Share

Karen Oh Karen

Jangan lupa klik berlangganan ya, biar tak ketinggalam update terbarunya, terima kasih.

********************

********************

Part 10

Karen Oh Karen

Kami sampai di rumah ketika waktu magrib telah tiba,  Rangga tertidur di mobil mungkin karena saking lelahnya bermain seharian ini. Banyak sekali Mas Satrio membelanjakan hari ini, pakaian dan juga kebutuhan dapur dibelikannya sekalian.

"Ma, aku harus berangkat sekarang, nih barusan ada konsultan yang ingin menemuiku, nggak apa-apa kan? Aku paling pulangnya lima hari lagi sih?" ucap suamiku itu.

"Oke, hati-hati ya Pa..." jawabku cuek.

"Eh, cuman gitu aja? Biasanya kan kamu protes kalau aku keluar kota, Ma."

"Ya karena meski protes juga bakalan percuma kan Pa, nggak bisa juga kan aku memintamu nggak jadi pergi?"

"Iya juga sih, hehehe. Ya sudah kalau gitu aku berangkat sekarang. Titip salam buat Rangga ya, kalau misal perlu apa-apa langsung hubungi seperti biasanya. Ingat nggak boleh keluar rumah kalau nggak pemting banget dan tetap nggak boleh dandan, jaga pandangan dari lelaki lain, Ok!" ucapnya panjang kali lebar yang hanya kujawab dengan anggukan kepala saja.

Memang sih aku biasanya seperti itu, selalu mengeluhkan waktunya yang sangat sedikit untuk keluarga, tapi sekarang aku lebih suka jika dia tak ada, agar nantinya Rangga juga terbiasa hidup tanpa papanya.

Setelah Mas Satrio pergi, gegas kulaksanakan salat magrib, kemudian aku menonton tivi. Rangga biasanya akan tertidur hingga pagi saat kelelahan.

Sambil nonton tivi, aku pun mengecek handphone, ternyata ada beberapa chat dari Karen ke nomorku yang satunya, gegas kubaca chat tersebut.

[Halo, ini temannya Kak Rury yang jualan souvenir kah?]

Karena wa yang satunya menggunakan akun bisnis, otomatis pesannya dibalas.

[Kak, halooo...]

[Mau pesan yang berupa handuk besar Kak, soal harga nggak masalah yang penting hasilnya bagus. Aku butuh secepatnya Kak, tanggal 20 acaranya.]

Gegas kubalas chat itu, lumayan bisa jadi bahan nanti, tapi tentunya tak akan kukerjakan sendiri, nanti aku akan meminta tolong temanku yang memang punya usaha souvenir.

[Maaf ya Kak baru balas, soalnya tadi repot banget. Rury tadi juga sudah bilang kok kalau acaranya tanggal 20.]

Terlihat chatku itu langsung dibaca olehnya, dan terlihat dia sedang mengetik.

[Iya Kak nggak apa-apa kok. Berapa harganya souvenir handuk?]

[Harganya sih bervariasi Kak, 5000, 15000, 25000 dan 35000ribu Kak. Tergantung kualitas handuknya juga, kalau mau yang lebih mahal lagi juga bisa.]

Sebenarnya aku tak tahu berapa harga asli souvenir itu, hanya perkiraan saja sih.

[Kalau begitu, aku pesan yang harga 35000 aja Kak, minta full warna putih atau biru. Dua ratus buah saja Kak, bisakan buat tanggal 20?]

[Bisa banget dong Kak, pakai tulisan apa neh?]

Jadi ini semacam private party mungkin ya, yang diundang kok hanya 200 orang sih? Apa mungkin karena takut ketahuan ya, mangkanya Mas Satrio nggak mau ngundang banyak orang.

[Happy Wedding Karenina & Satrio Bimo.

Totalnya tujuh juta rupiah ya, Kak? Minta nomor rekeningnya biar kutransfer semua sekalian Kak.]

Membaca balasan dari Karen itu, hatiku kembali teriris. Suami yang  selalu kupatuhu semua ucapanya selama lima tahun ini, ternyata malah akan menikah lagi. Namun aku tak boleh lemah dan memang aku bukan wanita lemah. Tetap kukuatkan hati untuk melanjutkan sandiwara ini.

[Uangnya ditransfer ke nomernya Rury saja, Kak, sekalian. Atau nanti saja pas pesanannya sudah jadi.]

[Oke deh, biar besok aku chat Kak Rury, sekarang sudah malam takut ganggu. Makasih banyak ya Kak.]

[Siap. Aku juga makasih banget ya Kak, semoga semua lancar hingga hari H nanti.]

Lumayan, nanti aku akan menambahkan sesuatu di souvenir pernikahan mereka  agar para tamu undangan tahu, siapa mereka sebebarnya. Kemudian aku pun tidur, karena besok akan banyak hal yang harus segera kulakukan, di H-6 pernikahan suamiku itu.

*********************

****************

"Bik, hari ini aku akan lama di luar, tolong kamu jagain Rangga ya, jika rewel langsung saja telepon ya," ucapku pada Bik Nurma yang masih memasak.

"Siap, Bu."

Aku memang berangkat pagi sekali hari ini, Rangga pun saat ini masih tidur, karena banyak sekali rencana yang akan aku lakukan hari ini. Mengunjungi temanku yang sekampung dengan Karen, mengajukan gugatan cerai ke pengadilan agama, menggadaikan rumah tanah atas nama Mas Satrio.

Targetku semua itu selesai hari ini, karena waktunya juga sudah mepet sekali, hanya tinggal enam hari, sedangkan aku juga harus mempersiapkan kejutan di hari pernikahan mereka nanti.

Sambil mengemudi, aku pun mencoba menelepon Delia, agar dia tak kemana-mana hari ini. Dua kali mencoba, panggilanku pun akhirnya di jawab olehnya.

"Assalamualaikum, Rur. Ada apa nih, tumben pagi-pagi nelfon?" kata Delia membuka percakapan melalui sambungan  telepon ini.

"Waalaikumsalam. Ada sesuatu yang amat penting, Del. Saat ini aku sedang dalam perjalanan menuju kerumahmu, nanti aku ceritakan semuanya di sana. Kamu ada acara keluar nggak sih pagi ini?" ucapku.

"Aku nggak ada kemana-mana kok hari ini, kebetulan suamiku juga dari kemarin sedang  ada diklat di kota Malang, jadi aku sendirian di rumah. Ya sudah kutunggu di rumah ya, sekalian diajakin jalan-jalan aku juga nggak nolak kok Rur, hehehe."

"Gampang itu, ya sudah aku meluncur ya, jangan lupa siapin sarapan, soalnya aku belum sarapan nih, hehehe."

"Siap Bos! Jangan ngebut nyetirnya. Wassalamualaikum."

"Ok. Waalaikumsalam."

Wah lumayan nih, akan kuajak saja nanti si Delia menemaniku ke pengadilan agama, dari pada bengong sendirian. Delia telah menikah selama dua tahun, namun hingga saat ini belum dikaruniai momongan.

"Ihhh...cepet banget sih nyampainya. Pasti kamu ngebut kan? Kebiasaan banget deh. Yuk masuk, aku sudah masak pecel nih, kesukaan kamu," ucap Delia saat aku sampai di rumahnya.

Aku pun langsung mengekorinya dan tak sungkan-sungkan lagi untuk duduk di meja makan, karena kebetulan suaminya tak ada di rumah juga sih, hehehe.

"Emangnya ada apa sih, Del? Kok katamu penting banget?" tanya Delia sambil makaan.

"Kamu kenal cewek ini nggak," ucapku sambil menunjukkan foto Karen, yang kuambil dari akun f* nya kemarin.

Mungkin karena tidak terlalu jelas, Delia kemudian merebut handphone itu dari tanganku, dan memperhatikannya secara seksama.

"Emmm...kayaknya familiar wajahnya. Siapa sih namanya?" tanya Delia sambul mengeryitkan dahinya.

"Karenina, alamatnya di kampung sini kok Del," jawabku.

Tiba-tiba Delia tertawa sambil menutup mulutnya.

"Apaan sih, Del? Kok malah tertawa gitu? Nggak jelas banget deh kamu ini!" ucapku sebal.

"Kok kamu bisa punya foto dia sih? Kamu kenal sama dia?" Bukannya menjawab, Delia malah kembali bertanya kepadaku.

"Jawab dulu kenal nggak kamu dengan dia? "

"Haduh...siapa sih yang nggak kenal sama Karen, si artis kampung ini, hehehe. Kamu kenal sama dia?" tanya Delia lagi sembari melanjutkan tawanya.

"Artis? Biduan kampung gitu maksudmu? Atau pemain film?" tanyaku makin penasaran.

"Artis kontroversional...selalu mencari sensasi, dan penuh dengan masalah. Mangkanya tak ada yang tak kenal dengan si Karen ini. Intinya dia ini cewek nggak bener deh dan nggak tahu malu, hahaha. Tak hanya dia,  keluarganya juga sama, keluarga sampah semua!"

Hemmm...berarti si Karen ini memang sudah dari sononya nggak bener, jadi makin semangat nih membuat dia insyaf, eh membuat dia malu, hehehe.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status