Aku semakin yakin, kalau Mas Mirza ada di rumah Mama. Tapi, kenapa harus sembunyi dari Thalita, apakah dia tidak merindukan putrinya? “Mungkin bajunya hanya sama, Sayang.” Aku berkata sembari menerka-nerka. Rasanya sekarang juga aku ingin mendatangi rumah mertuaku itu. Namun, bagaimana bisa karena ada Kak Rasyid di sini. Dia tidak tahu kalau aku mencurigai keluarga Mas Mirza yang menyembunyikan kebenaran tentang suamiku itu. Setelah mengobrol panjang lebar tentang perusahaan dan pekerjaan, tidak terasa waktu sudah semakin sore. Adzan maghrib sudah berkumandang. Aku pamit untuk mandi dan menunaikan salat tiga rakaatku. Lagi, aku bersimpuh dan meminta pada yang Maha Kuasa agar diberi jalan atas masalahku. Keyakinanku akan adanya Mas Mirza di sekitarku sangat kuat. Sedangkan semua orang yang berhubungan dengannya, selalu mangatakan hal yang sebaliknya. Cerita Thalita tadi semakin membuatku sangat yakin kalau Mas Mirza ada di sini. Tidak pergi ke luar negeri seperti yang dikatakan Rez
Seandainya aku punya keberanian untuk membantah Mama dan memaksa masuk ke dalam. Mungkin rasa penasaranku tidak akan setinggi ini. Tapi sayang, aku tidak punya keberanian untuk melawan, apalagi tempatnya di rumah Mama.Dengan sangat terpaksa, aku ke luar dari rumah Mama dengan perasaan yang masih diliputi banyak tanya.Sesampainya di kantor, seperti biasa aku akan sibuk dengan setumpuk pekerjaanku. Apalagi ada Kak Rasyid yang menemani serta membimbingku.Saat aku tengah fokus bekerja, suara denting ponsel membuyarkan konsentrasiku. Rupanya Niar yang memberi laporan dari rumah Mama.[Bu, Thalita nangis ketakutan, tadi dia bilang melihat tuyul.]Aku memicingkan mata membaca pesan dari Niar. Masa iya, ada tuyul di rumah Mama. Tidak mungkin juga Mama melakukan pesugihan.[Gimana Thalita sekarang, apa masih menangis?] tanyaku pada Niar.Aku melanjutkan pekerjaanku dengan perasaan tidak tenang. Mungkinkah yang dikatakan tuyul sama Thalita adalah pasiennya Reza? Bisa saja memang dia.[Sudah
Pintu kamar mandi terbuka, wajah Mama terlihat pucat. Setengah badanku masuk ke dalam. Melihat kemungkinan kalau ada seseorang di dalam sana. Namun tidak, kamar mandi pun kosong.Aku menutup kembali pintu kamar mandi dan berdiri tegak di depan Mama.“Ada siapa di sana? Apa ada orang, atau hantu yang kamu temui?” tanya Mama mengejekku.Aku menggeleng. Tidak mungkin kalau aku salah dengar tadi. Jelas sekali kalau tadi ada suara batuk dari sini. Tapi kenapa tidak ada siapa-siapa di sini.“Sudah, kita ke luar. Menganggu saja,” ujar Mama menggerutu.Aku pun akhirnya ke luar dengan diikuti Mama di belakangku. Sekitar lima langkah aku berjalan dari pintu kamar, aku berhenti dan berdiri di sana.“Kenapa lagi Aletta?” tanya Mama. Mungkin heran kenapa aku malah berhenti.“Kepalaku kok pusing dengan tiba-tiba ya, Ma.” Aku mengusap keningku.“Kamu sakit? Ayo kita ke depan biar ada udara segar,” ajak Mama.“Sebentar, Ma. Aku tidak kuat jalan. Kepalaku keleyengan, Ma.”“Terus Mama harus gimana, man
Setelah Mas Mirza pingsan di pelukanku, Mas Mirza dilarikan ke rumah sakit. Aku tidak mau kehilangan dia untuk kedua kali. Aku terus menemani dia hingga sampai di ruangan yang Mas Mirza tempati.Dokter sedang melakukan pemeriksaan pada Mas Mirza, dan aku tidak diijinkan masuk. Aku hanya bisa menunggu di luar dan hanya bisa melihat dari kaca yang menempel pada pintu.Aku tidak sendiri, ada Mama Marta yang ikut denganku. Dia mengampiriku dan menggenggam tanganku.“Aletta, maafkan Mama harus merahasiakan ini darimu,” ujar Mama dengan suara bergetar.Aku tidak menanggapi ucapannya. Sungguh, aku sangat kecewa dan marah. Aku tidak tahu harus berbuat apa pada wanita di sampingku ini. Selama ini dia menyembunyikan suamiku di rumahnya sendiri.“Ma, bagaimana keadaan, Mas Mirza.” Reza datang dan bertanya pada ibunya. Wajahnya terlihat kaget saat dia bersitatap denganku.“Dasar pembohong! Kau bilang dia pergi ke luar negeri, tapi nyatanya dia ada di sini!” Aku menyerang Reza. Tanganku memukul-mu
“Aku di sini, Mas.” Aku menundukkan kepala, mengecup punggung tangannya.“Inilah keadaanku, sekarang.”“Aku tidak peduli, Mas,” kataku menatap mata sayunya.Satu bulan dia meninggalkan rumah, membuatku pangling saat kembali aku bertemu dengannya.Wajahnya yang dulu cerah berseri, kini terlihat pucat. Badannya yang tegap berisi, kini semakin ringkih, tapi tidak mengurangi ketampanan yang dia miliki.“Aku jelek, Al. Badanku lemah. Lihat, kepalaku sudah tidak memiliki rambut, he.” Dia tersenyum yang dipaksakan.“Aku tidak peduli, Mas. Aku sangat mencintaimu. Tidak peduli bagaimanapun keadaanmu sekarang,” kataku mengusap mata. Aku semakin mendekatkan diri ke ranjang tidurnya. Aku peluk lengan yang dulu selalu merengkuh tubuhku. Masih hangat, meskipun tidak sekokoh dulu.“Kenapa, Mas harus meninggalkanku?” tanyaku dengan masih memeluk tangannya. Kusimpan kepalaku persisi di sebelah pundaknya.“Kau ingat, waktu aku akan mengucapkan ijab, dulu?” Aku mengangkat kepala dan duduk dengan tegak.
