Share

Bab 2

Aroma harum yang dihasilkan dari nasi goreng buatan Laras sungguh menggoda. Aromanya menyebar hampir ke seluruh ruangan hingga tercium oleh hidung pria yang sedang santai menikmati acara TV.

"Wangi banget bau masakannya membuat perutku lapar, keroncongan," ucap pria itu menghirup aroma masakan cukup dalam dan beberapa kali mengulanginya.

Sementara di meja makan, Laras dengan senyum mengembang di bibir sedang menikmati nasi goreng hasil olahan tangannya sendiri. Dengan senyum di bibir, gadis itu masih enggan menyuap karena ingin menikmati aroma harumnya.

"Akhirnya terisi juga nih perut. Hemm ... sedap sekali! Aku akan menikmatinya. Selamat makan cacing-cacing dalam perutku." Laras mencium nasi yang ada di piring.

"Apa kamu tidak mau membaginya untukku?"

Bram tiba-tiba muncul dan mengagetkan Laras dari arah belakang. Wajah dan tatapannya masih saja dingin, padahal dia bertanya dan berharap gadis yang ada di hadapannya itu membagi masakan yang membuat perutnya keroncongan.

"Kak Bram!" Laras menoleh ke arah Bram dengan wajah khas terkejut.

"Apa Kakak mau?" tanyanya lagi.

"Apa kamu mau membaginya untukku?" Bram menarik kursi di depan Laras, lalu duduk sembari menelan salivanya karena melihat menu dalam piring Laras sepertinya nikmat. terelebih karena aromanya membuat perutnya semakin terasa lapar.

"Tapi hanya ini. Kalau Kakak mau, kita bagi dua saja, ya?" Laras berdiri mengambil piring dan membaginya menjadi dua. Wajahnya tampak ceria seperti sudah mengenal Bram cukup lama. Bahkan dia melupakan rasa kesal atas sikap ketus dan dingin Bram.

"Ini, Kak! Semoga rasanya tidak mengecewakan." Senyum Laras tetap mengembang sangat manis dan tulus.

Bram mengambil piring yang disodorkan oleh Laras dan mulai memakannya, sesuap demi sesuap. Bram meresapi rasa nasi goreng itu dengan perlahan. 

"Enak juga," pujinya lirih. Jarang sekali Bram memuji masakan orang yang baru dia kenal.

Laras tersenyum mendengar pujian kakak iparnya.

'Seandainya Laras itu Rere, jago masak seperti ini pasti aku semakin betah di rumah,' kata hati Bram.

"Kak, kenapa kak Rere belum pulang, ya?" tanya Laras sembari menyuap nasi dalam mulutnya.

"Jangan pernah berharap! Dia nggak akan pulang malam ini, mungkin subuh." Wajah Bram terlihat kesal saat Laras menanyakan tentang Rere.

Laras melihat ada sebuah kekecewaan dalam ucapan Bram yang disembunyikan oleh pria itu. Laras menghabiskan makanannya tanpa bertanya lagi. Dia tidak ingin mencampuri urusan rumah tangga mereka. Apa lagi dia baru mengenal Bram. Dia belum tau bagaimana sifat pria yang mengaku sebagai suami kakaknya itu.

Laras berdiri hendak mencuci piring.

"Kak, makannya sudah belum? Aku mau cuci piringnya," tanya Laras sedikit ragu saat melihat pria itu sedang memainkan nasi di piring menggunakan sendok.

"Kalau mau cuci, ya, cuci saja! Aku bisa mencucinya sendiri." ketus Bram dengan wajah semakin sinis dan jutek pada Laras.

"Maksudku, biar sekalian Laras cuciin piringnya, Kak."

"Tidak perlu! Aku bisa cuci sendiri," jawab Bram kembali ketus.

Laras menatap nanar wajah pria di hadapannya. Dia merasa jengkel dengan sikap pria itu. Laras memalingkan badannya berjalan untuk mencuci piringnya sendiri. Mulutnya komat-kamit mengutuki sikap kakak iparnya.

Belum selesai Laras mencuci piring, pria itu meletakkan begitu saja piring bekas makan di dalam wastafel, lalu pergi tanpa basa basi sama sekali.

"Bilangnya bisa cuci piring sendiri, mana? Aku juga yang cuci. Dasar kakak ipar aneh, sok jual mahal!" Laras ngomel sendiri.

"Kalau tidak mau mencucinya dan tidak ikhlas, nggak usah dicuci!" celetuk pria itu di belakang Laras.

Laras kaget mendengar suara Bram, ternyata dia belum pergi.

"He ... he ... he .... Nggak kok, Kak. Aku mau mencucinya, tadi aku hanya menyanyi saja," kelit Laras sambil nyengir.

"Kamu pikir telingaku tuli?" Kali ini Bram benar-benar berjalan pergi dari tempat itu.

"Ah ... akhirnya pergi juga tuh orang," ucap Laras mengelus dadanya.

Laras melanjutkan pekerjaannya dan membereskan alat masak yang dia gunakan tadi.

Setelah selesai Laras berjalan menuju halaman belakang rumah. Di sana ada sebuah kolam renang dan taman yang dihiasi lampu yang tidak begitu terang, tapi juga tidak begitu redup.

Laras sengaja duduk santai di pinggir kolam karena matanya belum mengantuk. Bagaimana mau mengantuk? Lha, dia baru bangun dari tidur.

Kakinya sebagian masuk ke dalam air kolam dan digerak-gerakan sehingga menimbulkan gerakan gelombang kecil dalam air.

"Ayah, bunda, kalian sedang apa sekarang? Laras janji, Laras akan kuliah dengan benar agar Laras bisa sukses seperti kak Rere, punya rumah besar, ada kolam renang dan taman. Nanti kalau Laras sudah sukses, pasti Laras bawa ayah dan bunda tinggal bersama Laras," ucap gadis itu menantap langit yang tak berbintang.

Sementara di dalam kamar, Bram menatap ke arah luar jendela memandang sosok gadis yang duduk sendirian di tepi kolam renang miliknya. Tangannya berlipat di depan dada, sedangkan tatapannya penuh dengan kebencian dan tanda tanya besar.

"Kamu hebat, Re! Sekarang kamu membawa adikmu yang kampungan itu ke rumah ini, sedangkan kamu sendiri jarang sekali berada di rumah bahkan rumah ini tidak lebih seperti tempat persinggahanmu saja," ucap pria itu.

Rere memang jarang sekali pulang ke rumah mengunjungi Bram, bahkan dia lebih sering pergi dengan teman-teman modelnya dibandingkan pergi dengan suaminya sendiri. Entah apa yang membuat Bram mau menikah dengan Rere dan menuruti permintaan wanita itu agar pernikahan mereka tidak dipublikasikan ke muka umum termasuk pada keluarganya sendiri.

Setiap kali Bram bertanya, jawaban Rere hanya satu, dia tidak ingin karir modelnya hancur hanya karena orang-orang mengetahui kalau sebenarnya dia sudah menikah, bahkan dia pernah mengancam akan meninggalkan Bram bila itu terjadi.

Bram sendiri tidak yakin dengan perasaannya pada Rere. Mungkin rasa cinta telah membuatnya buta sehingga dia selalu menuruti ucapan Rere walau itu tidak masuk akal sama sekali.

Selama ini Bram mencoba menghilangkan pikirannya tentang Rere dengan pekerjaan, makanya Bram sering pulang malam dan lembur. Meski di kantor sebenarnya tidak ada pekerjaan lagi, tapi dia lebih memilih diam di kantor dari pada harus pulang ke rumah.

Bram lebih suka menghabiskan waktu bersama asistennya di kantor meski terkadang asistennya sering mengeluh karena ulah Bosnya itu. Bram sering menahan asistennya untuk menemaninya di kantor sekedar nonton TV. Tidak penting banget, khan? Tapi itulah Bram, dia tidak peduli walau asistenya sering menggerutu padanya asal dia senang.

Bram kembali menatap arah kolam renang setelah beberapa saat dia mengalihkan pandangannya pada ponsel, namun gadis itu sudah tidak ada lagi di situ.

Laras telah masuk ke dalam kamarnya dan sudah tertidur dengan lelap terbuai dalam mimpi.

"Lho, ke mana gadis kampung itu?" Bola mata Bram bergerak cepat mencari keberadaan Laras. "Ish, kenapa juga aku mencarinya? Mungkin juga dia sudah tidur. Bodoh banget kalau aku mencari gadis itu! Sama saja aku tertipu oleh dua wanita yang sama."

Bram melampiaskan kekecewaan dan kemarahannya atas sikap Rere dengan membawa nama Laras. Gadis desa yang tidak berdosa dan pastinya tidak tau apa yang sebenarnya terjadi pada mereka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status