Aroma harum yang dihasilkan dari nasi goreng buatan Laras sungguh menggoda. Aromanya menyebar hampir ke seluruh ruangan hingga tercium oleh hidung pria yang sedang santai menikmati acara TV.
"Wangi banget bau masakannya membuat perutku lapar, keroncongan," ucap pria itu menghirup aroma masakan cukup dalam dan beberapa kali mengulanginya.Sementara di meja makan, Laras dengan senyum mengembang di bibir sedang menikmati nasi goreng hasil olahan tangannya sendiri. Dengan senyum di bibir, gadis itu masih enggan menyuap karena ingin menikmati aroma harumnya."Akhirnya terisi juga nih perut. Hemm ... sedap sekali! Aku akan menikmatinya. Selamat makan cacing-cacing dalam perutku." Laras mencium nasi yang ada di piring."Apa kamu tidak mau membaginya untukku?"Bram tiba-tiba muncul dan mengagetkan Laras dari arah belakang. Wajah dan tatapannya masih saja dingin, padahal dia bertanya dan berharap gadis yang ada di hadapannya itu membagi masakan yang membuat perutnya keroncongan.
"Kak Bram!" Laras menoleh ke arah Bram dengan wajah khas terkejut."Apa Kakak mau?" tanyanya lagi."Apa kamu mau membaginya untukku?" Bram menarik kursi di depan Laras, lalu duduk sembari menelan salivanya karena melihat menu dalam piring Laras sepertinya nikmat. terelebih karena aromanya membuat perutnya semakin terasa lapar."Tapi hanya ini. Kalau Kakak mau, kita bagi dua saja, ya?" Laras berdiri mengambil piring dan membaginya menjadi dua. Wajahnya tampak ceria seperti sudah mengenal Bram cukup lama. Bahkan dia melupakan rasa kesal atas sikap ketus dan dingin Bram."Ini, Kak! Semoga rasanya tidak mengecewakan." Senyum Laras tetap mengembang sangat manis dan tulus.Bram mengambil piring yang disodorkan oleh Laras dan mulai memakannya, sesuap demi sesuap. Bram meresapi rasa nasi goreng itu dengan perlahan. "Enak juga," pujinya lirih. Jarang sekali Bram memuji masakan orang yang baru dia kenal.Laras tersenyum mendengar pujian kakak iparnya.'Seandainya Laras itu Rere, jago masak seperti ini pasti aku semakin betah di rumah,' kata hati Bram."Kak, kenapa kak Rere belum pulang, ya?" tanya Laras sembari menyuap nasi dalam mulutnya."Jangan pernah berharap! Dia nggak akan pulang malam ini, mungkin subuh." Wajah Bram terlihat kesal saat Laras menanyakan tentang Rere.Laras melihat ada sebuah kekecewaan dalam ucapan Bram yang disembunyikan oleh pria itu. Laras menghabiskan makanannya tanpa bertanya lagi. Dia tidak ingin mencampuri urusan rumah tangga mereka. Apa lagi dia baru mengenal Bram. Dia belum tau bagaimana sifat pria yang mengaku sebagai suami kakaknya itu.Laras berdiri hendak mencuci piring."Kak, makannya sudah belum? Aku mau cuci piringnya," tanya Laras sedikit ragu saat melihat pria itu sedang memainkan nasi di piring menggunakan sendok."Kalau mau cuci, ya, cuci saja! Aku bisa mencucinya sendiri." ketus Bram dengan wajah semakin sinis dan jutek pada Laras."Maksudku, biar sekalian Laras cuciin piringnya, Kak.""Tidak perlu! Aku bisa cuci sendiri," jawab Bram kembali ketus.Laras menatap nanar wajah pria di hadapannya. Dia merasa jengkel dengan sikap pria itu. Laras memalingkan badannya berjalan untuk mencuci piringnya sendiri. Mulutnya komat-kamit mengutuki sikap kakak iparnya.Belum selesai Laras mencuci piring, pria itu meletakkan begitu saja piring bekas makan di dalam wastafel, lalu pergi tanpa basa basi sama sekali."Bilangnya bisa cuci piring sendiri, mana? Aku juga yang cuci. Dasar kakak ipar aneh, sok jual mahal!" Laras ngomel sendiri."Kalau tidak mau mencucinya dan tidak ikhlas, nggak usah dicuci!" celetuk pria itu di belakang Laras.Laras kaget mendengar suara Bram, ternyata dia belum pergi."He ... he ... he .... Nggak kok, Kak. Aku mau mencucinya, tadi aku hanya menyanyi saja," kelit Laras sambil nyengir."Kamu pikir telingaku tuli?" Kali ini Bram benar-benar berjalan pergi dari tempat itu."Ah ... akhirnya pergi juga tuh orang," ucap Laras mengelus dadanya.Laras melanjutkan pekerjaannya dan membereskan alat masak yang dia gunakan tadi.Setelah selesai Laras berjalan menuju halaman belakang rumah. Di sana ada sebuah kolam renang dan taman yang dihiasi lampu yang tidak begitu terang, tapi juga tidak begitu redup.Laras sengaja duduk santai di pinggir kolam karena matanya belum mengantuk. Bagaimana mau mengantuk? Lha, dia baru bangun dari tidur.Kakinya sebagian masuk ke dalam air kolam dan digerak-gerakan sehingga menimbulkan gerakan gelombang kecil dalam air."Ayah, bunda, kalian sedang apa sekarang? Laras janji, Laras akan kuliah dengan benar agar Laras bisa sukses seperti kak Rere, punya rumah besar, ada kolam renang dan taman. Nanti kalau Laras sudah sukses, pasti Laras bawa ayah dan bunda tinggal bersama Laras," ucap gadis itu menantap langit yang tak berbintang.Sementara di dalam kamar, Bram menatap ke arah luar jendela memandang sosok gadis yang duduk sendirian di tepi kolam renang miliknya. Tangannya berlipat di depan dada, sedangkan tatapannya penuh dengan kebencian dan tanda tanya besar."Kamu hebat, Re! Sekarang kamu membawa adikmu yang kampungan itu ke rumah ini, sedangkan kamu sendiri jarang sekali berada di rumah bahkan rumah ini tidak lebih seperti tempat persinggahanmu saja," ucap pria itu.Rere memang jarang sekali pulang ke rumah mengunjungi Bram, bahkan dia lebih sering pergi dengan teman-teman modelnya dibandingkan pergi dengan suaminya sendiri. Entah apa yang membuat Bram mau menikah dengan Rere dan menuruti permintaan wanita itu agar pernikahan mereka tidak dipublikasikan ke muka umum termasuk pada keluarganya sendiri.Setiap kali Bram bertanya, jawaban Rere hanya satu, dia tidak ingin karir modelnya hancur hanya karena orang-orang mengetahui kalau sebenarnya dia sudah menikah, bahkan dia pernah mengancam akan meninggalkan Bram bila itu terjadi.Bram sendiri tidak yakin dengan perasaannya pada Rere. Mungkin rasa cinta telah membuatnya buta sehingga dia selalu menuruti ucapan Rere walau itu tidak masuk akal sama sekali.Selama ini Bram mencoba menghilangkan pikirannya tentang Rere dengan pekerjaan, makanya Bram sering pulang malam dan lembur. Meski di kantor sebenarnya tidak ada pekerjaan lagi, tapi dia lebih memilih diam di kantor dari pada harus pulang ke rumah.Bram lebih suka menghabiskan waktu bersama asistennya di kantor meski terkadang asistennya sering mengeluh karena ulah Bosnya itu. Bram sering menahan asistennya untuk menemaninya di kantor sekedar nonton TV. Tidak penting banget, khan? Tapi itulah Bram, dia tidak peduli walau asistenya sering menggerutu padanya asal dia senang.Bram kembali menatap arah kolam renang setelah beberapa saat dia mengalihkan pandangannya pada ponsel, namun gadis itu sudah tidak ada lagi di situ.Laras telah masuk ke dalam kamarnya dan sudah tertidur dengan lelap terbuai dalam mimpi."Lho, ke mana gadis kampung itu?" Bola mata Bram bergerak cepat mencari keberadaan Laras. "Ish, kenapa juga aku mencarinya? Mungkin juga dia sudah tidur. Bodoh banget kalau aku mencari gadis itu! Sama saja aku tertipu oleh dua wanita yang sama."Bram melampiaskan kekecewaan dan kemarahannya atas sikap Rere dengan membawa nama Laras. Gadis desa yang tidak berdosa dan pastinya tidak tau apa yang sebenarnya terjadi pada mereka.Pagi-pagi Laras sudah terbangun dan bergegas menuju dapur untuk membuat sarapan. Bangun pagi dan membuat sarapan sudah menjadi