Tak dianggap di keluarga suami hanya karena status ipar? pun hanya sebuah pesan chat! Namun semua berubah ketika ia bersikap tegas.
View More[Mohon doa untuk kesembuhan Putra, semoga typus nya segera pulih]
Pesan itu ku kirim ke grup keluarga Bang Rafi. Kondisi Putra anakku, lagi terbaring sakit. Seorang ibu hanya bisa meminta doa pada yang maha kuasa, semoga diberi kekuatan dan kesembuhan untuk anaknya.Pun dengan doa-doa orang terdekat terutama keluarga, semoga bisa ikut bantu memanjatkan doa untuk kesembuhan Putra.Sudah cukup lama pesanku itu terkirim, hanya dibaca saja. Tanpa seorangpun merespon. Sama halnya dengan yang dulu-dulu pernah terjadi, ketika aku mengirim pesan chat di keluarga Bang Rafi. Tak ada respon. Dan saat itu aku masih berpikir positif."Dek, Abang hari ini pulang agak malam ya? Ada lemburan, nanti minta tolong sama Mba Tia gantian jagain Putra, supaya kamu bisa pulang sebentar urus Dinda. Abis dari kantor, Abang akan langsung ke rumah sakit gantian sama Mbak Tia. Gimana?" Suamiku memberi pendapatnya."Adek sih gak masalah, Bang. Sendirian juga bisa kok, jagain Putra. Nanti Dinda biar sama Bi Ratna aja. Biar adek yang hubungi Bi Ratna." Sengaja aku sebut adek dari mamaku saja yang bisa dimintain tolong, karena Bang Rafi sepertinya masih belum tahu saudaranya yang lain tak pernah sekalipun mau menjenguk Putra. Apalagi sekedar ucapan doa di grup. Tidak pernah! "Lha memang kenapa kalau sodara Abang yang bantuin? Kamu keberatan?" tanyanya."Gak lah, Bang. Masa aku keberatan. Senang malah. Cuma nanti Abang aja yang hubungi Mba Tia nya, ya? Adek agak sungkan, khawatir merepotkan Bang," jawabku sekenanya."Baiklah, kamu tenang aja, nanti Abang yang hubungi Mba Tia minta bantuan ya? Abang berangkat dulu ya Dek," pamit Bang Rafi sambil kucium takzim punggung tangannya itu.Aku hanya menghela napas mendengar ucapan suamiku itu. Sepertinya memang belum tahu sama sekali bahwa sikap keluarganya itu sangatlah berbeda kepadaku. Aku dan Bang Rafi sudah delapan tahun lebih menikah, dan dikaruniai dua buah hati. Putra anak pertama kami yang berusia enam tahun, dan Dinda baru berusia dua tahun.Keluarga Bang Rafi sedikit tertutup padaku. Terutama kakak-kakaknya. Entah apa yang membuat mereka tak banyak ingin bersua denganku, sampai saat ini aku tak mengerti.Ting!Sebuah pesan masuk pada gawaiku dari grup keluarga Bang Rafi.[Halo semua! Besok Kiya ulang tahun, Om Tante semua datang ya! Jangan lupa bawa kado buat Kiya,] Pesan itu dari Mbak Zara, kakak pertama Bang Rafi.Ting! Ting![Wah, seru nih kayaknya ultah Kiya. Om Dika dan Tante Tia pasti datang! Mau kado apa nih Kiya nanti?]Balas Bang Dika suaminya Mba Tia, yang merupakan kakak kedua Bang Rafi.[Kata Kiya minta boneka yang gede ya Om Dika dan Tante Tia,]Ting! Ting!Masih banyak lagi pesan yang masuk ke grup.Hatiku mulai teriris. Sebait doa pun tak ada mereka ucapkan untuk Putra anakku. Tapi tidak dengan Kiya, yang akan merayakan ulang tahun, malah ditawarkan minta kado apa?Ya Allah, sedikit 'nyes' di hati. Sabar ...Ting![Selamat ya buat Kiya, maaf Om Rafi lagi banyak kerjaan. Jadi belum bisa hadir,] tulis Bang Rafi menimpali pesan saudaranya sendiri.Hatiku makin sakit rasanya, bagaimana Bang Rafi tak melihat dan membaca situasi ini? Sudahlah, aku tak akan memintanya untuk mengerti perasaanku saat ini. Bang Rafi yang kurang peka atau memang sengaja karena tak enak hati dengan keluarganya itu. Atau aku yang terlalu bawa perasaan?