“Mas … kenapa kau berubah jadi kasar padaku? Mengapa kau jahat sekarang, Mas?” ujar Mba Tia sambil menangis dengan deraian air mata penuh amarah.“Aku kasar? Aku jahat? Hhhh! Lalu bagaimana dengan dirimu yang berkhianat padaku? Kau selingkuh dibelakang dan didepan ku, Tia? Kau curangi kesetiaan ku? Sekarang mengapa baru kau tanyakan kenapa aku berubah?!” “Seandainya kau bisa membuat ku senang dan bahagia, aku tak akan melakukannya! Tapi apa yang ku dapat? Uang bulanan ku kurang, rumah mengontrak, dan tiba-tiba kau dipecat dari kerjaan mu! Lantas aku tak mendapatkan apa-apa? Dan sekarang rumah ini pun kau jual! Itu semua harusnya yang kau pikirkan, Mas! Pikirkan bagaimana cara membahagiakan ku!” balas Mba Tia dengan kondisi yang masih kacau balau.“Aku tak peduli! Silahkan kau cari laki-laki yang mau dengan wanita macam dirimu! Menikah hanya ingin morotin harta suami tanpa mau berbuat baik layaknya tugas seorang istri yang selalu setia mend
“Zara? Kamu disini? Ngapain?” tanya Mama mertua keheranan, anak nya yang satu ini bisa-bisa nya berada di toko bunga.“Zara lagi nyusul Farah. Mama sama siapa?!” tanya Mba Zara pula dengan bingung.Suara Mba Zara berbincang dengan Mama nya masih bisa kudengar dari sini. “Oh begitu? Mba Zara kerja sama kamu sekarang?” kataku pada Farah.Farah hanya mengangguk sambil tersenyum meyeringai. “Oke, baiklah. Aku akan pulang. Kasihan Mama nya Bang Rafi kakinya sudah kena tanah bekas pot yang kau senggol tadi. Nanti deh, aku certain semua sama Bang Rafi kejadiannya,” lanjutku, lalu melangkah menuju Mama mertua.“Mama nya Rafi? I-itu Mama nya Rafi dan Zara?” suara Zara masih memintaku menjelaskan.Aku menoleh kebelakang, lalu melayangkan senyuman lebar pada Farah. Lalu mengangguk mengiyakan pertanyaannya.Farah terlihat bingung dengan wajah bersalahnya itu. Tentu saja, karean Farah telah mengulang kesalahan yang sama se
Uhuk! Uhuk!Batuk kali ini memang benar-benar alami, reflek keluar karena terkejut dengan bisikan pelan namun penuh penahanan volume suara yang berisi amarah Mba Zara. Ingin tertawa tapi takut dosa. “Kamu gak papa, Fiza?” tanya Diandra dengan suara lembut dan khas miliknya yang khatir dengan batuk ku tadi.Aku menggeleng, ingin rasanya tertawa keras tapi kutahan. Khawatir Mba Zara makin jadi saja tingkah nya yang konyol dan bo*oh itu, dan semakin ingin aku tertawa nanti nya.Aku juga baru sadar apa yang Kiya ucapkan tadi, Mba Zara sangat kacau penampilannya. Karena sibuk meladeninya ngomong, aku sampai lupa mau menanyakan soal penampilannya itu?Aku memberi kode menggunakan tangan agar Diandra dan Mas David segera masuk ke dalam saja. Biar Mba Zara menjadi urusan ku dan Bang Rafi.Dengan sedikit bingung, akhirnya Diandra dan Mas David mulai paham, lalu segera masuk ke dalam rumah.“Fiza!!! Kau sengaja meledek ku depan D
Waktu berganti bulan dan tahun. Mama mertua makin sehat, anak-anak makin besar, Putra sudah masuk usia sekolah dasar. Dan Bang Rafi juga masih di perusahaan Sisil. Sementara aku diminta seminggu sekali untuk hadir ke perusahaan, karena Sisil yang meminta. Hanya sekedar memastikan adanya item baru di perusahaan. Ia ingin aku yang mengendalikannya, karena masih belum punya karyawan yang ia percaya yang mampu untuk itu. Dan, Bang Rafi tak keberatan, apalagi hanya empat kali selama sebulan aku harus kesana. Pun dengan Mas Dika, ia sudah menikah dengan Mba Yulia anak pemilik kontrakan. Usaha nasi gorengnya makin pesat. Kami masih sering diundang mereka untuk datang ke outlet baru yang dibuka dekat kawasan mall terdekat.Mas David dan Diandra juga sama, mereka makin kompak bertiga dengan Kiya. Kiya tumbuh jadi anak yang periang, pintar dan penyayang. Tak jarang pula mereka mengajak kami semua termasuk keluarga baru Mas Dika untuk silaturahim kerumah