kebiasaan gadis itu selama tinggal bersama orang tuanya."Emmm, nyenyak sekali tidurku. Ternyata enak ya, tidur di tempat orang kaya. Kasurnya empuk, pantas saja mereka berlomba-lomba menjadi orang kaya. Eh, aku juga mau." Laras seperti orang mimpi di pagi hari, ngomong sendiri, senyum sendiri dan tertawa sendiri sembari menutup mulutnya menggunakan dua tangan.Bunda Laras selalu mengajarkan putrinya untuk hidup mandiri. Semenjak ayah kandungnya meninggal dalam kecelakaan, Laras memang dituntut untuk mandiri. Waktu itu umurnya baru sepuluh tahun, tapi dia harus membantu bundanya bekerja mencari uang untuk biaya hidup.Laras tidak pernah mengeluh meski hidupnya susah. Hasil dari ketekunan dirinya dan bunda, akhirnya mereka bisa mendirikan toko kelontongan. Meski hanya kecil, dari hasil penjualan sembako cukup untuk biaya hidup dan sekolah untuk Laras.Laras ter
'Sebenarnya apa yang terjadi pada keluarga mereka? Kenapa mereka malah berdebat sendiri?' Bram masih setia memperhatikan dua wanita yang sedang berbicara masalah keluarga mereka. Pria itu baru mengetahui tentang keluarga istrinya. Selama ini Rere tidak pernah menceritakan tentang keluarganya.Bram juga baru mengetahui kalau ternyata Laras adalah saudara tiri istrinya. Dia juga baru mengetahui kalau bunda Rere ternyata bukan ibu kandungnya."Kak, kenapa Kakak tidak memberitahu kami tentang pernikahan kalian?" ucap Laras melihat Rere berganti pada Bram."Itu bukan urusanmu!" Sekali lagi Rere menunjukkan rasa tidak suka karena Laras mempertanyakan tentang pernikahannya dengan Bram."Tapi ayah pasti akan marah kalau tau Kakak sudah menikah tanpa memberitahunya." Laras masih saja penasaran dengan pernikahan Rere dan Bram."Jangan pernah beritahu ayah! Atau kamu akan tau akibatnya." Rere mengeluarkan ancaman pada Laras karena adik tirinya itu masih saja berbicara tentang pernikahan mereka.
Laras berjalan santai di tengah keramaian taman kota. Hari ini dia ingin menyegarkan otaknya setelah berdebat lumayan panjang dengan Rere. Langkahnya terhenti di sebuah bangku panjang yang terletak di bawah pohon rindang. Laras duduk dengan satu kaki berpangku pada satu kaki lainnya dan matanya diedarkan ke setiap sudut taman."Ramai, ya. Coba di desa ada taman seperti ini, pasti enak setiap sore bisa duduk santai," gumam Laras sembari menikmati udara segar.Mata Laras terhenti pada sepasang kekasih yang sedang bermesraan di bangku seberang tempatnya duduk. Laras tersenyum senang melihat tingkah mereka yang romantis."Apa seperti itu ya, kalau orang pacaran?" Senyumnya mengembang ketika melihat sang pria menggenggam erat tangan sang wanita dengan satu tangan membelai lembut rambut yang tergerai indah terbawa angin.Maklum, selama ini dia belum pernah merasakan pacaran. Laras memang belum pernah merasakan punya pacar. Dia tidak pernah memikirkan hal itu karena dia sibuk membantu bundan
Setelah mandi dan membersihkan diri, Bram membaringkan tubuhnya di kasur dengan kepala bersandar pada sandaran tempat tidur. Rere mendekatinya dan berbaring di sampingnya dengan menyandarkan kepala pada dada Bram yang lapang.Tangan Rere mulai membelai dada suaminya dan memainkan jemarinya yang lentik."Sayang, besok aku ada pemotretan, kemungkinan aku tidak akan pulang selama dua hari." Rere bersuara sangat lembut ketika dia merayu agar Bram tidak marah."Apa pemotretannya di luar kota sehingga kamu tidak bisa pulang?" tanya Bram dengan nada sedikit sinis karena kesal."Dalam kota sih, tapi jadwalnya sampai larut malam. Kalau harus pulang pergi akan memakan waktu dan lelah, makanya lebih baik aku tidur di hotel saja.""Kenapa tidak kamu tinggalkan pekerjaanmu itu dan bekerjalah di perusahaanku? Kalau hanya memenuhi kebutuhanmu sehari-hari saja aku masih mampu. Untuk biaya kuliah Laras, aku juga bisa mencukupinya," ucap Bram penuh penekanan."Ini bukan masalah uang, Bram!" Rere mulai
