparku tersebut mau berkomunikasi seintens sekarang. Dia bahkan tak sungkan buat menggenggam jemari ini erat.
&n
BAGIAN 50MAAF DARI MAMA“Minta maaf kamu! Cepat! Cium kaki mamaku!”Teriakan itu membuat aku yang tertidur di kasur lantai tepat di bawah ranjang Mama, langsung bangkit dan membelalakkan mata besar-besar. Aku kaget bukan kepalang. Rasanya, aku baru saja terlelap beberapa jam lamanya setelah berbicara ngalor-ngidul bersama Mbak Sherly.“Ri, suara apa itu?” Mama ikut terbangun. Beliau yang tertidur di tepi ranjang sebelah kiri, langsung terduduk.Kutatap wajah beliau dari keremangan. Mata tua Mama masih terlihat sembab. Wajahnya juga tampak kuyu dan masih mengantuk.“Tolong! Siapa pun tolong aku! Suamiku sudah gila!” Pekikkan itu makin membuat kami terperanjat. Aku bersipandang dengan Mama. Mata kami sama-sama menaruh ketakutan.“Ri, itu suara Indri dan Tama sepertinya!” Mama turun dari tempat tidur. Berdiri dan terlihat agak oleng. Secepat kilat aku bangkit dari kasur tipis
BAGIAN 51BENCI “T-tapi … M-ma a-aku nggak mau jadi j-jan-da ….” Kulihat, Mbak Indri menggeleng. Perempuan itu langsung meremas kepalanya dengan kedua tangan. Menarik-narik rambut seperti orang depresi yang sudah tak mampu buat menanggung beban pikiran. “Itu sudah risiko dari perselingkuhan, In. Mama juga sudah tak ingin menjadikanmu menantu lagi. Kita sudahi hubungan kekeluargaan kita sampai di sini. Tama akan segera memulangkanmu ke rumah orangtuamu, In. Titip pesan pada keluargamu semua.” Mama menepuk-nepuk pundak Mbak Indri. Perempuan tua itu lalu berdiri dan terlihat meneteskan air mata sedihnya. “Bawa dia pergi sekarang juga, Tama. Mama sudah tak sanggup lagi kalau harus menatapnya berlama-lama. Bayangan itu sedikit banyak muncul
BAGIAN 52AKU SADAR Aku terdiam sesaat. Membuang muka demi tak menatap kedua bola mata hitam milik Alexa yang tadi telah berkaca-kaca. Hatiku bakal semakin hancur bila memandangnya. Aku memang tak setega itu. “Bun … Alexa … s-salah apa?” Pertanyaan itu kembali menyeruak. Tangan kecilnya kini menggenggam jemari kiriku. Aku kian tersentak. Bingung menjawab apa. Sementara hati kecilku sudah gerimis dan sebentar lagi badai akan datang menyelimuti. Duhai, Alexa. Maafkan aku, Nak. Mungkin aku bukanlah bunda yang baik untukmu. Kutarik napas perlahan sembari berusaha tak menitikkan air mata. Setelah agak tenang, aku pun jongkok. Kutatap wajah Alexa yang mendung dan kini telah dihujani air mata. &ldquo
BAGIAN 53MAAF, BUKAN URUSANKU! Aku yang sedang dilanda emosi pun, langsung menggendong Alexa yang masih meledakkan tangis. Dengan serta merta, bocah cengeng itu segera kubawa ke kamar mandi yang letaknya di ruangan sebelah dapur dekat wastafel. “Bunda, lepas!” jeritnya histeris. Aku tak mau peduli. Segera kududukkan dia di lantai kamar mandi, kemudian kukunci rapat-rapat pintu dari dalam. Kulepas piyama yang dipinjamkan oleh Mbak Sherly dari tubuh Alexa yang tak terlalu berisi itu, kemudian kuguyur seluruh tubuhnya dengan air dingin. Anak itu meronta-ronta. Menangis menjerit-jerit seperti tengah disiksa. Hatiku geram tidak alang kepalang tanggung. Anak ini luar biasa menguji kesabaranku. 
BAGIAN 54LELAKI KARPET Aku yang sudah balik badan dan menggamit tangan Mbak Sherly, tiba-tiba jadi menoleh lagi ke arah Bu Laras yang tengah menggendong Alexa. Kutatap wajahnya tajam sambil sinis berucap, “Oh, ya. Kemungkinan hari ini polisi akan melakukan pembongkaran makam Wahyu. Keluarga kalian mungkin bisa melihat, tapi itu pun kalau masih ada rasa kepedulian.” Bu Laras yang terlihat pening akibat jerit tangis Alexa yang ada di gendongannya itu hanya diam. Bibir tipis yang disaput dengan lipstik merah bata itu hanya merengut. Kedua tangannya yang sudah tampak keriput itu sibuk menepuk-nepuk pantat Alexa yang tak mau diam. Melihat tanggapan Bu Laras yang acuh tak acuh, aku pun langsung ambil langkah seribu bersama Mbak Sherly. Cepat kami naik ke dalam mobil, meski
BAGIAN55ATUR STRATEGI ULANG “B-baik, Pak. Saya akan usahakan untuk ke sana,” ucapku kepada petugas rutan. “Ya, Bu. Terima kasih untuk responnya. Selamat pagi, maaf sudah mengganggu.” “Selamat pagi, Pak. Sama-sama.” Hatiku terasa begitu berat. Kumatikan sambungan telepon dan menatap nelangsa pada gawai yang langsung kumasukkan kembali ke saku celana. Rasanya seperti kembali disuguhkan pada jalan yang membingungkan lagi. Kenapa sih, hidupku tiada henti-hentinya dihadapkan pada hal-hal yang dilematis? “Kenapa, Ri?” tanya Mbak Sherly sambil menyentuh pundakku. 
BAGIAN 56BARANG BUKTI “Y-ya sudah, Ri … aku manut kamu. Asal tolong bantuin aku, Ri. Setidaknya supaya hukumanku bisa diperingan.” Aku hanya diam saja. Tak mau menjawab lagi. Cuma secuplik sungging senyum sinis yang kuutarakan kepadanya. “Ini makanan pesananmu. Sepertinya kami harus segera pulang. Bukan begitu, Ri?” Mbak Sherly sangat tegas di sini. Beliau langsung tembak saja, tanpa tedeng aling-aling lagi. Makanan plus air putih dalam bungkus kresek plastik hitam itu diletakkan di atas meja depan kami. Seorang petugas yang berdiri memantau di belakang kami sedari tadi langsung mengambil bungkusan tersebut. Pria bertubuh tegap yang tampak masih muda dengan wajah dingin itu segera membaw
BAGIAN57KEGILAAN SUAMIKU Pak Rudy yang memiliki tubuh atletis dan berpenampilan dandy itu langsung meraup seluruh barang-barang dari bawah kasur pegas. Kedua tangannya yang mengenakan sepasang sarung tangan karet hitam itu sigap memunguti kertas-kertas, uang, maupun alat kontrasepsi dan pil herbal. Aku yang masih terperanjat, hanya bisa terdiam sambil menutup rapat-rapat mulutku yang tanpa sadar sedari tadi menganga. “Ibu tahu tentang barang-barang ini?” tanya Pak Tegar padaku dengan suara beratnya. Aku menggeleng. Menatap nanar pada barang-barang yang kini dikumpulkan di atas ranjang yang telah dilepaskan spreinya. Terlihat olehku kedua polisi pria itu kini memeriksa satu per satu kertas. Mereka membacanya dengan seksama hingga empat pasang bola mata polisi-polisi t