"Kenapa, Al?" tanya Mas Mirza dengan melihatku penuh tanda tanya."Kak Rasyid, Mas. Katanya dia kecelakaan," kataku sendu."Innalillahi, di mana? Di luar kota?""Tidak, dia sedang ada di kota ini. Tadi pagi dia pergi ke kantorku, tapi ... barusan Dion mengabarkan kalau Kakak kecelakaan." Hatiku tidak baik-baik saja.Aku bingung, antara harus pergi dan bertahan. Kalau aku pergi, bagaimana dengan Mas Mirza, di sini. Reza sama Mama, belum juga kembali. Di sisi lain, aku juga khawatir dengan keadaan Kakakku. Bagaimana keadaan dia sekarang."Pergilah, temui Kakakmu. Dia sedang membutuhkanmu," ujar Mas Mirza."Nanti saja, jika Reza atau Mama sudah kembali." Akhirnya aku mengambil keputusan."Aku tidak apa-apa, Aletta. Pergilah temui Kakakmu."Aku menggigit bibirku, menimbang keputusan apa yang harus aku ambil. Bertahan, atau pergi. Tapi rasa kasihku pada seorang Kakak rupanya mendorongku untuk pergi."Berjanjilah, kamu tidak akan pergi lagi, ok?" Aku berucap dengan memegang sebelah pipi Mas
"Kanker otak stadium empat. Dia juga dirawat di sini," kataku dengan pandangan yang lurus ke depan."Di ruangan apa dia dirawat? Aku ingin menemuinya," ujar Dion. Aku pun pergi ke ruangan Mas Mirza dengan diikuti Dion dari belakang.Setelah beberapa saat berjalan, sampailah kami di ruangan dimana Mas Mirza berada. Sepertinya Papa juga sudah berada di sini. Aku masuk dengan mengucapkan salam dan dijawab serentak dari dalam.Wajah Dion sangat syok saat pertama dia melihat Mas Mirza. Wajar, kini Mas Mirza tidak segagah dulu."Mirza, ini kamu?" tanya Dion tidak percaya."Ya, beginilah diriku sekarang, Yon. Jelek, ya?""Tidak, bukan itu. Kamu masih tampan, tapi ... terlihat pucat saja." Mereka saling melempar senyum. Keakraban terlihat pada keduanya. Bagaimana tidak, mereka sahabat dekat yang selalu bersama."Ada Papa rupanya. Mama ke mana?" tanyaku pada peria tua yang tengah duduk di sofa."Mama pulang, Papa menyuruh Mama, untuk menjaga Thalita. Biar Papa yang di sini menemani Mirza. Nant
Aku menjauh dari ranajang Mas Mirza, menyandarkan punggung pada tembok. Kubekap mulut agar tidak terdengar suara tangisku.Semua orang panik, terlebih diriku yang baru pertama kali melihat Mas Mirza menahan sakit. Reza menyuntikkan obat yang berbeda pada labu infus juga pada punggung tangan Mas Mirza.Perlahan tubuh Mas Mirza melemah, dia tidak berteriak lagi. Mas Mirza terkulai lemas di ranjangnya. Aku yang sesegukkan menangis di belakang Papa, kini menghampirinya. Aku naik ke atas ranjang Mas Mirza kupeluk tubuh ringkih yang tidak berdaya itu.Tidak peduli dengan dua orang yang melihatku dengan iba atau tidak suka. Aku menangis dengan sebelah tangan kusimpan di atas perutnya. Kucium pundaknya berkali-kali. Takut, sungguh aku sangat takut untuk kehilangannya.“Za, apa sebaiknya kita bawa Mas Mirza berobat ke luar negeri saja? Aku yakin dia akan sembuh jika kita bawa dia ke rumah sakit yang lebih besar dan canggih,” kataku memberikan usul.Reza menggeleng, lalu dia berjalan dan duduk