“Kau yakin info dari Tia benar? Ini perusahaan punya adiknya?” lanjut rekannya bertanya pelan sambil terus melangkah.Kembali ku imbangi langkah mereka agar lebih mengetahui informasi dari mereka yang mencurigakan. Segera ku kirim pesan pada Sisil.[Kau mengundang Farhan? Aku sudah di dalam, tapi lagi nguping seseorang hal yang penting][Kau di mana? Nanti kita ketemu. Ada orang-orang Farhan bersamamu?][Ya, dan aku membuntuti mereka dibelakang. Tunggu di ruanganku, aku segera naik.]“Yakin sekali. Perusahaan ini harus jadi milik Bos. Jadi, yakinkan pemiliknya agar menjual sahamnya segera! Bila perlu semuanya,” rekan satunya lagi masih dengan tenang berbicara tanpa menoleh kearah lawan bicaranya. Tenang sekali.Baiklah, mari kita lihat siapa yang kuat! Batinku.Mereka berdua menoleh ke arahku yang dengan sigap pula aku pura-pura tak melihat karena segera masuk lift kantor. Sementara mereka masih bisa ku lihat sedang
Tatapan itu masih sama seperti dulu. Tampak garis senyum terukir disana, walau aku tahu pasti itu bukanlah senyuman. Pembawaan wajah yang proporsional sehingga walau tidak sedang senyum pun, ia akan tetap terlihat seperti sedang tersenyum. Tak heran, dulu banyak wanita cantik yang mengejarnya. Ah, sudahlah … tak ingin mengingat masa-masa itu.Segera ku alihkan pandangannya dengan segera. Pun dengannya. Segera mengalihkan netra nya ke langit-langit ruangan ini tepat pada lampu kristal yang menggantung dihadapannya.Sisil memandang ku sesaat, lalu bergantian menatap lelaki tadi. Aku hanya menundukkan wajah ku, seolah tak terjadi apa-apa. Memainkan benda pipih canggih ini menjadi pilihan tepat untuk mengurangi detak jantung yang berpacu sangat cepat.“Selamat siang juga! Baik Pak, tak masalah. Karena kita juga baru memulainya tujuh menit lalu,” Sisil memulai mengurai waktu yang sempat terhenti tadi. Aku menarik napas dengan lega, semoga
Mata Bang Rafi membulat. “Dek!” “Apalagi sih, Bang?” kataku sambil manyun ke arahnya.“Gak usah cari tau ke si Zach urusan proyek. Bukan kah sudah dia katakan kemaren?” ujarnya sedikit takut.“Hahahaha! Abang, Abang! Lucu deh! Memangnya mencari tau soal proyek itu kudu bicara sama Zach? Ya gak dong? Lagian kenapa emangnya Abang ngelarang?” kataku sambil tertawa.“Ya gak sih Dek. Khawatir aja ntar kamu …” lanjutnya dengan kata-kata menggantung.“Entar Adek suka sama Zach, gitu?” selidikku sambil nyengir. Karena aku hafal betul sama suamiku ini, setelah adanya proyek bareng Zach kemarin dia terlihat cemburu berat. Namun tak mau mengakui. Padahal yang ketemuan dia, yang ngobrol dia, dan yang nanganin proyek itu juga dia! Makanya aku suka sekali meledek suamiku ini. Cemburunya, itu tanda dia sangat mencintai dan menyayangiku.“Iya sih, Abang takut kamu jadi suka sama Zach,” akunya dengan suara datar padaku sambi
“Pak Amin? Jadi dari tadi, kok bapak gak tegur saya, Pak? Bapak sehat?” tanya ku pada sesosok orang tua yang baik dihadapanku ini.Beliau adalah pelayan dirumah Zach. Makanya aku kurang yakin dengannya tadi. Pak Amin jarang diminta Zach untuk menyupiri dirinya. Tapi sepertinya tidak untuk kali ini.“Ya ampun … jadi benar ini Mba Fiza? Saya tadi sudah memperhatikan Mba, cuma rada ragu, si Mba Fiza temennya Mas Zaky atau bukan? Maafin Bapak ya, kurang ngeh,” balas Pak Amin dengan antusias.“Dan … Zach? Mengapa bisa kesini?” tanyaku pula pada sosok pemilik senyum indah itu.“A-aku, aku dari tadi di mobil kok Za. Cuma minta Pak Amin aja yang ke sini,” ujar Zach sedikit kagok melihatku lagi, pun dengan ku yang rasanya tak mungkin akan bertemu dia lagi.Aku menatap Pak Amin dan Zach bergantian. Mengapa bisa?“Gini loh Mba, tadi kan waktu kecelakaan di lampu merah tadi itu, yang nyuruh Pak Amin anter ke rumah sakit ya Mas Zaky