[Selamat ya, Kiya ... Tante Fiza belum bisa hadir juga. Karena masih jagain Putra di rumah sakit. Nanti kadonya nyusul ya,]Ku beranikan menulis ucapan selamat untuk anaknya Mba Zara. Sengaja, supaya mereka tau ada keponakan mereka juga yang lagi terbaring lemah di ranjang rumah sakit.Sejam, dua jam, bahkan sudah tiga jam pun, tak ada yang membalas pesanku itu.Ku hubungi Bi Ratna di grup keluarga besar ku. Alhamdulillah Bi Ratna berkenan membantu menjaga Dinda.[Nanti siang atau malam, Mas datang ya Dek, jenguk Putra.] tulis Mas Deni, kakakku yang tertua.[Mbak insyaAllah juga nanti kesana ya Fiza,] tulis Mbak Dea istri Mas Tomi kakak kedua.Dan semua keluargaku lainnya dari malam kemarin hingga hari ini tetap memberikan doa dan kabar kalau mereka akan membesuk keponakannya di grup keluarga.Tapi tidak dengan chat digrup keluarga Bang Rafi? Aku jarang sekali mendapat respon dari mereka.Sebenarnya, aku tak berharap banyak dari keluarga Bang Rafi, hanya butuh sedikit saja perhatian untuk Putra. Hanya sebentuk doa yang aku butuhkan. Bukan yang lain. Apa aku berlebihan?Entahlah, mungkin mereka menganggap aku ini hanya seorang ipar saja. Tidak lebih. Ipar yang mungkin kebetulan mengambil alih posisi adiknya mereka. Dan mungkin bagi mereka, aku tak layak mendapat perhatian mereka. Aku tak tahu.Sementara, aku dan Bang Rafi tak pernah kurang-kurangnya memberi perhatian pada saudara-saudaranya itu. Namun bagi mereka, apa yang kuberi tidak lain itu adalah pemberian dari Bang Rafi saja, adik mereka.Apa karena Bang Rafi kerja nya ditempat yang bagus dan selalu menuruti kebutuhan saudaranya, jadi mereka hanya perhatian pada suamiku saja? Sungguh, mereka tak mengetahui kebenaran sesungguhnya.Tapi, apalah daya, aku bukanlah tipe wanita yang gampang koar-koar demi untuk mencari perhatian mereka. Tidak, aku tak perlu berbuat begitu.Kita lihat saja nanti!Saat malam hari tiba, Bang Rafi baru kembali ke Rumah Sakit. Aku memintanya pulang dulu kerumah menjenguk Dinda. Kasihan jika salah satu dari kami seharian tak menjenguk putri kecil kami itu.Dan malam ini, Bang Rafi sudah kembali ke rumah sakit dan membawa makanan untukku."Capek, ya Dek? Maaf ya ..." "Buat anak sendiri, gak kenal capek adek, Bang. Tadi dokter bilang Putra sudah mendingan, hasil cek darah ketiga tadi, sudah bagus hasilnya. Mungkin dua hari lagi Putra dibolehin pulang," jawabku."Alhamdulillah kalo gitu," katanya lagi.Aku merapihkan beberapa barang bawaan dari Mas Deni dan Paman Joni adik papaku, dan keluarga ku yang lainnya yang tadi siang membesuk Putra.Bahkan sengaja ku abadikan pemberian mereka itu kedalam status aplikasi hijau ku."Terimakasih orang-orang baik yang sudah mendoakan Putra"Statusku itu sudah dibaca pula oleh Bang Rafi beberapa detik setelah kubagikan."Dek ...""Ya, Bang?""Maaf ya, Mbak Tia ga bisa datang untuk menjaga Dinda tadi, katanya ..." "Sudah Bang, gak papa kok. Acara Kiya lebih penting kayaknya ..." "Jangan gitu dong Dek? Mungkin memang ...""Ssssht, jangan berisik Bang. Tar Putra bangun. Iya, aku tau Mbak Tia bantu-bantu disana, kan memang penting acara ultah ketimbang Dinda," ujarku, sambil berbisik pelan agar tak membangunkan Putra."Maafin Abang ya?" Sambil menarik napas dalam, Bang Rafi tertunduk, mungkin sedikit malu.Aku hanya mengangguk pelan padanya, supaya Bang Rafi berfikir dan melihat, apa yang ada di otaknya tentang keluarganya itu terbuka lebar aslinya kayak