Rere pergi dan masuk ke kamarnya. Tidak berselang lama dia keluar dengan membawa tas dan pergi dengan mengendarai mobil meninggalkan rumah. Dari caranya berjalan dan pergi, dapat dipastikan bila kondisi hatinya sedang tidak baik.Laras membereskan cangkir kopi dan teh meski tangannya masih terasa panas dan sakit. Laras mencuci gelas dengan air mata yang menetes di pipinya, bukan karena tidak tahan akan sakit di tangannya, tapi karena hatinya yang terasa sakit. Mendapat perlakuan kasar dari Rere, bukan hanya menyakiti hatinya saja, tetapi juga kulit tangannya. Bahkan Rere melakukannya di depan suaminya sendiri, Bram.Awalnya dia berpikir kalau kemarahan Rere karena Rere sedang mengalami masalah dengan Bram dan Laras ingin memakluminya, tetapi setelah mendengar perkataan Rere yang juga menyakitkan hatinya, Laras tidak bisa menahan perih dalam dirinya.Setelah selesai dia berjalan menuju kamarnya dan duduk di tepi tempat tidur. Sekali lagi gadis itu menangis."Bunda, aku kangen sama bun
Pagi hari Laras sudah rapi karena hari ini dia sudah mulai kuliah. Meski dia harus kuliah tapi gadis itu tidak lupa selalu membuat sarapan dan menyiapkan bekal untuk makan siangnya."Selamat pagi, Kak Rere," sapanya saat melihat Rere turun."Apa kamu melihat Bram?" tanya Rere sembari mengedarkan mata mencari sosok Bram."Kak Bram tadi pagi sudah pergi, Kak." Meski Rere tidak memperhatikannya, tapi Laras tetap melihatnya saat berbicara."Nanti kalau dia mencari aku, katakan kal
Hari ini Bram malas untuk bangun dari tempat tidurnya, tangannya kembali menarik selimut tebal dan menutupi seluruh tubuhnya.Sedangkan Laras, gadis itu sudah sibuk dengan tangannya. Kali ini Laras sedang menyirami bunga di halaman rumah Bram. Gadis itu memang tidak bisa diam, selalu ada yang dia kerjakan.Sebuah mobil memasuki halaman rumah Bram dan berhenti sempurna. Seorang wanita ke luar dari mobil dengan senyum di bibirnya saat melihat Laras.Laras membalas senyum wanita itu dengan sopan dan membungkukkan tubuhnya tanda hormat."Selamat pagi, Nyonya," sapa Laras."Pagi, apa Bram ada di rumah?" tanya wanita itu ramah."Ada, Nyonya, kak Bram sepertinya masih tidur."Wanita itu nampak heran saat mendengar Laras memanggil Bram dengan sebutan kakak. Dia mengerntitkan kedua alis menatap lekat Laras."Siapa namamu?" tanyanya penasaran dan merasa tertarik ingin mengenalnya."Saya Laras, Nyonya," jawab Laras memperkenalkan diri dengan sedikit membungkuk memberi hormat."Panggil aku tante
Makanan sudah terhidang sempurna di atas meja. Laras dengan cekatan merapikan alat masak yang tadi mereka gunakan."Biarkan saja dulu, sebaiknya kita makan dulu baru nanti dibereskan!" ucap Soya melarang saat Laras membereskan dan merapikan alat yang mereka gunakan untuk masak."Ga' apa-apa, Tante. Sambil nunggu kak Bram turun.""Bagaimana kalau kamu panggil saja dia di kamarnya?""Maksud Tante aku harus ke kamar kak Bram?" Wajah Laras dihiasi dengan bola mata yang bulat. Dia tertegun dan sedikit kaget mendengar Soya memintanya ke kamar Bram dan memanggil kakak iparnya itu."Kenapa? Apa kamu keberatan?" Soya menatap lekat Laras dengan tatapan penuh harap agar Laras mau melakukannya."Ah, tidak, Tante. Kalau begitu biar aku panggil kak Bram."Laras merasa tidak enak hati untuk menolak permintaan mama Bram, tapi dia juga merasa kaku untuk memanggil Bram di kamarnya.Meski dipenuhi dengan trasa gugup, Laras akhirnya pergi ke kamar Bram juga. Masih disel