apa.Aku mulai istirahat di kasur satunya. Kebetulan Putra kami tempatkan di ruang rawat inap VIP. Jadi, ada fasilitas kasur dan sofa diruangan ini.Bang Rafi terlihat juga sangat mengantuk. Aku memberinya selimut, agar bisa beristirahat dengan nyenyak.Malam ini aku malah sulit memejamkan mata. Entah, sepertinya aku kepikiran dengan apa yang terjadi hari ini.Ting! Ting!Gawai Bang Rafi berbunyi. Tapi tidak dengan gawaiku. Itu tandanya, ada pesan masuk seseorang atau dari grup yang tidak sama dengan grup yang kupunya.Bang Rafi tak bergerak sedikitpun. Aku beranjak dari kasur ini mendekati Bang Rafi.Sudah terlelap. Aku ambil gawainya, karena rasa penasaran di hati ingin melihat isinya.Kubuka perlahan aplikasi warna hijau itu. Grup Keluarga Ramlan sudah ada beberapa notifikasi.Artinya, grup itu hanya berisi keluarga besar Bang Rafi saja tanpa ada ipar-iparnya.Aku klik gambar kaca pembesar, kutulis 'Keluarga Ramlan'. Langsung keluar serentetan pesan yang muncul di ikon search itu.Tanpa harus membukanya, aku bisa membaca apa isi pesan disana.[Raf, itu Putra banyak banget yang besuk? Kalau ada barang-barang bawaan pengunjung yang ga kepake istrimu, bawa kesini lah!] tulis Mba Zara.[Iya tuh! Coklat gede banget tadi di statusnya Fiza, lempar sini dong!] pesan ini dari Mba Tia.[Bilang ma Fiza, kado buat Kiya jangan lupa! Kalo gak, mentah nya aja kirim!] tulis Mba Zara lagi.[Kata Mama, minta kado Putra yang isinya sweater itu Raf, buat ngadoin anak tetangga yang mau ulang tahun!] Dadaku terasa panas, ucapan doa untuk Putra sedikitpun tak mereka lontarkan di grup chat keluarga! Bahkan mereka jarang dan malas berbicara didepanku secara langsung! Tapi ternyata seperti ini kelakuan saudara-saudara Bang Rafi di grup keluarganya!Sesak rasanya ...Bersambung ...☘️☘️☘️☘️☘️☘️Pesan dari Sisil membuat hatiku gelisah. Ingin segera kutolehkan kepala dan pandangan ini ke belakang. Tapi aku ragu. Karena aku tahu, ini akan membuat hatiku semakin tak tentram. ‘Apa benar itu dia …?’‘Jika benar itu adalah dia, aku … aku …’Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan, sedikit menunduk, karena kesedihan hati ini mulai menjalar keseluruh relung dalam kalbu. Tanpa satu bilikpun tertinggal. Ya Tuhan, rasa apa lagi ini? Bukankah aku tak ingin menyatukan rasa ini dengannya? Ah Fiza, mengapa kau ucap kata-kata itu walau dalam hati? Jangan beri ruang untuk sesuatu yang tak mungkin bisa kau raih. Kau sudah cukup bahagia dengan dua orang buah hati. Cukup Fiza, hentikan dan tutup lubangnya agar tak tumpah rasa itu!Dan bukankah ia bertunangan di sini, di tempat ini? Aku harus terima kenyataan bahwa, dia sudah memilih wanita lain untuk menjadi pendampingnya. Jadi aku tak perlu banyak berharap. Bukankah kau lebih suka ia
TAK DIANGGAP - BAB 73By. Sarah Canaken POV RAFIAku kecewa dan marah saat Mama beserta Pakde Sadikin melaporkanku ke ranah hukum. Awalan aku memastikan apa yang kulakukan dengan Atika tidaklah menimbulkan resiko besar. Palingan hanya respon kejut awal saja saat Mama dan Pakde Sadikin menyadari kehilangan sertifikatnya itu. Niatku hanya meminjam sementara, untuk investasi awal ke perusahaan. Karena, aka nada bagi hasil yang besar jika aku mau menginvestasikan dana di sana. Tapi malang tak dapat ku bendung, senangpun tak kuraih. Polisi menangkapku dan Atika di rumah atas dasar tuduhan mencuri sertifikat.Atika yang paling berontak. Karena merasa dan mengaku bukan perbuatannya. Ia sampai mencurigaiku bahwa aku yang melaporkan tindakan kami berdua kepihak berwajib. Sedikit syok mendengar Atika berbicara seperti itu. padahal aku sama sekali tidak melakukannya.Di kantor polisi kami berdua bertengkar. Sampai-sampai harus memarahi petugas
TAK DIANGGAP - BAB 72By. Sarah Canaken“Mau apa kau ke sini? Bukankah sudah kubilang jangan menemui anak-anak lagi tanpa ijin dariku!” aku langsung menyerang tanpa ada kata maaf dan permisi pada mantan suamiku itu.“Hei, hei, sabar Fiza ... Abang kesini baik-baik kok? Gak niat melakukan hal buruk ...” jawabnya enteng.“Halo Raf! Tumben? Mau jemput anak-anak atau ketemu ... mantan istri?” Fandy mulai memecah sengatan api yang hendak membara diantara aku dan Bang Rafi.“Ya, seperti yang kau lihat, Fan. Kau sendiri ngapain di sini? Mau jemput anak-anakku? Atau juga ingin bertemu Fiza? Jangan bilang kau lagi bersaing dengan Zach untuk mendekatinya,” ujar Bang Rafi lagi. "Apa-apaan sih?! Mulai sifatmu itu keluar!" ucapku kesal.Aku membaca niatnya kesini pasti ada hubungannya dengan proyek. Ada udang dibalik batu! “Hahaha ... ya, terserah kau saja lah, Raf, mau bilang apa ... oh iya, sudah diangkat manajer?” Fandy meng
TAK DIANGGAP - BAB 71By. Sarah Canaken“Papa mertua memintaku menanyakan sebuah hal darinya padamu, Sist,” lanjut Sisil membuatku mengernyitkan dahi. “Apa itu, Sil?” jawabku penasaran.“Maukah kau menikah dengan Zach? Aku tau ini terdengar aneh ... tapi,” suara Sisil agak memohon, namun sukses membuatku syok.“Apa? Sil, tolong jangan bercanda pagi-pagi, deh? Aku tau, Papa mertuamu pasti salah meminta bantuan!” kataku lagi.“Oke! Aku paham, karena ini memang terdengar aneh. Aku meluncur saja ke lokasimu saat ini. Tunggu aku, biar kau tak mengira aku mengada-ada!” Sisil mengakhiri sambungan telponnya. Aku yang hendak menyesap kopi, jadi mengurungkannya. Malah meletakkan kembali cangkir kopi yang sempat ku pegang beberapa saat tadi.Menikah dengan Zach? Ya Tuhan! Apa yang ada di pikiran Tuan Bram? Bukankah tadi membicarakan soal paman Irfan? Lalu mengapa tiba-tiba beralih soal pernikahan?Kuambil lagi r
TAK DIANGGAP - BAB 70by : Sarah Canaken Aku pulang ke rumah sendirian tanpa anak-anak. Tentu pula sudah aku ingatkan kepada pihak sekolah bahwa beso-besok yang boleh menjemput Dinda dan Putra hanya aku ibunya atau Pak Didin selaku orang kepercayaan dariku. Jika ada ayahnya datang menjemput, harap meminta ijin dulu padaku. Aku menegaskan berkali-kali pada pihak sekolah. Pihak sekolah meminta maaf perihal hari ini, dan berjanji mengikuti apa yang aku arahkan. Sungguh sesak dadaku mengetahui perilaku mantan suami yang rasanya tak mungkin ia lakukan, mengingat ia tak pernah sekalipun menengok anak-anaknya, meskipun ia adalah ayah kandung Putra dan Dinda.Anak-anak memang sudah tahu dan sudah pula kuberi tahu, bahwa aku dan ayahnya sudah berpisah. Butuh waktu panjang saat itu untuk menjelaskannya dengan baik dan benar. Aku menceritakannya dengan sangat berhati-hati mengapa Ayah Bunda mereka harus berpisah. Aku juga mengatakan bahwa jika memang ingin ket
Bab 69by : Sarah CanakenMelihat begitu banyak arah angin membawa semilir hembusan ringan yang mengembara dengan tenang, rasanya tak ingin hati ini begitu cepat terpesona.Pesona angin memang menyejukkan dan melenakan diri hingga terlelap oleh mimpi nan indah. Tidak ... aku bukan tipe pencari angin yang terburu-buru bak kehabisan napas hingga tersengal-sengal. Tapi aku lebih tertarik menyesuaikan hembusan udara berupa oksigen yang bisa masuk terhirup ke hidung dengan sempurna.Perlahan ... hirup dengan tenang ... menghembusnya kembali ... membiarkannya memenuhi semua relung ... lalu kembali menghirupnya ... perlahan ... dan seterusnya hingga napas mampu membuat hidup menjadi ringan, bukan beban berat.Menjadi tenang bukan perkara sulit, namun tak bisa dimudah-mudahkan. Aku berdoa dalam hati, "Semoga angin terus mengembuskannya untukku dengan tenang.""Za ..." Zach memanggilku lagi dengan suara khasnya."Oh, s
Aku menunggu penjelasan dari Mama dan Mba Tia perihal celotehan Dinda barusan. Apa yang sebenarnya terjadi?“Tolong jelaskan, Mba, Ma? Ada apa ini? Terus terang sama Fiza …” kataku.“Yaudah, kamu aja yang cerita Tia … Mama udah gak bisa ngomong lagi, berpikir saja sudah pusing,” balas Mama yang duduk kembali ke sofa dengan muka sangat lesu.Aku langsung menghadapkan diri ke Mba Tia, meminta segera penjelasan apa yang terjadi.Mba Tia ikut mendaratkan tubuhnya di sofa. Menarik napas dalam, lalu membuangnya kasar “Saat di Mall, kami memang tak sengaja berpapasan dengan Rafi. Awalnya aku ragu kalau itu adalah Rafi. Tapi, anak-anak reflek mengenal kalau itu adalah Ayah mereka. Panggilan Dinda dan Putra ke Rafipun tak digubris olehnya. Aku dan Mama mau tak mau menghampiri Rafi. Anak-anak untung bisa di kondisikan oleh Bi Siti sementara waktu,”“Kenapa dia bisa keluar, Mba?!” aku makin ngegas bertanya inti persoalan.“Ra
"Ya Tuhan, Mba ... berarti memang Atika pelakunya ya .... Astagfirullah, kok bisa nekat mereka ini," Aku masih tak percaya rasanya, Bang Rafi begitu tega dengan orangtua dan keluarga sendiri. "Fix, penjara! Rasain, biar tau rasanya mendekam di sana! syukur-syukur otaknya jadi balik normal," lanjut Mba Tia lagi."Oke deh, makasih infonya ya, Mba. Aku masih ada kerjaan. Kalau ada apa-apa nanti hubungi Fiza aja. Salam buat Mama," "Okeh! makasih ya Fiza rekom pengacaranya tulen! sat set sat set, kelar! hahahah!"Aku ikut terkekeh mendengar Mba Tia, lalu memberinya salam mengakhiri pembicaraan.Aku terduduk di sofa dengan perasaan mengambang. Apakah berita barusan benar terjadi? Rasanya sulit untuk percaya ....Bagaimana nanti aku akan menceritakan pada Putra dan Dinda soal Ayah kandungnya yang mendekam di penjara. Bahkan bisa dikatakan mantan residivis ketika sudah keluar penjara nanti? "Halo, Za! tumben gamang gitu?
“Bukan urusanmu! Jangan ikut andil memberi saran padaku, karena kau bukan siapa-siapaku lagi! Dan tolong jangan hubungi diriku lagi. Nanti istri barumu itu cemburu.” Kubalas pesan Bang Rafi yang sok bijak memberi saran tak berguna.Ada-ada saja makin hari tingkah mantan suamiku itu. bagaimana dia bisa sekacau itu sekarang? Padahal seingatku dulu, dia melakukan sesuatu atas dasar penilaian yang objektif. Tapi sekarang malah sebaliknya. Bahkan bisa dikatakan tidak bisa memilah mana yang penting baginya, bagi orang lain, maupun bagi keluarganya. Apa dia ada salah makan? Entahlah.Berhubung besok weekend, pekerjaan hari ini aku percepat agar bisa pulang lebih awal. Aku akan mengajak anak-anak Bersama nenek dan tantenya jalan-jalan. Hitung-hitung refreshing keluarga. Supaya Dinda dan Putra tak melulu menanyakan kenapa ayahnya jarang pulang. Dan tentu kenapa Nenek mereka juga sudah jarang ada di rumah ini.Jujur saja, aku belum berterus terang kepada anak-a
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments